Shanum sampai di pasar Batusangkar setelah menempuh perjalanan selama lima belas menit dari kampungnya menggunakan ojek. Dia sampai di toko pukul sembilan lewat lima menit. Selama masa pandemi ini, toko buka agak siang dan juga tutup lebih cepat.
Beruntungnya Shanum memiliki majikan yang sangat baik. Walau Shanum sering datang terlambat, pemilik toko tidak menganggap itu masalah besar.
Majikannya itu bernama Gibran. Usianya hanya terpaut lima tahun dari Shanum. Kalau Shanum tiga puluh tahun, maka bosnya itu tiga puluh dua tahun, sedang Syamil usianya tiga puluh dua tahun.
Gibran berperawakan tinggi besar, berwajah bak orang Arab. Badannya yang tegap dan rupa yang tampan, sedikit banyaknya menjadi dilema tersendiri bagi Shanum. Apalagi Gibran sudah dua tahun menduda. Sedangkan Shanum adalah satu-satunya karyawati di toko tersebut.
Gibran sedikit tersentak ketika mendengar salam dari luar toko. Dia yang sedang menyusun baju, segera menoleh ke arah sumber suara. Senyumnya seketika menyeruak begitu melihat Shanum datang. Namun, melihat wajah perempuan itu, senyum Gibran langsung pudar.
"Bertengkar lagi?"
Wajah Shanum memerah. Dia mengangguk pelan dan masuk ke dalam toko dengan tampang lesu. Sesaat kemudian dia ikut membantu Gibran menyusun pakaian yang akan dijual . "Lelah aku, Uda. Uda Syamil masih saja tidak bisa ditebak jalan pikirannya. Aku BINGUNG harus bersikap bagaimana. Tidak tahu lagi bagaimana caranya agar dia bisa menerima kenyataan."
Gibran menerima bungkusan plastik yang disodorkan Shanum. "Sabarlah, Num. Tidak semua orang bisa menerima kenyataan dengan cepat. Kalau aku di posisi Syamil, mungkin tidak akan jauh berbeda. Dia dipecat, lalu kau keguguran. Bagaimana tidak hilang semangat hidupnya?"
"Tapi sampai kapan, Uda? Waktu terus berjalan. Sesuatu yang sudah mati, tidak akan bisa kembali lagi. Setiap hari itu ke itu saja yang kami ributkan. Belum lagi gunjingan orang-orang tentang Uda Syamil. Aku malu."
Gibran menghela napas panjang. Bukan sekali dua kali Shanum curhat masalah rumah tangganya. Gibran juga tidak keberatan. Dia sudah menganggap Shanum seperti adiknya sendiri. Makanya sedaya upaya dia memberikan pandangan agar Shanum tidak salah dalam mengambil langkah.
"Num, hidup berumah tangga tentunya tidaklah mudah. Banyak halangan dan rintangan. Makanya pernikahan itu bernilai ibadah di mata Allah. Kalau kita mampu melewati semua ujian, sudah bisa dipastikan kalau Allah akan menempatkan kita di tempat terindah dan menaikkan derajat kita di mata manusia. Bersabarlah. Tidak ada yang lebih baik dari itu."
"Makasih, Uda. Aku akan coba lebih keras lagi. Namun, jika suatu saat aku tidak mampu lagi bertahan, mungkin aku akan melepaskan semuanya, Uda. Aku juga berhak untuk bahagia, bukan?"
Gibran terkejut mendengar ucapan Shanum. "Astaghfirullah, Num. Istighfar. Jangan pernah berpikir untuk bercerai. Jangan biarkan iblis memenangkan pertempuran, Num. Bukankah prestasi tertinggi mereka kalau bisa memisahkan suami dari istri? Please, kendalikan emosimu. Aku yakin, kau pasti bisa melewati semua ini. Percayalah!"
Air mata tidak mampu lagi Shanum tahan. Dia terisak-isak menahan kepedihan hati. Melihat Shanum menangis, walau sedikit ragu, Gibran membawa tubuh perempuan itu ke dalam pelukannya. Shanum pun menumpahkan kesedihannya di dada pria tampan tersebut.
