Aku masih tidak merasa lega sama sekali setelah keluar dari toko buku itu. Aku menaiki Bus damri yang agak penuh sedikit mengurangi ketakutanku. Aku merasa ada yang menatapku intens. Aku mencoba tidak menghiraukan perasaan cemas dan menyumbat kedua telingaku dengan headset yang tersambung ke ponsel. Mungkin, dengan mendengarkan musik perasaanku bisa lebih tenang.
Aku menghela nafas lega saat tiba di depan sebuah rumah berwarna abu- abu dengan banyaknya taman, membuat rumah tercintaku ini terkesan asri. Aku bergegas masuk dan merebahkan tubuh di atas ranjang. Akhirnya aku bisa bernafas lega karena terhindar dari keanehan di toko buku tadi. Aku berharap ini semua segera berakhir agar aku dapat menjalani hidup dengan tenang.
Aku meraih ponsel dari dalam tas. Betapa terkejutnya aku saat melihat jumlah pesan dan puluhan panggilan dari nomor lelaki pemilik kamera itu. Aku membuka salah satu pesan terbaru.
Pemilik kamera : Aku sudah ada di depan rumahmu.
Satu pesan yang membuat mataku hampir copot. Aku melihat waktu pengiriman, 10 menit yang lalu. Aku tidak janjian dengannya kenapa dia bisa ada disini? Aku berjalan menuju balkon. Seorang laki- laki berdiri tepat di depan pagar rumah. Astaga! Bagaimana kalau mama dan papa tahu kalau anaknya sudah membuat masalah. Tanpa berpikir panjang lagi, aku segera meraih ponsel, kemudian turun dengan tergesa menuju laki- laki itu sebelum orang rumah mengetahui keberadaanku.
“Fifi ! Kamu mau kemana lagi?” Suara Mama menghentikan langkahku.
Jangan panik, tenang Fidela.
Aku menarik nafas dan memutar tubuhku. “Aku ada urusan sebentar, Ma.” ucapku dengan mantap. Mama menatapku dengan tatapan meneliti, mencoba mencari kebenaran dari ucapanku.
Ponselku berdering kembali membuat pikiranku semakin kacau. Kulirik sebuah pesan yang masuk ke dalam ponselku itu.
Pemilik kamera : Apa saya harus masuk.
Itu bukan pertanyaan melainkan pernyataan sebuah ancaman, Aku mengetik balasannya sebelum dia nekat masuk.
Me : Nggak usah Pak, aku keluar sekarang.
Sebuah deheman menyadarkanku bahwa mama masih disini. Aku mengalihkan pandanganku ke arah mama. “Kenapa masih di sini Fi, katanya ada urusan?” Pertanyaan mama membuat otakku berjalan lambat.
“Ah iya… ya,” cengengesan tidak jelas, “Ya udah gitu aku pamit Ma.”
“Hati-hati!”
“Iya, Ma!”
Mataku langsung menemukan sosoknya saat membuka pintu rumahku. Laki- laki tinggi berdiri di depan pagar, dia mengenakan kemeja biru dongker bergaris dengan lengan kemeja yang dilipat sampai sikut, kemejanya itu dipadukan dengan celana jeans biru dan rambutnya tampak rapi sepertinya menggunakan jel rambut, sehingga dari kejauhan terlihat berkelap kelip bagaikan terdapat bintang di rambutnya. Akan tetapi, itulah yang menambah ketampanan lelaki itu.
“Ikut aku. Kita nggak bisa bicara di sini,” ucapku berjalan melewatinya.
Namun, dia menarik lenganku di depan mobilnya, “Ayo naik!”
“Kita cuma ke taman deket sini.” Aku berbalik menarik lengannya, tapi dia bergeming.
“Tapi, mobilnya gimana?”
Aku memutar tubuh menghela nafas menahan kesel, “Biarkan mobilmu disitu, komplek ini aman nggak ada yang mau nyuri mobil kamu.”
Meneruskan langkahku menuju taman. Dia menghela nafas gusar tapi, mengikuti langkahku menuju taman komplek.
