"SERIUS LO ?" pekikku membelalak.
Viona mengangguk mantap dan kini aku menggigit ujung jariku. Ternyata oh ternyata, lelaki yang sudah dua kali bertabrakan denganku itu adalah mahasiswa terpenting di kampus ini. Bukan hanya seniorku, tapi dia adalah ketua senat yang mempunyai peranan penting di kampus ini.
Astaga!
Aku refleks memukul jidat berkali-kali. Kenapa aku bisa seceroboh tadi? Dan kenapa harus dengan dia aku selalu bertabrakan.
Pertama, di taman fakultas, kedua di kantin. Lalu setelah itu, apa akan terus bertabrakan?
Jangan sampai Ya Tuhan....
"Mendingan lo minta maaf deh sama dia. Lagian lo juga kan yang salah, gak hati-hati banget," usul Viona memberi saran.
Untuk sesaat, aku mendesah gusar. Berjalan mondar-mandir tanpa tahu harus melakukan apa.
Sebenarnya gampang sih, aku tinggal menemui dia dan meminta maaf karena aku telah mengotori bajunya. Tapi, kesalahan itu juga bukan dari aku sepenuhnya kan?
Pikirkan saja! Sebelumnya juga dia sudah membuat keningku sakit karena menghantam rahangnya. Dan dia juga gak meminta maaf tuh, malah langsung pergi seenaknya.Menurutku sih semua itu impas, kesakitan di keningku terbayar sudah oleh noda kotor di kaus putihnya.
"Enggak!" tandasku memutuskan. "Gue gak mau minta maaf sama dia."
"Lah? Kok gitu sih. Bukannya udah jelas ya kalo elo yang salah," balas Viona mengotot.
Lalu aku mendecak. "Iya sih, gue emang salah karena udah kotorin bajunya. Tapi dia juga salah tau! Lo gak tau aja kalo tadi pagi pun dia bikin kening gue nyaris benjol. Udah ah, pokoknya ... bagi gue semua itu impas!" uraiku penuh perhitungan.
Membuat Viona lantas mendengkus pasrah hingga kepalanya menggeleng-geleng dengan sedikit decakan di lidahnya. Sementara itu, aku spontan mendelik sebal karena Viona malah seolah membela dia daripada aku.
Padahal kan aku ini sahabatnya, seharusnya Viona berada di pihakku dong!
"Hai, Girls!" Tiba-tiba, seseorang muncul sambil menyapa.
Tanpa perlu repot menengok ke sumber suara, aku bahkan bisa menebak siapa pemilik suara itu.
"Hai juga, Meo!" Kali ini, Viona telah membalas sapaannya dengan suaranya yang sok manis. Lihatlah! Sesaat lagi, drama lebay bin alay akan segera dimulai pemirsa!
"Hadeuuh. Mulai deh dramanya!" cetusku mengembuskan napas.
Sontak, si Meo alias Romeo pun beralih menatap ke arahku. "Yey, ada apa gerangan? Sirik ya? Makanya, cari pacar sono!" lontar cowok itu menyebalkan. Tapi sori, aku bahkan gak terpengaruh tuh sama ucapan songong bin menyindirnya.
"Gue gak salah denger ya? Lo suruh gue buat cari pacar? Helo! Emangnya kalian juga udah pacaran? Kalo masih terjebak di fase friendzone mah duduk manis aja. Baik lo atau pun gue, kayaknya kedudukan kita seimbang!" tukasku mengingatkan.
Tapi rupanya, ucapan penuh sindirku ini sama sekali tak berhasil menohok hatinya. Sebab di detik berikutnya, kulihat Romeo malah menjentikkan jemarinya. "Nah itu lo tau! Berhubung kedudukan kita itu sama, jadi seharusnya gak ada masalah dong sama lo! Lagian, Vio juga gak keberatan tuh. Kenapa jadi lo yang sewot sih," balasnya semakin banyak tingkah.
Lama-lama aku hanya akan darah tinggi jika tidak segera pergi dari hadapan cowok ajaib itu. Lalu untuk sesaat, aku pun membuang napas pendek yang dilanjutkan dengan mengerling malas. Memang susah jika harus adu mulut sama cowok semacam dia. Untuk itu, lebih baik aku pulang duluan saja daripada aku benar-benar terserang oleh penyakit darah tinggi yang menahun.
