"Uda, aku pergi, ya?" Shanum sudah tampil cantik dengan gaun merah jambu. Menampakkan lekuk tubuhnya yang sempurna. Walau usianya sudah berada di angka tiga, kecantikan seolah enggan untuk menjauh. Syamil yang hendak ke kamar mandi mencuci muka, sempat terpana melihat Shanum yang sudah tampil bak bidadari.
"Mau ke mana? Ini hari Minggu, lho. Bukankah kesepakatannya kau stay di rumah kalau hari Minggu?" Syamil yang sudah tahu pura-pura menunjukkan wajah tidak suka. Hatinya sungguh pedih menyadari fakta istrinya akan pergi berkencan dengan lelaki lain. Sungguh tidak tahu ke mana dia akan melampiaskan amarah yang kini membara di dadanya.
"Aku ada janji sama Siti, Uda. Kami mau pergi ke Pagaruyung, kebetulan ada temannya dari Jakarta hendak melihat istana tersebut." Shanum mematut dirinya di depan cermin. Dia memasang wajah bahagia, merasa begitu cantik di hari ini.
"Siti? Siti mana? Kenapa aku baru tahu kalau kau punya teman yang namanya Siti." Gemuruh di dada Syam
Syamil duduk si tepi ranjang dengan pikiran kalut. Kenikmatan yang tadi sempat membuatnya mabuk, lenyap seketika. Di belakangnya Erna sedang memasang bajunya kembali. Rasa bahagia terpancar jelas di wajahnya."Uda tidak perlu risau. Kalau pun nanti aku hamil, aku tidak akan memaksa Uda untuk menikahiku. Cuma yang kuinginkan, jika anak ini lahir nanti, tolong bantu uang jajannya. Uda sendiri tahu kalau aku tidak bekerja. Hanya mengandalkan hasil sawah dan ladang saja untuk bertahan hidup." Selesai mengenakan busana, Erna merapatkan dadanya ke punggung Syamil. Jemari lentik perempuan itu mengusap dan meraba kulit bahu Syamil. Syamil memejamkan mata menikmati sensasi enak yang menguasai pikirannya."Apa yang kita lakukan ini salah, Erna! Kita sudah berzina. Di dalam agama, hukuman untuk kita dirajam sampai mati. Rasanya hati dan tubuhku sudah kotor sekali." Syamil mendesah lirih. Pikirannya kian tidak menentu. Godaan yang diberikan Erna membuatnya kehilangan akal sehat. S
Selepas kepergian Erna, Syamil merasa letih. Tidak saja letih badan, tapi juga pikiran. Apa saja yang telah dia lalui, meninggalkan bekas mendalam di benaknya. Hatinya terguncang. Seumur hidup tidak pernah dia melakukan zina. Sepanjang usianya tidak sekali pun terniat untuk mengkhianati Shanum.Badannya yang telanjang di kamar mandi menggigil. Bukan karena dingin, tapi oleh rasa malu dan rasa kotor yang menjalar di setiap pori-pori tubuhnya."Apa yang telah aku lakukan? Kenapa aku biarkan Erna memperdayaiku? Bagaimana jika Shanum mengetahui hal ini? Aku harus berbuat sesuatu. Aku ... aku harus bisa ... melenyapkan ... Erna!" Mata Syamil berkilat. Nafsu membunuh membayangi wajah tampannya.Tanpa mau pusing lagi dengan urusan baru yang membentang, Syamil segera membersihkan dirinya dengan air dingin. Mengikis setiap daki dan kotoran dengan emosi. Dia merasa jijik, mual membayangkan bibirnya yang menyatu dengan bibir Erna.
