***
Setelah berlatih pedang dengan Duke Roland pagi itu, Yuno kembali ke kamar dengan diantar dua orang pelayan yang dimintai tolong untuk membawakan makanan dan handuk hangat.
“Tidak ingin langsung mandi saja, Pangeran?” Tanya pelayan itu memastikan.
“Tidak perlu.”
Yuno meminta para pelayan untuk tidak perlu repot-repot masuk, ia membawa nampan berisi makanan dengan kedua tangannya dan handuk di bahunya.
“Hai Isaac! Apa kabarmu?”
“Sialan, aku kelaparan.” Balas Isaac setelah Yuno menutup dan mengunci pintunya.
“Eh apa ini? Kondisimu membaik?”
“Entahlah, sejak pagi tadi aku sudah bisa duduk.” Terang Isaac sambil menggeser posisi duduknya ke depan, memperlihatkan kalau dia tidak sedang bersandar dengan bantal.
Yuno melebarkan tangannya, lalu bergaya melutut di hadapan Isaac.
“Selamat atas kesembuhanmu, Pangeran.”
“Oi oi apa itu? Kau seperti mengejekku.”
“Ah tentu tidak. Bahkan kerajaan pasti menginginkan Pangeran yang asli untuk sembuh, bukan?”
“Oh begitu?”
Pangeran memperhatian Yuno dari atas ke bawah, ia juga menyadari kalau Yuno bernapas berat dengan pakaian yang kotor dan tingkahnya terlihat kesal.
“Jadi, ada hal baik apa pagi ini?”
“Baiklah Isaac, kau menang. Tapi sebelum itu kau makanlah dulu.” Ucap Yuno sambil menunjuk ke arah nampan yang diletakkannya di samping kasur Isaac.
“Aku mau mandi dulu. Para pelayan bisa saja curiga kalau ada Pangeran dekil yang tak mau mandi.”
“Bukankah itu berarti kau mengakui dirimu sendiri dekil?”
“Berisik!”
“Hahahahahaha!”
Yuno keluar dari kamar untuk berjalan menuju pemandian. Tetapi karena dia lupa meminta para pelayan menunggunya sebentar di luar kamar, juga karena pikirannya sedang teralihkan setelah bicara dengan Isaac barusan, ia tak sadar kalau kakinya melangkah sendiri menuju pemandian yang ia gunakan kemarin. Di pemandian itu secara tak sengaja, ia bertemu lagi dengan Duke Roland.
“Hei, bocah! Kau sebegitu ingin dekat-dekat denganku apa?”
「Astaga sialnyaa!」
「Kalau aku lari darinya, sama saja dengan mengizinkan orang ini terus menggangguku. Selain itu aku tidak bisa melimpahkan beban ini nanti kalau-kalau dia bertemu dengan Isaac, Pangeran yang asli.」
“Eh-ehmm, tentu saja Tuan Roland! Mana mungkin aku menyia-nyiakan waktu di mana mungkin aku bisa melayangkan satu pukulan ke wajahmu.” Ucap Yuno dengan wajah bangga yang sedikit ragu-ragu.
「Wah aku bisa, pasti bisa. Sekalipun dia adalah Duke, tetapi posisi kami berdua bisa dianggap setara. Dia tidak boleh tiba-tiba emosi dan meluapkannya kepada seorang Pangeran.」
“Huh! Begitu ya?” Duke Roland menggaruki janggutnya.
“Terserahmu saja.”
“Kalau begitu, aku permisii~” Yuno menyeret tubuhnya masuk ke salah satu sisi pemandian yang cukup jauh dari tempat Duke Roland berada.
「Aah, menenangkan.」
「Tetapi tidak terduga juga, ya? Tua bangka itu tidak mengamuk? Kupikir dengan ucapan seperti itu paling tidak bisa membuat dahi keriputnya semakin berlipat? 」
Siang itu, pemandian hanya diisi oleh mereka berdua, karena kebanyakan bangsawan mandi di pagi dan sore hari, juga sesekali di waktu malam menuju pagi.
Duke Roland bangkit dari dalam pemandian, berdiri dan mulai menyelimuti tubuhnya dengan handuk.
「Woah, tubuhnya memang terlihat kekar dan parah. Dia pernah ikut perang apa ya?」
Tubuh Duke Roland terlihat tegap dengan beberapa bekas luka panjang mirip sayatan pedang, tetapi sepertinya itu adalah bekas luka bertahun-tahun silam.
