***
Yuno mengusap matanya kuat-kuat tak percaya. Ia memandangi lukisan mahal raksasa yang tergantung di depan matanya itu dengan tatapan yang serius, bahkan jika diperhatian urat di kepalanya terlihat sedikit menonjol. Tentu bukan pertanda marah, tekanan darahnya naik karena campuran perasaan bingung, terkejut, gelisah, dan kebahagiaan mendadak.
Apa lagi yang bisa dipikirkan remaja pedesaan mengetahui fakta kalau kerajaan ini punya seorang putra mahkota yang sangat mirip dengannya, atau bahkan sebenarnya adalah dia sendiri? Seperti cerita pangeran yang diadopsi keluarga miskin karena konflik internal, lalu kembali untuk merebut tahtanya. Jantung Yuno berdegup begitu cepat, salah-salah dia bisa terkena serangan jantung dini.
“Lapor, Ratu! Persiapan pemandian untuk Tuan Muda sudah selesai!” Sekelompok pelayan yang tadi berlari atas perintah Ratu sudah kembali dan berlutut di hadapannya.
“Nah sayang. Cepatlah mandi lalu berpakaian. Kita akan merayakan kesembuhanmu malam ini!” Ucap wanita yang dipanggil Ratu itu. Dia terlihat masih terkejut tapi cukup lihai dalam menyembunyikan kecemasannya, nada suaranya juga terdengar begitu bersemangat.
“Ah ah, baik Ibu—“
“HMM?” Ratu masih tidak ingin mentoleransi panggilan itu terhadapnya. Dia menajamkan kedua alis lebatnya, membuat wajah bau uang itu terlihat marah.
“I-i, Ibunda...” Koreksi Yuno sesudahnya. Ia benar-benar tidak terbiasa dengan banyaknya hal baru yang ia rasakan hari ini.
“Silakan ikuti kami, Tuan Muda.”
Yuno dikawal empat belas pelayan perempuan dan dua orang ksatria. Mereka bersama menuju pemandian luas yang terletak di area lain istana ini. Sepertinya tempat orang-orang berkumpul tadi adalah semacam aula terbuka yang biasa digunakan Raja untuk berpidato dari bawah.
“Ah tidak perlu, aku bisa melakukannya sendirian.” Ucap Yuno ketika salah satu pelayan mendekati dan mencoba membuka pakaiannya. Setelah hanya tinggal celana lusuh yang ia kenakan, Yuno diam sambil memperhatikan pelayan yang mengelilinginya.
“Emm, kalian kenapa masih di sini?”
Para pelayan itu memandangi satu sama lain karena kebingungan dengan ucapan Yuno. “Mohon maaf pangeran, ‘kenapa’ maksud pangeran itu, apa?” Tanya seseorang di antara mereka setelah memberanikan diri berbicara.
“Kenapa kalian belum pergi? Tentu kalian tidak berpikir mau menggosok punggungku atau mengoleskan tubuhku dengan sabun yang wangi bukan?” Yuno memastikan pemikiran tanggungnya.
“I-ya. Bukankah seharusnya memang begitu paduka?”
“Su-sungguh?”
“Ah ya ampun. Tidak perlu sampai sebegitunya, aku bisa mandi sendiri kok.” Ucap Yuno menolak para pelayan yang sudah menunggunya.
“Tapi pangeran. Ratu akan marah ketika mengetahui kalau misalnya nanti pangeran tidak mandi dengan bersih.” Balas mereka dengan nada penuh kekhawatiran.
Yuno memperhatikan sekelilingnya, sebuah kolam raksasa dengan berbagai peralatan mandi dan handuk yang bermacam-macam. Yuno kemudian bertanya kepada salah satu pelayan, “Ini akan kupakai semua?”
“Tentu saja pangeran. Kesempurnaan harus menyertai anggota keluarga kerajaan apapun yang terjadi.”
