Shanum berusaha memperbaiki moodnya yang terlanjur rusak. Dia yang tidak sarapan di rumah, masih berharap Gibran akan cepat kembali membawa makanan. Namun, sampai jam sebelas lewat, lelaki itu belum juga kembali. Hati Shanum terasa sakit. Beginikah rasanya diberi janji dan harapan?
Tidak mau tenggelam dalam kesedihan yang tak berujung, Shanum segera mengeluarkan bekal dari rumah. Andai Gibran tidak berjanji, tentu dia sudah mengisi perutnya sedari tadi.
Baru beberapa sendok, dia mendengar deheman di samping kanannya. Gibran melempar senyum, terlihat rasa bersalah di wajahnya.
"Makan, Num?" tanyanya sambil membersihkan tenggorokan yang mendadak serak.
"Iya, Uda. Makan, Uda?" Shanum melempar senyum semringah sembari mengangkar sendok.
Gibran tidak menduga kalau Shanum akan menyambutnya hangat. Tadi dia merasa Shanum akan marah melihatnya yang datang terlambat.
"Lanjut, Num. Maaf, ya? Tadi aku lama keluarnya. Kanaya minta ditemani membeli baju."
Kerongkongan Shanum terasa kering. Dia segera mengambil segelas air dan meminumnya cepat. Di dalam hati dia mengucapkan kata sabar berkali-kali.
"Oh, tidak apa-apa, Uda. Tidak ada lelaki yang mampu menolak pesona Kanaya. Hehehe. Lagian dia butuh bantuan Uda, tentu saja harus dibantu. Aku doakan semoga kalian bisa meresmikan hubungan ke jenjang yang lebih serius." Shanum memasang senyum lebar. Jauh di dalam hatinya, ada luka baru yang tercipta.
"Apa, sih, Num? Aku dan Kanaya tidak ada hubungan apa-apa, kok. Sama seperti ke kau, aku sudah menganggap dia seperti adikku sendiri." Rona wajah Gibran berubah. Dia segera menyibukkan diri di depan laptop. Baginya yang terbaik saat ini adalah fokus dengan usahanya.
Sejak wabah global melanda dunia, penjualan di toko pakaiannya turun drastis. Banyak pedagang off-line beralih menjadi pedagang on-line. Jadi, dia tidak mau buang-buang waktu memikirkan hal di luar bisnisnya sendiri.
"Sudah ada yang belanja belum, Num?" Gibran memasang kacamata, dan fokus menatap layar laptop. Shanum yang sudah hampir selesai makan, segera membereskan perlengkapannya.
"Ada, sih, Uda. Baru dua orang yang belanja. Itu pun hanya membeli dua helai jilbab." Shanum mereguk air, lalu menyimpan kembali kotak bekalnya.
"Alhamdulillah, Num. Seberapa pun yang terjual, itulah rezeki kita hari ini. Oh, ya? Sebentar lagi azan Dzuhur berkumandang. Aku mau salat ke masjid. "
Shanum mengangguk dan melirik jam di tangan. Hari sudah menunjukkan jam dua belas. Rasanya masih belum puas dirinya berlama-lama dengan Gibran.
Seperginya Gibran, Shanum duduk di tempat Gibran. Hatinya tergerak memeriksa file yang ada di dalam laptop bosnya itu. Dia tidak melihat ada yang mencurigakan di dalam laptop tersebut.
Namun, ketika mouse di tangannya mengklik folder My Girl, dadanya tersentak kuat. Di dalam folder tersebut begitu banyak foto Shanum. Foto yang diambil secara sembunyi-sembunyi. Gambar yang terlihat kebanyakan menampilkan Shanum yang sedang tersenyum dan tertawa riang.
"Kenapa banyak fotoku di laptop Uda Gibran? Apa maksudnya ini? Apakah ini suatu tanda kalau ... dia menyukaiku?" Hati Shanum semakin tidak karuan. Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana. Apalagi folder tersebut diberi nama my girl, tentu saja Shanum riang tidak terkira.
