Sebuah teka- teki kehidupan kerap muncul secara bertahap dan secara tiba-tiba, sehingga kita tidak tahu bagaimana cara untuk menemukan benang merahnya.
“Jangan main- main, dengan siapa ini?” tanyaku ketus.
Terdengar kekehan di ujung sana, tapi begitu singkat aku tidak yakin itu suara kekehannya.
“Baiklah… saya Reiki Altezza.” Sebelum Aku bertanya, dia kembali melanjutkan ucapannya. “PEMILIK kamera tadi pagi.” Dia menekan ucapan pada pemilik. Aku meringis saat ia mengingatkanku pada kecerobohan tadi pagi.
“Aku pasti menganti kameramu itu. Jadi tenang aja Pak Reiki Altezza,” ucapku datar. Segera menutup sambungan telepon itu. Aku merutuk diri sendiri yang entah mengapa, bisa dengan lantang akan mengatakan padanya, jika aku akan mengganti semuanya. Dari mana aku akan mendapatkan uang untuk mengganti kamera itu? Aku menghempaskan tubuh pada ranjang.
Reiki Altezza nama yang bagus. Tapi, bagaimana cara menganti kameranya?
Ponselku berdering kembali.
Nomor itu lagi. Dari pada aku bingung mencari jawaban untuk laki - laki itu, lebih baik aku tidur. Kuletakan ponsel yang terus berdering ke atas nakas. Menutup telingaku dengan bantal, kemudian memejamkan mata. Namun, laki-laki itu tidak menyerah masih meneleponku. Dengan kesal aku beranjak dari tidur. Menekan huruf demi huruf, lalu mengirimkan pesan pada pemilik kamera bahwa aku akan bertangggung jawab dan bicarakan soal itu besok. Menyimpan ponsel di atas nangkas. Kembali membaringkan tubuh dan memejamkan mata. Soal menganti kamera itu urusan besok, setidaknya aku punya kekuatan untuk berfikir. Dan untuk malam ini, yang aku inginkan hanya tidur. Tidak lupa aku mematikan ponsel, tanpa mematikan lampu. Aku mulai memejamkan mata.
******
Tubuh bergetar hebat saat menyadari bahwa diriku tengah berada di sebuah ruangan asing yang tampak sangat gelap. Hanya ada sebuah obor yang menerangi ruangan ini. Aku melangkah mundur, agar lebih dekat dengan obor itu. Sekedar untuk berjaga-jaga bila ada orang yang ingin berbuat jahat kepadaku, aku dapat mengarahkan obor itu kepada orang tersebut. Sesosok bayangan terlihat dipenjuru ruangan yang hanya diterangi cahaya remang- remang, membuatku tambah ketakutan.
Seseorang yang mengenakan pakaian serba hitam dan topi yang menghalangi wajahnya mendekatiku.
“Nggak..nggak.. aku mohon mundur.”
Aku kembali melangkah mundur saat sosok itu terus mendekat dan semakin mendekatiku. Mataku membulat saat merasakan punggung menyentuh tembok di belakang. Jantung ini semakin berdetak cepat, nafas semakin memburu. Dengan tangan kanan yang bergetar, aku mencoba meraba tembok yang berada di belakang punggungku. Siapa tau, aku menemukan sebuah pintu untuk menjauh dari sosok di hadapanku.
Sosok itu terus mendekatiku hingga obor yang berada di sampingku padam, membuat seluruh ruangan gelap gulita. Mataku menyapu seluruh ruangan yang tampak gelap. Aku berusaha meningkatkan kewaspadaan, takut-takut jika sosok itu akan melukaiku. Aku terus waspada dan akhirnya aku merasakan telapak tangan yang dingin mengengam tangan kananku dan....
AAAAAAAAAAAAA
Aku terbangun dari mimpi buruk dengan nafas yang terengah- engah. Aku meraih segelas air putih yang terletak di atas nakas. Meminum air itu hingga tandas. Mengapa mimpi ini selalu datang? bayangan hitam itu lagi?
