“Mau ketemu siapa Mas?” tanya seorang bidan junior yang masih magang.
“Bilangin aja Adam datang,” ucap Adam super singkat pada bidan yang masih sangat muda itu. Di hadapan wanita dia begitu terlihat ketus dan sangar. Namun sikapnya yang seperti itu malah menjadi magnet tersendiri yang menarik para gadis. Bidan itu malah salah tingkah melihat Adam yang mempesona.
“Keluarga pasien Mas?”
“Bukan, adiknya Bu Hawa …” jawab Adam kesal.
“Adiknya Bu Hawa? Maaf aku kira keluarga pasien,” ucap bidan itu sembari terus tersenyum. Adam masih memasang wajah datar dan malah kesal mendengar ocehan bidan itu.
“Mas Adam, kenapa gak langsung naik ke atas aja?” tawar bidan itu sembari memainkan jemari tangannya, tak bisa diam.
“Nggak, aku nunggu di sini,” balas Adam langsung duduk di ruang tunggu bergabung dengan para keluarga pasien yang baru saja melahirkan.
“Istrinya lahiran juga?” tanya pria seumuran Adam di sebelahnya.
Dahi Adam langsung berkerut. “Enggak,” jawabnya singkat.
Bidan itu pun langsung berlari kecil menaiki lantai dua di mana Hawa berada. Dia tersenyum kecil mengingat Adam. Dia mengagumi sikap Adam yang ‘cool’ atau keren menurut gadis jaman now.
“Bu … hola!” ucap bidan itu sembari tersenyum. Matanya berbinar seperti kembang api.
“Apa Putri …” sahut Hawa sembari membuang sarung tangan lateks bekas membantu pasien lahiran baru saja.
“Mas Adam, baru saja datang. Dia ada di bawah di ruang tunggu,”
“Serius? Suruh ke sini buruan …”
“Dia gak mau Bu. Dia mau nunggu di bawah aja,”
“Lah kok gitu,”
Hawa menggelengkan kepalanya. Dia langsung menarik leher kran dan mencuci tangannya dengan air bersih.
“Sayang, handuk!”
Tiba-tiba suami Hawa menyembul dari pintu kamarnya dan berteriak.
“Putri, bilangin ke Adam nanti Ibu ke sana sebentar lagi. Ibu mau mengurus bayi besar dulu,” ucap Hawa pada asisten bidannya itu.
“Asiapp!” jawab Putri dengan menaruh telapak tangan kanannya ke atas dahi. Dia memang terlihat kocak. Hawa hanya bisa menepuk jidatnya melihat kelakuan Putri yang memang masih sangat muda, agak sedikit lucu.
“Kok lama sih ambil handuk aja kayak galapagos aja sih … cepat!” titah suami Hawa lagi bernada penuh penekanan.
“Ckck! Udah dibilangin galapagos, kura-kura, siput lama kelamaan istrinya dikatain cunguk sama curut,” gerutu Hawa dengan wajah yang cemberut.
Hawa cukup sabar menghadapi suaminya. Dia langsung menyodorkan handuk itu melewati pintu kamar mandi yang sedikit terbuka.
“Kok gak masuk?” goda sang suami.
“Enggak … cepat terima handuknya,”
Tangan Hawa merasa pegal.
“Ayolah masuk,”
Tangan sang suami menarik handuk dan tangannya sekaligus. “Sepertinya seru kalau flash …”
“Ish, Bang, ada Adam di bawah sudah nunggu,”
Hawa menarik kembali tangannya sehingga membuatnya terlepas dari cengkraman tangan kekar sang suami.
“Adam, mau ngapain?” tanya suami Hawa seolah tak tahu apa-apa.
“Gak tahu, aku temui dulu ya Bang,” tukas Hawa meninggalkan sang suami yang membuang nafas kasar. “Dasar si Adam! Gangguin aja,”
“Pakaian sudah siap Bang dia atas nakas,” ucap Hawa lagi.