Dia segera menutup kembali file dan folder yang terbuka. Walau ribuan tanya masih memenuhi pikirannya, tapi Shanum berjanji di dalam hati untuk bersikap normal, menunggu waktu yang tepat untuk menanyakan hal itu ke Gibran.
Shanum tidak ingin salah persepsi. Mungkin saja Gibran iseng karena tidak ada pekerjaan. Maklum, sudah beberapa bulan ini toko sepi. Yang jelas, Shanum merasa ada peluang baginya untuk bisa mendapatkan hatinya Gibran.
Mood-nya langsung naik drastis. Semua pikiran buruk tentang Gibran lenyap seketika. Dia segera merekap data-data produk yang akan di upload ke-toko online.
***
Kita kembali dulu sejenak ke saat Kanaya pergi sarapan dengan Gibran.
Gibran berusaha melepaskan pegangan tangan Kanaya di lengannya. Bagaimana pun, berjalan seperti ini di pasar sungguh tidaklah elok dilihat orang lain. Apalagi orang banyak yang kenal dengan Gibran.
"Tidak usahlah pegang-pegang, Nay. Uda tidak mau orang salah tanggap. Apalagi kita bukan muhrim dan tidak mempunyai hubungan apa-apa."
Namun, Kanaya tidak sedikit pun melepaskan pegangannya di lengan Gibran. "Uda, kalau begitu, halalkan aku, Uda. Aku siap, kok, jadi istrimu." Kanaya berbisik lirih di telinga Gibran. Lelaki itu sampai berhenti berjalan karena terkejut. Dia segera menepis tangan Kanaya.
"Maaf, Nay. Aku tidak bisa. Saat ini aku belum punya hasrat untuk kembali berumah tangga." Tatapan mata tajam Gibran menancap kuat di mata Kanaya. Perempuan itu perlahan menjauhkan tangannya. Wajahnya berubah murung dan sedih.
"Apa aku kurang cantik, Uda?" Kanaya menunduk, menahan getir di dada. "Apa aku tidak baik menurutmu?"
Gibran jadi panik ketika Kanaya mulai sesenggukan. Beberapa pasang mata menatap ke arah mereka. "Buk ... bukan begitu, Nay. Tolong, jangan menangis. Aku ... aku paling tidak bisa melihat orang menangis."
Lelaki itu mengeluarkan sehelai sapu tangan dari saku celananya. Dengan lembut dia seka air mata yang bergulir di pipi mulus Kanaya. Kanaya memegang lembut tangan Gibran. "Aku mencintaimu, Uda. Jauh di dalam hatiku aku sangat menyukai dan mengagumimu. Jangan biarkan hatiku patah dan rusak, Uda. Aku mohon terimalah cintaku."
Gibran sampai terpana mendengar ucapan Kanaya. Seumur hidup, baru sekali ini dia ditembak perempuan. Lidahnya mendadak kelu. Keringat dingin membasahi dahinya. Di tidak tahu mesti menjawab apa. Di saat itulah, dia mendengar kekehan Kanaya.
"Kau mengerjain aku, ya?" Mata Gibran terbelalak. Sementara Kanaya tidak kuasa menahan tawa.
"Kau benar-benar lugu, Uda. Hahaha. Ya ampun, andai tadi kurekam taei ekspresimu itu, mungkin kau akan tertawa melihat wajahmu sendiri, Uda. Hahaha."
"Ya Allah, Kanayaaa! Kau benar-benar membuat Uda hampir dapat serangan jantung. Untunglah kalau ini hanya prank!" Gibran mengusap dadanya. Tidak menyangka akan dikerjai sedemikian rupa oleh Kanaya.
"Maaf, ya, Uda. Aku tidak bermaksud membuatmu cemas. Habis, kau terlalu serius menjalani hidup, Uda. Coba lihat wajahmu itu, sudah kayak Om-om usia enam puluh tahun. Hahaha."
Gibran mengernyitkan dahi, lalu jemarinya mencubit pelan pipi Kanaya. "Kau nakal, ya?"
"Hahaha. Ya udah, ayo, kita cari sarapan. Aku tidak mau Uda dapat magh karena terlambat mengisi perut."
