"Dia tampaknya terkejut saat saya bertanya mengenai tahanan lain yang mengetahui kasus ini," kata Kapten Bagyo.Ketika Kapten Bagyo berbicara secara tegas kepada Sersan Darto, terlihat pertemuan rahasia yang dilakukannya dengan salah seorang tahanan menjadi sorotan."Sersan Darto, saya butuh klarifikasi dari Anda. Pertemuan rahasia dengan narapidana bukan hal yang seharusnya terjadi," kata Kapten Bagyo.Sersan Darto terlihat semakin gelisah. "Ini hanya pembicaraan sepele, Kapten. Saya tidak tahu apa-apa," kata Sersan Darto. Namun, Kapten Bagyo memutuskan untuk menginvestigasi lebih lanjut mengenai pertemuan tersebut.Selama penggalian kuburan Bagas dan otopsi, beberapa petunjuk muncul. Namun, sebagian dari petunjuk tersebut tampaknya sengaja dipalsukan atau diatur untuk mengalihkan perhatian.Saat Kapten Bagyo bersiap untuk pergi, ia memberikan ancaman terbuka kepada Kapten Haris dan para petugas penjara."Saya akan kembali, Kapten Haris. Jangan sampai ada yang berusaha menghalangi pe
Keesokan paginya, Kapten Haris memanggil seluruh timnya untuk rapat darurat. "Kita memiliki dua tugas. Menemukan siapa yang bertanggung jawab atas kematian Bagas. Dan menyelidiki konspirasi yang mungkin terjadi di dalam penjara ini. Saya tidak ingin ada yang melanggar perintah untuk merahasiakan kasus ini," ucap Kapten Haris serius.Tim penyelidik mulai bergerak, memeriksa setiap sudut penjara dengan cermat. Mereka menggali informasi dari tahanan dan petugas, mencoba menyusun puzzle yang semakin kompleks.Sementara itu, Kapten Bagyo dari polisi militer kembali untuk memeriksa kemajuan penyelidikan."Waktu terus berjalan, Kapten Haris. Saya harap ada perkembangan positif," kata Kapten Bagyo tanpa basa-basi.Kapten Haris menatap Kapten Bagyo dengan tekad, "Kami sedang bekerja keras, Kapten Bagyo. Tapi ini bukan tugas yang mudah."Kapten Bagyo mengangguk dan pergi, meninggalkan Kapten Haris dengan beban yang semakin berat. Ia merasa tekanan dari dua arah. Tekanan untuk menjaga rahasia p
Siang itu, mentari bersinar terang, namun suasana di basecamp Terax masih diliputi ketegangan dan kesedihan. Trenggono terlihat sedang membaca koran. Okto sedang memperbaiki bangku yang rusak."Trenggono, apakah kamu membaca koran hari ini? Wah, kamu mengejek aku ya, Okto?" tanya Trenggono dengan ekspresi tersinggung.Trenggono terkekeh dengan riang, "Buku pelajaran sekolah saja aku tidak pernah baca. Apalagi koran, jelas tidak mungkin lah!"Sementara itu, Okto sibuk membuka koran dan membaca dengan serius. Melihat ekspresi Trenggono yang tersenyum, Okto menyadari perbedaan minat mereka."Maaf Trenggono, aku bukan bermaksud mengejek kamu," kata Okto, mencoba meredakan kemungkinan tersinggung."Memang ada berita apa, Okto?" tanya Trenggono, mencoba menarik perhatian temannya dari koran yang dibaca."Ini loh, Trenggono," jawab Okto. Menunjuk artikel tentang seniman jalanan bernama Bagaskara yang hilang. "Berita mengenai seniman ini benar-benar menarik perhatianku. Sampai sekarang, belum