“Dari mana kamu bisa tau rumahku ?” Aku langsung bertanya padanya begitu dia duduk di kursi bagian kosong yang berada sebelahku. Kursi panjang yang kami tengah tempati ini tampak sejuk karena dilindungi oleh pohon yang cukup rindang untuk menahan panasnya sinar matahari yang dapat membakar kulit.
“Taman ini indah juga.” Komentarnya sembari melirik ke seluruh penjuru taman komplek.
Aku akui, komentar laki- laki ini memang benar. Taman komplek dijaga dengan sangat baik. Bunga berwarna- warni tumbuh di taman ini, ditambah dengan pepohonan rindang yang membuat taman ini tampak sejuk. Terdapat jalan setapak untuk berjalan menikmati udara segar maupun untuk berjoging mengelilingi taman. Atau kita bisa juga sekedar duduk bersantai di kursi panjang yang tersebar di taman ini. Taman ini lengkap dengan lapangan berumput yang tidak cukup besar untuk bermain anak- anak kecil.
“Dari mana kamu bisa tau rumahku?” Aku mengulang pertanyaan itu.
“Dengan identitas ini. Kartu identitas ini memudahkanku untuk mencarimu.”
Dia memperlihatkan kartu identitas kampus yang kuberikan kepadanya saat itu dan bodohnya aku baru menyadarinya. Dia bisa bertanya kepada teman sekelasku, dosen atau entah lah dia bisa berada disini aku tidak memikirkannya, tapi identitas itu, astaga betapa cerobohnya aku melupakan identitas penting. Aku meraih kartu yang berada ditangannya. Namun, dengan gesit dia menjauhkan tangannya, lalu memasukan kartu itu ke dalam saku kemejanya.
Menyebalkan! Aku di buat kesal oleh dua orang sekaligus hari ini.
“Aku datang kemari untuk menagih janjimu,” ucapnya sembari menatapku dengan tajam.
“Sekarang juga?” tanyaku panik. Dia menganguk mantap.
Aduh, aku tidak punya uang sebesar itu sekarang.
“Aku pasti menggantinya, tapi beri aku waktu untuk mengganti kamera itu,” ucapku memelas. Ia tampak berpikir sejenak.
“Beri aku waktu.” Menatapnya memasang muka memalas, aku ingin tahu seberapa baik laki- laki di hadapnku ini.
“Baiklah, Aku akan memberimu waktu.” Senyumku merekah mendengar pernyataannya. “Hanya 3 hari.” Mataku terbelalak Senyumku langsung hilang saat itu juga.
Dasar lelaki sombong! Bagaimana bisa, aku mendapatkan uang dalam waktu sesempit itu? Aku sempat mencari tahu tentang kamera yang kupecahkan itu dan harganya sangat menakjubkan. Kamera terbaik dan termahal.
“Kalau sampai kamu nggak bisa menganti kamera itu dalam waktu yang ditentukan. nggak masalah, tapi saya akan memebicarakannya pada kepala dosen bahwa mahasisiwinya membuat onar,” ucapnya, sembari menaikan sebelah alis. Mataku melotot untuk kesekian kalinya.
Astaga lelaki ini benar- benar sombong, percuma tampan tapi, tidak punya hati sama sekali. Hhuu.
“Bagaimana?” Dia masih menatapku tajam.
Aku menghela nafas, “Baiklah, tapi aku bisa nego jadi seminggu atau sebulan?”
“Nggak.”
“Tapi…”
“Nggak ada.” Aku menghela nafas gusar. Astaga laki- laki sombong!