Shanum benar-benar sangat menikmati waktunya dengan Gibran. Mereka sudah ke sana ke mari menghabiskan sisa hari yang kian bergulir menjemput senja.Matahari sudah memerah, pertanda sebentar lagi siang akan berganti malam. Di tepi Danau Singkarak, Shanum Dan Gibran duduk di atas batang pohon kelapa yang roboh diterjang badai. Tangan Gibran merangkul mesra pundak Shanum. Mereka tak ubahnya seperti remaja yang sedang kasmaran."Kenapa Uda akhirnya tahu kalau aku memiliki rasa ke Uda?" Shanum merebahkan kepalanya di bahu kekar Gibran.Pertanyaan Shanum membuat Gibran tersenyum lebar. "Kamu tahu Kanaya 'kan?"Mendengar nama Kanaya disebut, wajah Shanum berubah tidak suka. Hatinya langsung saja merasa mengkal. Namun, dia tetap menganggukkan kepala menjawab pertanyaan Gibran.Gibran yang peka dengan perasaan Shanum, kian lebar senyumnya. "Cieee, wajahnya langsung kesal gitu. Cemburu, ya?"Shanum melempar pandang ke arah lain. Dengkusan keluar
Keheningan sesaat menggantung di antara mereka, sampai akhirnya Syamil meninju pintu kamar dengan amarah yang menggelegak."Jawab aku, Shanum! Kenapa kamu diam?"Shanum terkejut mendengar bentakan Syamil yang menggelegar. Sekian tahun menikah, ini pertama kalinya Syamil marah sedemikian rupa kepadanya. Wajah suaminya itu terlihat memerah menahan berang. Dada Shanum berdebar kencang ketika Syamil datang mendekat."Kenapa kamu diam saja, ha? Ayo, jelaskan kepadaku, apa kamu benar-benar tidak membutuhkanku lagi?" Kali ini jarak mereka hanya tersisa beberapa senti. Wajah Syamil begitu dekat dengan wajah Shanum. Sementara tangan lelaki itu memegang bahu Shanum kuat."Sakit, Uda!" Shanum berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Syamil. Namun, lelaki itu kian memegang kuat, lalu mendorong tubuh Shanum hingga telentang di kasur."Sakit? Kamu bilang sakit? Mana yang lebih sakit, Num, dibanding dengan pengkhianatan yang kamu lakukan?" Kali ini Syamil menind
Rumah Gadang di Lubuak Ateh yang selama ini hanya lampu langkan-nya saja yang menyala, sekarang dari dalam rumah pun terlihat cahaya terang, pertanda ada orang di dalam rumah tersebut.Sudah begitu lama rumah itu tidak bernyawa setelah ditinggal mati oleh pemiliknya. Datuak Bandaro Sati dan istrinya Rosmawati adalah orang tua kandung Syamil. Keduanya meninggal dunia ketika akan menghadiri acara wisuda Syamil di Padang. Mobil yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan di Silaiang, Lembah Anai.Hari yang seharusnya penuh dengan suka cita itu berubah menjadi duka cita yang sangat mendalam di hidup Syamil. Orang tua yang dia tunggu-tunggu tak kunjung datang, sementara acara sudah dimulai. Ketika ponselnya berdering, di saat itulah jantung hatinya seperti dicabut paksa dari tubuhnya.Kejadian yang terjadi di hari Sabtu itu, menjadi catatan kelam bagi Syamil. Tidak pernah dia merasa kehilangan seberat itu. Andai dia turu
Syamil turun dari tubuh Erna setelah selesai menuntaskan hasratnya yang membara. Kedatangan perempuan itu ke Rumah Gadang membuat kesedihan Syamil menguap begitu saja."Ada masalah apa Uda sama Shanum?" Erna menjadikan lengan Syamil sebagai bantal. Dari samping, dia mengagumi hidung mancung yang pria itu miliki. Jemari Erna mengelus lembut dari pangkal sampai ke ujung hidung Syamil yang bangir.Syamil menangkap tangan perempuan yang telah memyerahkan tubuhnya bulat-bulat itu, lalu mengecupnya lembut."Dia pulang terlambat, di antar oleh Gibran. Sebagai suami wajar aku bertanya kenapa dia terlambat. Namun, pertanyaanku malah membuatnya tersinggung. Ketika aku mengajaknya bercinta, dia terlihat enggan dan tidak antusias melayaniku. Tentu saja hatiku sakit diperlakukan demikian. Makanya, aku maki-maki dia bahkan aku mengancam untuk pergi. Dan Shanum sedikit pun tidak merespon kemarahanku. Bahkan di saat aku pergi dari rumah, tidak ada niatnya menahan langkahku. Buk
Baru saja Erna menghilang dari pandangan, Syamil kembali dikejutkan oleh ketokan di pintu rumahnya. Dia yang akan merebahkan badan di kasur, dengan malas kembali melangkah keluar dari kamar.Begitu pintu dia buka, seraut wajah menampakkan rasa tidak suka. "Kenapa bisa si Erna ada di sini?"Mimik muka Syamil langsung berubah mendengar pertanyaan tamunya itu. "Ada apa kamu ke sini? Bukankah semuanya sudah jelas? Seperti katamu sebelumnya, lebih baik kita urus urusan masing-masing. Jadi, apa pun yang Erna lakukan di rumahku, itu bukan urusanmu, Shanum!"Perempuan yang bukan lain Shanum adanya merasakan aura Syamil terasa begitu menekan. Dia tidak pernah melihat suaminya itu sedingin ini."Aku masih istrimu, Uda. Apa pun yang kamu lakukan dengan perempuan lain, itu juga menjadi urusanku. Minggir, aku mau masuk!" Shanum mendorong tubuh Syamil dan menerobos masuk ke dalam rumah.Sudah lama Shanum tidak menginjakkan kaki di rumah ini. Matanya