Trio Terax mendatangi rumah Awan, dan ketika sampai di depan, mereka terlihat ragu untuk masuk. Wajah mereka mencerminkan kekhawatiran dan ketidakteguhan, terutama Okto yang merupakan tetangga Awan. Meskipun ragu, Okto mengambil inisiatif untuk mengetuk pintu."Selamat siang, Bu Asri. Assalamualaikum," sapa Okto."Waalaikum salam. Siapa ya?" tanya Bu Asri."Saya Okto, Bu," jawab Okto."Oh, Okto. Silahkan masuk, Nak," sahut Bu Asri sambil membuka pintu.Ketika pintu terbuka, terlihat seorang wanita paruh baya dengan penampilan sederhana. Namun memancarkan keanggunan dan kecantikan khas perempuan Jawa. Bu Asri bertanya apa yang mereka butuhkan, sambil mengundang mereka untuk duduk.Trenggono memberikan oleh-oleh dari teman-teman Awan, "Maaf, Bu. Kami ada sedikit rezeki untuk Ibu."Ibu Asri bertanya, "Kenapa kalian repot-repot?"Trenggono menjawab, "Tidak apa-apa, Bu. Ini titipan dari teman-teman Awan."Endi bertanya lebih lanjut, "Maaf, Bu. Kami ingin mengetahui keadaan Ibu dan Bapak. A
Negeri Seribu Pulau kini dilanda krisis ekonomi dan politik. Kota Bengawan, yang menjadi simbol ketenangan dan kekayaan budaya, kini menghadapi cobaan sulit. Gelombang krisis merambah dari ibukota, memasuki setiap jalan dan gang, menggoyahkan kehidupan warganya. Di tengah gejolak ini, aksi massa dan perlawanan anti-pemerintah muncul sebagai harapan. Di sudut warung di depan kantor pusat informasi, Awan duduk menikmati makan siangnya. Beberapa orang tiba tiba muncul. Orang bertubuh kurus dan tinggi memanggil pelayan untuk memesan kopi. “Hai pak, buatkan kami kopi!” serunya Pelayan, dengan senyuman ramah, menjawab, “Siap, pak!” Sayup-sayup terdengar percakapan, gedung pusat informasi menjadi target aktivis demokrasi. Dari pembicaraan tersebut, diketahui bahwa pria-pria ini agen intelijen. Pertukaran pandang singkat antara Awan dan agen intelijen menciptakan konflik yang misterius. Setelah beberapa saat, rombongan itu meninggalkan tanpa meninggalkan jejak. Awan, yang terus mengama
Setelah kepergian mobil tentara, beberapa warga mulai mendekat, mencoba mencari tahu. Ada yang memberikan pertolongan kepada teman-teman Awan. Namun banyak juga yang mencibir, menganggap bahwa Awan mencari mati menentang pemerintah. Trenggono, yang tetap teguh pada prinsipnya, berdiri di depan warga-warga yang mencibir. Dia berbicara dengan tegas, “Kami tidak akan tinggal dim melihat kezaliman! Awan tidak bersalah, dan kami akan membuktikannya. Jangan hanya berbicara tanpa tahu fakta.” Warga-warga itu terkejut dengan keberanian Trenggono. Mereka saling pandang, tidak tahu harus berkata apa. Trenggono melanjutkan, “Jika kalian tidak percaya, mari kita adu jotos! Aku akan membuktikan bahwa Awan tidak bersalah!” Warga-warga itu hanya bisa diam, tidak berani menanggapi tantangan Trenggono. Mereka sadar bahwa Trenggono adalah pemuda yang tangguh dan tidak mudah ditakuti. Tiba-tiba, suasana tegang di antara warga terasa memuncak. Beberapa dari mereka yang mencibir Awan menjadi terdiam,
Namun, kejutan menyelimuti Awan ketika beberapa sosok laki-laki muncul di depannya. Mereka menyapa Awan dengan ramah, menciptakan kelegaan di tengah ketegangan. Pemimpin kelompok tersebut, dengan wajah serius, bertanya. “Selamat malam, nak. Kenapa anak sebelia kamu bisa masuk di sini?” Awan menjawab dengan jujur, “Saya tidak tahu.” Merasa heran dan bingung. Pemimpin kelompok menghela nafas, “Mereka berulah lagi, rupanya.” Gumamnya, mencerminkan kekecewaan terhadap situasi yang mungkin sudah sering mereka alami. “Siapa namamu, nak?” tanya pemimpin kelompok dengan wajah serius. Awan menjawab, “Namaku Awan.” Pemimpin kelompok menatapnya sejenak sebelum mengangguk. “Namaku Purwo,” kata seorang pria yang berdiri di samping pemimpin kelompok. Purwo memberi sapaan sambil tersenyum ramah. “Ermono,” katanya sambil memperkenalkan diri. Awan merasa sedikit lega mengetahui nama-nama mereka. “Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Kenapa saya dibawa ke tempat seperti ini?” tanya Awan, mencoba