Pikiranku dipenuhi banyak pertanyaan yang belum terjawab sama sekali. Aku menarik nafas, lalu menghembuskannya dengan perlahan. Aku terus mengulangi kegiatan itu, sampai merasa lebih tenang. Aku melirik jam dinding yang tergantung tepat di hadapanku. Berdecak sebal karena jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi untung hari ini libur kuliah kalau tidak, aku tidak bisa membayangkannya berlarian menuju kampus.
Setelah siap aku menuruni anak tangga. Sesampainya di tangga terakhir aku membuka kedua mataku dengan lebar, merasa terkejut dengan pemandangan di hadapanku. Aku berjalan dengan langkah tergesa.
“Papa, Mama!” Panggilku kepada kedua orang tuaku yang tampak tengah menyantap sarapan dihadapan mereka. Aku menghambur ke dalam pelukan keduanya secara bergantian.
Aku melepaskan pelukan dan menatap keduanya dengan mata yang berbinar.
“Kapan kalian pulang? Aku sangat merindukan kalian!”
Aku duduk pada sebuah kursi kosong yang berada di sebelah Papaku, Andi wijaya. Prawakan Papa memperlihatkannya sebagai orang Sunda asli dengan kulit tubuh yang putih, tinggi, berbadan yang cukup tegap diusianya yang tidak muda lagi. Yang aku suka darinya adalah senyum hangat yang selalu tergambar di wajahnya, tetapi jika tengah marah Papa bisa tampak begitu menyeramkan.
“Tadi malam kami sudah pulang, sayang,” jawab papah sembari mengusap kepalaku dengan penuh kasih sayang.
Semenjak kakak laki- laki lulus kuliah dan bekerja di luar negeri, aku kesepian. Ditambah papa dan mama selalu pergi mengurusi bisnis donat yang mereka kelola di tiga cabang kota besar. Diantaranya Bandung sebagai kota kelahiran dari donat itu, kemudian Jakarta dan Bali. Yang menemaniku disini hanya Mbok Surti, berhubung beliau sedang pulang kampung maka aku hanya sendiri di rumah sebesar ini.
“Kenapa nggak bangunin aku?” tanyaku sembari mengunyah nasi goreng buatan Mama. Aku begitu merindukan masakan Mama yang sangat enak.
“Kamu keliatan kecapekan jadi mama sama papa, hanya menyelimutimu.” Kali ini Mama yang menjawab, “Apa kamu nggak kesepian selama kami pergi?” lanjut Mamaku.
Rani widuri. Tidak jauh berbeda dari Papa, Mama juga termasuk orang Sunda. Menurut Papa wajah Mama yang manis membuat Papa jatuh cinta pada pandangan pertama. Begitu lah keromantisan mereka yang kerap membuat anaknya iri.
Aku mengeleng, “Teman-temanku sering main kemari, Ma. Jadi aku nggak terlalu ketakutan… eh… maksudku kesepian.” ucapku sembari tersenyum meyakinkan.
Aduh salah ngomong ! Aku melahap nasi goreng dengan hati yang cemas.
“Fidela, kamu kenapa? ada yang terjadi selama kami pergi?” Papa menatapku dengan tatapan menyelidik.
“Eemmm, nggak ada apa-apa, Pa.” Aku tersenyum meyakinkan kedua orangtuaku.
Hal ini jangan sampai mereka tahu. Iya, jangan sampai!
“Ayo makan lagi, Pa! Aku kangen masakan Mama.” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Ah kamu bisa aja, baru ditinggal dua hari udah kangen.” jawab Mama yang duduk didepanku yang terhalang meja makan.
Dua hari banyak perubahan yang kurasakan, Ma. Sosok itu yang merubah semuanya.
“Aku serius, Ma. Aku kangen kalian,”
Mendapatkan belaian sayang dari Papa pada puncak kepalaku. Aku tersenyum kepadanya. Aku benar-benar merindukan mereka.