「Mampus, aku sama sekali tidak tahu bagaimana cara menggunakan peralatan mandi mewah ini.」
「Eh tunggu? Mewah? Ini semua hanyalah peralan aneh. Apa apaan selang berbentuk belalai gajah yang mengeluarkan air dari lubangnya itu kemudian benda aneh seperti nanas di sana?」
「Memangnya ada berapa banyak sabun yang dipakai anggota keluarga kerajaan saat mandi? Kemudian kendi-kendi wangi itu? Astaga!」
「Kalau aku bertingkah sendirian dan ketahuan sebagai penipu. Hidupku akan berakhir hari ini juga. Pasrah saja lah...」
Yuno membiarkan pelayan tersebut memandikannya. Untunglah secara fisik Yuno benar-benar tidak punya perbedaan yang mencurigakan. Sepertinya para pelayan yang biasa memandikan pangeran sebelumnya juga tidak menaruh perasaan aneh ketika melihat tubuh Yuno. Setelah mandi, Yuno diminta untuk mengenakan pakaian formal acara penting kerajaan yang terdiri dari beberapa lapis kain, ikat pinggang, jubah, bahkan aksesoris memusingkan lainnya.
Yuno yang kewalahan dengan semua hal baru ini meminta diantarkan ke kamarnya untuk beristirahat sejenak.
***
“Astaga yang benar saja? Apa seorang pangeran selalu mendapat perlakuan yang merepotkan seperti ini?” Ucap Yuno setelah memastikan ksatria yang mengantarkannya ke kamar tidak tinggal dan berjaga di depan pintu.
“Uhuk uhuk. Ya... Sepertinya uhuk.... Kau benar...” Celetuk seorang sambil terbatuk dari ranjang yang berada di tengah ruangan.
“SIAPA DI SANA!?” Suara itu membuat Yuno terkejut dan melompat ke belakang. Kemudian perlahan ia memperhatikan ada pemuda yang tertidur di balik selimut di sana.
“Kauu...”
“Seperti dugaanku... aku sudah menduga, uhuk... kenapa semua orang terdengar begitu berisik dari tadi...” Orang itu berbicara dengan kesusahan.
“Kau pangeran yang asli!”
“Ya benar... tapi sebelum itu... bisakah kau membantuku duduk? Tubuhku begitu lemas...”
Yuno mengangkat tubuh pangeran itu perlahan, kemudian menyandarkan sebuah bantal di belakang tubuhnya. Dia juga mencari air untuk membantu pangeran itu berbicara, Yuno berpikir kalau pangeran itu sedang sakit tenggorokan.
“Ah terima kasih... tapi kuberikan sebuah informasi untukmu... aku tidak sakit tenggorokan sama sekali...”
“Lalu kenapa bicaramu terdengar patah-patah?”
“Sudah lima tahun aku... terserang penyakit ini... dokter mengatakan kalau penyakit ini... menggerogoti sari kehidupanku...”
“Sungguh? Selama itu? Kau baik-baik saja?” Tanya Yuno mengkhawatirkannya.
“Tentu saja tidak bodoh... aku bisa mati kapan saja...”
“Ma-maaf, Paduka.”
“Sudahlah, tidak perlu hormat begitu... Pangeran...”
“Oh sungguh aku minta maaf. Kau boleh menjatuhkan hukuman apapun kepadaku, mau membunuhku juga silakan. Tapi kumohon jangan sentuh keluargaku, mereka tidak tahu apa-apa.”
“Kau bahkan memohon atas nyawamu... di depan orang yang sedang... sedang sekarat ya...?”
“I-ya.” Jawabnya terbata-bata.
“Tenang saja... Aku tidak akan memberitahu siapapun...”
“Oh syukurlah—“
“Tetapi...” Pangeran tiba-tiba memotong ucapan Yuno.
“Tetapi?”
“Kau... harus sering datang ke sini... dan menceritakan kepadaku bagaiamana... keadaan kerajaan di luar sana...” Pintanya sebagai syarat tutup mulut itu.
“Tentu saja.”
Sementara itu, Yuno dan Pangeran berbicara panjang mengenai bagaimana ia bisa disangka sebagai Pangeran. Pangeran yang asli sedikit tertawa, namun penyakit itu menyiksanya ketika ia bergerak berlebihan.
“Jangan paksakan dirimu.” Yuno membantu membaringkan Pangeran kembali ke posisi tidurnya.
“Ah ya.”
“Ngomong-ngomong, namamu siapa? Aku takut kalau ketika ada yang memanggil Pangeran tetapi aku tidak menoleh sama sekali.”
“Sebenarnya sesekali... bangsawan harus bersikap sedikit sombong... atau akan ada banyak orang... yang datang menjilatimu...”
“O-Oh be-begitu...” Yuno berbicara dengan nada prihatin. “Kehidupan kalian begitu menyusahkan, ya?” Celetuknya tiba-tiba.