Di saat seperti itulah Etek Jawinar muncul. Dia terkejut, segera menyembunyikan diri di sebuah tiang bangunan agar tidak terlihat oleh Shanum dan Gibran. Tubuh perempuan tua itu bergetar hebat. Dia yang tadi berniat hendak mengantarkan makanan untuk Shanum, jadi urung dia lakukan. Tungkainya terasa lemas. Berbagai pikiran buruk melintas di pikirannya.
'Pantas saja Syamil hilang akal dan pikiran. Perbuatan Shanum seperti ini rupanya. Tidak bermalu! Mau saja dipeluk lelaki lain. Akan aku apakan anak ini? Hmmm, mungkin ini kesempatan bagiku agar bisa membuatnya hengkang dari kampung. Sejak dia ada Galogandang, semua sawah dan ladang yang biasanya aku kelola, berpindah ke tangannya. Kau tunggu saja, Num! Tak akan aku biarkan kau menginjakkan kaki lebih lama di kampung kita.' Seringai culas membayang di wajah tuanya. Dengan cepat Etek Jawinar mengabadikan momen Shanum dan Gibran berpelukan melalui ponsel cerdas miliknya. Sambil bersorak di dalam hati, dia menjauh dari tempat tersebut.
Sementara itu setelah merasa lega, Shanum perlahan-lahan melepaskan diri dari pelukan Gibran. Dia menatap malu lelaki keturunan Arab tersebut. Dadanya berdegup kencang. Ada perasaan nyaman dan aman yang selama ini dia rindukan. Hangatnya tubuh Gibran membuat desir-desir aneh di hati Shanum. Kembali dia mencuri pandang, menatap Gibran yang tersenyum tulus kepadanya.
"Sudah mendingan?" Gibran mengelus kepala Shanum lembut. Perempuan itu mengangguk, wajahnya memerah.
"Ya sudah, sekarang kita fokus kerja dulu, ya? Kau jangan pernah merasa putus asa. Apa pun masalahmu, ceritakan saja kepadaku. Aku siap mendengarkanmu, dua puluh empat jam. Hehehe."
Untuk kesekian kalinya dada Shanum berdebar melihat senyum manis yang terpatri di wajah Gibran.
'Ya Tuhan, tolong aku ....' rintihnya pilu, gamang dengan suasana hatinya sendiri. Dia sadar dan paham, ada satu benih yang tidak seharusnya dia biarkan tumbuh di dalam hatinya. Benih yang jika dibiarkan akan bertunas, lalu akar-akarnya akan menancap kuat menghunjam ke dalam jiwa. Jika itu terjadi, maka akan sulit baginya untuk keluar dari lingkaran setan yang nantinya akan tercipta.
Namun, jauh di dalam pikirannya, dia bertanya-tanya, sampai kapan dia akan tahan dengan pesona Gibran? Lelaki itu begitu baik hati, bersahabat, saleh, dan pastinya menjadi idaman setiap wanita.
Bukannya Shanum tidak tahu kenapa Gibran masih kuat menduda sampai sekarang. Cintanya begitu besar kepada --Zaira--istrinya yang meninggal sewaktu melahirkan. Zaira tidak saja kehilangan nyawanya, tapi nyawa anaknya pun tidak tertolong. Hal itu membuat Gibran memendam luka yang entah kapan bisa disembuhkan.
Shanum merasa iri dengan almarhumah Zaira. Dibanding Syamil, tentu Gibran jauh lebih unggul. Tidak saja memiliki paras dan tubuh yang sempurna, tapi juga memiliki uang yang banyak. Hasrat untuk bisa memasuki hati Gibran pun kian berkobar di hati Shanum.
'Aku tidak peduli. Bagaimana pun, aku punya hak untuk bahagia. Aku punya hak untuk menikmati hidup. Jika perkawinanku dengan Uda Syamil tidak bisa lagi dipertahankan, maka aku akan berjuang agar Uda Gibran mau menerimaku sebagai istrinya.' Shanum menatap lekat-lekat punggung Gibran yang berdiri membelakanginya. Dia tidak pernah merasakan perasaan ingin memiliki yang begitu kuat menguasai hatinya.