Dalam pantauan ketat itu, Darto muncul. Dengan sikap tenang, ia mendekat. “Kenapa kalian berdiri di depan pintu?” tanyanya, suaranya seperti angin sejuk yang menusuk ketidakpastian. Kami hanya mencari angin, Pak," jawab Ermono. Darto menatap Ermono, seakan mencoba membaca setiap ekspresi yang terpantul di wajahnya. “Kalian hanya mencari angin?” ulang Darto, suaranya mengejek. “Saya di sini sudah puluhan tahun, jangan pikir kalian bisa menyembunyikan sesuatu dariku.” Ermono dan Purwo saling berpandangan, menyadari bahwa Darto tidak mudah dikelabui. Meskipun suasana tegang memenuhi sel, Darto tidak kehilangan sikap tegasnya. Ia mendekati Ermono, memandanginya dengan penuh pengetahuan tentang tingkah laku para tahanan. “Bocah itu tidak seperti yang lain, ya?” goda Darto, mencoba menggali informasi lebih lanjut. “Saya tahu ketika ada yang mencoba menyembunyikan sesuatu. Jadi, apa yang sedang terjadi?” Ermono terdiam, mencoba merumuskan jawaban yang tidak akan membocorkan terla
Trio Terax mendatangi rumah Awan, dan ketika sampai di depan, mereka terlihat ragu untuk masuk. Wajah mereka mencerminkan kekhawatiran dan ketidakteguhan, terutama Okto yang merupakan tetangga Awan. Meskipun ragu, Okto mengambil inisiatif untuk mengetuk pintu."Selamat siang, Bu Asri. Assalamualaikum," sapa Okto."Waalaikum salam. Siapa ya?" tanya Bu Asri."Saya Okto, Bu," jawab Okto."Oh, Okto. Silahkan masuk, Nak," sahut Bu Asri sambil membuka pintu.Ketika pintu terbuka, terlihat seorang wanita paruh baya dengan penampilan sederhana. Namun memancarkan keanggunan dan kecantikan khas perempuan Jawa. Bu Asri bertanya apa yang mereka butuhkan, sambil mengundang mereka untuk duduk.Trenggono memberikan oleh-oleh dari teman-teman Awan, "Maaf, Bu. Kami ada sedikit rezeki untuk Ibu."Ibu Asri bertanya, "Kenapa kalian repot-repot?"Trenggono menjawab, "Tidak apa-apa, Bu. Ini titipan dari teman-teman Awan."Endi bertanya lebih lanjut, "Maaf, Bu. Kami ingin mengetahui keadaan Ibu dan Bapak. A
Siang itu, mentari bersinar terang, namun suasana di basecamp Terax masih diliputi ketegangan dan kesedihan. Trenggono terlihat sedang membaca koran. Okto sedang memperbaiki bangku yang rusak."Trenggono, apakah kamu membaca koran hari ini? Wah, kamu mengejek aku ya, Okto?" tanya Trenggono dengan ekspresi tersinggung.Trenggono terkekeh dengan riang, "Buku pelajaran sekolah saja aku tidak pernah baca. Apalagi koran, jelas tidak mungkin lah!"Sementara itu, Okto sibuk membuka koran dan membaca dengan serius. Melihat ekspresi Trenggono yang tersenyum, Okto menyadari perbedaan minat mereka."Maaf Trenggono, aku bukan bermaksud mengejek kamu," kata Okto, mencoba meredakan kemungkinan tersinggung."Memang ada berita apa, Okto?" tanya Trenggono, mencoba menarik perhatian temannya dari koran yang dibaca."Ini loh, Trenggono," jawab Okto. Menunjuk artikel tentang seniman jalanan bernama Bagaskara yang hilang. "Berita mengenai seniman ini benar-benar menarik perhatianku. Sampai sekarang, belum