Pangeran tertawa pelan mendengarnya, lalu menjawab pertanyaan Yuno, “Namaku adalah Isaac, Isaac Adalrich.”
“Aku Yuno, Yuno Khebra. Senang mengenalmu Isaac.”
“Aku juga, Yuno. Jangan lupakan janjimu, ya”
“Tenang saja.”
***
“Pangeran! Yang lainnya sudah menunggu di ruang jamuan! Mohon agar Pangeran segera bersiap!” Ucap seseorang dari balik pintu.
“Pergilah...”
“Baik, Pangeran.”
“Sudah kubilang jangan... memanggilku begitu...”
“Baik, Isaac.” Yuno melangkah ke arah pintu dan bersiap membukanya.
“Ah tunggu...” Ucap Isaac menginterupsi sesaat. “Ada kunci yang terletak di dalam rak di samping tempat tidur... ketika kita berdua berada di dalam istana... kau kunci saja pintunya...”
“Dimengerti!”
***“Perhatian sikapmu, ya...”“Tenang saja, aku mengerti!”Yuno mengambil kunci dari dalam rak yang diberitahukan Isaac, kemudian berjalan keluar untuk menemui pelayan yang memanggilnya, atau sebenarnya Isaac tadi. Yuno mematikan obor agar pelayan tidak bisa mengintip dan mengetahui rahasia di antara mereka. Setelah ia membalikkan badan, mengunci kamar, serta memastikan semuanya aman, dia mengikuti pelayan itu menuju aula pesta.“Silakan ikuti saya, Pangeran!” Ucapnya. Yuno dikawal dengan tiga penjaga berbadan besar tanpa zirah lengkap seperti yang mengejarnya tadi pagi.「Mungkin mereka ini adalah pengawal pribadi? Mereka telihat macam mantan pembunuh? Sepertinya begitu.」「Semoga saja orang macam mereka tidak menyadari perbedaan terhadap siapa yang mereka kawal saat ini.」Yuno cukup beruntung mengingat tidak ada yang benar-benar menyadari keanehan pada Pangeran, kecuali mungkin sikap Yuno yang sama
***“Pangeran! Ada gerangan apa yang membuat Pangeran sendiri menghampiri kami kemari?”“Apa kami semua akan ditahan?”“Ampuni kami Pangeran. A-aku, aku punya istri dan anak yang masih menunggu di rumah. Aku sudah berjanji untuk pulang pagi ini dan bermain bersamanya hingga sore!”“Pangeran kumohon ampuni kami!”“Hmm? Kalian kenapa? Sebentar, aku mau mencoba saus ini dulu.” Ucap Yuno tanpa menghiraukan kekhawatiran berlebihan para pelayan itu.“WOAHH GILA! SAUS INI HEBAT SEKALI!”NGAAP!“A- anu, Pangeran?”“Hah, ya?”Gluk gluk gluk gluk...Yuno baru saja menyelesaikan sepotong daging dan minuman yang diteguknya, lalu berjalan ke salah satu meja di ruangan itu.“Aku kelaparan...” Jawabnya santai.“Maksud Pangeran?” Tanya seorang koki dengan wajah yang kebingungan.&ldqu
***Yuno tiba ke istana pukul tiga pagi, ketika semua orang masih tidur dan beristirahat. Dia diantar oleh dua ksatria yang dimintai tolong oleh Chaplin, kepala koki yang baru ia temui tengah malam tadi. Keadaan istana masih sepi, hanya beberapa kali terlihat penjaga yang berpatroli dan lolongan anjing yang mengisi kesunyian. Yuno masuk ke kamar Pangeran lalu menyalakan lampu minyak di dekat meja.Isaac masih terlihat tidur, tetapi dahinya yang mengerinyit berlapis-lapis terlihat berkeringat. Jelas bisa diketahui kalau penyakit itu benar-benar menyiksanya. Yuno mengunci pintu kamar untuk berjaga-jaga kalau ada penjaga atau keluarga kerajaan yang mencoba masuk atau mengintip mereka. Ia kemudian mencoba tidur di sebuah sofa panjang yang ada di sisi lain kamar mewah itu.Keesokan harinya, Yuno terbangun oleh gedoran pintu dari luar. Ia segera menyahut dan buru-buru merapikan pakaiannya yang tidak sempat ia ganti dengan baju tidur. Meskipun anak itu sebenarnya tidak
***Setelah berlatih pedang dengan Duke Roland pagi itu, Yuno kembali ke kamar dengan diantar dua orang pelayan yang dimintai tolong untuk membawakan makanan dan handuk hangat.