Namun, suasana hati Shanum berubah drastis ketika seseorang datang melenggang-lenggok menuju toko. Seorang perempuan cantik berbaju warna kuning gading, dan memakai rok biru selutut. Kulitnya putih bersih. Sementara rambutnya panjang bergelombang. Sungguh kecantikan yang sempurna.
Shanum tentu saja tahu dan kenal dengan gadis tersebut. Namanya Kanaya, biasa dipanggil Naya. Seorang karyawan Bank Daerah yang berprofesi sebagai Marketing. Sering mendatangi toko dan merayu Gibran agar mau mengambil modal yang dia tawarkan. Namun, Gibran kerap menolak. Kanaya bukannya kapok, tetapi kian tertantang. Dia tidak segan-segan merayu dan bersikap manja ke Gibran. Hal itu membuat Shanum terbakar api cemburu.
"Selamat pagi, Uda Gibran?" Kanaya menyapa Gibran sambil tersenyum cantik.
"Halo, pagi juga, Naya. Wah, semakin cantik saja." Gibran memuji sambil mempersilakan Kanaya masuk. Di dalam toko hanya ada dua kursi. Shanum yang sadar diri, segera memberikan kursi yang dia duduki ke perempuan itu. Di dalam hati dia menyumpah habis-habisan. Susah bagi Shanum untuk menyembunyikan perasaannya. Dari pada terbakar api, Shanum memutuskan untuk izin keluar dan berdalih membeli sarapan.
"Uda mau aku belikan sarapan?" Shanum sudah hendak berdiri. Namun, Kanaya segera menahan tubuhnya.
"Uni di sini saja. Kebetulan aku belum sarapan. Maksudku ke sini mau mengajak Uda Gibran sarapan di luar. Nanti, aku bungkuskan untuk Uni, ya?"
Wajah Shanum seketika berubah. Dia menoleh ke arah Gibran yang seperti terpukau dengan kecantikan Kanaya. "Benar Uda mau pergi dengan Naya?"
Suara Shanum membuyarkan lamunan Gibran. Lelaki itu terlihat salah tingkah. Dia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Oh ... eh ... oh, ya .... Ya. Nanti aku belikan kau sarapan, Num. Jaga toko, ya? Aku dan Naya pergi dulu."
Sakit. Itu yang terasa di hati Shanum sekarang. Dia menggigit bibir dan menghela napas panjang begitu melihat Kanaya menggandeng lengan Gibran.
Untuk kesekian kalinya, air mata mengalir membasahi pipi Shanum.
Syamil sedang duduk di bebatuan sembari tangannya bermain-main di dalam air yang mengalir tenang di sela-sela akar pohon.Kicau burung terdengar riang, angin pun berbisik lirih. Sepi. Itulah yang Syamil rasakan. Tidak ada lagi yang bisa dia lakukan selain menyendiri dan menghabiskan waktu di tempat sunyi seperti Lubuak Burai ini.Namun, tidak ada satu pun yang benar-benar tahu apa yang Syamil lakukan di daerah itu. Semua orang menduga Syamil hanya stres dan depresi. Bukan rahasia lagi kalau dia kehilangan banyak hal dalam hidupnya.Awal-awal dia dipecat dari pekerjaannya, semua orang menaruh simpati. Begitu juga ketika Shanum keguguran, semakin banyak orang yang menaruh iba. Namun, ketika Syamil mulai berteriak-teriak di Lubuak Burai, satu per satu gunjingan memenuhi langit Galogandang.Dia yang selama ini dikenal ramah, suka bergaul, dan menjadi tempat bertanya bagi orang-orang, perlahan-lahan penduduk kampung mulai menjaga jarak. Mereka membiarkan Syami
Shanum berusaha memperbaiki moodnya yang terlanjur rusak. Dia yang tidak sarapan di rumah, masih berharap Gibran akan cepat kembali membawa makanan. Namun, sampai jam sebelas lewat, lelaki itu belum juga kembali. Hati Shanum terasa sakit. Beginikah rasanya diberi janji dan harapan?Tidak mau tenggelam dalam kesedihan yang tak berujung, Shanum segera mengeluarkan bekal dari rumah. Andai Gibran tidak berjanji, tentu dia sudah mengisi perutnya sedari tadi.Baru beberapa sendok, dia mendengar deheman di samping kanannya. Gibran melempar senyum, terlihat rasa bersalah di wajahnya."Makan, Num?" tanyanya sambil membersihkan tenggorokan yang mendadak serak."Iya, Uda. Makan, Uda?" Shanum melempar senyum semringah sembari mengangkar sendok.Gibran tidak menduga kalau Shanum akan menyambutnya hangat. Tadi dia merasa Shanum akan marah melihatnya yang datang terlambat."Lanjut, Num. Maaf, ya? Tadi aku lama keluarnya. Kanaya minta ditemani membeli baju.