******
Setelah sarapan, aku memutuskan untuk ke toko buku langanan berhubung libur kuliah. Saat tengah asyik membaca novel, ujung mataku menangkap seseorang yang tengah menatapku. Pada awalnya, aku tidak menghiraukannya, tetapi pandangan itu semakin intens. Pada akhirnya aku memberanikan diri menoleh ke arah seseorang itu. Namun, yang aku lihat hanya seorang wanita seumuran denganku yang tengah memilih buku. Membuatku merasa aneh dia tidak sedikit pun memandang kearahku.
Aku kembali membaca novel yang masih berada di tanganku. Mungkin, itu hanya perasaanku saja. Semenjak bayangan hitam itu ada, aku kerap merasa takut dan mudah terkejut. Aku merasa ada yang memandangku lagi dan kali ini bulu kudukku berdiri. Kutarik nafas panjang, lalu menoleh ke arah sosok itu. Tidak ada siapa pun di sana, membuatku bisa menghela nafas lega.
“Kenapa aku jadi parnoan gini ya?” Aku mengusap dada menenangkan jantung yang siap akan melompat keluar. Aku mengalihkan pandangan, akan tetapi mataku kembali menangkap bayangan hitam di bawah kaki. Aku kembali menoleh dan tidak ada seorang pun dibelakangku.
Mencoba fokus pada bacaan dengan jantung yang berdetak cepat. Aku menelan ludah dengan susah payah lalu membalikkan badan. Lagi-lagi aku tidak menemukan siapapun di sana. Dengan gerak cepat aku membawa novel yang ingin kubeli. Berjalan cepat menuju kasir.
“Ini aja teh?” Tanya kasir wanita ramah. Setelah aku sampai di kasir meletakkan novelnya.
“Iya itu aja, berapa?” Aku dengan suara ramah pula, sesekali menoleh ke belakang memastikan sosok itu tidak mengikutiku. Toko ini sepi sekali tidak biasanya dan itu membuatku semakin cemas. Melirik arlogi pukul 12 siang.
“Mau coba beli novel ini, kebetulan lagi diskon.” Kasir wanita itu menyodorkan novel ke arahku.
“Nggak teh,” aku menggeleng. Sesekali melirik ke belakang dengan mata waspada, degup jantung semakin tidak karuan. Kasir wanita itu masih menjelaskan kelebihan dari novelnya semakin membuat aku ketakutan dan kesal.
“Novelnya bagus teh banyak ilmu bermanfaat dan…”
‘Deg’ ujung mataku sekilas melihat sosok itu telah berada di dekatku. Sebisa mungkin membuat diriku sendiri tenang dengan degup jantung berirama cepat dan ketakutan semakin merasukiku lebih dalam. Namun, wanita kasir ini masih terus mengoceh.
‘Brak’ aku melempar tas pada meja, seketika wanita itu terdiam.
Aku menghela nafas, “Berapa semuanya teh? Novelnya tiga ya tanpa tambahan lagi.”
Suaraku berubah ketus menahan rasa takut yang semakin menyelimutiku. Aku merongoh dompet di dalam tas, tapi ada rasa geli melihat dia diam seperti robot memasukan novel kedalam keresek putih. Setelah membayarnya aku mengucapkan terima kasih menyisipkan senyum padanya kemudian berlalu keluar.