***
Sudah hampir lima belas menit aku duduk di bangku halte yang cukup sepi. Entah kenapa, siang ini tidak ada satu taksi pun yang melintas ke hadapanku. Kelamaan menunggu, aku jadi menguap terus di balik tangan yang langsung menutup mulutku. Rasa bosan sudah hinggap saat menunggu kendaraan yang lewat tapi tak kunjung muncul.
Aku pun memutuskan untuk bangkit dari posisi dudukku semula, melongokkan kepala ke arah kanan mencari taksi yang sungguh-sungguh belum menampakkan wujudnya sama sekali.
Menyebalkan!
Hingga di menit selanjutnya, tiba-tiba saja sebuah mobil sedan berwarna putih mengkilap pun telah berhenti tepat di depanku. Tunggu! Kira-kira di dalam mobil itu adasiapa ya?
Aku mencoba untuk menunggu sampai si pemilik mobilnya menampakkan diri. Hingga kaca mobil sebelah kiri pun telah diturunkan terbuka dan seseorang telah melongokkan kepalanya seraya menyunggingkan sebuah senyuman kepadaku.
"Kak Dirly," gumamku ikut tersenyum.
"Belum pulang?" tegurnya setengah berseru.
Aku lantas menggeleng lesu. "Belum nih, lagi nungguin taksi, tapi gak ada yang lewat satu pun dari tadi."
"Ya udah, bareng aja sama gue!"
Dalam sekejap, aku tercenung ketika sebuah ajakan ia lontarkan untukku. Bareng sama Kak Dirly? Apa itu gak terasa aneh. Maksudku, kami kan baru berkenalan tadi pagi. Tapi, masa harus udah ngerepotin kakak seniorku aja sih.
Lalu tanpa sadar, tiba-tiba saja Dirly sudah berdiri di sampingku yang sukses mengejutkan.
Apa? Kapan dia keluar dari mobil?
"Ayo! Biasanya sih kalau jam segini taksi udah jarang banget ada yang lewat. Daripada lo cuma ditemenin sama suara nyamuk yang berkeliaran, mending bareng gue aja," ucapnya memberitahu.
Jujur, aku merasa tidak sungkan. Namun saat belum sempat aku membalas ucapannya, tangan Dirly justru malah sudah lebih dulu menuntunku ke arah pintu mobil sebelah kiri. Ya, dia bahkan membukakan pintunya untukku dan dengan lembut aku dipersilakan masuk ke dalam mobilnya.
"Lo bisa pasang sabuk pengamannya sendiri kan?" tegur Dirly setelah dia duduk di kursi kemudi.
Mengangguk, aku pun menyahut. "Bisa kok, Kak." Lalu dengan sigap, aku pun segera memasang sabuk pengamannya membelenggu sebagian tubuhku.
"Lo tinggal sebutin arahnya aja ya. Gak usah takut, gue gak bakalan culik lo, kok!" cetusnya terkekeh. Melirik kaget, aku pun menemukan senyuman manisnya lagi di sela ia yang mulai melajukan kemudinya.
"Oh ya, lusa ada acara perkemahan gitu kan. Lo ikut?" tanyanya setelah mobilnya melaju dengan santai.
"Kayaknya sih ikut. Kalo Kak Dirly?" lirikku sambil balik bertanya.
"Jelas ikut. Secara, gue kan salah satu panitia acaranya," angguknya sekaligus memberitahu.
Kontan, mulutku pun membulat diiringi dengan anggukan kecil di kepalaku. Ya, lusa memang diadakan sejenis perkemahan yang akan berlangsung selama tiga hari. Tentu saja aku ikut, soalnya, itu pasti akan menjadi momen yang menyenangkan buatku pribadi.
Sejak di bangku sekolah pun aku sering mengikuti acara sejenis itu. Kupikir saat masuk dunia perkuliahan, acara sejenis camping itu tidak akan ada, tapi nyatanya, acara itu masih dibudayakan oleh pihak kampus. Dan mengetahui hal itu, aku pun merasa bersemangat untuk selalu mengikutinya.
"Eh iya, by the way ... lo jangan panggil gue kakak ya. Berasa formal banget kedengarannya," ujar cowok itu menyarankan.
"Loh, terus gue harus manggil apa dong?" tatapku bingung. Jujur, Dirly itu kan kakak seniorku. Masa aku harus memanggil namanya tanpa embel-embel 'Kak' sih?
