Namun, kejutan menyelimuti Awan ketika beberapa sosok laki-laki muncul di depannya. Mereka menyapa Awan dengan ramah, menciptakan kelegaan di tengah ketegangan. Pemimpin kelompok tersebut, dengan wajah serius, bertanya.
“Selamat malam, nak. Kenapa anak sebelia kamu bisa masuk di sini?”
Awan menjawab dengan jujur, “Saya tidak tahu.”
Merasa heran dan bingung. Pemimpin kelompok menghela nafas, “Mereka berulah lagi, rupanya.” Gumamnya, mencerminkan kekecewaan terhadap situasi yang mungkin sudah sering mereka alami.
“Siapa namamu, nak?” tanya pemimpin kelompok dengan wajah serius.
Awan menjawab, “Namaku Awan.” Pemimpin kelompok menatapnya sejenak sebelum mengangguk.
“Namaku Purwo,” kata seorang pria yang berdiri di samping pemimpin kelompok. Purwo memberi sapaan sambil tersenyum ramah. “Ermono,” katanya sambil memperkenalkan diri.
Awan merasa sedikit lega mengetahui nama-nama mereka. “Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Kenapa saya dibawa ke tempat seperti ini?” tanya Awan, mencoba mencari pemahaman.
“Pasti ada alasan tertentu untuk menangkapmu, Awan,” jawab Purwo. “Aku tidak bisa memahami mengapa pemerintah menargetkan seorang pemuda yang masih terlalu belia.”
Ermono menambahkan, “Kami, para demonstran dan aktivis, tiap hari diburu oleh aparat, Awan.
“Saya ditangkap demo bela warga, lahannya dirampas pemerintah untuk waduk tanpa ganti rugi.”
“Aku bantu oposisi, galang massa, cari dana lawan pemerintah tirani, Awan.” Ungkap Purwo
“Apa kamu adalah anak buah pemimpin oposisi tersebut?” tanya Awan.
“Iya, Awan,” jawab Purwo.
“Tapi sayangnya, pemimpin kamu sudah ditangkap, dan kantor partai kalian sudah diduduki lawan.”
“Apakah benar itu, Awan?” tambah Ermono."Di sini kami tanpa informasi, tanpa bisa dijenguk." Bahkan, sebagian dari kami di sini banyak yang tidak bertahan dan hilang entah kemana."
Purwo mengangguk paham, “Awan, kadang kita dituduh dan dihukum tanpa tahu kesalahan sebenarnya. Pemerintah ini memakai kekuasaannya untuk menekan yang dianggap potensial ancaman.”
Ermono menambahkan, “Sama seperti yang kami alami. Aktivitas kami yang seharusnya melindungi hak rakyat malah dianggap sebagai ancaman oleh penguasa.”
Purwo kemudian bertanya, “Apakah kamu punya rencana untuk melawan atau mencari kebenaran, Awan?”
Awan mengangguk mantap, “Saya tidak akan tinggal diam. Akan cari tahu kebenaran dan perjuangkan hak-hak kita sebagai warga negara.”
Purwo tersenyum, “Baik, Awan. Kami siap membantu. Bersama-sama, kita akan mencari keadilan dan kebenaran.”
Dari kejauhan, terdengar langkah seseorang mendekat ke dalam sel tersebut. Penjaga berjalan dengan langkah berat, suara gemerincing kunci dan pentungan terdengar. Wajahnya yang keras dan matanya yang tajam membuat para tahanan ketakutan.
Melihat penjaga datang, Purwo cepat-cepat mengajak Awan dan Ermono untuk bubar sejenak. Mereka mundur ke bagian lain sel, mencoba menghindari konfrontasi yang tak perlu. Namun, Awan, tampak acuh dan melempar pandangan tajam ke arah penjaga.
Penjaga dengan wajah kesal memukuli jeruji besi sambil berteriak, “Hey kalian, bubar! Malam-malam ngerumpi kaya ibu-ibu di kampung. Ayo, bubar!”
Ia selalu kasar dan mengancam para tahanan seolah mereka adalah sampah yang diinjak-injak.
Beberapa tahanan lain segera menjauh, patuh terhadap perintah kasar penjaga. Namun, Awan masih tetap menatap tajam, tak merasa terintimidasi. Emosi di udaranya terasa semakin tegang.