****
Aku masih tidak merasa lega sama sekali setelah keluar dari toko buku itu. Aku menaiki Bus damri yang agak penuh sedikit mengurangi ketakutanku. Aku merasa ada yang menatapku intens. Aku mencoba tidak menghiraukan perasaan cemas dan menyumbat kedua telingaku dengan headset yang tersambung ke ponsel. Mungkin, dengan mendengarkan musik perasaanku bisa lebih tenang.Aku menghela nafas lega saat tiba di depan sebuah rumah berwarna abu- abu dengan banyaknya taman, membuat rumah tercintaku ini terkesan asri. Aku bergegas masuk dan merebahkan tubuh di atas ranjang. Akhirnya aku bisa bernafas lega karena terhindar dari keanehan di toko buku tadi. Aku berharap ini semua segera berakhir agar aku dapat menjalani hidup dengan tenang.Aku meraih ponsel dari dalam tas. Betapa terkejutnya aku saat melihat jumlah pesan dan puluhan panggilan dari nomor lelaki pemilik kamera itu. Aku membuka salah satu pesan terbaru.Pemilik kamera : Aku sudah ada di depan rumahmu.Satu pesan yang membuat mataku hampir
Dua bulan lalu Rombongan pencinta alam telah sampai di ranca upas tempat para pecinta alam lainnya. Kami semua briefing membagi tugas mendirikan tenda, memasak, dan aku kebagian mencari ranting bersama Azka dan beberapa teman lainnya. Aku, Azka, dan Ismi teman satu sekolah semasa SMA, tetapi kami bertiga berbeda kelas. Kami kenal saat mengikuti ekskul yang sama sampai kuliah pun kami masih menyempatkan mengikuti kegiatan pencinta alam di SMA kami dulu untuk menjaga silaturahmi dan kesolidaritasan. “Fifi, jangan jauh- jauh nanti ilang! ” Peringatan Azka. “Iya ya aku deket- deket kamu deh.” Aku akui ini pertama kali mengikuti kemping di ranca upas, karena kesibukanku sebagai mahasiswi Arsitek yang selalu lembur di semester 5 ini. Aku mengikuti Azka, tiba- tiba lelaki itu hilang dari pandanganku. Seseorang mengenakan pakaian hitam menabrakku hingga terjatuh ke atas tanah, dan membuat ranting- ranting pohon yang sudah kukumpulkan berserakan. “Aduh!” Aku meringis kesakitan karena b
Tepukan keras pada pundak mengembalikanku ke dunia yang aku pijak saat ini. Hal pertama yang tertangkap oleh kedua mataku, adalah wajah laki- laki tampan tengah tersenyum manis padaku. Langkahnya yang lebar menyamai langkahku yang setengah berlari menuju kelas. “Azka! Kamu telat juga?” Aku melangkahkan kaki dengan sesekali meliriknya. Udara sejuk di pagi hari tidak terasa oleh tubuhku yang panas akibat berlari menuju kelas. Entah mengapa, akhir- akhir ini aku sering kesiangan. Hampir setiap malam aku tidak bisa tidur, karena bayangan hitam itu selalu menghantuiku. Semenjak pulang dari kemping bayangan itu mulai menghantuiku dan saat kejadian itu. “Motor gue mogok, jadi gue harus dorong ke bengkel terus terpaksa naik angkot yang super penuh,” jawabnya dengan wajah yang berkeringat. Dia memakai kaos yang dipadukan dengan jaket dan itu cukup casual. Dia adalah Azka Prayoga teman SMA dan sekarang sekampus, laki- laki putih, wajah lonjong dengan gaya rambut seperti berantakan, tetapi