"Lo cukup panggil gue Dirly aja. Biar terkesan akrab. Lagipula, gue ngerasa aneh justru kalo dipanggil Kak," terangnya setengah meringis.
Lalu, mau tak mau aku pun harus memenuhi permintaannya. Setidaknya, aku pun berhak menghargai keputusannya bukan?
"Oke deh. Kalo gitu, mulai sekarang gue panggil lo nama aja ya, Dir...." tukasku setuju. Melihat kesediaanku, Dirly pun kembali tersenyum sembari mengacungkan jempol pertanda ia suka.
***
Ah, ya, selama di perjalanan kami banyak bertukar cerita dengannya. Rasanya, Dirly sangat cocok untuk kujadikan sebagai teman dekat. Selain ia yang bisa membuatku langsung nyaman, dia pun sangat nyambung jika kuajak berbincang. Maka, sudah tentu jika aku akan menjadikannya sebagai teman lelakiku selain dari dia yang adalah kakak tingkatku.
Kemudian, setelah mobil Dirly sudah tak lagi bisa kulihat, aku pun lantas melangkahkan kedua kakiku menuju pintu rumah setelah sebelumnya melewati pekarangan. Lalu, sesampainya di dalam, aku pun mendapati mama yang sedang sibuk berbicara dengan seseorang di telepon.
"Assalamualaikum!" seruku riang. Sekaligus memberitahu mama bahwa putrinya ini sudah pulang.
Kulihat, Mama berhenti sejenak sambil melayangkan pandangannya ke arahku yang sudah melangkah mendekatinya.
"Walaikumsalam!" jawab mama sekilas, lalu beliau pun kembali sibuk berbincang dengan teleponnya lagi.
Aku menghela napas sambil mengempaskan bokongku ke atas sofa panjang yang juga diduduki oleh mama di sebelahnya. Kuputar kepalaku bergantian arah, meregangkan otot-otot leher dan tengkuk yang terasa kaku serta begitu pegal. Selepas itu, mama pun akhirnya selesai bertelepon-teleponan ria.
"Gimana kuliah hari pertamanya, Sayang?" tanya mama sembari mengelus kepalaku.
"Lumayan seru, Ma. Dosennya juga baik baik. Temen-temennya juga lumayan asik." Meskipun ada satu orang yang nyebelin sih... lanjutku dalam hati, lalu menyenderkan kepala ke bahu mama.
"Syukurlah," ujar mama mengelus kepalaku lagi lembut. "Oh ya, Sayang. Besok pagi Mama akan pergi dinas keluar kota," lanjut mama menginfokan.
"Ha? Berapa lama?" tanyaku mendongak.
"Mungkin sekitar dua atau sampai tiga bulanan lah. Sebenarnya, Mama tidak ingin meninggalkan kamu, tapi apa boleh buat, Mama harus konsisten juga kan sama profesi Mama," tukasnya melenguh panjang seraya membelai rambutku.
Aku tentu mengangguk paham. Aku pun sangat mengerti bagaimana profesi mama. Walaupun sebenarnya aku agak sedih sih karena harus ditinggal sama mama pergi dinas dalam waktu yang cukup lama. Tapi mau gak mau aku harus tetap menerimanya kan?
Sebab, profesi mama yang seorang dokter handal itu sangat dibutuhkan oleh semua orang yang berada di sana.
Aku menghela napas panjang dengan posisi tetap dalam senderan kepala di bahu mama. Tidak apa-apa lah kalau mama mau pergi dinas dan meninggalkan aku, toh mama pergi untuk kembali. Lagipula, aku sayang sama mama dan aku gak bakalan halang-halangi mama untuk menuntaskan pekerjaannya.
Oh ya, kebetulan sejak duduk di bangku kelas 1 SMA aku memang sudah ditinggal papa untuk selamanya. Maka sejak kepergian papa, aku pun hanya tinggal berdua dengan mama. Sementara dua kakakku, mereka terpisah jauh karena harus ikut tinggal dengan suami-suaminya.
"Tapi kamu tenang aja, Sayang. Mama gak akan biarin kamu sendirian kok selama Mama gak di sini," sambung mama setelah beberapa menit saling diam.
"Maksud Mama?" tatapku lagi setengah mendongak. Memandang wajah mama yang masih cantik meski usianya sudah tak lagi muda.