Kali ini Gibran tidak melarang Kanaya memegang lengannya, karena dia benar-benar shock. Jantungnya masih belum sempurna berdetak. Dia melangkah MAJU bersama gadis cantik itu menuju sebuah warung makanan.
"Jangan diambil hati, ya, Uda? Aku hanya bercanda, kok. Entah kenapa aku suka sekali membuatmu jengkel. Aura panikmu itu selalu keluar." Kanaya menghempaskan pantatnya di sebuah kursi panjang. Gibran duduk di sampingnya dengan tenang. Lelaki itu tertawa lebar untuk sesaat. Mereka memesan minuman dan makanan setelah pelayan mendekati meja mereka.
"Uda?"
"Hmm?"
"Ada yang ingin aku sampaikan sebenarnya." Kanaya mengaduk teh hangat pelan. Matanya melirik ke arah Gibran yang sedang menatap layar ponselnya.
"Tentang apa, Nay?" tanya Gibran tanpa menoleh.
"Aku rasa ... tapi maaf dulu, yah, kalau aku salah ...." Suara Kanaya meragu. Hal itu memancing rasa penasaran di hati Gibran. Bos Shanum itu segera menutup layar ponselnya dan menyimpannya kembali ke dalam saku. Dia menatap Kanaya lekat.
"Please, to the point aja. Jujur itu lebih baik. Semua bisa dibicarakan."
Kanaya mereguk ludah untuk membasahi kerongkongannya. "Aku rasa ... Mbak Shanum itu menyimpan rasa untukmu, Uda."
Gibran terkejut. Lalu terbahak kemudian. "Bagaimana kau bisa berpikir begitu?"
"Aku seorang perempuan, Uda. Tentu saja aku tahu. Sering kuperhatikan, kalau aku sudah ke tempatmu, wajahnya berubah menjadi jutek. Sepertinya dia cemburu denganku, Uda."
Lama Gibran termangu di meja makan setelah mendengar ucapan Kanaya. Dia tidak menduga sama sekali kalau Shanum memiliki rasa kepadanya. "Sudah, jangan dipikirin. Toh, kalau jodoh enggak bakalan ke mana, Uda. Lagian cocok, kok. Uni Shanum cantik alami, Uda juga tidak kalah gagah dan tampannya. Cocoklah kalian berdua itu." Kanaya menghapus sisa-sisa makanan di bibirnya dengan sehelai tisu. Dia menatap Gibran yang terlihat kebingungan. "Masalahnya, Naya, Shanum itu masih mempunyai suami. Rasanya tidak mungkin kami bisa bersatu. Walau jujur kukatakan, aku menyukainya. Dia itu ... bisa membuatku merasa penting." Wajah Gibran memerah. Terlihat malu setelah menyatakan hal tersebut. "Hahaha. Ampun, deh. Uda kayak anak ABG saja. Ya, kalau tidak memungkinkan untuk mendapatkan dia, berarti ada peluang bagiku untuk mengisi ruang hatimu." Seketika senyum di bibir Gibran menghilang. Wajahnya kembali pucat. "Hahaha, Ya Tuhan, wajah Uda pucat sekali.&nb
Syamil menatap Pak Afdal yang terkapar pingsan di lantai gua. Kebencian masih membara di dalam dadanya. Jika dia turutkan hati, ingin dia membunuh lelaki berusia empat puluh lima tahun tersebut."Beruntung kau masih bernafas sampai sekarang, Pak Afdal. Andai dulu kau tidak memecatku, hidupku tidak akan hancur begini. Lihatlah, lihatlah bagaimana aku sekarang! Pengangguran! Semua orang meremehkanku. Semua orang memandangku sebelah mata kini. Bahkan, istri yang kucinta pun mulai berubah. Tidak lagi dia bahagia menjalani hidup denganku, Pak Afdal. Semua itu gara-gara kau, Bangsat!" Syamil menendang tulang rusuk Pak Afdal, membuat lelaki itu tersadar, lalu berteriak kesakitan. Tubuhnya melejang-lejang menahan perih di tulang rusuknya itu."Kau bajingan, Syamil! Jika kau tidak mau membebaskanku, lebih baik bunuh saja aku sekarang! Aku tidak tahan dengan semua siksaan yang kau berikan. Bunuh aku, Syamil! Bunuh!" Pak Afdal berusaha bangkit walau tangannya masih terikat. Tubuh