Aku mondar-mandir di dalam kamar dan sesekali melirik tumpukan uang yang berserakan di atas tempat tidur. Pikiranku kalut. Hari berganti dengan cepat dan hari ini adalah waktu perjanjian itu berakhir. Yang artinya, aku harus mengumpulkan uang untuk mengganti kamera yang kupecahkan. Aku terus menghitung uang yang terkumpul, jumlah uang milikku hanya seperempat dari harga kamera itu atau mungkin lebih sedikit dari itu. Tabunganku sudah habis tidak tersisa. Tidak ada pilihan lain, selain menegosiasi dengan laki-laki itu. Tidak mungkin aku memintanya pada Mama dan Papa mereka bisa curiga aku meminta uang sebanyak itu. Aku sangat stress memikirkan itu semua.Menghempaskan tubuhku di atas ranjang karena kakiku terasa pegal akibat mondar- mandir. Suara ponsel menandakan pesan masuk. Kuraih ponsel yang berada di atas nakas di sebelah kananku. Deg, begitu membaca tulisan yang tertera pada layar ponselku,’cowo menyebalkan’. Itulah nama kontak laki-laki pemilik kamera itu. Refleks, aku langsung
“Pekerjaan kamu belum selesai, jadi sekarang ikut saya.” Dia menyeretku masuk ke dalam mobilnya Yang bisa kulakukan hanya duduk di jok penumpang dengan pasrah, aku hanya bisa pasrah menerima perlakuan lelaki disampingku ini. Aku duduk dengan tidak nyaman di dalam mobil kijang milik lelaki di sebelahku yang tampak tengah mengemudi. Sebagai hiburan aku menatap ke hadapanku dan memperhatikan jalannan yang cukup padat hingga menimbulkan kemacetan. Ponselku berdering, merongoh tas mencari ponsel yang terus berdering.“Iya, Ka?“ ucapku setelah mengeser ikon untuk menerima panggilan dari Ka Irfan.“Gimana bisa nggak?” Suara Ka Irfan terdengar kecil dengan latar yang berisik, sepertinya masih di kampus. Aku melirik laki- laki itu yang foku menyetir sebelum menjawab.“Maaf Ka, kayanya nggak bisa, aku ada urusan. Ini juga lagi di jalan.” Terdengar helaan nafas di ujung sambungan. Pasti Ka Irfan kecewa.“Ya udah deh nggak pa- pa, hati- hati ya.”“Iya ka, makasih.” Dia menjawab iya sebelum sambu
Suara seseorang memanggil namaku sembari mengguncangkan tubuhku, membuatku merasa tengah terjadi gempa bumi. Aku membuka mataku dengan perlahan dan berusaha mencari tahu siapa yang membangunkanku.“Ada apa, Ma? Aku masih mengantuk.” Aku menguling ke arah lain dan meneruskan tidurku setelah tahu Mama lah yang membangunkanku, lagi pula ini hari minggu.“Kenapa kamu tidur disini? Mama cari di kamar nggak ada, yang ada kamarmu berantakan.” Kejadian semalam dan sosok itu membuatku ketakutan. Sehingga mataku tidak dapat terpejam, tubuhku gemetar dengan jantung yang terus berdetak kencang, semakin membuatku tidak dapat memejamkan kedua mataku. Sampai pukul tiga pagi, mataku mulai lelah dan sekarang Mama membangunkanku dari tidur.Mama tidak menyerah. Beliau menarik selimut yang melilit tubuhku. “Ini sudah pukul Sembilan. Ayo bangun! Anak gadis nggak baik bangun siang.” Suara Mama terdengar sayup- sayup.Nyawaku perlahan masuk kembali ke alam mimpi, namun aku merasa tidak asing dengan waktu y
Hembusan hawa dingin membuat tubuhku mengigil. Hujan turun semakin deras sejak sejam yang lalu. Tidak ada tanda- tanda akan berhenti menjebakku di halte ini, terdapat seorang bapak berbadan gempal dan lelaki bertopi duduk di ujung bangku. Keanehan semakin terlihat setelah bapak yang duduk di dekatku beranjak pergi menembus hujan hanya melindungi kepalanya dengan jaket dan meninggalkanku berdua bersama lelaki bertopi yang tengah menatapku tajam. Aku tidak mungkin hanya perasaanku saja sudah jelas aku memergokinya tengah menatapku, walaupun setelah itu buru-buru dia memalingkan wajahnya kea rah lain.Dan sekarang lelaki itu berjalan menghampiriku. Aku mengalihkan perasaanku yang semakin gelisah pada ponsel yang mati kehabisan bateri. Mencoba menyalakannya siapa tahu ada beberapa persen bateri untuk menghubungi seseorang agar terhindar dari lelaki itu.Tap…. Tap…Suara sepatu hitam mengkilap terlihat dari ujung mataku semakin mendekat. Detak jantungku berdetak cepat, Aku menekan call pad