******
Dua bulan lalu Rombongan pencinta alam telah sampai di ranca upas tempat para pecinta alam lainnya. Kami semua briefing membagi tugas mendirikan tenda, memasak, dan aku kebagian mencari ranting bersama Azka dan beberapa teman lainnya. Aku, Azka, dan Ismi teman satu sekolah semasa SMA, tetapi kami bertiga berbeda kelas. Kami kenal saat mengikuti ekskul yang sama sampai kuliah pun kami masih menyempatkan mengikuti kegiatan pencinta alam di SMA kami dulu untuk menjaga silaturahmi dan kesolidaritasan. “Fifi, jangan jauh- jauh nanti ilang! ” Peringatan Azka. “Iya ya aku deket- deket kamu deh.” Aku akui ini pertama kali mengikuti kemping di ranca upas, karena kesibukanku sebagai mahasiswi Arsitek yang selalu lembur di semester 5 ini. Aku mengikuti Azka, tiba- tiba lelaki itu hilang dari pandanganku. Seseorang mengenakan pakaian hitam menabrakku hingga terjatuh ke atas tanah, dan membuat ranting- ranting pohon yang sudah kukumpulkan berserakan. “Aduh!” Aku meringis kesakitan karena b
Tepukan keras pada pundak mengembalikanku ke dunia yang aku pijak saat ini. Hal pertama yang tertangkap oleh kedua mataku, adalah wajah laki- laki tampan tengah tersenyum manis padaku. Langkahnya yang lebar menyamai langkahku yang setengah berlari menuju kelas. “Azka! Kamu telat juga?” Aku melangkahkan kaki dengan sesekali meliriknya. Udara sejuk di pagi hari tidak terasa oleh tubuhku yang panas akibat berlari menuju kelas. Entah mengapa, akhir- akhir ini aku sering kesiangan. Hampir setiap malam aku tidak bisa tidur, karena bayangan hitam itu selalu menghantuiku. Semenjak pulang dari kemping bayangan itu mulai menghantuiku dan saat kejadian itu. “Motor gue mogok, jadi gue harus dorong ke bengkel terus terpaksa naik angkot yang super penuh,” jawabnya dengan wajah yang berkeringat. Dia memakai kaos yang dipadukan dengan jaket dan itu cukup casual. Dia adalah Azka Prayoga teman SMA dan sekarang sekampus, laki- laki putih, wajah lonjong dengan gaya rambut seperti berantakan, tetapi
Aku mondar-mandir di dalam kamar dan sesekali melirik tumpukan uang yang berserakan di atas tempat tidur. Pikiranku kalut. Hari berganti dengan cepat dan hari ini adalah waktu perjanjian itu berakhir. Yang artinya, aku harus mengumpulkan uang untuk mengganti kamera yang kupecahkan. Aku terus menghitung uang yang terkumpul, jumlah uang milikku hanya seperempat dari harga kamera itu atau mungkin lebih sedikit dari itu. Tabunganku sudah habis tidak tersisa. Tidak ada pilihan lain, selain menegosiasi dengan laki-laki itu. Tidak mungkin aku memintanya pada Mama dan Papa mereka bisa curiga aku meminta uang sebanyak itu. Aku sangat stress memikirkan itu semua.Menghempaskan tubuhku di atas ranjang karena kakiku terasa pegal akibat mondar- mandir. Suara ponsel menandakan pesan masuk. Kuraih ponsel yang berada di atas nakas di sebelah kananku. Deg, begitu membaca tulisan yang tertera pada layar ponselku,’cowo menyebalkan’. Itulah nama kontak laki-laki pemilik kamera itu. Refleks, aku langsung