Fadel suaminya sangat manja dan segala sesuatu harus dipersiapkan terlebih dahulu oleh sang istri. Beruntunglah Hawa cukup sabar menghadapinya. Jika dia tidak sabar sudah bisa dipastikan rumah tangganya akan berujung pada perceraian. Keluarga Fadel sangat patriarkis. Suami selalu mendominasi istri dalam sebuah keluarga. Mereka mirip bangsa Athena tempo dulu yakni hanya kaum pria yang boleh menjadi politisi dan menjabat profesi-profesi penting di pemerintahan. Begitupula dalam sebuah ikatan pernikahan dan keluarga suami memiliki posisi sangat penting. Cara parenting mereka yang seperti itu membuat Fadel juga melakukan hal yang serupa seperti apa yang dilakukan oleh ayahnya pada ibunya. Fadel meniru gaya mereka.
Padahal dalam agama tidak ada istilah patriarki. Agama Islam tidak membeda-bedakan kedudukan antara lelaki dan perempuan. Di hadapan Allah mereka sama dan tak bisa dibeda-bedakan. Hanya keimanan dan ketakwaan yang membedakannya.
Gegas, Hawa mengangkat ujung gamisnya dan menuruni anak tangga dengan hati-hati. Dia tidak mau tergesa-gesa khawatir jatuh seperti tempo dulu. Netranya langsung menyebar mencari keberadaan Adam.
“Adam …” panggil Hawa yang sudah berada di ruang tunggu sementara itu Adam karena merasa pegal dia memilih berdiri dan berjalan mondar-mandir di tempat parkiran. Sesekali dia menengok arlojinya dan bergumam tak jelas.
Adam menoleh dan tersenyum tipis sekali. Berbeda dengan Hawa sang kakak yang langsung menghambur memeluknya dengan senyum yang lebar, seolah melepas kangen dengan adik tercintanya karena telah lama tidak bertemu. Kesibukan masing-masing telah memberi mereka jarak. Hawa memeluk Adam seperti memeluk guling. Adam sampai kesulitan bernafas. Lalu Adam melirik ke sekeliling karena rasa malu kakaknya memperlakukannya seperti itu.
“Ada apa kamu pagi-pagi begini datang?” telisik Hawa sembari merenggangkan pelukannya. Hawa tidak tahu maksud kedatangan adiknya itu. Fadel lupa jika semalam Ustaz Bashor meneleponnya. Dia tidak memberi tahu Hawa yang saat itu sedang tertidur pulas karena letih sepulang membantu persalinan yang mengalami komplikasi.
“Teh, emang Bang Fadel gak ngomong ke Teteh?”tanya Adam.
Hawa langsung meraih bahu Adam agar duduk di ruang tunggu dan mulai bercerita.
“Bang Fadel gak ngomong apa-apa. Kayaknya dia lupa,”
“Teh, sekarang kita pulang …”
“Pulang?”
“Emang ada apa?”
“Selina, Teh …”
“Kenapa dengan Selina?”
“Selina mengurung diri di kamar dan tak mau bicara sama sekali …”
“Bentar, Abah dan Ummi sudah memberitahu soal jati dirinya?”
“Sudah, eh belum dia keburu dengar dari percakapan yang terjadi secara gak sengaja antara Abah dan keluarganya Aqsa,”
Hawa menautkan kedua alisnya bingung.
“Teteh gak ngerti,”
“Jadi begini lo Teh, Abah telat memberi tahu Selina soal dia bukan anak kandung Abah dan Ummi. Dia terus aja bilang nanti dan nanti. Hasilnya keluarga Aqsa keburu datang dan mau tak mau deh Abah bilang yang sebenarnya kalau Selina bukan anak kandung Abah dan Ummi. Selina diam-diam datang ke rumah lewat pintu belakang alhasil Selina denger,”
“Astagfirullah,”
Hawa mengusap dada.
“Taaruf?”
“Batal,”
“Batal?”
“Keluarganya Aqsa merasa gak bisa nerima aja kalau Selina bukan anak kandung Abah dan Ummi. Ya, mungkin ini soal nasab yang tidak jelas,”
“Bisa jadi,”
“Baiklah, Teteh mau minta izin dulu pada Bang Fadel. Mudah-mudahan dia mengijinkan,” ucap Hawa dengan berat. Fadel benar-benar otoriter sehingga terkadang dia seperti lembaga perizinan bagi Hawa untuk melakukan apapun. Jika Hawa melanggar saja izinnya maka dia akan murka.