Helaan nafas yang bisa aku keluarkan saat ini, otakku tidak fokus pada objek di hadapanku. Seperti biasa Dosen itu menyuruhku ini itu membuat aku benar – benar kerepotan, tapi untuk beberapa saat aku ingin mengistirahatkan tubuhku. Aku menyandarkan punggung lalu memejamkan mata sejenak mumpung Dosen itu pergi. Pikiran masalah dengan Ismi semakin mempengaruhiku. Dia benar- benar marah.Kemari sore Di perjalanan aku asik pada ponsel menanggapi curhatan Ismi tentang Azka yang membuatnya semakin menyukai lelaki tengah menyetir di sampingku ini. Dengan semangat yang mengebu Ismi menceritakan kebahagiaannya minggu kemarin Azka mengjaknya ke tempat pagelaran seni tempat dimana Azka bermain dan kali ini Azka menonton teman- temannya bermain menemani ismi. Dan dia sempat di perkenalkan pada para pemain, setelah itu mereka keliling kota bandung dengan motor gede milik azka. Membaca cerita ismi di sms dapatku bayangkan beta bahagianya pergi bersam aorang yang kita sukai, aku membayangkan Reiki
Reiki berdiri menarik kursinya lebih dekat denganku, tanpa menatap sekeliling kafe yang menatap ke meja kamu penasaran.“Aku pastikan dulu, perempuan yang mana yang kamu maksud?” Reiki menatapku serius.Aku balik menatapnya, “Perempuan yang di rumah sakit, saat aku masih menjadi asisten pribadimu dan kamu mendapat telepon dari rumah sakit. Dan di situ aku melihatmu mesra bersama dengan perempuan itu, siapa dia?”Reiki tersenyum geli, apa yang lucu? Kenapa ekspresinya seperti itu?“Jadi, kamu nguntit?” Tatap Reiki selidik masih tersenyum geli menghiasi bibirnya.Pelayan datang membawa pesanan kami berdua, aku menghela nafas menyiapkan jawabnku. “Nggak, aku mau jawaban bukan pertanyaan.” Aku mulai menyesap minuman untuk menyembunyikan nada salah tingkah, kenapa dia malah menyerangku? Apa salahnya dia jawab tidak perlu berbelit- belit seperti itu.Reiki mengangkat tangan yang terdapat jam tangan, lalu menatapku lagi. Kali ini wajah tersenyum gelinya hilang. “Sekarang kita harus ke kan
2 tahun kemudian“Fidela!” teriakan Mama mengema di setiap penjuru rumah. Ini sudah ke sekian kalinya mama berteriak.“Iya, Ma sebentar,” teriakku. Supaya mama mendengar dan tidak berteriak lagi. Dengan kedua tangan membereskan berkas yang harus di bawa ke kantor. Setelah aku di nyatakan sembuh, aku bangkit dengan bantuan orang terdekatku sebagai pil semangat untukku. Aku mencoba melamar ke berbagai perusahaan dan akhirnya aku mendapatkan pekerjaan di salah satu perusahaan di Bandung. Jelas aku bahagia.“Cepat, Reiki udah nunggu tuh,” suara Mama bersamaan tubuhnya masuk ke dalam kamarku.Kami mulai dekat kembali, Reiki selalu mengantarku pergi ke kantor yang sama dengannya. Itu kebetulan yang menyenangkan, ternyata Reiki bekerja di sana sebagai senior Arsitektur. Setelah keluar dari pekerjaannya di Jakarta Reiki cuti untuk mencariku kembali, dan tanpa di duga kami bertemu di halaman kampus menyebabkan kameranya hancur. Itu alasan dia menerima tawaran pamannya yang meminta tolong menga