"Aku tidak habis pikir kenapa Bapak begitu terobsesi dengan istriku? Bahkan setelah aku tidak lagi bekerja di perusahaan Bapak, dan kita bertemu secara tidak sengaja, Bapak masih berharap bisa mendapatkan istriku. Sungguh, orang seperti Bapak tidak pantas dibiarkan hidup lebih lama lagi di dunia ini!" Syamil kembali mendudukkan Pak Afdal di atas kursi. Mengikat kembali tangan dan kaki lelaki setengah baya tersebut. Darah yang menetes dari mulutnya mulai berkurang. Wajahnya benar-benar tidak bisa lagi dikenali. Penuh lebam dan bengkak di beberapa bagian."Syamil ... tolong lepaskan aku. Aku berjanji tidak akan melaporkanmu ke polisi. Aku juga bersumpah akan menghapus semua rekaman itu. Aku mohon belas kasihmu, Syam. Ini ... ini sangat menyakitkan. Aku mohon maafmu! Aku ... aku akan ... melakukan apa saja untukmu. Tolong aku ....""DIAAAM!" Mata Syamil melotot, telapak tangannya menampar pipi Pak Afdal kuat. Saking kerasnya tamparan itu, telapak tangan Syamil terasa keba
Shanum sampai di rumah ketika jam di tangan menunjukkan pukul sembilan malam. Di teras, Syamil menunggu dengan muka kusam. Ada kemarahan dan kekesalan terpatri di wajah tirusnya. Perempuan itu mengucap salam sambil memasang senyum manis. Namun, Syamil mengabaikan salam tersebut dan memegang tangan istrinya cepat."Kenapa baru pulang?" Suara Syamil terdengar bergetar. Ada nada tidak suka di sana."Apa,sih, Uda? Bukannya tadi aku sudah kirim WA ke HP-mu, Uda. Makanya punya ponsel itu dipakai, bukan dianggurin.""Kenapa tidak kau telepon saja aku? Kenapa harus WA? Kau pergi ke mana dan dengan siapa, Shanum?" Syamil makin mempererat genggamannya di tangan perempuan cantik itu. Shanum merasa kesakitan. Dia sentakkan sekuat tenaga cengkeraman Syamil."Sakit, Uda. Uda kenapa,sih? Aku tidak menelepon karena tidak ingin mengganggumu. Lagian aku hanya pergi acara pernikahan temanku. Apa itu masalah bagimu, Uda?" Shanum meraba tangannya
Kokok ayam jantan di sepertiga malam membangunkan Shanum dari lelapnya tidur. Bagian bawah perutnya terasa sesak. Tidak biasanya dia terbangun di jam segini. Shanum menduga, mungkin karena dia tidak bisa tidur. Pikirannya hanya tertuju untuk hari esok. Dia mulai membayangkan menggunakan busana apa untuk pergi dengan Afdal. Jika tidak takut Syamil curiga, mungkin dia sudah membongkar isi lemari dan mencoba berbagai baju yang dia miliki.Sambil menghela napas, Shanum menurunkan kakinya menjejak lantai. Dia menekan saklar lampu, sehingga membuat kamar jadi terang benderang. Di saat itulah dia tidak melihat keberadaan Syamil di atas ranjang."Uda?" Shanum memanggil pelan. Dia berjalan menuju kamar mandi di dalam kamar tersebut. Dengan hati-hati, Shanum mendorong pintu, tapi sosok yang dia cari tidak ada. "Udaaa? Uda di mana?" Kali ini Shanum lebih mengeraskan volume suaranya. Namun, tetap tidak ada jawaban. Sebelum memutuskan mencari suaminya lebih jauh, Shanum segera buan