“Bang, sudah mandinya?” tanya Hawa pada Fadel yang sedang menyemprotkan parfum Prancis ke tubuhnya. Dia seorang pria yang sangat menjaga penampilannya. Tak bisa dipungkiri Hawa benar-benar terpukau melihatnya.
“Smell good!”
Hawa mengendus-endus aroma parfum seperti seekor kucing Persia. Ya, dia tak ubahnya seekor kucing Persia yang berusaha merajuk karena memiliki keinginan yaitu meminta ijin untuk pulang ke Cianjur ke pesantren.
“If you say smell good, come here … kiss me,” ucap suaminya.
“Baiklah, tapi aku ada satu permintaan Bang,”
Hawa melingkarkan kedua tangannya ke tubuh suaminya dari arah belakang.
“Mau pulang ke rumah Abah?”
Hawa lantas mengangguk manja.
“Huuh,”
“Tapi jangan menginap, kamu juga punya pasien yang suka nyariin kamu,”
“Iya Bang siap,”
Hawa langsung berjinjit mencium pipi berjambang suaminya.
“Yess,” batin Hawa.
Hawa langsung menyambar tas kesayangannya dan meluncur lagi ke bawah. Suaminya akan pergi ke rumah kedua orang tuanya.
“Putri, kalau ada apa-apa hubungi Ibu ya, telepon! Awas jangan sampai sembarangan lagi menangani pasien!”
“Ahsyiapp Bu!”
Putri mengedipkan matanya sebelah.
“Awas! Alat-alat partus! Jangan sampai ketuker lagi!” ujar Hawa lagi mengingatkan Putri yang sedikit ceroboh.
“Tenang, Bu! Aku pasti VC!” cicit Putri.
“Teh, gak apa-apa pake motor?” tanya Adam menepuk bahu Hawa.
“Gak apa-apa Dam! Teteh suka, akhirnya bisa menghirup aroma kebebasan setelah dipingit kayak anak perawan terus,”
Adam hanya mendelik, “ Emang Bang Fadel masih larang ini itu?”
“Iya, Adam! Stubborn masih kayak dulu, bahkan Teteh kerja di puskesmas di mana Bang Fadel jadi kepalanya ‘kan nyebelin,”
Adam hanya merasa kasihan pada sang kakak di mana diperlakukan seperti budak oleh suaminya. Jika perceraian itu tidak dibenci Allah, Adam ingin sekali menyuruh kakaknya untuk berpisah dengan pria keras kepala itu. Namun cinta membuat setiap insan buta. Sang pecinta akan melakukan apapun demi orang yang dicintainya.
Sekitar satu jam setengah mereka akhirnya tiba di Cianjur. Kebetulan jalanan Sukabumi-Cianjur lengang sehingga tidak macet.
Ummi Sarah sudah menanti kehadiran Hawa di teras sembari menyapu halaman rumah. Dia sudah tak sabar ingin bertemu putri sulung kesayangannya.
“Ummi!” pekik Hawa berlari kecil ke arah Ummi Sarah.
“Ya Allah, Hawa …” ucap Ummi Sarah dengan air mata bahagia.
“Abah mana Ummi?”
“Masih di masjid,” jawab Ummi Sarah.
“Ummi, di mana Selin?”
“Masih di kamar,”
Hawa pun berjalan masuk ke rumah menuju kamar Selina.
Tok, tok, tok
“Selina! Ini Teh Hawa …” ujar Hawa sembari mengetuk pintu kamarnya dengan pelan tapi penuh penekanan. Namun tak terdengar suara apapun dari dalam kamar Selina.