“Tidak ingin langsung mandi saja, Pangeran?” Tanya pelayan itu memastikan.“Tidak perlu.”Yuno meminta para pelayan untuk tidak perlu repot-repot masuk, ia membawa nampan berisi makanan dengan kedua tangannya dan handuk di bahunya.“Hai Isaac! Apa kabarmu?”“Sialan, aku kelaparan.” Balas Isaac setelah Yuno menutup dan mengunci pintunya.“Eh apa ini? Kondisimu membaik?”“Entahlah, sejak pagi tadi aku sudah bisa duduk.” Terang Isaac sambil menggeser posisi duduknya ke depan, memperlihatkan kalau dia tidak sedang bersandar dengan bantal.Yuno melebarkan tangannya, lalu bergaya melutut di hadapan Isaac.“Selamat atas kesembuhanmu, Pangeran.”“Oi oi
***“Ahh aku sungguh lelah!”“Ada apa sobat?”Yuno berjalan menuju kasur besar nan mewah Isaac. Terdapat empat bantal dengan selimut raksasa yang membentang di atasnya, juga ornamen di bagian sandaran depannya yang terlihat mahal. Yuno duduk di tepi dan bergaya meninju salah satu bantal Isaac yang tidak terpakai.“Ahhh!”“Biar kutebak! Kau habis uhuk... dimarahi?”“Kau sepertinya tidak perlu menebak untuk hal ini.”“Benar juga, semua kan sesuai dugaanku.” Isaac berlagak mengusap janggutnya yang sama sekali belum tumbuh.“Ibumu sang Ratu alias nyonya besar, memarahiku cuma gara-gara aku memakan ikan dengan tangan!”Isaac memiringkan kepalanya tanda kebingungan.“Lalu?”“Aku sudah mencuci tangan! Lagi pula duri ikan itu sangat banyak! Bagaimana bisa aku makan sementara tanganku sibuk dengan sepasang sendok da
***”Hei, Yuno! Bangun!”Isaac menggoyang-goyangkan tubuh Yuno yang tidur dengan posisi tak beraturan di sampingnya. Kedua kaki Yuno melekuk seperti capit kepiting yang menghadap ke belakang, tangan kanannya terangkat tinggi ke atas, sedangkan tangan kirinya tertindih dengan tubuhnya sendiri.“Astaga anak ini. Tapi ya aku tak bisa menyalahkannya.” Ia berbicara sendiri sambil menggaruk-garuk kepalanya. Meskipun ini adalah kali pertama anak desa itu bisa tidur di kasur, kasur mewah pula, dia tidak mungkin akan bangun dengan nyenyak apabila tidur seperti itu.“Hoaaaammmm....”“Kau sudah sadar?”Yuno menggosok-gosok kedua matanya lalu merekahkan tangannya seperti orang-orang kebanyakan yang baru bangun tidur. Dia memutar punggungnya ke kanan dan kiri, kemudian meluruskannya kembali, membuat beberapa sendi tulangnya terdengar berbunyi krak.“HEI HEI APAAN ITU?” Isaac yang tak terb
***“Waah! Seperti yang diharapkan dari ibu kota kerajaan!” Puji seorang anak laki-laki yang sedang berkeliling menikmati sekeliling wilayah pasar.“Whoopss, wohooow!” Anak itu melompat di antara kotak-kotak makanan, bergaya seperti monyet yang kegirangan melihat taman bermain. Tapi herannya, tidak ada yang berani menegur apalagi memarahinya. Orang-orang malah memandangi anak itu dengan tatapan ganjil, boleh jadi mereka bingung kenapa ada anak pedesaan tak tahu adab yang bisa mampir ke ibu kota.Dia menikmati acara jalan-jalan itu dengan uang koinnya yang sangat sedikit, namun di lain sisi berharap bisa mencicipi semua makanan yang dijual di pasar itu.“Ah terima kasih!” Ucapnya ketika salah satu pedagang buah memberinya sebuah apel gratis, atau begitu lah yang dia pikirkan. Anak itu lupa membayar dan pergi menyelonong begitu saja. Ia lupa diri karena dulu di desanya tidak ada pemandangan yang seperti ini. Kemudian ia m
***”Hei, Yuno! Bangun!”Isaac menggoyang-goyangkan tubuh Yuno yang tidur dengan posisi tak beraturan di sampingnya. Kedua kaki Yuno melekuk seperti capit kepiting yang menghadap ke belakang, tangan kanannya terangkat tinggi ke atas, sedangkan tangan kirinya tertindih dengan tubuhnya sendiri.