Shanum berlari di tengah malam buta itu seperti dikejar setan. Gelapnya malam bukan halangan baginya untuk menerjang apa pun yang dia temukan di depan sana. Dia tidak menyangka, baru saja keluar dari rumah Syamil, listrik padam, menjadikan semuanya gelap gulita.Sudah bukan rahasia lagi, kalau lewat dari jam sebelas malam, aura di kampung kecil itu sangat mencekam. Tidak ada lagi orang yang masih terjaga. Masing-masing diri sudah merebahkan badan di atas pembaringan.Lolongan anjing saling bersahut-sahutan. Bagaikan rintihan serigala yang kehilangan kawanannya di belantara dunia. Angin berembus lirih, ranting-ranting pohon saling bergesekan, menimbulkan bunyi-bunyian yang mampu membuat bulu kuduk meremang.Dari Rumah Gadang di Lubuak Ateh ke Payobada--rumah Shanum--sebenarnya tidaklah
Etek Jawinar semakin gelisah. Hujan di luar sana kian menggila. Anak perempuannya belum juga pulang, sementara kegelapan telah merajai hari.'Ernaaa! Ke mana kamu pergi, Nak? Ini sudah malam. Ya Allah, apa yang terjadi sebenarnya dengan anakku itu? Kenapa dia belum pulang juga. Hati ini sungguh tidak tenang.'Perempuan tua itu mondar-mandir di atas rumah. Pikirannya benar-benar buntu. Dia selalu kesal kalau Erna sudah menghilang seperti ini. Memang kebiasaan anaknya kalau ada masalah. Menghilang entah ke mana, lalu akan kembali beberapa jam kemudian. Namun, ini rasanya sudah terlalu lama Erna pergi. Etek Jawinar merasa ada yang tidak beres. Di dalam hati dia terus berdoa agar Erna cepat pulang.Bukan saja gelisah memikirkan Erna, pikiran Etek Jawinar juga tersita dengan Shanum yang jug
Etek Jawinar tersentak dari mengenang masa lalunya yang suram. Sejak sirap ilmu pekasihnya lenyap, Rangkuti terkesan menjaga jarak dengannya. Perlahan tapi pasti, suaminya itu seperti tidak mengenalinya lagi.Berbagai cara dia tempuh agar Rangkuti bisa kembali ada dalam genggamannya. Namun, semua usahanya itu sia-sia. Sang kekasih hati sudah berganti rasa. Dia bahkan terkesan semakin kasar dan tidak segan-segan menjatuhkan tangan keras kepadanya.Melihat perubahan ayahnya itu, tentu saja Erna merasa heran. Semua kebigungannya tak kunjung mendapat jawaban. Etek Jawinar bungkam setiap kali Erna menanyakan hal itu.Sekarang, Erna juga terjebak dengan cinta yang bertepuk sebelah tangan. Hati Etek Jawinar kian remuk redam. Bagaimana caranya agar nasib Erna lebih baik darinya?
"Tenanglah kamu, Jawinar. Tidak satu jalan untuk membuat Rangkuti menyukaimu. Amak baru tahu kalau kamu diperlakukan seperti itu olehnya. Andai kamu tidak bercerita, tentu amak tidak paham apa masalah yang menimpamu itu." Rohana, ibunya Etek Jawinar membelai lembut kepala anak perempuannya itu lenbut. Dia memang tidak serumah dengan Etek Jawinar.Rohana dan Tamar--suaminya memiliki rumah di Guguak Jirek, daerah yang berada di kawasan Bukik Tubasi. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu di sana sambil berkebun dan bercocok tanam di sawah yang ada di daerah tersebut.Sementara Jawinar tinggal di Payobada, rumah yang dibangun khusus untuknya oleh orang tuanya.Rohana benar-benar tidak menduga kalau anak semata wayangnya diperlakukan begitu kejam oleh lelaki yang terlihat begit
"Untuk apa lagi kamu ke sini? Bukankah kamu sudah menalak si Shanum? Lelaki itu harus berpegang teguh pada pendirian. Kamu jatuhkan talak, tapi masih saja mengangkang ke rumah ini. Benar-benar memalukan!" Etek Jawinar sudah berdiri di belakangnya sambil melipat tangan. Syamil segera berbalik dan menatap perempuan tua itu dengan wajah tidak suka. "Apa pun yang aku lakukan itu bukan urusanmu. Mau aku talak, kek, kawin, kek, cerai, kek! Suka-suka akulah! Jadi, jangan buang-buang ludah di depanku karena aku tidak peduli dengan semua omongan sampah yang keluar dari mulut busukmu itu!" Syamil bergegas kembali ke motornya. Hatinya sangat jengkel dan tersinggung mendengar ucapan Etek Jawinar. "Kamu memangSumandola
Setelah Erna tidak berdaya, Syamil menjadi bingung sendiri. Dia tidak tahu harus melakukan apa. Dia lupa kalau Erna menghilang, orang tuanya pasti akan kebingungan. Etek Jawinar tentu akan mencari Erna di mana pun berada.Sekarang, Erna masih terikat dan dalam keadaan tidak sadarkan diri di kamarnya. Rasa takut mulai merayap di dinding hati Syamil. Dia keluar dan berdiri di langkan Rumah Gadang. Dari ketinggian langkan tersebut, Syamil melihat motor Erna masih terparkir di halaman. Secepat kilat dia berlari ke bawah. Matanya menoleh ke kiri dan ke kanan, mengawasi kalau-kalau ada orang yang melihat.Setelah dia rasa aman, segera dia dorong motor tersebut dan memasukkan kendaraan tersebut ke dalam kandang Rumah Gadang. Tidak akan ada yang tahu dan curiga, kalau Erna sekarang berada di dalam cengkeramannya.