Bersambung,
Akhirnya Selina keluar dari kamarnya setelah mendengar panggilan Hawa. Dia langsung menghambur memeluk Hawa dan Hawa pun langsung membalas pelukannya. Baik Adam dan Hawa, keduanya menyayangi Selina seperti menyayangi adik kandung sendiri meskipun mereka tahu jika Selina anak adopsi.‘Menangislah adikku! Menangislah jika itu bisa membuatmu merasa lebih baik. Lepaskanlah beban itu! Kamu harus yakin bahwa tak ada beban tanpa pundak!”Hawa mengajak Selina berbincang di kamarnya. Dia meminta Selina untuk menceritakan perasaannya saat ini.Mereka berdua duduk di tepi ranjang dan saling menatap penuh sendu.“Maaf, Teh, aku benar-benar syok mendengar semua ini. Rasanya ada sebuah batu meteor yang menghantam kepalaku. Rasanya sakit, sakit sekali …”Selina mengadu, mencoba mengungkapkan apa yang dirasakannya sembari terisak.“Iya, Selin, Teteh ngerti apa yang kamu rasakan …” kata Hawa penuh penekanan tapi keibuan.“Jadi … Teteh sudah tahu? Aa Adam juga sudah tahu? Cuma aku yang tidak tahu?”Sel
Selina kecil terus menangis saat itu seolah memberikan sinyal yang buruk tentang ibunya.“Ummi, kenapa anak ini menangis terus sih?” tanya Ustaz Bashor.“Ya kepengen nyusu Abah,” jawab Ummi Sarah sembari menimang-nimang bayi itu dalam pangkuannya. Dia sebetulnya kesal dengan sikap Ustaz Bashor yang tiba-tiba menerima tamu tengah malam tapi mau tidak mau rasa iba mengabaikannya. Dia kasihan melihat bayi itu.“Kok lama amat sih Dewi. Apa dia nyasar?” gumam Ustaz Bashor.“Abah, susul coba ini bayi malah terus menangis, kasihan. Mana Hawa dan Adam lagi tidur pulas lagi nanti mereka ikut bangun, Ummi yang kewalahan,” cerocos Ummi Sarah.“Iya, Ummi, maafin Abah. Abah mau nyusul dulu Dewi,” ucapnya sambil beranjak dari tempat duduknya. Ustaz Bashor langsung keluar mencari Dewi ke arah masjid, ke toiletnya.“Dewi!” panggilnya di luar toilet masjid.Ustaz Bashor pun berjalan menyisiri seluruh bagian toilet karena pintu-pintu toilet semua terbuka berati tidak ada orang di dalam. Kobong-kobong p
Ummi Sarah kaget minta ampun tatkala mendengar perkataan Selina yang mencengangkan soal dia akan mencari ibu kandungnya.“Bukan ide bagus …” timpal Adam sembari mendelik pada Ummi Sarah.“Kenapa?” tanya Hawa yang lebih terlihat santai.“Gak usah, Selin. Lupakan soal dia, kamu jangan coba-coba pergi ke sana. Dunia malam sangat berbahaya. Jangan sampai kita menginjakan kaki di tempat laknat itu …” sergah Adam yang jelas-jelas menolak permintaan Selina.“Jika ibu kandungku terpaksa menjalani kehidupan gelap di sana karena paman dan bibi mereka, maka aku akan membawanya kembali pada kehidupan normal. Aku akan membawa ibu bersamaku …”Selina menyeka air matanya dan berkata dengan mantap.“Tapi Selin … kami tidak tahu di mana dia berada …” ucap Ummi Sarah.“Jika ibuku terjebak dalam dunia kelam, aku sebagai anak sudah sepatutnya untuk mengembalikannya pada jalan yang benar. Aku ingin seperti nabi Ibrahim yang berusaha keras mengingatkan ayahnya agar tidak menyembah berhala. Aku pun akan me