Penjaga semakin kesal melihat tatapan tajam Awan yang tampak menantang. Dengan penuh kemarahan, penjaga melangkah mendekati jeruji besi sel Awan. Purwo dan Ermono berusaha menenangkan Awan di ruang sel yang dingin dan gelap.
Pria itu tersebut dengan angkuh mendekat dan menghardik, “Hai, bocah ingusan! Kamu mau jadi jagoan, ya?” Bentakan penjaga mencoba mengintimidasi Awan.
Awan, tanpa menghiraukan himbauan penjaga, dengan datar menjawab, “Persetan kalian, para begundal negara.”
Awan, pemimpin geng di jalanan, ahli bela diri dan memiliki mental bertarung kuat.
Saat penjaga semakin mendekat dengan pentungan di tangannya, Awan terus memperhatikan gerakannya. Kewaspadaannya ditingkatkan. Tiba-tiba, tendangan menghantam dada penjaga saat pentungan meluncur ke arah Awan. Sang penjaga terlempar, menabrak dinding sel, dan seteguh darah mengalir dari hidungnya. Semua orang di sel itu tersentak kaget, melihat aksi tegas Awan yang tak terduga.
Penjaga tersungkur, bangkit, dan mendekati Awan dengan niat balas dendam.
Awan, dengan kesiapan penuh, menunggu dengan sikap tak gentar. Ia lalu mencibir penjaga tersebut, “Hai, kau orang tua tak tahu diri.”
Awan memprovokasi, “Berani hanya menghadapi bocah ingusan yang terborgol.” Ia menantang, “Kalau kamu memang berani, kita duel satu lawan satu. Takutkah kamu pada bocah ingusan ini?”
Tertawa sinis, Awan menambahkan, “Tapi lepaskan dulu borgolku, biar seimbang. Kamu boleh pakai pentungan.”
Ungkapan Awan semakin memprovokasi penjaga, yang tampak kehilangan kendali. Suasana di sel kini semakin panas, menanti aksi selanjutnya.
Purwo tersenyum melihat keberanian Awan, sambil berbisik, “Bocah ini cerdik dan pemberani, Ermono.”
Ermono menjawab singkat, “Ia, pak.”
Purwo berharap, “Semoga setelah kita keluar dari sini, bisa bertemu dengan bocah ini.” Purwo menghargai karakter Awan, pemuda berkepribadian kuat dan penuh semangat.
Ermono menambahkan, “Jarang kita menemukan pemuda seperti ini, pak.” Mereka berdua merenung, menyadari nilai luar biasa yang dimiliki oleh Awan.
Penjaga tersebut terlihat bodoh di depan Awan, mengabulkan permintaan Awan untuk melepas borgolnya. Namun, menurut penjaga, Awan hanyalah seorang anak kecil yang bisa diintimidasi.
“Baiklah, nak. Aku akan melepaskan borgolmu, tapi jangan menyesal jika aku akan menghajarmu,” kata penjaga.
“Kamu lihat cecunguk-cecunguk di sekitarmu itu tidak berani membantumu,” tegas penjaga.
Purwo dan Ermono hanya diam, menahan emosi mereka. Mereka lebih bijak, tidak seperti Awan yang muda dan bersemangat.
Ketika penjaga membuka borgol Awan dengan santai, Awan berpura-pura bodoh. “Terima kasih, Pak, sudah membukakan borgolku,” ucapnya dengan senyuman tulus. Penjaga tersenyum, tanpa sadar memberi keleluasaan pada seseorang yang lebih berbahaya dari perkiraannya.
Namun, saat penjaga itu menoleh, sebuah pukulan tiba-tiba melayang ke arahnya. Ia berhasil menghindar dengan cepat, sambil mengumpat karena keterkejutan. “Kurang ajar, bocah tengik! Beraninya kamu menyerang aku!”
Awan, yang pura-pura bodoh sebelumnya, tidak mengabaikan kata-kata kasar itu. Dengan gerakan cepat, dia menyerang penjaga yang kewalahan menghadapi jagoan jalanan ini. Dalam sekejap, Awan mampu melumpuhkan penjaga tersebut.