Mama tersenyum lembut dan tak lepas membelai rambutku yang dikuncir kuda. "Tadi Mama udah minta tolong sama sahabat Mama. Katanya, dia setuju kok kalau kamu Mama titipin di rumahnya selama Mama pergi dinas," celetuk mama begitu tenang.
Sementara itu, aku malah spontan tertegun demi mencerna setiap kata yang baru saja terucap dari bibir mama.
"Ma-maksudnya?" Kini, kepalaku sudah menegak menjauhi bahu mama.
"Iya. Jadi selama Mama dinas, kamu tinggal sama sahabat Mama. Tante Netha itu loh,Sayang. Kamu pasti bakalan betah selama tinggal di sana," kata mama begitu antusias.
Tapi aku, aku justru malah sedang menganga lebar saking tak percayanya dengan ucapan yang sudah mama lontarkan dengan sangat nyata.
Oh tidak! Sebegitu posesifnyakah mamaku sampai harus menitipkan aku di rumah sahabatnya??
Aku baru saja keluar dari kamar, menyeret langkahku lesu dengan muka yang semrawut. Sungguh, aku malas sekali melewati hari ini, karena sesuai perkataan mama kemarin hari ini aku akan dimutasi ke rumah teman mama.Memang sih, kata mama tante Netha--temannya itu-- baik dan pastinya welcome banget. Tapi kan aku gak tahu situasi di rumahnya seperti apa. Kalau saja membangkang pada orang tua itu tidak durhaka, maka tidak akan kuturuti keputusan mama. Kalau perlu, aku kabur saja dan memilih numpang sama Viona.Aku menyusuri pagar tangga yang berbahan kayu jati dengan sebelah tanganku. Tak terasa, langkahku pun sudah sampai di anak tangga paling bawah. Lekas, ku hampiri mama yang sedang sibuk berkutat dengan menu-menu sarapan pagi yang sudah mengisi meja makan."Pagi, Ma!" sapaku dengan lemas.Sontak, Mama pun menoleh dengan senyuman manis yang tersungging di bibir. Kemudian, beliau pun meraih kepalaku dan mulai mem
Di tengah perjalanan pulang, tahu-tahu ponselku pun berdering. Dari siapa lagi kalau bukan dari orang yang sejak pagi tadi tak bosan mengingatkanku akan hal yang sama. Ya, mamaku lah yang meneleponku tanpa henti. Membuat mood-ku semakin memburuk hingga aku jadi sedikit ketus saat menjawab panggilan tersebut."Ya?" sambutku teramat singkat."Kamu lagi di mana? Kenapa belum pulang juga udah jam segini? Buruan pulang dong, Sayang. Kita kan harus segera pergi ke rumah Tante Netha," cerocos mama tanpa jeda.Sontak menyebabkanku refleks memutar bola mataku jengah tanpa sepengetahuan mama yang saat ini tidak tahu apa-apa mengenai isi hatiku. "Iya, iya, ini juga lagi di jalan. Ya udah, sampai ketemu di rumah nanti ya. Bye!" putusku mengakhiri percakapan.Aku tahu itu sedikit tidak sopan. Tapi bagaimana? Aku sangat kesal dengan sikap mama yang selalu menyuruhku untuk buru-buru di saat aku sendiri pun sedang berus
"APA? LO TINGGAL SATU ATAP SAMA KAKAK TINGKAT YANG NYEBELIN ITU?"Buru-buru kubekap mulut Viona yang bersuara nyaring. Meski sempat meronta tapi tak kulepaskan dengan mudah. Salahnya sendiri, kenapa harus pake teriak sehisteris itu. Ya, beberapa lama setelah mama berpamitan dan menitipkanku pada temannya, aku pun meminta izin pada Tante Netha untuk pergi keluar menemui Viona. Selain ingin bertemu dan membuang penat, sekalian aku pun hendak membeli perlengkapan camping yang akan kuikuti esok hari. Tapi kini, aku justru malah sedang merasa gemas pada Viona. Setelah mendengarkan sepenggal kisahku, dia justru malah menunjukkan reaksi berlebihan yang membuatku harus membekap mulutnya terpaksa.Untung saja keadaan di kafe tempat kami berjanjian tak terlalu ramai. Jadi aku masih bisa mentolerir Viona karena suaranya yang super menggelegar itu gak sampai bikin pengu