“Iya, kamu! Siapa lagi? Kenapa kamu datang terlambat? Ini sudah telat hampir setengah jam. Kamu dari mana saja?” kata Selina bernada geram. Dia lupa kalau dia sedang berpuasa sunnah senin-kamis hari itu.“Macet,” ucap murid itu singkat.“PR-mu? Taruh di atas meja!”“Lupa, gak kebawa,” jawabnya lagi singkat sembari melengos begitu saja menuju bangku kosong miliknya.‘Murid tidak sopan’ batin Selina.Semua murid pun saling pandang. Mereka mengira jika Selina akan memarahi murid lelaki yang bernama Ruri itu. Namun dugaan mereka keliru, guru mereka yang dikira akan marah malah memilih diam dan melanjutkan pelajaran. Selina hanya mendengus kesal dan langsung meraih buku paket miliknya.“Jadi apa yang dimaksud Frasa?” tanya Selina kembali.“Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang menjadi satu kesatuan,” jawab murid lelaki yang duduk di sebelah Ruri.“Betul. Semua jawaban kalian betul. Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang membentuk satu kesatuan tapi tidak membentuk arti bar
“Kamu tak tahu siapa Ruri?” gertak kepala sekolah bernama Wijaya bernada geram. Beberapa helai kumis tipisnya tampak bergetar. Saking geram dia memanggil Selina bukan lagi dengan panggilan ‘Ibu’ sebagaimana panggilan pada seorang guru tapi ‘kamu’. Di sanalah tampak kesombongan itu hadir, ketika adab dan ilmu tak berimbang. Seharusnya kepala sekolah mampu mengendalikan emosinya. Tak sepatutnya dia memperlakukan Selina seperti itu. Meskipun Selina masih muda dan seumuran anaknya tetap saja dia adalah seorang guru yang harus dihormati. “Maaf, maksud Bapak apa ya?”Selina tak terima mendengar ucapan Wijaya yang tidak tahu apa-apa tapi bersikap seolah tahu apa yang terjadi sebenarnya.“Ruri adalah cucu kakak saya yang berarti cucu saya. Kakak saya orang berpengaruh di dinas pendidikan,” ucap Wijaya dengan bangga.“Terus apa hubungannya dengan izin cuti saya dan urusan Ruri?” tanya Selina kesal. Rasanya dia ingin mengamuk pada kepala sekolah yang terkenal arogan itu, mencakar wajahnya deng
Tok, tok, tok,Shiza mengetuk daun pintu ruang kerja Aqsa yang berada di lantai dua tak jauh dari kamarnya.“Masuk!”Terdengar Aqsa menyuruh Shiza masuk. Shiza pun menjentikkan jari telunjuknya untuk mendorong daun pintu yang memang sedikit terbuka.“Aku ganggu gak Mas?” tanya Shiza mengedarkan pandangannya. “Nggak, sini masuklah! Ada apa?”Aqsa menoleh ke arah adiknya yang sedikit ragu. Shiza pun memberanikan diri mendekati sang kakak. Aqsa yang tengah sibuk berada di depan layar laptop langsung memutar kursi kerjanya dan menatap adiknya yang lebih memilih duduk di kursi berbahan linen lain berhadapan dengannya.“Mas Aqsa, sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa setelah Mas Aqsa datang ke rumah Selina, Selina bahkan tak menjawab teleponku? Apa kalian baik-baik saja? Aku hanya merasa aneh saja, Selina hanya menjawabku via pesan singkat ‘Shiza, aku sibuk jadi aku gak bisa nerima telpon dulu dari siapapun’. Pesannya itu terdengar aneh!” Shiza mencerca sang kakak dengan beberapa pertanyaan
“Selin! Selin! Para guru bukan gak mau bertindak pada anak itu selama masih ada kepsek yang arogan itu. Masalah segede semut aja bisa jadi kayak gajah. Pak Nando dulu juga gitu nasibnya keluar dari sekolah ini dan dipindahkan ke daerah Cibinong … Gara-gara tuh bocah,” jelas Zahrana dengan serius.Selina teringat terus perbincangannya dengan Zahrana. Dia harus segera menuntaskan masalahnya agar tidak sampai berlarut-larut. Meskipun demikian Selina tetap mengajar hingga jam terakhir sekolah. Dia kecewa dengan sikap Wijaya yang tidak memberinya izin cuti mengajar.Selina memutar otak bagaimana caranya agar mendapat izin cuti karena mencari keberadaan sang ibu tentu tidak mudah dan tak cukup waktu dua belas jam. Pasti membutuhkan waktu berhari-hari.Selina sudah merapikan meja kerjanya karena akan pulang. Dia memasukan laptop dan modul mengajarnya seperti biasa ke dalam tas selempang.Seorang guru menghampiri Selina.“Bu Selina, ada yang nyari,” ucap guru itu.“Siapa?”“Duh, apa itu pria