“Hahaha, cuma itu kemampuanmu, Pak Tua?” ejek Awan sambil mengambil borgol dan memborgol penjaga tersebut. Dengan santainya, ia melihat ke arah teman-teman satu selnya. “Hai, kenapa kalian diam? Saatnya kalian balas penjaga berengsek ini.”
Dalam pantauan ketat itu, Darto muncul. Dengan sikap tenang, ia mendekat. “Kenapa kalian berdiri di depan pintu?” tanyanya, suaranya seperti angin sejuk yang menusuk ketidakpastian. Kami hanya mencari angin, Pak," jawab Ermono. Darto menatap Ermono, seakan mencoba membaca setiap ekspresi yang terpantul di wajahnya. “Kalian hanya mencari angin?” ulang Darto, suaranya mengejek. “Saya di sini sudah puluhan tahun, jangan pikir kalian bisa menyembunyikan sesuatu dariku.” Ermono dan Purwo saling berpandangan, menyadari bahwa Darto tidak mudah dikelabui. Meskipun suasana tegang memenuhi sel, Darto tidak kehilangan sikap tegasnya. Ia mendekati Ermono, memandanginya dengan penuh pengetahuan tentang tingkah laku para tahanan. “Bocah itu tidak seperti yang lain, ya?” goda Darto, mencoba menggali informasi lebih lanjut. “Saya tahu ketika ada yang mencoba menyembunyikan sesuatu. Jadi, apa yang sedang terjadi?” Ermono terdiam, mencoba merumuskan jawaban yang tidak akan membocorkan terla
Komandan merenung sejenak, mencoba menyusun potongan informasi yang ada di hadapannya. “Apakah ada alasan khusus yang membuat kamu terlibat dalam situasi ini? Ada tekanan dari pihak lain, atau mungkin ada motif tertentu?”Awan tetap tenang. “Tidak ada alasan atau tekanan, Pak. Saya tidak tahu apa yang menyebabkan saya berada di sini. Dan saya tidak melakukan apa pun yang dapat merugikan siapa pun.”Keheranan di wajah Komandan semakin mendalam. Masih ada misteri yang perlu dipecahkan sebelum mereka dapat menemukan akar masalah ini. Komandan mengerutkan kening, wajahnya mencerminkan kebingungan.“Bukankah menurut berkas ini, keluarga Anda memiliki latar belakang penting di masa lalu?” tanya Komandan dengan suara yang penuh keraguan.Awan tersenyum pahit. “Maafkan saya, Pak, tapi itu tidak benar. Saya hanya seorang anak jalanan, tidak memiliki hubungan dengan keluarga yang mulia.”Komandan menatap Awan dengan intensitas, mencoba memahami kebenaran di balik kata-kata tersebut. Dia kembali
Melihat Awan, beberapa tahanan mulai terprovokasi dan menghajar penjaga tersebut. Awan duduk santai, memperhatikan keributan yang terjadi di sel. Sementara itu, Purwo dan Ermono berusaha menghentikan kebrutalan para tahanan. “Berhenti, kalian!” teriak Purwo lantang, mencoba menghentikan kekerasan yang terjadi. “Jangan sampai penjaga ini tewas, atau nasib kalian akan berakhir tragis.” Namun, beberapa tahanan tidak menghiraukan peringatan Purwo dan terus menyerang. Situasi semakin kacau, penjaga lain yang mendengar segera datang untuk menyelamatkan rekan mereka. Awan yang awalnya santai langsung disergap oleh beberapa penjaga. Meskipun berusaha melawan, akhirnya ia dilumpuhkan. Awan yang telah berhasil dikendalikan oleh penjaga, kemudian dibawa ke sel bawah tanah. Di sana, Awan mengalami serangkaian penyiksaan yang sadis dan kejam. Tubuhnya yang telah lelah dan terluka membuatnya semakin rentan terhadap siksaan tersebut. Meskipun demikian, semangat perlawanan Awan tidak pernah padam