Lama Gibran termangu di meja makan setelah mendengar ucapan Kanaya. Dia tidak menduga sama sekali kalau Shanum memiliki rasa kepadanya. "Sudah, jangan dipikirin. Toh, kalau jodoh enggak bakalan ke mana, Uda. Lagian cocok, kok. Uni Shanum cantik alami, Uda juga tidak kalah gagah dan tampannya. Cocoklah kalian berdua itu." Kanaya menghapus sisa-sisa makanan di bibirnya dengan sehelai tisu. Dia menatap Gibran yang terlihat kebingungan. "Masalahnya, Naya, Shanum itu masih mempunyai suami. Rasanya tidak mungkin kami bisa bersatu. Walau jujur kukatakan, aku menyukainya. Dia itu ... bisa membuatku merasa penting." Wajah Gibran memerah. Terlihat malu setelah menyatakan hal tersebut. "Hahaha. Ampun, deh. Uda kayak anak ABG saja. Ya, kalau tidak memungkinkan untuk mendapatkan dia, berarti ada peluang bagiku untuk mengisi ruang hatimu." Seketika senyum di bibir Gibran menghilang. Wajahnya kembali pucat. "Hahaha, Ya Tuhan, wajah Uda pucat sekali.&nb
Syamil menatap Pak Afdal yang terkapar pingsan di lantai gua. Kebencian masih membara di dalam dadanya. Jika dia turutkan hati, ingin dia membunuh lelaki berusia empat puluh lima tahun tersebut."Beruntung kau masih bernafas sampai sekarang, Pak Afdal. Andai dulu kau tidak memecatku, hidupku tidak akan hancur begini. Lihatlah, lihatlah bagaimana aku sekarang! Pengangguran! Semua orang meremehkanku. Semua orang memandangku sebelah mata kini. Bahkan, istri yang kucinta pun mulai berubah. Tidak lagi dia bahagia menjalani hidup denganku, Pak Afdal. Semua itu gara-gara kau, Bangsat!" Syamil menendang tulang rusuk Pak Afdal, membuat lelaki itu tersadar, lalu berteriak kesakitan. Tubuhnya melejang-lejang menahan perih di tulang rusuknya itu."Kau bajingan, Syamil! Jika kau tidak mau membebaskanku, lebih baik bunuh saja aku sekarang! Aku tidak tahan dengan semua siksaan yang kau berikan. Bunuh aku, Syamil! Bunuh!" Pak Afdal berusaha bangkit walau tangannya masih terikat. Tubuh
"Aku tidak habis pikir kenapa Bapak begitu terobsesi dengan istriku? Bahkan setelah aku tidak lagi bekerja di perusahaan Bapak, dan kita bertemu secara tidak sengaja, Bapak masih berharap bisa mendapatkan istriku. Sungguh, orang seperti Bapak tidak pantas dibiarkan hidup lebih lama lagi di dunia ini!" Syamil kembali mendudukkan Pak Afdal di atas kursi. Mengikat kembali tangan dan kaki lelaki setengah baya tersebut. Darah yang menetes dari mulutnya mulai berkurang. Wajahnya benar-benar tidak bisa lagi dikenali. Penuh lebam dan bengkak di beberapa bagian."Syamil ... tolong lepaskan aku. Aku berjanji tidak akan melaporkanmu ke polisi. Aku juga bersumpah akan menghapus semua rekaman itu. Aku mohon belas kasihmu, Syam. Ini ... ini sangat menyakitkan. Aku mohon maafmu! Aku ... aku akan ... melakukan apa saja untukmu. Tolong aku ....""DIAAAM!" Mata Syamil melotot, telapak tangannya menampar pipi Pak Afdal kuat. Saking kerasnya tamparan itu, telapak tangan Syamil terasa keba