Dengan proporsi fisik yang seimbang dan tegap, tidak mengherankan kalau dia juga terampil dalam berpedang. Duke Roland berbisik kepada salah satu pelayan, lalu pelayan itu mengangguk seperti ‘setuju dan mengerti’ kemudian berjalan mendekati Yuno.
“Kalau begitu sampai jumpa beberapa hari lagi, bocah! Kau tidak akan sempat mandi lain kali!”
“Tidak akan Tua Bangka!”
Untungnya Duke Roland sudah berlalu meninggalkan pemandian, meskipun sedikit gema teriakan Yuno mungkin sempat terdengar olehnya. Pelayan yang dibisiki sesuatu tadi oleh Duke Roland melapor kepada Yuno, yang mana membuatnya cukup terkejut.
“Hah? Sejak kapan aku mengatur pertemuan dengannya lagi? Selain itu berpedang? Kalau bicara soal cara menebang pohon atau berburu aku masih sanggup!”
“Saat tadi Pangeran menantang Duke Roland ketika baru sampai di pemandian.” Pelayan itu mengingatkan Yuno tentang kejadian sebelumnya.
“ASTAGA YANG ITU?”
“Kalau begini jadinya aku tidak boleh sampai membiarkan Isaac ambil bagian untuk dihajar olehnya.”
“Isaac... Pangeran...?” Pelayan itu bingung mengartikan maksud Pangeran menyebut namanya sendiri.
“Ahh bukan apa-apa! Selain itu bisa kah kau membantuku memakai baju tidur dari handuk ini?” Pinta Yuno sembari menunjuk sebuah jubah mandi yang dilipat di atas sebuah meja.
“Baju... tidur...?”
“Ah aku minta maaf. Hari ini aku terlalu lelah hingga melupakan banyak hal penting. Mungkin aku akan langsung kembali ke kamar saja.”
Pelayan itu membantu Yuno memakai dan mengikat jubah mandi yang tadi ia sebutkan. Kemudian ia berpakaian di ruang ganti dengan sebuah pakaian biasa, yang meskipun masih terlihat mahal.
“Ini sepertinya lumayan? Aku tidak bisa tahan dengan pakaian aneh yang ornamennya begitu berat dan mengikat.”
“Tolong setelah ini bawakan makanan dan obat yang biasa aku minum, ya! Kemudian bawakan satu lagi makanan biasa ke kamarku juga. Aku pikir aku cukup lapar setelah hari yang melelahkan ini.”
Yuno berjalan menuju kamar untuk menemui Isaac. Setelah ia membuka pintu dan menguncinya, Isaac menyapanya seperti biasa.
“Hei, Yuno! Akhirnya kau cukup wangi hari ini, ya?”
“Apa maksudmu aku selalu membawa bau yang tidak enak?”
“Tidak-tidak, namun sesekali baunya seperti walang sangit.”
“Kurang ajar.”
Yuno duduk di tepi kasur dan melihat ke arah nampan yang tadi sempat diletakkannya sebelum pergi mandi.
“Kau tidak menghabiskannya?”
Isaac menggeleng, membuat Yuno sedikit kesal sendiri.
“Yahh, begini lah tingkah bangsawan yang hidupnya selalu enak. Kami rakyat jelata bahkan harus menjilati piring karena sehari bisa saja hanya makan setengah mangkuk kecil.”
Yuno mencoba menyindir Isaac dengan mengangkat setengah kedua tangannya ke samping, kemudian menutup mata dan menggeleng-gelengkan pelan kepalanya. Isaac yang merasa kesal karena dia pada awalnya cukup sering tidak menghabiskan makanan menjadi tertantang dan membalas Yuno.
“Baik, berikan makanan itu padaku. Akan aku habiskan sekarang juga.”
Tok tok tok...
“Pangeran! Makanan yang anda pintai tadi sudah kami bawakan!” Ucap seorang pelayan dari balik pintu.
“Kebetulan sekali! Kau belum sarapan juga kan tadi? Astaga bagaimana bisa kalian melewatkan makanan seenak ini? Aku bahkan hanya bisa makan daging kering saat tidak ada yang bisa diburu di hutan.”
Yuno berjalan menuju meja dan mengambil kunci pintu.
“Membeli di pasar? Jangan bercanda. Harga daging bisa untuk membeli sekeranjang gandum kau tahu?” Lanjutnya lagi ketika Isaac hampir menyeletuk soal ‘kenapa tidak beli di pasar saja. Mulut Isaac tadi bahkan sudah terbuka dan hampir mengeluarkan suara.