“Pekerjaan kamu belum selesai, jadi sekarang ikut saya.” Dia menyeretku masuk ke dalam mobilnya Yang bisa kulakukan hanya duduk di jok penumpang dengan pasrah, aku hanya bisa pasrah menerima perlakuan lelaki disampingku ini. Aku duduk dengan tidak nyaman di dalam mobil kijang milik lelaki di sebelahku yang tampak tengah mengemudi. Sebagai hiburan aku menatap ke hadapanku dan memperhatikan jalannan yang cukup padat hingga menimbulkan kemacetan. Ponselku berdering, merongoh tas mencari ponsel yang terus berdering.“Iya, Ka?“ ucapku setelah mengeser ikon untuk menerima panggilan dari Ka Irfan.“Gimana bisa nggak?” Suara Ka Irfan terdengar kecil dengan latar yang berisik, sepertinya masih di kampus. Aku melirik laki- laki itu yang foku menyetir sebelum menjawab.“Maaf Ka, kayanya nggak bisa, aku ada urusan. Ini juga lagi di jalan.” Terdengar helaan nafas di ujung sambungan. Pasti Ka Irfan kecewa.“Ya udah deh nggak pa- pa, hati- hati ya.”“Iya ka, makasih.” Dia menjawab iya sebelum sambu
Suara seseorang memanggil namaku sembari mengguncangkan tubuhku, membuatku merasa tengah terjadi gempa bumi. Aku membuka mataku dengan perlahan dan berusaha mencari tahu siapa yang membangunkanku.“Ada apa, Ma? Aku masih mengantuk.” Aku menguling ke arah lain dan meneruskan tidurku setelah tahu Mama lah yang membangunkanku, lagi pula ini hari minggu.“Kenapa kamu tidur disini? Mama cari di kamar nggak ada, yang ada kamarmu berantakan.” Kejadian semalam dan sosok itu membuatku ketakutan. Sehingga mataku tidak dapat terpejam, tubuhku gemetar dengan jantung yang terus berdetak kencang, semakin membuatku tidak dapat memejamkan kedua mataku. Sampai pukul tiga pagi, mataku mulai lelah dan sekarang Mama membangunkanku dari tidur.Mama tidak menyerah. Beliau menarik selimut yang melilit tubuhku. “Ini sudah pukul Sembilan. Ayo bangun! Anak gadis nggak baik bangun siang.” Suara Mama terdengar sayup- sayup.Nyawaku perlahan masuk kembali ke alam mimpi, namun aku merasa tidak asing dengan waktu y
Hembusan hawa dingin membuat tubuhku mengigil. Hujan turun semakin deras sejak sejam yang lalu. Tidak ada tanda- tanda akan berhenti menjebakku di halte ini, terdapat seorang bapak berbadan gempal dan lelaki bertopi duduk di ujung bangku. Keanehan semakin terlihat setelah bapak yang duduk di dekatku beranjak pergi menembus hujan hanya melindungi kepalanya dengan jaket dan meninggalkanku berdua bersama lelaki bertopi yang tengah menatapku tajam. Aku tidak mungkin hanya perasaanku saja sudah jelas aku memergokinya tengah menatapku, walaupun setelah itu buru-buru dia memalingkan wajahnya kea rah lain.Dan sekarang lelaki itu berjalan menghampiriku. Aku mengalihkan perasaanku yang semakin gelisah pada ponsel yang mati kehabisan bateri. Mencoba menyalakannya siapa tahu ada beberapa persen bateri untuk menghubungi seseorang agar terhindar dari lelaki itu.Tap…. Tap…Suara sepatu hitam mengkilap terlihat dari ujung mataku semakin mendekat. Detak jantungku berdetak cepat, Aku menekan call pad
Helaan nafas yang bisa aku keluarkan saat ini, otakku tidak fokus pada objek di hadapanku. Seperti biasa Dosen itu menyuruhku ini itu membuat aku benar – benar kerepotan, tapi untuk beberapa saat aku ingin mengistirahatkan tubuhku. Aku menyandarkan punggung lalu memejamkan mata sejenak mumpung Dosen itu pergi. Pikiran masalah dengan Ismi semakin mempengaruhiku. Dia benar- benar marah.Kemari sore Di perjalanan aku asik pada ponsel menanggapi curhatan Ismi tentang Azka yang membuatnya semakin menyukai lelaki tengah menyetir di sampingku ini. Dengan semangat yang mengebu Ismi menceritakan kebahagiaannya minggu kemarin Azka mengjaknya ke tempat pagelaran seni tempat dimana Azka bermain dan kali ini Azka menonton teman- temannya bermain menemani ismi. Dan dia sempat di perkenalkan pada para pemain, setelah itu mereka keliling kota bandung dengan motor gede milik azka. Membaca cerita ismi di sms dapatku bayangkan beta bahagianya pergi bersam aorang yang kita sukai, aku membayangkan Reiki