Shanum sampai di rumah ketika jam di tangan menunjukkan pukul sembilan malam. Di teras, Syamil menunggu dengan muka kusam. Ada kemarahan dan kekesalan terpatri di wajah tirusnya. Perempuan itu mengucap salam sambil memasang senyum manis. Namun, Syamil mengabaikan salam tersebut dan memegang tangan istrinya cepat."Kenapa baru pulang?" Suara Syamil terdengar bergetar. Ada nada tidak suka di sana."Apa,sih, Uda? Bukannya tadi aku sudah kirim WA ke HP-mu, Uda. Makanya punya ponsel itu dipakai, bukan dianggurin.""Kenapa tidak kau telepon saja aku? Kenapa harus WA? Kau pergi ke mana dan dengan siapa, Shanum?" Syamil makin mempererat genggamannya di tangan perempuan cantik itu. Shanum merasa kesakitan. Dia sentakkan sekuat tenaga cengkeraman Syamil."Sakit, Uda. Uda kenapa,sih? Aku tidak menelepon karena tidak ingin mengganggumu. Lagian aku hanya pergi acara pernikahan temanku. Apa itu masalah bagimu, Uda?" Shanum meraba tangannya
Kokok ayam jantan di sepertiga malam membangunkan Shanum dari lelapnya tidur. Bagian bawah perutnya terasa sesak. Tidak biasanya dia terbangun di jam segini. Shanum menduga, mungkin karena dia tidak bisa tidur. Pikirannya hanya tertuju untuk hari esok. Dia mulai membayangkan menggunakan busana apa untuk pergi dengan Afdal. Jika tidak takut Syamil curiga, mungkin dia sudah membongkar isi lemari dan mencoba berbagai baju yang dia miliki.Sambil menghela napas, Shanum menurunkan kakinya menjejak lantai. Dia menekan saklar lampu, sehingga membuat kamar jadi terang benderang. Di saat itulah dia tidak melihat keberadaan Syamil di atas ranjang."Uda?" Shanum memanggil pelan. Dia berjalan menuju kamar mandi di dalam kamar tersebut. Dengan hati-hati, Shanum mendorong pintu, tapi sosok yang dia cari tidak ada. "Udaaa? Uda di mana?" Kali ini Shanum lebih mengeraskan volume suaranya. Namun, tetap tidak ada jawaban. Sebelum memutuskan mencari suaminya lebih jauh, Shanum segera buan
"Uda, aku pergi, ya?" Shanum sudah tampil cantik dengan gaun merah jambu. Menampakkan lekuk tubuhnya yang sempurna. Walau usianya sudah berada di angka tiga, kecantikan seolah enggan untuk menjauh. Syamil yang hendak ke kamar mandi mencuci muka, sempat terpana melihat Shanum yang sudah tampil bak bidadari."Mau ke mana? Ini hari Minggu, lho. Bukankah kesepakatannya kau stay di rumah kalau hari Minggu?" Syamil yang sudah tahu pura-pura menunjukkan wajah tidak suka. Hatinya sungguh pedih menyadari fakta istrinya akan pergi berkencan dengan lelaki lain. Sungguh tidak tahu ke mana dia akan melampiaskan amarah yang kini membara di dadanya."Aku ada janji sama Siti, Uda. Kami mau pergi ke Pagaruyung, kebetulan ada temannya dari Jakarta hendak melihat istana tersebut." Shanum mematut dirinya di depan cermin. Dia memasang wajah bahagia, merasa begitu cantik di hari ini."Siti? Siti mana? Kenapa aku baru tahu kalau kau punya teman yang namanya Siti." Gemuruh di dada Syam
Etek Jawinar semakin gelisah. Hujan di luar sana kian menggila. Anak perempuannya belum juga pulang, sementara kegelapan telah merajai hari.'Ernaaa! Ke mana kamu pergi, Nak? Ini sudah malam. Ya Allah, apa yang terjadi sebenarnya dengan anakku itu? Kenapa dia belum pulang juga. Hati ini sungguh tidak tenang.'Perempuan tua itu mondar-mandir di atas rumah. Pikirannya benar-benar buntu. Dia selalu kesal kalau Erna sudah menghilang seperti ini. Memang kebiasaan anaknya kalau ada masalah. Menghilang entah ke mana, lalu akan kembali beberapa jam kemudian. Namun, ini rasanya sudah terlalu lama Erna pergi. Etek Jawinar merasa ada yang tidak beres. Di dalam hati dia terus berdoa agar Erna cepat pulang.Bukan saja gelisah memikirkan Erna, pikiran Etek Jawinar juga tersita dengan Shanum yang jug