Yuno membuka pintu, mengambil dua nampan dari pelayan itu, lalu menuju meja di dekat tempat tidur.
“Ayo kau habiskan. Bubur yang ini masih hangat.” Yuno memberikan mangkuk dan sendok kepada Isaac. “Aku juga akan ikut makan, jadi jangan banyak protes,” sambungnya lagi
“Ya ampun. Banyak mengatur.”
“Orang yang sakit tidak boleh banyak protes. Belajarlah cara berdiri dan melompat, lalu aku akan membiarkanmu memukul wajahku untuk tiga kali percobaan.”
“Aku akan benar-benar menantikan itu.”
Yuno tidak membalas dan sibuk mengunyah daging yang terlihat sangat nikmat itu.
“Ngomong-ngomong, kau tidak akan mengelak, kan?”
“Tentu tidak.”
“Sepertinya kau cukup baik.”
“Jangan salah sangka. Aku tidak menghindar pun kau tidak akan bisa melayangkan satu pukulan ke arahku.”
“Sialan.”
“Tapi sebelum itu, aku harus menghajar si Tua Bangka terlebih dahulu.”
***“Ahh aku sungguh lelah!”“Ada apa sobat?”Yuno berjalan menuju kasur besar nan mewah Isaac. Terdapat empat bantal dengan selimut raksasa yang membentang di atasnya, juga ornamen di bagian sandaran depannya yang terlihat mahal. Yuno duduk di tepi dan bergaya meninju salah satu bantal Isaac yang tidak terpakai.“Ahhh!”“Biar kutebak! Kau habis uhuk... dimarahi?”“Kau sepertinya tidak perlu menebak untuk hal ini.”“Benar juga, semua kan sesuai dugaanku.” Isaac berlagak mengusap janggutnya yang sama sekali belum tumbuh.“Ibumu sang Ratu alias nyonya besar, memarahiku cuma gara-gara aku memakan ikan dengan tangan!”Isaac memiringkan kepalanya tanda kebingungan.“Lalu?”“Aku sudah mencuci tangan! Lagi pula duri ikan itu sangat banyak! Bagaimana bisa aku makan sementara tanganku sibuk dengan sepasang sendok da
***”Hei, Yuno! Bangun!”Isaac menggoyang-goyangkan tubuh Yuno yang tidur dengan posisi tak beraturan di sampingnya. Kedua kaki Yuno melekuk seperti capit kepiting yang menghadap ke belakang, tangan kanannya terangkat tinggi ke atas, sedangkan tangan kirinya tertindih dengan tubuhnya sendiri.“Astaga anak ini. Tapi ya aku tak bisa menyalahkannya.” Ia berbicara sendiri sambil menggaruk-garuk kepalanya. Meskipun ini adalah kali pertama anak desa itu bisa tidur di kasur, kasur mewah pula, dia tidak mungkin akan bangun dengan nyenyak apabila tidur seperti itu.“Hoaaaammmm....”“Kau sudah sadar?”Yuno menggosok-gosok kedua matanya lalu merekahkan tangannya seperti orang-orang kebanyakan yang baru bangun tidur. Dia memutar punggungnya ke kanan dan kiri, kemudian meluruskannya kembali, membuat beberapa sendi tulangnya terdengar berbunyi krak.“HEI HEI APAAN ITU?” Isaac yang tak terb
***“Waah! Seperti yang diharapkan dari ibu kota kerajaan!” Puji seorang anak laki-laki yang sedang berkeliling menikmati sekeliling wilayah pasar.“Whoopss, wohooow!” Anak itu melompat di antara kotak-kotak makanan, bergaya seperti monyet yang kegirangan melihat taman bermain. Tapi herannya, tidak ada yang berani menegur apalagi memarahinya. Orang-orang malah memandangi anak itu dengan tatapan ganjil, boleh jadi mereka bingung kenapa ada anak pedesaan tak tahu adab yang bisa mampir ke ibu kota.Dia menikmati acara jalan-jalan itu dengan uang koinnya yang sangat sedikit, namun di lain sisi berharap bisa mencicipi semua makanan yang dijual di pasar itu.