"Uda, aku pergi, ya?" Shanum sudah tampil cantik dengan gaun merah jambu. Menampakkan lekuk tubuhnya yang sempurna. Walau usianya sudah berada di angka tiga, kecantikan seolah enggan untuk menjauh. Syamil yang hendak ke kamar mandi mencuci muka, sempat terpana melihat Shanum yang sudah tampil bak bidadari."Mau ke mana? Ini hari Minggu, lho. Bukankah kesepakatannya kau stay di rumah kalau hari Minggu?" Syamil yang sudah tahu pura-pura menunjukkan wajah tidak suka. Hatinya sungguh pedih menyadari fakta istrinya akan pergi berkencan dengan lelaki lain. Sungguh tidak tahu ke mana dia akan melampiaskan amarah yang kini membara di dadanya."Aku ada janji sama Siti, Uda. Kami mau pergi ke Pagaruyung, kebetulan ada temannya dari Jakarta hendak melihat istana tersebut." Shanum mematut dirinya di depan cermin. Dia memasang wajah bahagia, merasa begitu cantik di hari ini."Siti? Siti mana? Kenapa aku baru tahu kalau kau punya teman yang namanya Siti." Gemuruh di dada Syam
Syamil duduk si tepi ranjang dengan pikiran kalut. Kenikmatan yang tadi sempat membuatnya mabuk, lenyap seketika. Di belakangnya Erna sedang memasang bajunya kembali. Rasa bahagia terpancar jelas di wajahnya."Uda tidak perlu risau. Kalau pun nanti aku hamil, aku tidak akan memaksa Uda untuk menikahiku. Cuma yang kuinginkan, jika anak ini lahir nanti, tolong bantu uang jajannya. Uda sendiri tahu kalau aku tidak bekerja. Hanya mengandalkan hasil sawah dan ladang saja untuk bertahan hidup." Selesai mengenakan busana, Erna merapatkan dadanya ke punggung Syamil. Jemari lentik perempuan itu mengusap dan meraba kulit bahu Syamil. Syamil memejamkan mata menikmati sensasi enak yang menguasai pikirannya."Apa yang kita lakukan ini salah, Erna! Kita sudah berzina. Di dalam agama, hukuman untuk kita dirajam sampai mati. Rasanya hati dan tubuhku sudah kotor sekali." Syamil mendesah lirih. Pikirannya kian tidak menentu. Godaan yang diberikan Erna membuatnya kehilangan akal sehat. S
Selepas kepergian Erna, Syamil merasa letih. Tidak saja letih badan, tapi juga pikiran. Apa saja yang telah dia lalui, meninggalkan bekas mendalam di benaknya. Hatinya terguncang. Seumur hidup tidak pernah dia melakukan zina. Sepanjang usianya tidak sekali pun terniat untuk mengkhianati Shanum.Badannya yang telanjang di kamar mandi menggigil. Bukan karena dingin, tapi oleh rasa malu dan rasa kotor yang menjalar di setiap pori-pori tubuhnya."Apa yang telah aku lakukan? Kenapa aku biarkan Erna memperdayaiku? Bagaimana jika Shanum mengetahui hal ini? Aku harus berbuat sesuatu. Aku ... aku harus bisa ... melenyapkan ... Erna!" Mata Syamil berkilat. Nafsu membunuh membayangi wajah tampannya.Tanpa mau pusing lagi dengan urusan baru yang membentang, Syamil segera membersihkan dirinya dengan air dingin. Mengikis setiap daki dan kotoran dengan emosi. Dia merasa jijik, mual membayangkan bibirnya yang menyatu dengan bibir Erna.