“Maaf, saat ini aku belum bisa memikirkan taaruf, Za. Aku masih belum terima kabar ini, kabar bahwa ternyata Abah dan Ummi bukan orang tua kandungku,” jelas Selina sedikit terisak. Namun dia berusaha untuk mengontrol air matanya khawatir para guru ataupun murid melihatnya.“Selina, apakah kamu baru tahu hal itu sekarang?” tanya Shiza dengan dahi yang berkerut.Selina mengangguk. “Bahkan aku mengetahui kebenaran itu tak sengaja saat mendengar percakapan yang terjadi antara Abah dan kedua orang tuamu,”“Apa? Astagfirullah. Aku ngerti perasaanmu Selina, pasti kamu syok. Jika aku kamu, aku pun pasti … mungkin lebih syok lagi dari kamu. Sabar ya sahabatku!”Shiza langsung memeluk Selina.“Ini berat Za. Kenapa Abah dan Ummi merahasiakan ini semua sudah lama dan baru dibuka pada keluargamu …” ucap Selina dengan tatapan kosong.Shiza merasa sakit mendengarnya apalagi kedua orang tuanya ialah orang yang pertama tahu soal jati diri Selina sebenarnya. Kesimpulan kedua orang tua Selina percaya pa
Sebulan kemudian Hari paling bahagia telah tiba. Pernikahan Dave dan Selina berlangsung meriah, dilaksanakan di sebuah resort milik Meliani di mana memiliki konsep nature atau alam. Selina sangat menyukai pemandangan alam sehingga dia memilih mengadakan acara walimah dan resepsi di ruangan outdoor atau terbuka. Ada banyak pepohonan pinus yang rimbun dan hijau. Dekorasi didominasi warna putih dengan aneka bunga mawar warna-warni di mana-mana. Sebuah lantunan sholawat syahdu dan merdu terdengar. Acara ijab qabul dilaksanakan terpisah. Hanya dihadiri oleh penghulu, calon mempelai lelaki Davendra Diraya,wali Selina yang tak lain Rayyan Sanjaya, saksi yaitu Ustaz Bashor dan Adam serta kerabat. “Qobiltu Nikahaha Wa Tazwijaha Hafla Selina Almaqhvira binti Rayyan Sanjaya Alal Mahril wa madzkuur ala radhiitu bihi wallahu waliyyu taufiq,” Dave mengucapkan kalimat ijab kabul dalam bahasa Arab dengan lantang. Dia mengucapkan puji syukur karena lancar membaca ijab qabul. Terlihat dia begitu bah
Selina memasukkan surat tersebut ke dalam amplopnya lagi. Selepas sekolah dia meremas surat tersebut lalu membuangnya ke tempat sampah. Tidak ada waktu meladeninya.Jika Selina mau membuktikan foto tersebut dia hanya perlu meminta bantuan Dave dan Arman. Dave akan menjelaskan soal foto-foto tersebut dengan lebih gamlang. Mungkin di resort milik ibunya Dave ada CCTV yang akan menampilkan sosok orang yang diam-diam menguntitnya dan mencuri foto dirinya dengan angle yang menyudutkan posisi Selina.Adapun Arman akan menjelaskan soal foto dirinya saat keluar dari dokter kandungan. Selina hanya mengantar Nunik Nirmala dan Arman mengetahui hal tersebut.Selina merasa tidak terima perlakuan Ummi Sarah yang seolah meragukannya. Hatinya perih saat diinterogasi olehnya. Jalan yang terbaik adalah Selina ingin keluar dari kehidupan ke dua orang tua asuhnya dan menjalani kehidupannya sendiri. Dia tak ingin menjadi beban keluarga apalagi mereka adalah keluarga agamis.Sudah beberapa hari Selina tin