Keesokan paginya, Kapten Haris memanggil seluruh timnya untuk rapat darurat. "Kita memiliki dua tugas. Menemukan siapa yang bertanggung jawab atas kematian Bagas. Dan menyelidiki konspirasi yang mungkin terjadi di dalam penjara ini. Saya tidak ingin ada yang melanggar perintah untuk merahasiakan kasus ini," ucap Kapten Haris serius.Tim penyelidik mulai bergerak, memeriksa setiap sudut penjara dengan cermat. Mereka menggali informasi dari tahanan dan petugas, mencoba menyusun puzzle yang semakin kompleks.Sementara itu, Kapten Bagyo dari polisi militer kembali untuk memeriksa kemajuan penyelidikan."Waktu terus berjalan, Kapten Haris. Saya harap ada perkembangan positif," kata Kapten Bagyo tanpa basa-basi.Kapten Haris menatap Kapten Bagyo dengan tekad, "Kami sedang bekerja keras, Kapten Bagyo. Tapi ini bukan tugas yang mudah."Kapten Bagyo mengangguk dan pergi, meninggalkan Kapten Haris dengan beban yang semakin berat. Ia merasa tekanan dari dua arah. Tekanan untuk menjaga rahasia p
"Dia tampaknya terkejut saat saya bertanya mengenai tahanan lain yang mengetahui kasus ini," kata Kapten Bagyo.Ketika Kapten Bagyo berbicara secara tegas kepada Sersan Darto, terlihat pertemuan rahasia yang dilakukannya dengan salah seorang tahanan menjadi sorotan."Sersan Darto, saya butuh klarifikasi dari Anda. Pertemuan rahasia dengan narapidana bukan hal yang seharusnya terjadi," kata Kapten Bagyo.Sersan Darto terlihat semakin gelisah. "Ini hanya pembicaraan sepele, Kapten. Saya tidak tahu apa-apa," kata Sersan Darto. Namun, Kapten Bagyo memutuskan untuk menginvestigasi lebih lanjut mengenai pertemuan tersebut.Selama penggalian kuburan Bagas dan otopsi, beberapa petunjuk muncul. Namun, sebagian dari petunjuk tersebut tampaknya sengaja dipalsukan atau diatur untuk mengalihkan perhatian.Saat Kapten Bagyo bersiap untuk pergi, ia memberikan ancaman terbuka kepada Kapten Haris dan para petugas penjara."Saya akan kembali, Kapten Haris. Jangan sampai ada yang berusaha menghalangi pe
Kapten Haris dengan wajah serius mengumpulkan seluruh personel membahas kasus misterius kematian Bagas. Ketegangan mewarnai udara, dan seluruh anggota tim tampak cemas. Dengan tegas, Kapten Haris melontarkan pertanyaan keras, "Siapa yang melakukan ini?" Suaranya memecah keheningan ruangan, namun tidak ada yang berani menjawab, menunduk dalam ketakutan. Pertanyaan berikutnya diarahkan kepada Letnan Teguh, perwira yang bertugas sebagai komandan piket malam. Kapten Haris ingin tahu mengapa Letnan Teguh berjaga di blok C tempat Bagas ditahan, sedangkan seharusnya ia bertanggung jawab di semua blok. "Letnan Teguh, saya ingin bertanya. Mengapa Anda berjaga di blok C malam itu? Bukankah Anda seharusnya bertanggung jawab di semua blok?" "Maaf, Kapten. Saya bertanggung jawab di semua blok. Namun, malam itu Sersan Jamal yang seharusnya berjaga sakit, jadi saya yang menggantikannya." "Apakah Sersan Jamal sudah memberikan surat izin dari dokter?" Kapten Haris tampak heran dan langsung memer
Matahari semakin menunjukkan taringnya dengan panas terik yang menyengat. Sel di dalam penjara terasa semakin pengap. Membuat Awan dan kedua seniornya, Purwo dan Ermono, merasa tidak nyaman. Mereka mondar-mandir di sel karena kepanasan."Aduh, pengap banget ya. Apa akan turun hujan?" tanya Awan."Tidak, cuaca memang panas akhir-akhir ini," jawab Ermono.Waktu makan siang sudah lewat, namun jatah makanan dari penjaga belum kunjung datang. Purwo bertanya, "Kenapa penjaga belum mengirimkan jatah makan?"Awan mencoba mengintip dari pintu sel. Berharap bisa melihat apakah Pak Darto, penjaga yang biasanya mengantar makanan, sudah datang. Saat kepala Awan menempel di pintu sel, tiba-tiba ia terkejut dan berteriak kaget."Hai, ngapain kamu ngintip kaya gitu, Awan?" tanya Darto sambil tertawa."Maaf Pak Darto, saya mengintip karena mencari Bapak. Tumben sudah siang Bapak belum datang," jawab Awan."Wah, baru kali ini kamu merindukanku Awan?" canda Darto."Iya, Pak, saya sudah kelaparan," jawab