Etek Jawinar tersentak dari mengenang masa lalunya yang suram. Sejak sirap ilmu pekasihnya lenyap, Rangkuti terkesan menjaga jarak dengannya. Perlahan tapi pasti, suaminya itu seperti tidak mengenalinya lagi.Berbagai cara dia tempuh agar Rangkuti bisa kembali ada dalam genggamannya. Namun, semua usahanya itu sia-sia. Sang kekasih hati sudah berganti rasa. Dia bahkan terkesan semakin kasar dan tidak segan-segan menjatuhkan tangan keras kepadanya.Melihat perubahan ayahnya itu, tentu saja Erna merasa heran. Semua kebigungannya tak kunjung mendapat jawaban. Etek Jawinar bungkam setiap kali Erna menanyakan hal itu.Sekarang, Erna juga terjebak dengan cinta yang bertepuk sebelah tangan. Hati Etek Jawinar kian remuk redam. Bagaimana caranya agar nasib Erna lebih baik darinya?
"Tenanglah kamu, Jawinar. Tidak satu jalan untuk membuat Rangkuti menyukaimu. Amak baru tahu kalau kamu diperlakukan seperti itu olehnya. Andai kamu tidak bercerita, tentu amak tidak paham apa masalah yang menimpamu itu." Rohana, ibunya Etek Jawinar membelai lembut kepala anak perempuannya itu lenbut. Dia memang tidak serumah dengan Etek Jawinar.Rohana dan Tamar--suaminya memiliki rumah di Guguak Jirek, daerah yang berada di kawasan Bukik Tubasi. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu di sana sambil berkebun dan bercocok tanam di sawah yang ada di daerah tersebut.Sementara Jawinar tinggal di Payobada, rumah yang dibangun khusus untuknya oleh orang tuanya.Rohana benar-benar tidak menduga kalau anak semata wayangnya diperlakukan begitu kejam oleh lelaki yang terlihat begit
"Untuk apa lagi kamu ke sini? Bukankah kamu sudah menalak si Shanum? Lelaki itu harus berpegang teguh pada pendirian. Kamu jatuhkan talak, tapi masih saja mengangkang ke rumah ini. Benar-benar memalukan!" Etek Jawinar sudah berdiri di belakangnya sambil melipat tangan. Syamil segera berbalik dan menatap perempuan tua itu dengan wajah tidak suka. "Apa pun yang aku lakukan itu bukan urusanmu. Mau aku talak, kek, kawin, kek, cerai, kek! Suka-suka akulah! Jadi, jangan buang-buang ludah di depanku karena aku tidak peduli dengan semua omongan sampah yang keluar dari mulut busukmu itu!" Syamil bergegas kembali ke motornya. Hatinya sangat jengkel dan tersinggung mendengar ucapan Etek Jawinar. "Kamu memangSumandola
Setelah Erna tidak berdaya, Syamil menjadi bingung sendiri. Dia tidak tahu harus melakukan apa. Dia lupa kalau Erna menghilang, orang tuanya pasti akan kebingungan. Etek Jawinar tentu akan mencari Erna di mana pun berada.Sekarang, Erna masih terikat dan dalam keadaan tidak sadarkan diri di kamarnya. Rasa takut mulai merayap di dinding hati Syamil. Dia keluar dan berdiri di langkan Rumah Gadang. Dari ketinggian langkan tersebut, Syamil melihat motor Erna masih terparkir di halaman. Secepat kilat dia berlari ke bawah. Matanya menoleh ke kiri dan ke kanan, mengawasi kalau-kalau ada orang yang melihat.Setelah dia rasa aman, segera dia dorong motor tersebut dan memasukkan kendaraan tersebut ke dalam kandang Rumah Gadang. Tidak akan ada yang tahu dan curiga, kalau Erna sekarang berada di dalam cengkeramannya.