“Astaga anak ini. Tapi ya aku tak bisa menyalahkannya.” Ia berbicara sendiri sambil menggaruk-garuk kepalanya. Meskipun ini adalah kali pertama anak desa itu bisa tidur di kasur, kasur mewah pula, dia tidak mungkin akan bangun dengan nyenyak apabila tidur seperti itu.“Hoaaaammmm....”“Kau sudah sadar?”Yuno menggosok-gosok kedua matanya lalu merekahkan tangannya seperti orang-orang kebanyakan yang baru bangun tidur. Dia memutar punggungnya ke kanan dan kiri, kemudian meluruskannya kembali, membuat beberapa sendi tulangnya terdengar berbunyi krak.“HEI HEI APAAN ITU?” Isaac yang tak terb
***“Ahh aku sungguh lelah!”“Ada apa sobat?”Yuno berjalan menuju kasur besar nan mewah Isaac. Terdapat empat bantal dengan selimut raksasa yang membentang di atasnya, juga ornamen di bagian sandaran depannya yang terlihat mahal. Yuno duduk di tepi dan bergaya meninju salah satu bantal Isaac yang tidak terpakai.“Ahhh!”“Biar kutebak! Kau habis uhuk... dimarahi?”“Kau sepertinya tidak perlu menebak untuk hal ini.”“Benar juga, semua kan sesuai dugaanku.” Isaac berlagak mengusap janggutnya yang sama sekali belum tumbuh.“Ibumu sang Ratu alias nyonya besar, memarahiku cuma gara-gara aku memakan ikan dengan tangan!”Isaac memiringkan kepalanya tanda kebingungan.“Lalu?”“Aku sudah mencuci tangan! Lagi pula duri ikan itu sangat banyak! Bagaimana bisa aku makan sementara tanganku sibuk dengan sepasang sendok da
***Setelah berlatih pedang dengan Duke Roland pagi itu, Yuno kembali ke kamar dengan diantar dua orang pelayan yang dimintai tolong untuk membawakan makanan dan handuk hangat.“Tidak ingin langsung mandi saja, Pangeran?” Tanya pelayan itu memastikan.“Tidak perlu.”Yuno meminta para pelayan untuk tidak perlu repot-repot masuk, ia membawa nampan berisi makanan dengan kedua tangannya dan handuk di bahunya.“Hai Isaac! Apa kabarmu?”“Sialan, aku kelaparan.” Balas Isaac setelah Yuno menutup dan mengunci pintunya.“Eh apa ini? Kondisimu membaik?”“Entahlah, sejak pagi tadi aku sudah bisa duduk.” Terang Isaac sambil menggeser posisi duduknya ke depan, memperlihatkan kalau dia tidak sedang bersandar dengan bantal.Yuno melebarkan tangannya, lalu bergaya melutut di hadapan Isaac.“Selamat atas kesembuhanmu, Pangeran.”“Oi oi
***Yuno tiba ke istana pukul tiga pagi, ketika semua orang masih tidur dan beristirahat. Dia diantar oleh dua ksatria yang dimintai tolong oleh Chaplin, kepala koki yang baru ia temui tengah malam tadi. Keadaan istana masih sepi, hanya beberapa kali terlihat penjaga yang berpatroli dan lolongan anjing yang mengisi kesunyian. Yuno masuk ke kamar Pangeran lalu menyalakan lampu minyak di dekat meja.Isaac masih terlihat tidur, tetapi dahinya yang mengerinyit berlapis-lapis terlihat berkeringat. Jelas bisa diketahui kalau penyakit itu benar-benar menyiksanya. Yuno mengunci pintu kamar untuk berjaga-jaga kalau ada penjaga atau keluarga kerajaan yang mencoba masuk atau mengintip mereka. Ia kemudian mencoba tidur di sebuah sofa panjang yang ada di sisi lain kamar mewah itu.Keesokan harinya, Yuno terbangun oleh gedoran pintu dari luar. Ia segera menyahut dan buru-buru merapikan pakaiannya yang tidak sempat ia ganti dengan baju tidur. Meskipun anak itu sebenarnya tidak
***“Pangeran! Ada gerangan apa yang membuat Pangeran sendiri menghampiri kami kemari?”