Darto, penjaga berkulit gelap dan bertubuh tambun, sosok yang menonjolkan kehumanisan. Meskipun pekerjaannya memerlukan ketegasan, Darto tetap mendekati para tahanan dengan sikap empatik. Usianya yang sudah mencapai lima puluhan tahun memberinya pengalaman dan kebijaksanaan. Pada pandangan pertama, orang mungkin menilai Darto dari penampilannya. Namun, di balik eksterior tersebut, Darto memiliki hati yang lembut. Ia sering memahami beban yang diemban oleh para tahanan dan berusaha memberikan dukungan. Sikap humanis Darto tercermin dalam tindakannya membawa makanan dan kepeduliannya terhadap para tahanan. Ia melihat Awan yang tidak mau makan, tahu bahwa anak ini dalam tekanan yang besar. Darto berusaha memberikan sedikit kemanusiaan dalam situasi yang sulit. Darto juga memiliki kebijaksanaan untuk memahami nuansa di antara para tahanan. Meskipun menjalankan tugasnya dengan tegas. Dirinya tidak segan untuk menunjukkan kepeduliannya dan mendengarkan mereka. Darto melihat Awan yang te
Kepala penjaga memberikan hormat dan bergerak cepat untuk mengurus Awan. Ruangan itu kembali ditinggalkan dalam keheningan, tetapi ketegangan tetap menggelayuti udara. Semuanya menunggu hasil dari interogasi cepat yang akan menentukan jalannya peristiwa mendatang.Kepala penjaga, setelah berbicara dengan Komandan, mendekati Awan dengan sikap yang lebih tenang. “Nak, kamu sebaiknya segera bekerja sama dengan kami. Dengan usia kamu yang masih sangat muda, kamu bisa mendapatkan keringanan hukuman. Jangan biarkan dirimu berakhir tragis karena melawan.”Awan, meskipun masih merasa marah dan tidak bersalah, merenung sejenak. Dia tahu bahwa situasinya sulit. Kata-kata kepala penjaga menyiratkan kemungkinan konsekuensi yang lebih buruk jika dia terus melawan.“Saya tidak melakukan apa-apa, Pak. Saya tidak mau mengakui kesalahan yang tidak saya perbuat,” jawab Awan dengan tegas.Kepala penjaga menggeleng. “Kamu mungkin tidak tahu seberapa besar tekanan yang sedang terjadi di sini, nak. Kami in
Sersan Jamal dan dua kopralnya berjalan ke arah Awan. Mereka mengepung Awan dan menatapnya dengan tatapan tajam. “Hai, bocah,” kata Sersan Jamal. “Kamu takut?” Awan menatap Sersan Jamal dengan tatapan berani. “Aku tidak takut,” katanya. Sersan Jamal tersenyum sinis. “Oh, ya?” katanya. “Lalu mengapa kamu terlihat seperti pengecut?” Kopral Joko dan Kopral Bayu tertawa. Mereka kemudian menarik kaki Awan dan memaksanya duduk di kursi. “Ayo, mengaku saja,” kata Sersan Jamal. “Kamu tidak akan bisa lolos.” Awan menggelengkan kepala. “Aku tidak bersalah,” katanya. Sersan Jamal meninju perut Awan dengan keras. Awan meringis kesakitan, tetapi dia tidak menyerah. “Ayo, mengaku saja,” kata Sersan Jamal lagi. “Atau kamu akan merasakan sakit yang lebih parah lagi.” Kopral Joko menampar pipi Awan. Awan kembali meringis kesakitan, tetapi dia tetap diam. Sersan Jamal menarik kursinya dan duduk di atasnya. Dia meletakkan kakinya di atas jempol kaki Awan dan menekannya dengan keras. Awan berte
Suasana di dalam kantor terasa tegang ketika Jenderal Budi memasuki ruangan tersebut. Kapten Haris langsung memberi hormat kepada Jenderal yang berpengaruh besar tersebut. "Kapten, aku titipkan anak ini padamu."ucap Jenderal Budi dengan suara serius. Kapten Haris mengangguk tegas sebagai tanda penerimaan tugas baru ini. "Baik, Jenderal. Saya akan mengawasinya dengan ketat," jawab Kapten Haris, menyatakan kesiapannya. Jenderal Budi, yang tampak serius, memberikan instruksi lebih lanjut kepada Kapten Haris. Kapten, Awan masih terlalu muda. Jangan terlalu keras padanya, kata Jenderal Budi. Kapten Haris mengangkat alis, menunjukkan rasa penasaran dan ketidaksetujuan pada saat yang bersamaan. “Perlakuan apa yang dimaksud, Jenderal?” tanya Kapten Haris. Jenderal Budi, dengan ketenangan yang meyakinkan, menjelaskan lebih lanjut. "Dia sedang menghadapi masa-masa sulit. Saya tidak ingin perlakuan yang berlebihan terhadapnya. Biarkan dia berpikir dan memahami keadaannya," papar Jende