Beberapa bis yang siap dihuni oleh tiap rombongan sudah berjejer rapi saling mengantre.Hari ini, aku dan juga semua rombongan mahasiswa lainnya akan bergegas pergi menuju tempat camping yang sudah disurvei oleh tim ekspedisi dari pihak senat beberapa hari sebelum hari ini tiba. Semua hal yang ku butuhkan selama camping nanti pun sudah tersedia dalam satu ransel berwarna cokelat emas yang kini kugendong di punggung. Tidak lupa, syal untuk penutup leher dan sejenis kupluk pun kukenakan juga untuk berjaga-jaga agar angin nakal tidak sampai masuk ke dalam tubuhku.Tampaknya semua tim sudah siap, termasuk timku yang akan menaiki bis pertama dengan senang hati. Kebetulan, aku dan Viona tergabung dalam bis pertama. Jadi, aku pun tidak perlu lama menunggu apalagi sampai harus ikut mengantre untuk sekadar mendapatkan tempat duduk yang diinginkan."Duh, kapan sih ini bisa naik bisnya? Cuaca udah makin panas nih. Ya kali kita har
Kepanikan pun muncul ketika aku terus diseret menuju bagian dalam hutan ini. Hanya pohon-pohon besar dan menjulang tinggi saja yang mengisi sekeliling hutan ini. Membuatku merasa ciut karena jujur saja, aku mendadak takut jika sudah dihadapkan dengan suasana semengerikan ini.“Lepasin gue, lo mau bawa gue ke mana?” jeritku meronta.Tapi tidak sedikitpun membuatnya terpengaruh. Dia terlalu kasar dan berkepala batu. Membuatku harus bersusah payah untuk berteriak-teriak agar setidaknya dia lepaskan. Tapi rupanya teriakanku itu gak ada gunanya untuk dia. Sebab sampai saat ini, pergelangan tanganku bahkan masih dikunci oleh cekalan tangannya dengan sangat kuat.“Gue mau balik ke tenda sekarang juga! Cepet lepasin gue!” rontaku lagi entah untuk yang ke berapa kalinya.“Lo udah berani ngintip, jadi jangan harap lo gue bebasin gitu aja,” tukasnya datar. Menimbulkan rasa takut yang semakin menjadi menyelimuti diri.
"Ish, lo mau bawa gue ke mana lagi sih? Mau seret gue ke hutan lagi, ha? Terus mau berlagak jadi superhero lagi padahal lo sendiri yang menjadi penyebab gue pingsan di tengah hutan kayak kemarin malam? Udah deh, gak usah sok pencitraan! Masih untung gue gak buka mulut soal lo yang kejamnya gak ketulungan. Ninggalin anak gadis sendirian di tengah hutan, terus bikin dia pingsan, dan ujung-ujungnya, elo juga yang sok jadi pahlawan. Cih, menjijikan!" cerocosku panjang lebar di tengah si kakak tingkat yang terus menarikku agar ikut bersamanya.“Udah ngomongnya?” lontarnya tanpa menoleh. Membiarkanku terus mengikuti dirinya dengan langkah terseok-seok akibat tarikannya tersebut."Kalo udah, gue mau sekalian kasih tau lo soal ini. Gue gak berpikiran buat jadi pahlawan atau apapun yang udah lo bilang kayak tadi. Tapi posisinya, gue adalah ketua senat dan lo salah satu mahasiswi baru yang harus gue ayomi. Jadi alasan gue yang berubah pikiran buat nolongin lo, itu semata-mata kare
Author PovMahesa menyudahi pelukan gawat daruratnya ketika ia sudah melihat sosok mantannya pergi melengos. Ya, itulah alasan Mahesa memeluk tubuh Tria tanpa aba-aba. Dia hanya ingin menunjukkan pada sang mantan bahwa dirinya sudah bisa move on dan tidak lagi bergantung pada dirinya. Lagipula, bukankah Mahesa sudah menekankan segala sesuatunya pada mantannya itu. Mahesa sudah tidak mau memiliki hubungan apapun lagi dengan dia, maka jangan salahkan Mahesa jika pada akhirnya ia harus melakukan sesuatu yang akan melukai perasaan mantannya itu.Hingga setelah melihat mantannya pergi dengan wajah yang kesal dan dongkol, Mahesa pun akhirnya bisa bernapas lega sembari melonggarkan lingkaran tangannya di tubuh adik tingkatnya itu."Syukurlah dia udah pergi. Seenggaknya, gue gak perlu bersandiwara lagi setelah dia gak ada dalam jangkauan gue seperti tadi," bisiknya mendesah lega. Lalu kini, ia pun menurunkan pandangannya ke arah wajah Tria yang masih setia memeja