Satu bulan sudah Ismi marah padaku entahlah dengan cara apa lagi aku harus meyakinkannya, bahwa aku sama sekali tidak menghianatinya. Aku mendesah, menggelengkan kepala menghapus kesedihankku mulai fokus pada benda yang ada dihadapanku.“Pensil, pengaris, tabung, binder, sketchbook A3, penghapus, parut/cutter, drawing pen, pensil warna, rapido, dan pensil mekanik.” Aku mengabsen keperluan yang harus dibawa hari ini. Aku tidak pernah berfikir akan mempunyai masalah seperti ini dengan sahabatku selama bertahun-tahun.Ketukan pada pintu mengalihkan tatapanku pada tas berisi penuh dengan peralatan, mbok surti hanya menyembulkan kepalanya, sebagian tubuhnya bersembunyi di balik pintu. “Non, sarapan sudah siap.”“sebentar lagi aku ke bawah mbok.” Kembali menatap tas memasukan sebagian peralatan ke dalamnya.“ya sudah mbok ke bawah dulu.” Aku menganguk sebagai jawabannya. Sebuah suara berdebam pintu pertanda mbok telah menjauh dari kamar. Hari ini aku sengaja bangun agak pagi, memngingat ada
Reiki berdiri menarik kursinya lebih dekat denganku, tanpa menatap sekeliling kafe yang menatap ke meja kamu penasaran.“Aku pastikan dulu, perempuan yang mana yang kamu maksud?” Reiki menatapku serius.Aku balik menatapnya, “Perempuan yang di rumah sakit, saat aku masih menjadi asisten pribadimu dan kamu mendapat telepon dari rumah sakit. Dan di situ aku melihatmu mesra bersama dengan perempuan itu, siapa dia?”Reiki tersenyum geli, apa yang lucu? Kenapa ekspresinya seperti itu?“Jadi, kamu nguntit?” Tatap Reiki selidik masih tersenyum geli menghiasi bibirnya.Pelayan datang membawa pesanan kami berdua, aku menghela nafas menyiapkan jawabnku. “Nggak, aku mau jawaban bukan pertanyaan.” Aku mulai menyesap minuman untuk menyembunyikan nada salah tingkah, kenapa dia malah menyerangku? Apa salahnya dia jawab tidak perlu berbelit- belit seperti itu.Reiki mengangkat tangan yang terdapat jam tangan, lalu menatapku lagi. Kali ini wajah tersenyum gelinya hilang. “Sekarang kita harus ke kan
2 tahun kemudian“Fidela!” teriakan Mama mengema di setiap penjuru rumah. Ini sudah ke sekian kalinya mama berteriak.“Iya, Ma sebentar,” teriakku. Supaya mama mendengar dan tidak berteriak lagi. Dengan kedua tangan membereskan berkas yang harus di bawa ke kantor. Setelah aku di nyatakan sembuh, aku bangkit dengan bantuan orang terdekatku sebagai pil semangat untukku. Aku mencoba melamar ke berbagai perusahaan dan akhirnya aku mendapatkan pekerjaan di salah satu perusahaan di Bandung. Jelas aku bahagia.“Cepat, Reiki udah nunggu tuh,” suara Mama bersamaan tubuhnya masuk ke dalam kamarku.Kami mulai dekat kembali, Reiki selalu mengantarku pergi ke kantor yang sama dengannya. Itu kebetulan yang menyenangkan, ternyata Reiki bekerja di sana sebagai senior Arsitektur. Setelah keluar dari pekerjaannya di Jakarta Reiki cuti untuk mencariku kembali, dan tanpa di duga kami bertemu di halaman kampus menyebabkan kameranya hancur. Itu alasan dia menerima tawaran pamannya yang meminta tolong menga