“Apa kami semua akan ditahan?”“Ampuni kami Pangeran. A-aku, aku punya istri dan anak yang masih menunggu di rumah. Aku sudah berjanji untuk pulang pagi ini dan bermain bersamanya hingga sore!”“Pangeran kumohon ampuni kami!”“Hmm? Kalian kenapa? Sebentar, aku mau mencoba saus ini dulu.” Ucap Yuno tanpa menghiraukan kekhawatiran berlebihan para pelayan itu.“WOAHH GILA! SAUS INI HEBAT SEKALI!”NGAAP!“A- anu, Pangeran?”“Hah, ya?”Gluk gluk gluk gluk...Yuno baru saja menyelesaikan sepotong daging dan minuman yang diteguknya, lalu berjalan ke salah satu meja di ruangan itu.“Aku kelaparan...” Jawabnya santai.“Maksud Pangeran?” Tanya seorang koki dengan wajah yang kebingungan.&ldqu
***“Perhatian sikapmu, ya...”“Tenang saja, aku mengerti!”Yuno mengambil kunci dari dalam rak yang diberitahukan Isaac, kemudian berjalan keluar untuk menemui pelayan yang memanggilnya, atau sebenarnya Isaac tadi. Yuno mematikan obor agar pelayan tidak bisa mengintip dan mengetahui rahasia di antara mereka. Setelah ia membalikkan badan, mengunci kamar, serta memastikan semuanya aman, dia mengikuti pelayan itu menuju aula pesta.“Silakan ikuti saya, Pangeran!” Ucapnya. Yuno dikawal dengan tiga penjaga berbadan besar tanpa zirah lengkap seperti yang mengejarnya tadi pagi.「Mungkin mereka ini adalah pengawal pribadi? Mereka telihat macam mantan pembunuh? Sepertinya begitu.」「Semoga saja orang macam mereka tidak menyadari perbedaan terhadap siapa yang mereka kawal saat ini.」Yuno cukup beruntung mengingat tidak ada yang benar-benar menyadari keanehan pada Pangeran, kecuali mungkin sikap Yuno yang sama
***Yuno mengusap matanya kuat-kuat tak percaya. Ia memandangi lukisan mahal raksasa yang tergantung di depan matanya itu dengan tatapan yang serius, bahkan jika diperhatian urat di kepalanya terlihat sedikit menonjol. Tentu bukan pertanda marah, tekanan darahnya naik karena campuran perasaan bingung, terkejut, gelisah, dan kebahagiaan mendadak.Apa lagi yang bisa dipikirkan remaja pedesaan mengetahui fakta kalau kerajaan ini punya seorang putra mahkota yang sangat mirip dengannya, atau bahkan sebenarnya adalah dia sendiri? Seperti cerita pangeran yang diadopsi keluarga miskin karena konflik internal, lalu kembali untuk merebut tahtanya. Jantung Yuno berdegup begitu cepat, salah-salah dia bisa terkena serangan jantung dini.“Lapor, Ratu! Persiapan pemandian untuk Tuan Muda sudah selesai!” Sekelompok pelayan yang tadi berlari atas perintah Ratu sudah kembali dan berlutut di hadapannya.“Nah sayang. Cepatlah mandi lalu berpakaian. Kita aka
***“Waah! Seperti yang diharapkan dari ibu kota kerajaan!” Puji seorang anak laki-laki yang sedang berkeliling menikmati sekeliling wilayah pasar.“Whoopss, wohooow!” Anak itu melompat di antara kotak-kotak makanan, bergaya seperti monyet yang kegirangan melihat taman bermain. Tapi herannya, tidak ada yang berani menegur apalagi memarahinya. Orang-orang malah memandangi anak itu dengan tatapan ganjil, boleh jadi mereka bingung kenapa ada anak pedesaan tak tahu adab yang bisa mampir ke ibu kota.Dia menikmati acara jalan-jalan itu dengan uang koinnya yang sangat sedikit, namun di lain sisi berharap bisa mencicipi semua makanan yang dijual di pasar itu.“Ah terima kasih!” Ucapnya ketika salah satu pedagang buah memberinya sebuah apel gratis, atau begitu lah yang dia pikirkan. Anak itu lupa membayar dan pergi menyelonong begitu saja. Ia lupa diri karena dulu di desanya tidak ada pemandangan yang seperti ini. Kemudian ia m