Purwo bersama Ermono sedang membersihkan ruang makan. Mereka berdua cukup disegani oleh tahanan lain. Mereka pemimpin tahanan politik terkemuka di Kota Bengawan. Saat keduanya sedang asyik membersihkan sambil bernyanyi dangdut, tampak Sersan Jamal berjalan mendekat. Purwo berbisik ke Ermono, "Tak biasanya iblis ini datang kemari." "Iya, Pak," jawab Ermono singkat. "Kedatangannya pasti membawa masalah. Kita harus bersiap," tambah Purwo. "Saya juga khawatir ada hubungannya dengan Awan," sahut Ermono. "Iya, Ermono. Mudah-mudahan anak itu selamat," jawab Purwo dengan keprihatinan. Namun, ketegangan terasa di udara seiring kedatangan Sersan Jamal. Mereka berdua tahu bahwa kedatangan penjaga sadis ini mungkin membawa masalah. "Pak, ada yang bisa kami bantu?" tanya Purwo dengan ramah saat Sersan Jamal semakin mendekat. Sersan Jamal terlihat serius. "Purwo, Ermono, kita butuh bantuan kalian terkait Awan." Ermono saling pandang dengan Purwo, menyadari bahwa pasti masalah sedang mener
Trio Terax mendatangi rumah Awan, dan ketika sampai di depan, mereka terlihat ragu untuk masuk. Wajah mereka mencerminkan kekhawatiran dan ketidakteguhan, terutama Okto yang merupakan tetangga Awan. Meskipun ragu, Okto mengambil inisiatif untuk mengetuk pintu."Selamat siang, Bu Asri. Assalamualaikum," sapa Okto."Waalaikum salam. Siapa ya?" tanya Bu Asri."Saya Okto, Bu," jawab Okto."Oh, Okto. Silahkan masuk, Nak," sahut Bu Asri sambil membuka pintu.Ketika pintu terbuka, terlihat seorang wanita paruh baya dengan penampilan sederhana. Namun memancarkan keanggunan dan kecantikan khas perempuan Jawa. Bu Asri bertanya apa yang mereka butuhkan, sambil mengundang mereka untuk duduk.Trenggono memberikan oleh-oleh dari teman-teman Awan, "Maaf, Bu. Kami ada sedikit rezeki untuk Ibu."Ibu Asri bertanya, "Kenapa kalian repot-repot?"Trenggono menjawab, "Tidak apa-apa, Bu. Ini titipan dari teman-teman Awan."Endi bertanya lebih lanjut, "Maaf, Bu. Kami ingin mengetahui keadaan Ibu dan Bapak. A
Siang itu, mentari bersinar terang, namun suasana di basecamp Terax masih diliputi ketegangan dan kesedihan. Trenggono terlihat sedang membaca koran. Okto sedang memperbaiki bangku yang rusak."Trenggono, apakah kamu membaca koran hari ini? Wah, kamu mengejek aku ya, Okto?" tanya Trenggono dengan ekspresi tersinggung.Trenggono terkekeh dengan riang, "Buku pelajaran sekolah saja aku tidak pernah baca. Apalagi koran, jelas tidak mungkin lah!"Sementara itu, Okto sibuk membuka koran dan membaca dengan serius. Melihat ekspresi Trenggono yang tersenyum, Okto menyadari perbedaan minat mereka."Maaf Trenggono, aku bukan bermaksud mengejek kamu," kata Okto, mencoba meredakan kemungkinan tersinggung."Memang ada berita apa, Okto?" tanya Trenggono, mencoba menarik perhatian temannya dari koran yang dibaca."Ini loh, Trenggono," jawab Okto. Menunjuk artikel tentang seniman jalanan bernama Bagaskara yang hilang. "Berita mengenai seniman ini benar-benar menarik perhatianku. Sampai sekarang, belum
