Reiki berdiri menarik kursinya lebih dekat denganku, tanpa menatap sekeliling kafe yang menatap ke meja kamu penasaran.“Aku pastikan dulu, perempuan yang mana yang kamu maksud?” Reiki menatapku serius.Aku balik menatapnya, “Perempuan yang di rumah sakit, saat aku masih menjadi asisten pribadimu dan kamu mendapat telepon dari rumah sakit. Dan di situ aku melihatmu mesra bersama dengan perempuan itu, siapa dia?”Reiki tersenyum geli, apa yang lucu? Kenapa ekspresinya seperti itu?“Jadi, kamu nguntit?” Tatap Reiki selidik masih tersenyum geli menghiasi bibirnya.Pelayan datang membawa pesanan kami berdua, aku menghela nafas menyiapkan jawabnku. “Nggak, aku mau jawaban bukan pertanyaan.” Aku mulai menyesap minuman untuk menyembunyikan nada salah tingkah, kenapa dia malah menyerangku? Apa salahnya dia jawab tidak perlu berbelit- belit seperti itu.Reiki mengangkat tangan yang terdapat jam tangan, lalu menatapku lagi. Kali ini wajah tersenyum gelinya hilang. “Sekarang kita harus ke kan
Kehidupan merupakan sebuah misteri yang tak dapat kita ketahui bagaimana skenario yang akan dijalani. Kita hanya bisa berencana dan berdoa. Berharap mendapatkan yang terbaik untuk diri kita.Dua bulan yang lalu. Angin malam yang dingin terasa begitu menusuk kulit. Kueratkan jaket yang membungkus tubuh, sembari terus melangkah secepat yang aku bisa, karena beban yang cukup berat dari ransel besar di punggung memperlambat langkahku. Jalanan yang tampak sunyi, membuat suara sepatuku yang beradu dengan aspal menjadi satu-satunya suara yang mendominasi. Aku tidak berani memandang sekitar, lebih memilih menundukkan kepala dan terus berjalan dengan terburu-buru menuju rumah. Ditengah perjalanan pundak mulai merinding terasa seperti ada yang mengikuti. Dalam keadaan menunduk seperti ini aku bisa melihat bayangan seseorang yang terus mengikuti. Bayangan itu terus mengikuti setiap langkahku. Jantung berdetak sangat keras. Keringat dingin mulai bercucuran diseluruh tubuh. Bayangan itu terliha
Sebuah teka- teki kehidupan kerap muncul secara bertahap dan secara tiba-tiba, sehingga kita tidak tahu bagaimana cara untuk menemukan benang merahnya.“Jangan main- main, dengan siapa ini?” tanyaku ketus.Terdengar kekehan di ujung sana, tapi begitu singkat aku tidak yakin itu suara kekehannya.“Baiklah… saya Reiki Altezza.” Sebelum Aku bertanya, dia kembali melanjutkan ucapannya. “PEMILIK kamera tadi pagi.” Dia menekan ucapan pada pemilik. Aku meringis saat ia mengingatkanku pada kecerobohan tadi pagi.“Aku pasti menganti kameramu itu. Jadi tenang aja Pak Reiki Altezza,” ucapku datar. Segera menutup sambungan telepon itu. Aku merutuk diri sendiri yang entah mengapa, bisa dengan lantang akan mengatakan padanya, jika aku akan mengganti semuanya. Dari mana aku akan mendapatkan uang untuk mengganti kamera itu? Aku menghempaskan tubuh pada ranjang.Reiki Altezza nama yang bagus. Tapi, bagaimana cara menganti kameranya? Ponselku berdering kembali.Nomor itu lagi. Dari pada aku bingung me
Aku masih tidak merasa lega sama sekali setelah keluar dari toko buku itu. Aku menaiki Bus damri yang agak penuh sedikit mengurangi ketakutanku. Aku merasa ada yang menatapku intens. Aku mencoba tidak menghiraukan perasaan cemas dan menyumbat kedua telingaku dengan headset yang tersambung ke ponsel. Mungkin, dengan mendengarkan musik perasaanku bisa lebih tenang.Aku menghela nafas lega saat tiba di depan sebuah rumah berwarna abu- abu dengan banyaknya taman, membuat rumah tercintaku ini terkesan asri. Aku bergegas masuk dan merebahkan tubuh di atas ranjang. Akhirnya aku bisa bernafas lega karena terhindar dari keanehan di toko buku tadi. Aku berharap ini semua segera berakhir agar aku dapat menjalani hidup dengan tenang.Aku meraih ponsel dari dalam tas. Betapa terkejutnya aku saat melihat jumlah pesan dan puluhan panggilan dari nomor lelaki pemilik kamera itu. Aku membuka salah satu pesan terbaru.Pemilik kamera : Aku sudah ada di depan rumahmu.Satu pesan yang membuat mataku hampir