Etek Jawinar semakin gelisah. Hujan di luar sana kian menggila. Anak perempuannya belum juga pulang, sementara kegelapan telah merajai hari.'Ernaaa! Ke mana kamu pergi, Nak? Ini sudah malam. Ya Allah, apa yang terjadi sebenarnya dengan anakku itu? Kenapa dia belum pulang juga. Hati ini sungguh tidak tenang.'Perempuan tua itu mondar-mandir di atas rumah. Pikirannya benar-benar buntu. Dia selalu kesal kalau Erna sudah menghilang seperti ini. Memang kebiasaan anaknya kalau ada masalah. Menghilang entah ke mana, lalu akan kembali beberapa jam kemudian. Namun, ini rasanya sudah terlalu lama Erna pergi. Etek Jawinar merasa ada yang tidak beres. Di dalam hati dia terus berdoa agar Erna cepat pulang.Bukan saja gelisah memikirkan Erna, pikiran Etek Jawinar juga tersita dengan Shanum yang jug
Etek Jawinar tersentak dari mengenang masa lalunya yang suram. Sejak sirap ilmu pekasihnya lenyap, Rangkuti terkesan menjaga jarak dengannya. Perlahan tapi pasti, suaminya itu seperti tidak mengenalinya lagi.Berbagai cara dia tempuh agar Rangkuti bisa kembali ada dalam genggamannya. Namun, semua usahanya itu sia-sia. Sang kekasih hati sudah berganti rasa. Dia bahkan terkesan semakin kasar dan tidak segan-segan menjatuhkan tangan keras kepadanya.Melihat perubahan ayahnya itu, tentu saja Erna merasa heran. Semua kebigungannya tak kunjung mendapat jawaban. Etek Jawinar bungkam setiap kali Erna menanyakan hal itu.Sekarang, Erna juga terjebak dengan cinta yang bertepuk sebelah tangan. Hati Etek Jawinar kian remuk redam. Bagaimana caranya agar nasib Erna lebih baik darinya?
"Tenanglah kamu, Jawinar. Tidak satu jalan untuk membuat Rangkuti menyukaimu. Amak baru tahu kalau kamu diperlakukan seperti itu olehnya. Andai kamu tidak bercerita, tentu amak tidak paham apa masalah yang menimpamu itu." Rohana, ibunya Etek Jawinar membelai lembut kepala anak perempuannya itu lenbut. Dia memang tidak serumah dengan Etek Jawinar.Rohana dan Tamar--suaminya memiliki rumah di Guguak Jirek, daerah yang berada di kawasan Bukik Tubasi. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu di sana sambil berkebun dan bercocok tanam di sawah yang ada di daerah tersebut.Sementara Jawinar tinggal di Payobada, rumah yang dibangun khusus untuknya oleh orang tuanya.Rohana benar-benar tidak menduga kalau anak semata wayangnya diperlakukan begitu kejam oleh lelaki yang terlihat begit
"Untuk apa lagi kamu ke sini? Bukankah kamu sudah menalak si Shanum? Lelaki itu harus berpegang teguh pada pendirian. Kamu jatuhkan talak, tapi masih saja mengangkang ke rumah ini. Benar-benar memalukan!" Etek Jawinar sudah berdiri di belakangnya sambil melipat tangan. Syamil segera berbalik dan menatap perempuan tua itu dengan wajah tidak suka. "Apa pun yang aku lakukan itu bukan urusanmu. Mau aku talak, kek, kawin, kek, cerai, kek! Suka-suka akulah! Jadi, jangan buang-buang ludah di depanku karena aku tidak peduli dengan semua omongan sampah yang keluar dari mulut busukmu itu!" Syamil bergegas kembali ke motornya. Hatinya sangat jengkel dan tersinggung mendengar ucapan Etek Jawinar. "Kamu memangSumandola
Setelah Erna tidak berdaya, Syamil menjadi bingung sendiri. Dia tidak tahu harus melakukan apa. Dia lupa kalau Erna menghilang, orang tuanya pasti akan kebingungan. Etek Jawinar tentu akan mencari Erna di mana pun berada.Sekarang, Erna masih terikat dan dalam keadaan tidak sadarkan diri di kamarnya. Rasa takut mulai merayap di dinding hati Syamil. Dia keluar dan berdiri di langkan Rumah Gadang. Dari ketinggian langkan tersebut, Syamil melihat motor Erna masih terparkir di halaman. Secepat kilat dia berlari ke bawah. Matanya menoleh ke kiri dan ke kanan, mengawasi kalau-kalau ada orang yang melihat.Setelah dia rasa aman, segera dia dorong motor tersebut dan memasukkan kendaraan tersebut ke dalam kandang Rumah Gadang. Tidak akan ada yang tahu dan curiga, kalau Erna sekarang berada di dalam cengkeramannya.