Di sudut sel yang redup, Awan dan Bagas duduk bersama. Tiba-tiba, Awan merasa bosan dan berkeinginan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. "Ayo, Mas Bagas, mari kita bernyanyi sambil main gitar," ajak Awan. "Darimana kita bisa dapat gitarnya, Awan?" tanya Bagas. "Pak Purwo punya gitar tua," jawab Awan. "Oh, benarkah?" Bagas kaget mendengarnya. "Iya, ayo, aku akan meminjamkan gitar Pak Purwo," kata Awan. Awan mendekati Purwo dan menyampaikan maksudnya. "Pak Purwo, boleh kita pinjam gitar Anda? Izinkan Mas Bagas bermain gitar dan menyanyi bersama kita," pinta Awan. "Tentu, Awan. Saya bahkan senang jika Bagas bersedia. Sudah lama saya tidak mendapatkan hiburan," jawab Purwo sambil memberikan gitarnya ke Awan. Awan menerima gitarnya dengan senyuman dan segera memanggil Bagas. "Mas, mari kita bernyanyi bersama di sini," ajak Awan. Bagas mendekat, memainkan beberapa lagu dengan cakap. Tiba-tiba, Bagas diam, membuat yang lain kaget. "Awan, aku ingin membuatkanmu sebuah puisi. Apa
Awan sudah sembuh dan kembali ke sel utama bersama Purwo dan Ermono. Dia tidak lagi mengalami penyiksaan, tetapi Sersan Jamal masih saja mengintimidasinya. Suatu hari, Sersan Jamal berjalan melewati sel Awan. Dia berhenti dan menatap Awan dengan penuh kebencian. "Kau pikir kau bisa lolos begitu saja?" kata Sersan Jamal. "Aku akan selalu mengawasimu." Awan menatap balik Sersan Jamal dengan berani. "Aku tidak takut padamu," katanya. "Aku akan terus berjuang untuk apa yang kuyakini." Sersan Jamal menggeram marah. Dia kemudian meninggalkan sel Awan dengan langkah yang berat. Purwo dan Ermono menghampiri Awan. Mereka bangga dengan keberanian Awan. "Kau adalah seorang pejuang sejati, Awan," kata Purwo. "Ya," kata Ermono. "Kau akan selalu menjadi inspirasi bagi kami." Awan tersenyum. Dia tahu bahwa dia tidak sendirian dalam perjuangannya. Dia memiliki teman-teman yang akan selalu mendukungnya. Awan dan Purwo sedang duduk di sel mereka. Mereka sedang berbincang-bincang tentang perjua
Purwo bersama Ermono sedang membersihkan ruang makan. Mereka berdua cukup disegani oleh tahanan lain. Mereka pemimpin tahanan politik terkemuka di Kota Bengawan. Saat keduanya sedang asyik membersihkan sambil bernyanyi dangdut, tampak Sersan Jamal berjalan mendekat. Purwo berbisik ke Ermono, "Tak biasanya iblis ini datang kemari." "Iya, Pak," jawab Ermono singkat. "Kedatangannya pasti membawa masalah. Kita harus bersiap," tambah Purwo. "Saya juga khawatir ada hubungannya dengan Awan," sahut Ermono. "Iya, Ermono. Mudah-mudahan anak itu selamat," jawab Purwo dengan keprihatinan. Namun, ketegangan terasa di udara seiring kedatangan Sersan Jamal. Mereka berdua tahu bahwa kedatangan penjaga sadis ini mungkin membawa masalah. "Pak, ada yang bisa kami bantu?" tanya Purwo dengan ramah saat Sersan Jamal semakin mendekat. Sersan Jamal terlihat serius. "Purwo, Ermono, kita butuh bantuan kalian terkait Awan." Ermono saling pandang dengan Purwo, menyadari bahwa pasti masalah sedang mener