“Ah terima kasih!” Ucapnya ketika salah satu pedagang buah memberinya sebuah apel gratis, atau begitu lah yang dia pikirkan. Anak itu lupa membayar dan pergi menyelonong begitu saja. Ia lupa diri karena dulu di desanya tidak ada pemandangan yang seperti ini. Kemudian ia m
***Yuno mengusap matanya kuat-kuat tak percaya. Ia memandangi lukisan mahal raksasa yang tergantung di depan matanya itu dengan tatapan yang serius, bahkan jika diperhatian urat di kepalanya terlihat sedikit menonjol. Tentu bukan pertanda marah, tekanan darahnya naik karena campuran perasaan bingung, terkejut, gelisah, dan kebahagiaan mendadak.Apa lagi yang bisa dipikirkan remaja pedesaan mengetahui fakta kalau kerajaan ini punya seorang putra mahkota yang sangat mirip dengannya, atau bahkan sebenarnya adalah dia sendiri? Seperti cerita pangeran yang diadopsi keluarga miskin karena konflik internal, lalu kembali untuk merebut tahtanya. Jantung Yuno berdegup begitu cepat, salah-salah dia bisa terkena serangan jantung dini.“Lapor, Ratu! Persiapan pemandian untuk Tuan Muda sudah selesai!” Sekelompok pelayan yang tadi berlari atas perintah Ratu sudah kembali dan berlutut di hadapannya.“Nah sayang. Cepatlah mandi lalu berpakaian. Kita aka
***“Perhatian sikapmu, ya...”“Tenang saja, aku mengerti!”Yuno mengambil kunci dari dalam rak yang diberitahukan Isaac, kemudian berjalan keluar untuk menemui pelayan yang memanggilnya, atau sebenarnya Isaac tadi. Yuno mematikan obor agar pelayan tidak bisa mengintip dan mengetahui rahasia di antara mereka. Setelah ia membalikkan badan, mengunci kamar, serta memastikan semuanya aman, dia mengikuti pelayan itu menuju aula pesta.“Silakan ikuti saya, Pangeran!” Ucapnya. Yuno dikawal dengan tiga penjaga berbadan besar tanpa zirah lengkap seperti yang mengejarnya tadi pagi.「Mungkin mereka ini adalah pengawal pribadi? Mereka telihat macam mantan pembunuh? Sepertinya begitu.」「Semoga saja orang macam mereka tidak menyadari perbedaan terhadap siapa yang mereka kawal saat ini.」Yuno cukup beruntung mengingat tidak ada yang benar-benar menyadari keanehan pada Pangeran, kecuali mungkin sikap Yuno yang sama
***“Pangeran! Ada gerangan apa yang membuat Pangeran sendiri menghampiri kami kemari?”“Apa kami semua akan ditahan?”“Ampuni kami Pangeran. A-aku, aku punya istri dan anak yang masih menunggu di rumah. Aku sudah berjanji untuk pulang pagi ini dan bermain bersamanya hingga sore!”“Pangeran kumohon ampuni kami!”“Hmm? Kalian kenapa? Sebentar, aku mau mencoba saus ini dulu.” Ucap Yuno tanpa menghiraukan kekhawatiran berlebihan para pelayan itu.“WOAHH GILA! SAUS INI HEBAT SEKALI!”NGAAP!“A- anu, Pangeran?”“Hah, ya?”Gluk gluk gluk gluk...Yuno baru saja menyelesaikan sepotong daging dan minuman yang diteguknya, lalu berjalan ke salah satu meja di ruangan itu.“Aku kelaparan...” Jawabnya santai.“Maksud Pangeran?” Tanya seorang koki dengan wajah yang kebingungan.&ldqu
***Yuno tiba ke istana pukul tiga pagi, ketika semua orang masih tidur dan beristirahat. Dia diantar oleh dua ksatria yang dimintai tolong oleh Chaplin, kepala koki yang baru ia temui tengah malam tadi. Keadaan istana masih sepi, hanya beberapa kali terlihat penjaga yang berpatroli dan lolongan anjing yang mengisi kesunyian. Yuno masuk ke kamar Pangeran lalu menyalakan lampu minyak di dekat meja.Isaac masih terlihat tidur, tetapi dahinya yang mengerinyit berlapis-lapis terlihat berkeringat. Jelas bisa diketahui kalau penyakit itu benar-benar menyiksanya. Yuno mengunci pintu kamar untuk berjaga-jaga kalau ada penjaga atau keluarga kerajaan yang mencoba masuk atau mengintip mereka. Ia kemudian mencoba tidur di sebuah sofa panjang yang ada di sisi lain kamar mewah itu.Keesokan harinya, Yuno terbangun oleh gedoran pintu dari luar. Ia segera menyahut dan buru-buru merapikan pakaiannya yang tidak sempat ia ganti dengan baju tidur. Meskipun anak itu sebenarnya tidak
***”Hei, Yuno! Bangun!”Isaac menggoyang-goyangkan tubuh Yuno yang tidur dengan posisi tak beraturan di sampingnya. Kedua kaki Yuno melekuk seperti capit kepiting yang menghadap ke belakang, tangan kanannya terangkat tinggi ke atas, sedangkan tangan kirinya tertindih dengan tubuhnya sendiri.