Keesokan paginya, Kapten Haris memanggil seluruh timnya untuk rapat darurat. "Kita memiliki dua tugas. Menemukan siapa yang bertanggung jawab atas kematian Bagas. Dan menyelidiki konspirasi yang mungkin terjadi di dalam penjara ini. Saya tidak ingin ada yang melanggar perintah untuk merahasiakan kasus ini," ucap Kapten Haris serius.Tim penyelidik mulai bergerak, memeriksa setiap sudut penjara dengan cermat. Mereka menggali informasi dari tahanan dan petugas, mencoba menyusun puzzle yang semakin kompleks.Sementara itu, Kapten Bagyo dari polisi militer kembali untuk memeriksa kemajuan penyelidikan."Waktu terus berjalan, Kapten Haris. Saya harap ada perkembangan positif," kata Kapten Bagyo tanpa basa-basi.Kapten Haris menatap Kapten Bagyo dengan tekad, "Kami sedang bekerja keras, Kapten Bagyo. Tapi ini bukan tugas yang mudah."Kapten Bagyo mengangguk dan pergi, meninggalkan Kapten Haris dengan beban yang semakin berat. Ia merasa tekanan dari dua arah. Tekanan untuk menjaga rahasia p
"Dia tampaknya terkejut saat saya bertanya mengenai tahanan lain yang mengetahui kasus ini," kata Kapten Bagyo.Ketika Kapten Bagyo berbicara secara tegas kepada Sersan Darto, terlihat pertemuan rahasia yang dilakukannya dengan salah seorang tahanan menjadi sorotan."Sersan Darto, saya butuh klarifikasi dari Anda. Pertemuan rahasia dengan narapidana bukan hal yang seharusnya terjadi," kata Kapten Bagyo.Sersan Darto terlihat semakin gelisah. "Ini hanya pembicaraan sepele, Kapten. Saya tidak tahu apa-apa," kata Sersan Darto. Namun, Kapten Bagyo memutuskan untuk menginvestigasi lebih lanjut mengenai pertemuan tersebut.Selama penggalian kuburan Bagas dan otopsi, beberapa petunjuk muncul. Namun, sebagian dari petunjuk tersebut tampaknya sengaja dipalsukan atau diatur untuk mengalihkan perhatian.Saat Kapten Bagyo bersiap untuk pergi, ia memberikan ancaman terbuka kepada Kapten Haris dan para petugas penjara."Saya akan kembali, Kapten Haris. Jangan sampai ada yang berusaha menghalangi pe
Kapten Haris dengan wajah serius mengumpulkan seluruh personel membahas kasus misterius kematian Bagas. Ketegangan mewarnai udara, dan seluruh anggota tim tampak cemas. Dengan tegas, Kapten Haris melontarkan pertanyaan keras, "Siapa yang melakukan ini?" Suaranya memecah keheningan ruangan, namun tidak ada yang berani menjawab, menunduk dalam ketakutan. Pertanyaan berikutnya diarahkan kepada Letnan Teguh, perwira yang bertugas sebagai komandan piket malam. Kapten Haris ingin tahu mengapa Letnan Teguh berjaga di blok C tempat Bagas ditahan, sedangkan seharusnya ia bertanggung jawab di semua blok. "Letnan Teguh, saya ingin bertanya. Mengapa Anda berjaga di blok C malam itu? Bukankah Anda seharusnya bertanggung jawab di semua blok?" "Maaf, Kapten. Saya bertanggung jawab di semua blok. Namun, malam itu Sersan Jamal yang seharusnya berjaga sakit, jadi saya yang menggantikannya." "Apakah Sersan Jamal sudah memberikan surat izin dari dokter?" Kapten Haris tampak heran dan langsung memer
Matahari semakin menunjukkan taringnya dengan panas terik yang menyengat. Sel di dalam penjara terasa semakin pengap. Membuat Awan dan kedua seniornya, Purwo dan Ermono, merasa tidak nyaman. Mereka mondar-mandir di sel karena kepanasan."Aduh, pengap banget ya. Apa akan turun hujan?" tanya Awan."Tidak, cuaca memang panas akhir-akhir ini," jawab Ermono.Waktu makan siang sudah lewat, namun jatah makanan dari penjaga belum kunjung datang. Purwo bertanya, "Kenapa penjaga belum mengirimkan jatah makan?"Awan mencoba mengintip dari pintu sel. Berharap bisa melihat apakah Pak Darto, penjaga yang biasanya mengantar makanan, sudah datang. Saat kepala Awan menempel di pintu sel, tiba-tiba ia terkejut dan berteriak kaget."Hai, ngapain kamu ngintip kaya gitu, Awan?" tanya Darto sambil tertawa."Maaf Pak Darto, saya mengintip karena mencari Bapak. Tumben sudah siang Bapak belum datang," jawab Awan."Wah, baru kali ini kamu merindukanku Awan?" canda Darto."Iya, Pak, saya sudah kelaparan," jawab