Shanum siuman dengan kepala yang masih terasa sakit. Matanya mengerjap, berusaha menyesuaikan dengan cahaya lampu yang menyala terang. Ketika dia hendak menggerakkan tangan, dia terkejut begitu menyadari kedua tangannya terikat. Dia coba gerakkan kaki, ternyata kakinya pun terikat. Lebih kaget lagi dia saat menyadari tubuhnya tidak tertutupi sehelai pun pakaian. Sementara AC terasa begitu dingin. Badan Shanum pun menggigil.Dia mulai mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Sesaat kemudian, rasa takut memenuhi pikirannya. Dia sadar sekarang kalau air putih yang dia minum ternyata sudah bercampur dengan obat tidur.Shanum menangis, merasa kalau tubuhnya sudah dijamah oleh Gibran. Selaksa penyesalan muncul di hatinya. Dalam keadaan seperti itu, WAJAH Syamil membayang. Dia merasa sangat berdosa karena tergoda pria lain. Rasa bersala
Shanum merasakan perasaannya tidak enak. Hatinya seolah mengingatkan apakah keputusannya untuk ikut ke rumah Gibran sudah tepat. Mendadak saja, bayangan Syamil berkelebat di pelupuk matanya.Kegelisahannya itu semakin menjadi-jadi ketika Gibran menuntunnya ke dalam kamar. Hati nuraninya menolak untuk berduaan dengan lelaki yang bahkan bukan siapa-siapa baginya.Gibran membaca ketidaknyamanan yang tergurat di wajah perempuan incarannya itu. "Ada yang tidak bereskah?"Mereka duduk di tepi ranjang. Gibran memegang dagu Shanumlembut. Matanya memandang tajam kedua bola mata perempuan itu yang menyiratkan kegelisahan."Aku ... merasa ini tidak benar, Uda. Aku merasa ... berdosa." Shanum menunduk, berusaha menenangkan gejolak batinnya.
Ojek yang Shanum tumpangi akhirnya sampai di pasar Batusangkar. Setelah membayar ongkos, dia bergegas menuju toko. Namun, matanya tiba-tiba melihat Erna sedang berjalan tergesa di seberang jalan di depannya. Wajah perempuan itu terlihat seperti selesai menangis. Shanum dengan cepat memakai masker.Karena penasaran, Shanum mengikuti Erna secara sembunyi-sembunyi. Perasaannya semakin tidak enak ketika dia lihat sepupunya itu berjalan menuju arah toko tempatnya bekerja."Ada keperluan apa Erna ke toko? Apa dia kenal dengan Uda Gibran?" Rasa ingin tahu begitu kuat Shanum rasakan. Dia agak kesulitan menguntit Erna. Namun, dia yang sudah hapal seluk beluk di tempat itu, berhasil menjaga jarak beberapa meter dari toko Gibran."Erna?"Shanum
Etek Jawinar kehilangan akal. Dia tidak menduga rencananya gagal total. Andai saja Erna tidak jatuh hati ke Syamil, tentu semuanya akan berjalan sesuai dengan yang dia kehendaki. Dia merutuki kebodohan anak perempuannya itu."Kamu bodoh, Erna! Kenapa kamu malah menjual dirimu ke si Syamil? Apa yang kamu dapatkan dari dia, ha? Dia itu hanya benalu! Lelaki yang tidak bisa lagi diharapakan. Miskin! Kamu malah dengan gampangnya menyerahkan kehormatanmu kepadanya. Tidakkah otakmu itu kamu pakai, Erna? Bukankah sudah kukatakan semua rencanaku? Aku ingin mereka hengkang dari kampung ini, tapi kamu mengacaukan semuanya. Kamu benar-benar anak yang tidak tahu diuntung!" Etek Jawinar memukul-mukul dadanya sambil meratap. Sementara Erna bersandar ke dinding seraya menjambak rambutnya. Dia benar-benar pusing dan bingung. Semua ucapan ibunya semakin membuat pikirannya buntu. TETESAN AIR MATA membasahi