“Tentu saja Dokter. Saya akan memberi restu. Andra sudah menceritakan segalanya. Saya ingin Anda menjaganya dan menyayanginya dengan tulus. Saya merasa menyesal karena terlambat mengetahuinya. Nasi sudah menjadi bubur. Mungkin ini hukuman dunia bagi saya karena telah menyia-nyiakan orang yang mencintai saya dengan tulus,”Rayyan menunduk lesu.“Sabar ya Pak Rayyan, Anda sudah bertindak benar. Menyadari kesalahan dan ingin memperbaikinya. Yang terpenting sudah berusaha.”“Kamu masih muda, terlihat dewasa cara berpikirnya,”Dave menaikkan alisnya sebelah. “Masih muda? Yang benar saja Pak. Saya sudah kepala tiga,”Beberapa orang sering mengatakan hal serupa.“Serius?”“Iya, covernya saja terlihat dua puluh,”Akhirnya ke dua pemuda tampan yang berbeda usia tersebut tertawa bersama untuk pertama kalinya. Mereka berjalan beriringan keluar dari lobi apartemen sembari terus berbincang.“Ngomong-ngomong, apa hubungan Pak Rayyan dengan Andra?”“Andra anak teman saya, Darius. Saya, Darius dan Di
Mahendra mengunjungi Dave di apartemennya. Dia ingin mempertemukan seseorang padanya.“Seseorang ingin bertemu denganmu,” ucap Mahendra merangkul pundak sahabatnya.“Siapa? Sejak kapan kamu bikin penasaran,”“Ayah kandung Selina,” bisik Mahendra ke telinga Dave. Dave terkejut sekali mendengar perkataan temannya. “Bela-belain langsung terbang dari Singapura. Padahal kakinya masih sakit akibat kecelakaan.”“Jangan bercanda, Andra!”Dave tertawa renyah.“Kalian bisa mengobrol empat mata,”“Baiklah,”Dave melirik sekilas pada lelaki paruh baya yang sangat tampan di belakang Mahendra. Dia berjalan dengan langkah lamban seperti tengah kesakitan. Dave mengulurkan tangannya terlebih dahulu padanya dan memperkenalkan diri.“Saya Davendra Diraya. Biasa dipanggil Dave,” ucap Dave dengan menampilkan senyum terbaiknya.“Saya Rayyan Sanjaya,” ucapnya dengan penuh wibawa.Dave seketika tertegun melihat penampilan Rayyan dan cara bicaranya. Dia bukan lelaki biasa. Dari penampilannya saja terlihat ber
Dave merasa bersalah karena telah membuat Selina menunggu kabar darinya. Mendadak, dia memiliki urusan penting di mana dia harus menangani pasien yang ternyata salah satu karyawan sang ibu-yang tengah berusaha mengakhiri hidupnya akibat depresi dengan meloncat dari rooftop gedung. Dengan kemampuannya Dave berhasil membujuk karyawan tersebut untuk mengurungkan niatnya. Padahal masalahnya sepele. Lelaki yang baru berusia dua puluh lima tahun itu baru saja memergoki kekasihnya selingkuh.Setelah semua masalahnya usai, Dave langsung memencet nomor Selina. Namun Selina tidak mengangkat teleponnya sebab dia tidak mengaktifkannya.‘Pasti my Selin marah,’ gumamnya.Tak menyerah, kali ini Dave benar-benar nekad. Dia mengirim voice note.[Assalamualaikum Sel, maaf aku baru bisa menghubungimu sebab ada urusan yang harus aku selesaikan.Sel, maaf, aku tak bisa bertemu apalagi berbincang denganmu langsung. Suatu hal yang sulit sebab aku tahu kamu begitu menjaga jarak dengan lawan jenis. Maaf, aku
“Ummi, ada lagi yang bisa saya bantu?” tanya Rois.“Tidak ada, makasih Kang! Tolong jangan sampe bocor ya!” Sekali lagi Ummi Sarah menegaskan. Dia masih tidak percaya dengan foto-foto yang menampilkan wajah putri cantiknya.“Iya, Ummi, tenang aja. Seperti yang Ustaz katakan, jika kita menutup aib orang lain kelak di akhirat Allah akan menutup aib kita, Ummi,” ucapnya dengan begitu sopan.“Masyaallah, betul Kang,”Ummi Sarah kagum dengan respon Rois tersebut. Sempat terpikir ingin menjodohkan Selina dengan pemuda itu tetapi usianya jauh di bawah Selina.Selepas ashar, Ummi Sarah langsung menghampiri Selina yang baru saja pulang mengajar. Selina terlihat sudah mandi dan tengah duduk seperti biasa di meja belajar sembari memainkan kelopak bunga mawar warna-warni dalam vas bunga kaca.“Ummi boleh masuk?” ujar Ummi Sarah di ambang pintu kamarnya.“Ya,” jawab Selina singkat.“Ummi ingin bicara denganmu,”“Ya, bicaralah!” “Ummi percaya padamu. Tapi Ummi hanya ingin kamu menjelaskan soal fo