Di sudut sel yang redup, Awan dan Bagas duduk bersama. Tiba-tiba, Awan merasa bosan dan berkeinginan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. "Ayo, Mas Bagas, mari kita bernyanyi sambil main gitar," ajak Awan. "Darimana kita bisa dapat gitarnya, Awan?" tanya Bagas. "Pak Purwo punya gitar tua," jawab Awan. "Oh, benarkah?" Bagas kaget mendengarnya. "Iya, ayo, aku akan meminjamkan gitar Pak Purwo," kata Awan. Awan mendekati Purwo dan menyampaikan maksudnya. "Pak Purwo, boleh kita pinjam gitar Anda? Izinkan Mas Bagas bermain gitar dan menyanyi bersama kita," pinta Awan. "Tentu, Awan. Saya bahkan senang jika Bagas bersedia. Sudah lama saya tidak mendapatkan hiburan," jawab Purwo sambil memberikan gitarnya ke Awan. Awan menerima gitarnya dengan senyuman dan segera memanggil Bagas. "Mas, mari kita bernyanyi bersama di sini," ajak Awan. Bagas mendekat, memainkan beberapa lagu dengan cakap. Tiba-tiba, Bagas diam, membuat yang lain kaget. "Awan, aku ingin membuatkanmu sebuah puisi. Apa
Awan sudah sembuh dan kembali ke sel utama bersama Purwo dan Ermono. Dia tidak lagi mengalami penyiksaan, tetapi Sersan Jamal masih saja mengintimidasinya. Suatu hari, Sersan Jamal berjalan melewati sel Awan. Dia berhenti dan menatap Awan dengan penuh kebencian. "Kau pikir kau bisa lolos begitu saja?" kata Sersan Jamal. "Aku akan selalu mengawasimu." Awan menatap balik Sersan Jamal dengan berani. "Aku tidak takut padamu," katanya. "Aku akan terus berjuang untuk apa yang kuyakini." Sersan Jamal menggeram marah. Dia kemudian meninggalkan sel Awan dengan langkah yang berat. Purwo dan Ermono menghampiri Awan. Mereka bangga dengan keberanian Awan. "Kau adalah seorang pejuang sejati, Awan," kata Purwo. "Ya," kata Ermono. "Kau akan selalu menjadi inspirasi bagi kami." Awan tersenyum. Dia tahu bahwa dia tidak sendirian dalam perjuangannya. Dia memiliki teman-teman yang akan selalu mendukungnya. Awan dan Purwo sedang duduk di sel mereka. Mereka sedang berbincang-bincang tentang perjua
Purwo bersama Ermono sedang membersihkan ruang makan. Mereka berdua cukup disegani oleh tahanan lain. Mereka pemimpin tahanan politik terkemuka di Kota Bengawan. Saat keduanya sedang asyik membersihkan sambil bernyanyi dangdut, tampak Sersan Jamal berjalan mendekat. Purwo berbisik ke Ermono, "Tak biasanya iblis ini datang kemari." "Iya, Pak," jawab Ermono singkat. "Kedatangannya pasti membawa masalah. Kita harus bersiap," tambah Purwo. "Saya juga khawatir ada hubungannya dengan Awan," sahut Ermono. "Iya, Ermono. Mudah-mudahan anak itu selamat," jawab Purwo dengan keprihatinan. Namun, ketegangan terasa di udara seiring kedatangan Sersan Jamal. Mereka berdua tahu bahwa kedatangan penjaga sadis ini mungkin membawa masalah. "Pak, ada yang bisa kami bantu?" tanya Purwo dengan ramah saat Sersan Jamal semakin mendekat. Sersan Jamal terlihat serius. "Purwo, Ermono, kita butuh bantuan kalian terkait Awan." Ermono saling pandang dengan Purwo, menyadari bahwa pasti masalah sedang mener