“Astaga anak ini. Tapi ya aku tak bisa menyalahkannya.” Ia berbicara sendiri sambil menggaruk-garuk kepalanya. Meskipun ini adalah kali pertama anak desa itu bisa tidur di kasur, kasur mewah pula, dia tidak mungkin akan bangun dengan nyenyak apabila tidur seperti itu.“Hoaaaammmm....”“Kau sudah sadar?”Yuno menggosok-gosok kedua matanya lalu merekahkan tangannya seperti orang-orang kebanyakan yang baru bangun tidur. Dia memutar punggungnya ke kanan dan kiri, kemudian meluruskannya kembali, membuat beberapa sendi tulangnya terdengar berbunyi krak.“HEI HEI APAAN ITU?” Isaac yang tak terb
***“Ahh aku sungguh lelah!”“Ada apa sobat?”Yuno berjalan menuju kasur besar nan mewah Isaac. Terdapat empat bantal dengan selimut raksasa yang membentang di atasnya, juga ornamen di bagian sandaran depannya yang terlihat mahal. Yuno duduk di tepi dan bergaya meninju salah satu bantal Isaac yang tidak terpakai.“Ahhh!”“Biar kutebak! Kau habis uhuk... dimarahi?”“Kau sepertinya tidak perlu menebak untuk hal ini.”“Benar juga, semua kan sesuai dugaanku.” Isaac berlagak mengusap janggutnya yang sama sekali belum tumbuh.“Ibumu sang Ratu alias nyonya besar, memarahiku cuma gara-gara aku memakan ikan dengan tangan!”Isaac memiringkan kepalanya tanda kebingungan.“Lalu?”“Aku sudah mencuci tangan! Lagi pula duri ikan itu sangat banyak! Bagaimana bisa aku makan sementara tanganku sibuk dengan sepasang sendok da
***Setelah berlatih pedang dengan Duke Roland pagi itu, Yuno kembali ke kamar dengan diantar dua orang pelayan yang dimintai tolong untuk membawakan makanan dan handuk hangat.“Tidak ingin langsung mandi saja, Pangeran?” Tanya pelayan itu memastikan.“Tidak perlu.”Yuno meminta para pelayan untuk tidak perlu repot-repot masuk, ia membawa nampan berisi makanan dengan kedua tangannya dan handuk di bahunya.“Hai Isaac! Apa kabarmu?”“Sialan, aku kelaparan.” Balas Isaac setelah Yuno menutup dan mengunci pintunya.“Eh apa ini? Kondisimu membaik?”“Entahlah, sejak pagi tadi aku sudah bisa duduk.” Terang Isaac sambil menggeser posisi duduknya ke depan, memperlihatkan kalau dia tidak sedang bersandar dengan bantal.Yuno melebarkan tangannya, lalu bergaya melutut di hadapan Isaac.“Selamat atas kesembuhanmu, Pangeran.”“Oi oi
***Yuno tiba ke istana pukul tiga pagi, ketika semua orang masih tidur dan beristirahat. Dia diantar oleh dua ksatria yang dimintai tolong oleh Chaplin, kepala koki yang baru ia temui tengah malam tadi. Keadaan istana masih sepi, hanya beberapa kali terlihat penjaga yang berpatroli dan lolongan anjing yang mengisi kesunyian. Yuno masuk ke kamar Pangeran lalu menyalakan lampu minyak di dekat meja.Isaac masih terlihat tidur, tetapi dahinya yang mengerinyit berlapis-lapis terlihat berkeringat. Jelas bisa diketahui kalau penyakit itu benar-benar menyiksanya. Yuno mengunci pintu kamar untuk berjaga-jaga kalau ada penjaga atau keluarga kerajaan yang mencoba masuk atau mengintip mereka. Ia kemudian mencoba tidur di sebuah sofa panjang yang ada di sisi lain kamar mewah itu.Keesokan harinya, Yuno terbangun oleh gedoran pintu dari luar. Ia segera menyahut dan buru-buru merapikan pakaiannya yang tidak sempat ia ganti dengan baju tidur. Meskipun anak itu sebenarnya tidak
***“Pangeran! Ada gerangan apa yang membuat Pangeran sendiri menghampiri kami kemari?”