Aku membuka mata begitu merasakan guncangan pada tubuh semakin kencang. Hal pertama yang aku lihat adalah kegelapan yang menyelimutiku. Aku buru- buru bangun dari posisi tidur untuk duduk dan melihat sekitar. Namun, rasa pening menyerang. Kenapa aku ada di dalam mobil ? Aku berusaha mengingat kejadian sebelumnya dan kilasan kejadian yang terjadi di rumahku terus bermunculan. Satu yang aku ingat sebelum aku tak sadarkan diri adalah aku di bawa oleh Azka.“Azka!”Aku mencari keberadaan Azka. Namun, tak ada siapapun disini. Yang ada hanya pepohonan yang rindang tanpa cahaya satu pun. Gelap.Aku meraba saku jeans, mengambil ponsel. Menyalakannya. Puluhan pesan dan panggilan tak terjawab menyerbu.Ismi : Fidela kamu dimana?Reiki : Dela, tolong angkat teleponnyaMama : Kamu dimana sayang?Papa : Fidela, telepon papa, NakDan banyak lagi pesan – pesan yang muncul. Aku pun tidak tahu ini dimana, kalau pun Azka membawaku. Mengapa tidak membawa ke rumah sakit seperti ucapannya? Suara langkah s
Setelah Azka megantarku pulang, aku tidak masuk kedalam rumah melainkan kakiku melangkah menuju garasi mengeluarkan motor matic yang sudah setia menemaniku kemanapun. Aku berniat untuk ke sebuah taman yang berada di sekolah SD ku untuk mencari ketenangan dan mengenang kembali kenang bersamanya. Satu jam kemudian aku telah berada di halaman sekolah memarkirkan motorku di sini yang menjadi tempat favorit beberapa tahun silam saat aku mengunjungi sekolah ini.“Neng Fidela!” Sapa seorang lelaki paruh baya yang telah berdiri di sampingku dengan senyum menghiasi wajahnya. Aku membalas senyumnya sembari menjabat tangannya.“Mang Ujang, bagaimana kabarnya?” Mang Ujang adalah penjaga sekolahku selama ini sejak aku masih duduk di bangku SD beliau masih setia mengabdi pada sekolah ini, walaupun sekarang sudah tidak muda lagi. Tapi, pekerjaannya dapat diandalkan sekolah ini selalu terlihat bersih apa lagi tamannnya.“Alhamdulilah baik, kalau mang Ujang bagaimana?” jawabku, melemparkan pertanyaan
‘Pranngg!!!!!’ Aku terperat menghentikan langkahku yang tinggal beberapa langkah lagi menuju pintu masuk. Seperti suara benda terjatuh, tapi aku sama sekali tidak melihat benda apapun yang terjatuh di sini. Aku terlambat untuk pulang hari ini banyak sekali tugas yang harus aku kerjakan di kampus.Aku memberanikan diri untuk membalikan tubuhku, aku menyapu pandanganku ke berbagai arah, tetapi tidak menemukan seorangpun di sana. Tanpa menghiraukannya, aku kembali melangkahkan kakiku dan memutar handle pintu. Pintu di hadapanku belum terbuka dengan sempurna, tetapi suara benda terjatuh kembali terdengar dan membuat pikiranku memikirkan hal yang macam- macam. Aku menarik nafas, mencoba menghilangkan ketakutan yang semakin menyelimutiku. Aku kembali membalikkan tubuhku, tanpa disangka mataku kembali menemukan bayangan hitam itu. Astaga bayangan itu kembali, tanpa berkata-kata lagi aku membuka pintu, lalu menguncinya. Aku menyandarkan punggungku pada pintu yang telah tertutup rapat, aku m
Kuatur nafas bersamaan dengan gerakan kedua tangan bergerak dalam hitungan kedelapan, kuganti gerakan lainnya sampai semua pemanasan selesai. Setelah itu kulangkahkan kaki dengan gerakan pelan mengelilingi taman komplek, jogging pagi hari ini tubuhku terasa kaku. Semenjak menjadi asisiten dosen itu aku jadi jarang melakukan olahraga di minggu pagi seperti saat ini. Berhubung dosen pemaksa tidak ada aku manfaatkan untuk olahraga seperti biasa, tapi setelah menerima telepon dan ternyata dia ke rumah sakit. Dia tidak masuk beberapa hari kemana dia, kenapa dia? Ah mungkin dia mengurusi pacarnya. Entah mengapa kenyataan itu membuat aku sesak. Apakah itu cinta? Tidak mungkin, akua tidak mungkin menyukai dosen pemaksa itu. Bukannya itu bagus, aku bisa tenang tanpa kehadirannya.“Dela!” Langkah kakiku terdiam seketika, mataku terbelalak, bukannya orang yang selalu memanggiku dengan ‘Dela’ hanya…“Fidela!” Kali ini kubalikan tubuh memperhatikan seseorang yang tengah berjalan ke arahku dengan s