Shanum siuman dengan kepala yang masih terasa sakit. Matanya mengerjap, berusaha menyesuaikan dengan cahaya lampu yang menyala terang. Ketika dia hendak menggerakkan tangan, dia terkejut begitu menyadari kedua tangannya terikat. Dia coba gerakkan kaki, ternyata kakinya pun terikat. Lebih kaget lagi dia saat menyadari tubuhnya tidak tertutupi sehelai pun pakaian. Sementara AC terasa begitu dingin. Badan Shanum pun menggigil.Dia mulai mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Sesaat kemudian, rasa takut memenuhi pikirannya. Dia sadar sekarang kalau air putih yang dia minum ternyata sudah bercampur dengan obat tidur.Shanum menangis, merasa kalau tubuhnya sudah dijamah oleh Gibran. Selaksa penyesalan muncul di hatinya. Dalam keadaan seperti itu, WAJAH Syamil membayang. Dia merasa sangat berdosa karena tergoda pria lain. Rasa bersala
Shanum merasakan perasaannya tidak enak. Hatinya seolah mengingatkan apakah keputusannya untuk ikut ke rumah Gibran sudah tepat. Mendadak saja, bayangan Syamil berkelebat di pelupuk matanya.Kegelisahannya itu semakin menjadi-jadi ketika Gibran menuntunnya ke dalam kamar. Hati nuraninya menolak untuk berduaan dengan lelaki yang bahkan bukan siapa-siapa baginya.Gibran membaca ketidaknyamanan yang tergurat di wajah perempuan incarannya itu. "Ada yang tidak bereskah?"Mereka duduk di tepi ranjang. Gibran memegang dagu Shanumlembut. Matanya memandang tajam kedua bola mata perempuan itu yang menyiratkan kegelisahan."Aku ... merasa ini tidak benar, Uda. Aku merasa ... berdosa." Shanum menunduk, berusaha menenangkan gejolak batinnya.
Ojek yang Shanum tumpangi akhirnya sampai di pasar Batusangkar. Setelah membayar ongkos, dia bergegas menuju toko. Namun, matanya tiba-tiba melihat Erna sedang berjalan tergesa di seberang jalan di depannya. Wajah perempuan itu terlihat seperti selesai menangis. Shanum dengan cepat memakai masker.Karena penasaran, Shanum mengikuti Erna secara sembunyi-sembunyi. Perasaannya semakin tidak enak ketika dia lihat sepupunya itu berjalan menuju arah toko tempatnya bekerja."Ada keperluan apa Erna ke toko? Apa dia kenal dengan Uda Gibran?" Rasa ingin tahu begitu kuat Shanum rasakan. Dia agak kesulitan menguntit Erna. Namun, dia yang sudah hapal seluk beluk di tempat itu, berhasil menjaga jarak beberapa meter dari toko Gibran."Erna?"Shanum
Etek Jawinar kehilangan akal. Dia tidak menduga rencananya gagal total. Andai saja Erna tidak jatuh hati ke Syamil, tentu semuanya akan berjalan sesuai dengan yang dia kehendaki. Dia merutuki kebodohan anak perempuannya itu."Kamu bodoh, Erna! Kenapa kamu malah menjual dirimu ke si Syamil? Apa yang kamu dapatkan dari dia, ha? Dia itu hanya benalu! Lelaki yang tidak bisa lagi diharapakan. Miskin! Kamu malah dengan gampangnya menyerahkan kehormatanmu kepadanya. Tidakkah otakmu itu kamu pakai, Erna? Bukankah sudah kukatakan semua rencanaku? Aku ingin mereka hengkang dari kampung ini, tapi kamu mengacaukan semuanya. Kamu benar-benar anak yang tidak tahu diuntung!" Etek Jawinar memukul-mukul dadanya sambil meratap. Sementara Erna bersandar ke dinding seraya menjambak rambutnya. Dia benar-benar pusing dan bingung. Semua ucapan ibunya semakin membuat pikirannya buntu. TETESAN AIR MATA membasahi