“Apa kami semua akan ditahan?”“Ampuni kami Pangeran. A-aku, aku punya istri dan anak yang masih menunggu di rumah. Aku sudah berjanji untuk pulang pagi ini dan bermain bersamanya hingga sore!”“Pangeran kumohon ampuni kami!”“Hmm? Kalian kenapa? Sebentar, aku mau mencoba saus ini dulu.” Ucap Yuno tanpa menghiraukan kekhawatiran berlebihan para pelayan itu.“WOAHH GILA! SAUS INI HEBAT SEKALI!”NGAAP!“A- anu, Pangeran?”“Hah, ya?”Gluk gluk gluk gluk...Yuno baru saja menyelesaikan sepotong daging dan minuman yang diteguknya, lalu berjalan ke salah satu meja di ruangan itu.“Aku kelaparan...” Jawabnya santai.“Maksud Pangeran?” Tanya seorang koki dengan wajah yang kebingungan.&ldqu
***“Perhatian sikapmu, ya...”“Tenang saja, aku mengerti!”Yuno mengambil kunci dari dalam rak yang diberitahukan Isaac, kemudian berjalan keluar untuk menemui pelayan yang memanggilnya, atau sebenarnya Isaac tadi. Yuno mematikan obor agar pelayan tidak bisa mengintip dan mengetahui rahasia di antara mereka. Setelah ia membalikkan badan, mengunci kamar, serta memastikan semuanya aman, dia mengikuti pelayan itu menuju aula pesta.“Silakan ikuti saya, Pangeran!” Ucapnya. Yuno dikawal dengan tiga penjaga berbadan besar tanpa zirah lengkap seperti yang mengejarnya tadi pagi.「Mungkin mereka ini adalah pengawal pribadi? Mereka telihat macam mantan pembunuh? Sepertinya begitu.」「Semoga saja orang macam mereka tidak menyadari perbedaan terhadap siapa yang mereka kawal saat ini.」Yuno cukup beruntung mengingat tidak ada yang benar-benar menyadari keanehan pada Pangeran, kecuali mungkin sikap Yuno yang sama
***Yuno mengusap matanya kuat-kuat tak percaya. Ia memandangi lukisan mahal raksasa yang tergantung di depan matanya itu dengan tatapan yang serius, bahkan jika diperhatian urat di kepalanya terlihat sedikit menonjol. Tentu bukan pertanda marah, tekanan darahnya naik karena campuran perasaan bingung, terkejut, gelisah, dan kebahagiaan mendadak.Apa lagi yang bisa dipikirkan remaja pedesaan mengetahui fakta kalau kerajaan ini punya seorang putra mahkota yang sangat mirip dengannya, atau bahkan sebenarnya adalah dia sendiri? Seperti cerita pangeran yang diadopsi keluarga miskin karena konflik internal, lalu kembali untuk merebut tahtanya. Jantung Yuno berdegup begitu cepat, salah-salah dia bisa terkena serangan jantung dini.“Lapor, Ratu! Persiapan pemandian untuk Tuan Muda sudah selesai!” Sekelompok pelayan yang tadi berlari atas perintah Ratu sudah kembali dan berlutut di hadapannya.“Nah sayang. Cepatlah mandi lalu berpakaian. Kita aka
***“Waah! Seperti yang diharapkan dari ibu kota kerajaan!” Puji seorang anak laki-laki yang sedang berkeliling menikmati sekeliling wilayah pasar.“Whoopss, wohooow!” Anak itu melompat di antara kotak-kotak makanan, bergaya seperti monyet yang kegirangan melihat taman bermain. Tapi herannya, tidak ada yang berani menegur apalagi memarahinya. Orang-orang malah memandangi anak itu dengan tatapan ganjil, boleh jadi mereka bingung kenapa ada anak pedesaan tak tahu adab yang bisa mampir ke ibu kota.Dia menikmati acara jalan-jalan itu dengan uang koinnya yang sangat sedikit, namun di lain sisi berharap bisa mencicipi semua makanan yang dijual di pasar itu.“Ah terima kasih!” Ucapnya ketika salah satu pedagang buah memberinya sebuah apel gratis, atau begitu lah yang dia pikirkan. Anak itu lupa membayar dan pergi menyelonong begitu saja. Ia lupa diri karena dulu di desanya tidak ada pemandangan yang seperti ini. Kemudian ia m