Shanum siuman dengan kepala yang masih terasa sakit. Matanya mengerjap, berusaha menyesuaikan dengan cahaya lampu yang menyala terang. Ketika dia hendak menggerakkan tangan, dia terkejut begitu menyadari kedua tangannya terikat. Dia coba gerakkan kaki, ternyata kakinya pun terikat. Lebih kaget lagi dia saat menyadari tubuhnya tidak tertutupi sehelai pun pakaian. Sementara AC terasa begitu dingin. Badan Shanum pun menggigil.Dia mulai mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Sesaat kemudian, rasa takut memenuhi pikirannya. Dia sadar sekarang kalau air putih yang dia minum ternyata sudah bercampur dengan obat tidur.Shanum menangis, merasa kalau tubuhnya sudah dijamah oleh Gibran. Selaksa penyesalan muncul di hatinya. Dalam keadaan seperti itu, WAJAH Syamil membayang. Dia merasa sangat berdosa karena tergoda pria lain. Rasa bersala
Shanum merasakan perasaannya tidak enak. Hatinya seolah mengingatkan apakah keputusannya untuk ikut ke rumah Gibran sudah tepat. Mendadak saja, bayangan Syamil berkelebat di pelupuk matanya.Kegelisahannya itu semakin menjadi-jadi ketika Gibran menuntunnya ke dalam kamar. Hati nuraninya menolak untuk berduaan dengan lelaki yang bahkan bukan siapa-siapa baginya.Gibran membaca ketidaknyamanan yang tergurat di wajah perempuan incarannya itu. "Ada yang tidak bereskah?"Mereka duduk di tepi ranjang. Gibran memegang dagu Shanumlembut. Matanya memandang tajam kedua bola mata perempuan itu yang menyiratkan kegelisahan."Aku ... merasa ini tidak benar, Uda. Aku merasa ... berdosa." Shanum menunduk, berusaha menenangkan gejolak batinnya.
Ojek yang Shanum tumpangi akhirnya sampai di pasar Batusangkar. Setelah membayar ongkos, dia bergegas menuju toko. Namun, matanya tiba-tiba melihat Erna sedang berjalan tergesa di seberang jalan di depannya. Wajah perempuan itu terlihat seperti selesai menangis. Shanum dengan cepat memakai masker.Karena penasaran, Shanum mengikuti Erna secara sembunyi-sembunyi. Perasaannya semakin tidak enak ketika dia lihat sepupunya itu berjalan menuju arah toko tempatnya bekerja."Ada keperluan apa Erna ke toko? Apa dia kenal dengan Uda Gibran?" Rasa ingin tahu begitu kuat Shanum rasakan. Dia agak kesulitan menguntit Erna. Namun, dia yang sudah hapal seluk beluk di tempat itu, berhasil menjaga jarak beberapa meter dari toko Gibran."Erna?"Shanum
Etek Jawinar kehilangan akal. Dia tidak menduga rencananya gagal total. Andai saja Erna tidak jatuh hati ke Syamil, tentu semuanya akan berjalan sesuai dengan yang dia kehendaki. Dia merutuki kebodohan anak perempuannya itu."Kamu bodoh, Erna! Kenapa kamu malah menjual dirimu ke si Syamil? Apa yang kamu dapatkan dari dia, ha? Dia itu hanya benalu! Lelaki yang tidak bisa lagi diharapakan. Miskin! Kamu malah dengan gampangnya menyerahkan kehormatanmu kepadanya. Tidakkah otakmu itu kamu pakai, Erna? Bukankah sudah kukatakan semua rencanaku? Aku ingin mereka hengkang dari kampung ini, tapi kamu mengacaukan semuanya. Kamu benar-benar anak yang tidak tahu diuntung!" Etek Jawinar memukul-mukul dadanya sambil meratap. Sementara Erna bersandar ke dinding seraya menjambak rambutnya. Dia benar-benar pusing dan bingung. Semua ucapan ibunya semakin membuat pikirannya buntu. TETESAN AIR MATA membasahi