Aku membuka mata begitu merasakan guncangan pada tubuh semakin kencang. Hal pertama yang aku lihat adalah kegelapan yang menyelimutiku. Aku buru- buru bangun dari posisi tidur untuk duduk dan melihat sekitar. Namun, rasa pening menyerang. Kenapa aku ada di dalam mobil ? Aku berusaha mengingat kejadian sebelumnya dan kilasan kejadian yang terjadi di rumahku terus bermunculan. Satu yang aku ingat sebelum aku tak sadarkan diri adalah aku di bawa oleh Azka.“Azka!”Aku mencari keberadaan Azka. Namun, tak ada siapapun disini. Yang ada hanya pepohonan yang rindang tanpa cahaya satu pun. Gelap.Aku meraba saku jeans, mengambil ponsel. Menyalakannya. Puluhan pesan dan panggilan tak terjawab menyerbu.Ismi : Fidela kamu dimana?Reiki : Dela, tolong angkat teleponnyaMama : Kamu dimana sayang?Papa : Fidela, telepon papa, NakDan banyak lagi pesan – pesan yang muncul. Aku pun tidak tahu ini dimana, kalau pun Azka membawaku. Mengapa tidak membawa ke rumah sakit seperti ucapannya? Suara langkah s
Setelah Azka megantarku pulang, aku tidak masuk kedalam rumah melainkan kakiku melangkah menuju garasi mengeluarkan motor matic yang sudah setia menemaniku kemanapun. Aku berniat untuk ke sebuah taman yang berada di sekolah SD ku untuk mencari ketenangan dan mengenang kembali kenang bersamanya. Satu jam kemudian aku telah berada di halaman sekolah memarkirkan motorku di sini yang menjadi tempat favorit beberapa tahun silam saat aku mengunjungi sekolah ini.“Neng Fidela!” Sapa seorang lelaki paruh baya yang telah berdiri di sampingku dengan senyum menghiasi wajahnya. Aku membalas senyumnya sembari menjabat tangannya.“Mang Ujang, bagaimana kabarnya?” Mang Ujang adalah penjaga sekolahku selama ini sejak aku masih duduk di bangku SD beliau masih setia mengabdi pada sekolah ini, walaupun sekarang sudah tidak muda lagi. Tapi, pekerjaannya dapat diandalkan sekolah ini selalu terlihat bersih apa lagi tamannnya.“Alhamdulilah baik, kalau mang Ujang bagaimana?” jawabku, melemparkan pertanyaan
‘Pranngg!!!!!’ Aku terperat menghentikan langkahku yang tinggal beberapa langkah lagi menuju pintu masuk. Seperti suara benda terjatuh, tapi aku sama sekali tidak melihat benda apapun yang terjatuh di sini. Aku terlambat untuk pulang hari ini banyak sekali tugas yang harus aku kerjakan di kampus.Aku memberanikan diri untuk membalikan tubuhku, aku menyapu pandanganku ke berbagai arah, tetapi tidak menemukan seorangpun di sana. Tanpa menghiraukannya, aku kembali melangkahkan kakiku dan memutar handle pintu. Pintu di hadapanku belum terbuka dengan sempurna, tetapi suara benda terjatuh kembali terdengar dan membuat pikiranku memikirkan hal yang macam- macam. Aku menarik nafas, mencoba menghilangkan ketakutan yang semakin menyelimutiku. Aku kembali membalikkan tubuhku, tanpa disangka mataku kembali menemukan bayangan hitam itu. Astaga bayangan itu kembali, tanpa berkata-kata lagi aku membuka pintu, lalu menguncinya. Aku menyandarkan punggungku pada pintu yang telah tertutup rapat, aku m
Kuatur nafas bersamaan dengan gerakan kedua tangan bergerak dalam hitungan kedelapan, kuganti gerakan lainnya sampai semua pemanasan selesai. Setelah itu kulangkahkan kaki dengan gerakan pelan mengelilingi taman komplek, jogging pagi hari ini tubuhku terasa kaku. Semenjak menjadi asisiten dosen itu aku jadi jarang melakukan olahraga di minggu pagi seperti saat ini. Berhubung dosen pemaksa tidak ada aku manfaatkan untuk olahraga seperti biasa, tapi setelah menerima telepon dan ternyata dia ke rumah sakit. Dia tidak masuk beberapa hari kemana dia, kenapa dia? Ah mungkin dia mengurusi pacarnya. Entah mengapa kenyataan itu membuat aku sesak. Apakah itu cinta? Tidak mungkin, akua tidak mungkin menyukai dosen pemaksa itu. Bukannya itu bagus, aku bisa tenang tanpa kehadirannya.“Dela!” Langkah kakiku terdiam seketika, mataku terbelalak, bukannya orang yang selalu memanggiku dengan ‘Dela’ hanya…“Fidela!” Kali ini kubalikan tubuh memperhatikan seseorang yang tengah berjalan ke arahku dengan s