Dua bulan lalu Rombongan pencinta alam telah sampai di ranca upas tempat para pecinta alam lainnya. Kami semua briefing membagi tugas mendirikan tenda, memasak, dan aku kebagian mencari ranting bersama Azka dan beberapa teman lainnya. Aku, Azka, dan Ismi teman satu sekolah semasa SMA, tetapi kami bertiga berbeda kelas. Kami kenal saat mengikuti ekskul yang sama sampai kuliah pun kami masih menyempatkan mengikuti kegiatan pencinta alam di SMA kami dulu untuk menjaga silaturahmi dan kesolidaritasan. “Fifi, jangan jauh- jauh nanti ilang! ” Peringatan Azka. “Iya ya aku deket- deket kamu deh.” Aku akui ini pertama kali mengikuti kemping di ranca upas, karena kesibukanku sebagai mahasiswi Arsitek yang selalu lembur di semester 5 ini. Aku mengikuti Azka, tiba- tiba lelaki itu hilang dari pandanganku. Seseorang mengenakan pakaian hitam menabrakku hingga terjatuh ke atas tanah, dan membuat ranting- ranting pohon yang sudah kukumpulkan berserakan. “Aduh!” Aku meringis kesakitan karena b
Tepukan keras pada pundak mengembalikanku ke dunia yang aku pijak saat ini. Hal pertama yang tertangkap oleh kedua mataku, adalah wajah laki- laki tampan tengah tersenyum manis padaku. Langkahnya yang lebar menyamai langkahku yang setengah berlari menuju kelas. “Azka! Kamu telat juga?” Aku melangkahkan kaki dengan sesekali meliriknya. Udara sejuk di pagi hari tidak terasa oleh tubuhku yang panas akibat berlari menuju kelas. Entah mengapa, akhir- akhir ini aku sering kesiangan. Hampir setiap malam aku tidak bisa tidur, karena bayangan hitam itu selalu menghantuiku. Semenjak pulang dari kemping bayangan itu mulai menghantuiku dan saat kejadian itu. “Motor gue mogok, jadi gue harus dorong ke bengkel terus terpaksa naik angkot yang super penuh,” jawabnya dengan wajah yang berkeringat. Dia memakai kaos yang dipadukan dengan jaket dan itu cukup casual. Dia adalah Azka Prayoga teman SMA dan sekarang sekampus, laki- laki putih, wajah lonjong dengan gaya rambut seperti berantakan, tetapi
Aku mondar-mandir di dalam kamar dan sesekali melirik tumpukan uang yang berserakan di atas tempat tidur. Pikiranku kalut. Hari berganti dengan cepat dan hari ini adalah waktu perjanjian itu berakhir. Yang artinya, aku harus mengumpulkan uang untuk mengganti kamera yang kupecahkan. Aku terus menghitung uang yang terkumpul, jumlah uang milikku hanya seperempat dari harga kamera itu atau mungkin lebih sedikit dari itu. Tabunganku sudah habis tidak tersisa. Tidak ada pilihan lain, selain menegosiasi dengan laki-laki itu. Tidak mungkin aku memintanya pada Mama dan Papa mereka bisa curiga aku meminta uang sebanyak itu. Aku sangat stress memikirkan itu semua.Menghempaskan tubuhku di atas ranjang karena kakiku terasa pegal akibat mondar- mandir. Suara ponsel menandakan pesan masuk. Kuraih ponsel yang berada di atas nakas di sebelah kananku. Deg, begitu membaca tulisan yang tertera pada layar ponselku,’cowo menyebalkan’. Itulah nama kontak laki-laki pemilik kamera itu. Refleks, aku langsung
“Pekerjaan kamu belum selesai, jadi sekarang ikut saya.” Dia menyeretku masuk ke dalam mobilnya Yang bisa kulakukan hanya duduk di jok penumpang dengan pasrah, aku hanya bisa pasrah menerima perlakuan lelaki disampingku ini. Aku duduk dengan tidak nyaman di dalam mobil kijang milik lelaki di sebelahku yang tampak tengah mengemudi. Sebagai hiburan aku menatap ke hadapanku dan memperhatikan jalannan yang cukup padat hingga menimbulkan kemacetan. Ponselku berdering, merongoh tas mencari ponsel yang terus berdering.“Iya, Ka?“ ucapku setelah mengeser ikon untuk menerima panggilan dari Ka Irfan.“Gimana bisa nggak?” Suara Ka Irfan terdengar kecil dengan latar yang berisik, sepertinya masih di kampus. Aku melirik laki- laki itu yang foku menyetir sebelum menjawab.“Maaf Ka, kayanya nggak bisa, aku ada urusan. Ini juga lagi di jalan.” Terdengar helaan nafas di ujung sambungan. Pasti Ka Irfan kecewa.“Ya udah deh nggak pa- pa, hati- hati ya.”“Iya ka, makasih.” Dia menjawab iya sebelum sambu