Bangunan bercat putih dihiasi gambar bunga berwarna warni toko ‘beautiful flower’, begitu mendorong pintu kaca memasuki ruangan itu perpaduan harum berbagai bunga menyambut kedatanganku ke toko ini. Sampaan ramah dari penjaga toko pun menyambutku. Namun saat aku menanyakan sesuatu yyang membawaku ke toko ini terdengar derit pintu kaca yang di dorong. Mataku terbelalak seketika melihat siapa yang datang ke toko. Segera aku menyembunyikan diri di balik berbagai bunga yang di jejer rapi. Kemeja tosca yang tadi pagi dia pakai, masih melekat pada tubuhnya dengan sedikit terlihat kerutan di bajunya karena banyaknya pergerakan yang dia timbulkan, tapi tetap terlihat rapi.“Mbak, saya pesan bunga seperti biasa ya,” ucap Reiki pada mbak penjaga toko yang tadi menyapaku. Saat penjaga toko itu pergi memnuhi pesanannya, sedangkan lelaki itu mengambil ponselnya menghubungi seseorang. Aku bersyukur ada tempat yang tidak terlihat dan jarak dengan lelaki itu cukup dekat hingga dapat mendengar percaka
Kukibaskan kertas sketsa pada wajahku hingga menimbulkan angin yang sedikit membuatku tidak terlalu gerah sembari menyembunyikan tubuhku di pos satpam. Kota Bandung tengah hari seperti ini cukup panas, ingin rasanya meminum es campur, segar. Terdengar seorang memanggil namaku, aku mendapati laki- laki putih memakai baju abu- abu panjang hingga terlihat otot bisepnya. Pantas saja Ismi memuja Azka, lelaki ini memang terlihat keren. “Fi, kali ini tolong dengarkan aku.” Kupalingkan wajah menatap kearah lain, cukup melihat kesedihan Ismi hanya sekarang dan tidak lagi menambah sakit hatinya.“Gue ngomong sesuatu sebelum terlambat.” Aku bergeming tidak peduli.“Ini tentang hidupmu.” Lanjutnya tidak menyerah, Aku menoleh menatap matanya terlihat bersungguh- sungguh.Kuhela nafas sebelum berkata, “Oke, katakan Azka.” Senyumnya muncul di wajahnya, terlihat bahagia aku mempercayainya lagi, tapi aku tidak mempercayainya hanya ingin tahu apa yang membuatnya gigih walaupun aku mengacuhkannya beb
Satu bulan sudah Ismi marah padaku entahlah dengan cara apa lagi aku harus meyakinkannya, bahwa aku sama sekali tidak menghianatinya. Aku mendesah, menggelengkan kepala menghapus kesedihankku mulai fokus pada benda yang ada dihadapanku.“Pensil, pengaris, tabung, binder, sketchbook A3, penghapus, parut/cutter, drawing pen, pensil warna, rapido, dan pensil mekanik.” Aku mengabsen keperluan yang harus dibawa hari ini. Aku tidak pernah berfikir akan mempunyai masalah seperti ini dengan sahabatku selama bertahun-tahun.Ketukan pada pintu mengalihkan tatapanku pada tas berisi penuh dengan peralatan, mbok surti hanya menyembulkan kepalanya, sebagian tubuhnya bersembunyi di balik pintu. “Non, sarapan sudah siap.”“sebentar lagi aku ke bawah mbok.” Kembali menatap tas memasukan sebagian peralatan ke dalamnya.“ya sudah mbok ke bawah dulu.” Aku menganguk sebagai jawabannya. Sebuah suara berdebam pintu pertanda mbok telah menjauh dari kamar. Hari ini aku sengaja bangun agak pagi, memngingat ada