Bangunan bercat putih dihiasi gambar bunga berwarna warni toko ‘beautiful flower’, begitu mendorong pintu kaca memasuki ruangan itu perpaduan harum berbagai bunga menyambut kedatanganku ke toko ini. Sampaan ramah dari penjaga toko pun menyambutku. Namun saat aku menanyakan sesuatu yyang membawaku ke toko ini terdengar derit pintu kaca yang di dorong. Mataku terbelalak seketika melihat siapa yang datang ke toko. Segera aku menyembunyikan diri di balik berbagai bunga yang di jejer rapi. Kemeja tosca yang tadi pagi dia pakai, masih melekat pada tubuhnya dengan sedikit terlihat kerutan di bajunya karena banyaknya pergerakan yang dia timbulkan, tapi tetap terlihat rapi.“Mbak, saya pesan bunga seperti biasa ya,” ucap Reiki pada mbak penjaga toko yang tadi menyapaku. Saat penjaga toko itu pergi memnuhi pesanannya, sedangkan lelaki itu mengambil ponselnya menghubungi seseorang. Aku bersyukur ada tempat yang tidak terlihat dan jarak dengan lelaki itu cukup dekat hingga dapat mendengar percaka
Kukibaskan kertas sketsa pada wajahku hingga menimbulkan angin yang sedikit membuatku tidak terlalu gerah sembari menyembunyikan tubuhku di pos satpam. Kota Bandung tengah hari seperti ini cukup panas, ingin rasanya meminum es campur, segar. Terdengar seorang memanggil namaku, aku mendapati laki- laki putih memakai baju abu- abu panjang hingga terlihat otot bisepnya. Pantas saja Ismi memuja Azka, lelaki ini memang terlihat keren. “Fi, kali ini tolong dengarkan aku.” Kupalingkan wajah menatap kearah lain, cukup melihat kesedihan Ismi hanya sekarang dan tidak lagi menambah sakit hatinya.“Gue ngomong sesuatu sebelum terlambat.” Aku bergeming tidak peduli.“Ini tentang hidupmu.” Lanjutnya tidak menyerah, Aku menoleh menatap matanya terlihat bersungguh- sungguh.Kuhela nafas sebelum berkata, “Oke, katakan Azka.” Senyumnya muncul di wajahnya, terlihat bahagia aku mempercayainya lagi, tapi aku tidak mempercayainya hanya ingin tahu apa yang membuatnya gigih walaupun aku mengacuhkannya beb
Satu bulan sudah Ismi marah padaku entahlah dengan cara apa lagi aku harus meyakinkannya, bahwa aku sama sekali tidak menghianatinya. Aku mendesah, menggelengkan kepala menghapus kesedihankku mulai fokus pada benda yang ada dihadapanku.“Pensil, pengaris, tabung, binder, sketchbook A3, penghapus, parut/cutter, drawing pen, pensil warna, rapido, dan pensil mekanik.” Aku mengabsen keperluan yang harus dibawa hari ini. Aku tidak pernah berfikir akan mempunyai masalah seperti ini dengan sahabatku selama bertahun-tahun.Ketukan pada pintu mengalihkan tatapanku pada tas berisi penuh dengan peralatan, mbok surti hanya menyembulkan kepalanya, sebagian tubuhnya bersembunyi di balik pintu. “Non, sarapan sudah siap.”“sebentar lagi aku ke bawah mbok.” Kembali menatap tas memasukan sebagian peralatan ke dalamnya.“ya sudah mbok ke bawah dulu.” Aku menganguk sebagai jawabannya. Sebuah suara berdebam pintu pertanda mbok telah menjauh dari kamar. Hari ini aku sengaja bangun agak pagi, memngingat ada