Ummi Sarah menarik nafas dalam setelah melihat foto-foto Selina yang dia peroleh dari tangan Ceu Sari. Dilihatnya lekat-lekat foto tersebut satu per satu. Betul memang foto tersebut foto-foto Selina. Namun lelaki yang bersamanya tidak terlihat wajahnya. Hanya terlihat saja tubuhnya yang menjulang tinggi.“Bagaimana Ummi? Foto itu fitnah bukan?” seru wanita yang melempar foto tersebut ke arahnya. Lalu dia pergi meninggalkan kerumunan.“Sepertinya telah terjadi kesalahpahaman. Silahkan bubar kalian semua!” seru Ummi Sarah pasrah pada para orang tua santri. Mereka tidak bisa diajak kompromi lagi terlebih adanya foto-foto tersebut yang semakin membuat spekulasi yang di luar kendali. Ummi Sarah langsung melambaikan tangannya pada Rois, menyuruhnya untuk membubarkan mereka setelah membawa anak mereka.Beberapa anak menolak dijemput oleh ke dua orang tua mereka. Bahkan ada yang sampai menangis tak ingin pulang karena sudah betah tinggal di pesantren. Mereka berlarian pada Ummi Sarah, mencium
“Ceu, Ummi mau mendatangi mereka saja,” ucap Ummi Sarah seraya merapikan kerudungnya. Perlahan, Ummi Sarah menggerakan tangannya untuk menarik knop pintu rumah. Saat pintu terbuka tampaklah pemandangan para orang tua murid santri kelas tsanawiyah atau setingkat SMP tengah berkerumun di halaman rumah. Mereka langsung mendelik pada pintu dan menatap Ummi Sarah dengan tatapan yang tajam. “Ummi, saya mau mencabut anak saya dari pondok. Namanya Syamsul Hamid,” seru salah satu ayah santri. “Saya juga mau menjemput anak saya, Putri Annisa Lavina,” “Sebentar, sebentar, mohon maaf Ayah dan Bunda. Mari masuk terlebih dahulu. Kita bicara di dalam,” tawar Ummi Sarah bersikap sopan. Yang benar saja, mereka mengobrol masih di halaman itu pun dalam keadaan berdiri. “Tidak! Kami tidak sudi masuk ke rumah Anda, Ummi,” pekik salah satu orang tua murid yang lain. “Iya, jangan banyak basa-basi! Sudahlah jangan munafik kalau jadi orang! Saya sebagai orang tua murid sangat kecewa pada Ummi dan Ustaz
Sambungan telepon dari Davendra Diraya kembali terdengar di telinga Selina. Gegas, Selina menyambar ponselnya dengan kecepatan sepersekian detik. Terlihat sangat bersemangat. Tanpa ba-bi-bu Dave berucap salam lalu mengatakan maksud pembicaraannya yang tertunda.[Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku … suka sama kamu, Sel! Aku jatuh cinta padamu. Aku ingin melamarmu,] ucap Dave dengan serius.[Apa?]Selina yang mendengar perkataan Dave via telepon benar-benar terkejut. Tak percaya jika memang dokter yang menjelma guardian angel yang selalu menolongnya tersebut menyatakan cinta padanya. Dia mengipasi wajahnya yang bersemu merah beberapa kali.[Maukah kamu menerima cintaku? Kamu tidak perlu menjawab sekarang. Aku bersedia menunggu. Jika kamu bersedia, aku akan merasa menjadi seorang lelaki yang paling beruntung di dunia ini. Aku akan melamarmu langsung pada Abahmu, kalau perlu hari ini juga,] katanya begitu bersemangat.[Um … ][Baiklah, kamu pasti syok aku menembakmu melalui sambungan te