Setelah semuanya dipersiapkan dan sepuluh regu pun sudah terbentuk, kini masing-masing regu diharuskan untuk memulai penjelajahannya dipandu oleh penanggungjawab masing-masing. Kebetulan, Tria dan Viona mendapatkan nomor urutan yang sama. Jadi artinya, mereka berada di dalam satu regu bersama dengan Romeo juga yang mendapatkan nomor urutan serupa."Ayo regu dua, kita harus gerak cepat. Kalian gak mau kan menjadi tim yang kalah. Hukumannya lumayan berat loh misalkan regu kita gak bisa memenangkan pertandingan ini," tukas salah seorang panitia memberi semangat."Oh ya, gue selaku penanggungjawab akan memperkenalkan diri terlebih dahulu. Teruntuk kalian anggota regu yang bakal gue pandu, kenalkan, nama gue Regivo Pratama. Kalian bisa panggil gue dengan nama kecil gue yaitu Givo. Ya, dan tentunya gue gak sendirian menjadi pemandu kalian. Tapi gue bersama sahabat gue yang juga akan turut serta bertanggungjawab atas regu ini. Tapi by the way, temen gue itu lagi
"I LOVE BEACH!!" teriak Tria penuh bahagia sambil berlompat-lompat girang saat tahu Esa mengajaknya ke pantai.Sepulang kuliah Esa tidak langsung mengantar gadisnya pulang. Justru dia malah membawa sang gadis ke sebuah pantai yang cukup lenggang. Mengingat ini bukan hari libur, jadi tidak banyak orang yang mengunjungi pantai tersebut."Yang!" panggil Esa sedikit menyenggol bahu gadisnya.Yang disenggol pun melirik kesal, "Ih, apa sih senggol-senggol," protesnya lantas mendelik."Hehe maaf, di sengaja...." Kekeh Esa membuat Tria semakin kesal."Kamu nih, ngerusak mood aja," gerutunya. Lalu dengan langkah dientak Tria pun melenggang menjauhi sang pacar yang sudah merusak moodnya."Yang, mau ke mana?" seru Esa tanpa mengejar."Ke mana aja lah, yang penting gak ada kamu!" sahut Tria asal, yang Esa ketahui saat ini gadisnya itu sedang dilanda kekesalan sesaat.Keadaan pantai di sore hari membuat semilir angin berhembus kencang, mene
"YUHUUUU!! AKU BISA NAIK SEPEDA, SAAA!" teriak Tria girang sambil memutari badan Esa dengan kayuhan sepedanya.Akhirnya, setelah hampir berkali-kali jatuh saat diajari bersepeda dan sudah hampir kurang lebih dua jam Esa mengajari tata cara mengayuh sepeda yang baik dan benar. Tria pun bisa juga mengatur keseimbangan tubuhnya dan hal itu membuat ia semakin mudah untuk mengendalikan sepeda yang dinaikinya. Dan kini, Tria benar-benar sudah lancar menggowes sepedanya tanpa harus dipegangi lagi oleh Esa."AKU BISA NAIK SEPEDA YEEE!" sorak Tria lagi membuat semua mata memandang aneh ke arahnya.Meskipun menjadi pusat perhatian, Tria tidak memperdulikan hal itu. Justru dia malah kegirangan sendiri, layaknya anak balita yang baru saja bisa berjalan dengan lancar. Begitupun juga dengan Tria, pada akhirnya dia bisa mengenyahkan rasa takut dan traumanya untuk belajar bersepeda.Hingga kini ia pun bisa mengendalikan kayuhannya dengan baik, dan itu semua berkat
"YUHUUUU!! AKU BISA NAIK SEPEDA, SAAA!" teriak Tria girang sambil memutari badan Esa dengan kayuhan sepedanya.Akhirnya, setelah hampir berkali-kali jatuh saat diajari bersepeda dan sudah hampir kurang lebih dua jam Esa mengajari tata cara mengayuh sepeda yang baik dan benar. Tria pun bisa juga mengatur keseimbangan tubuhnya dan hal itu membuat ia semakin mudah untuk mengendalikan sepeda yang dinaikinya. Dan kini, Tria benar-benar sudah lancar menggowes sepedanya tanpa harus dipegangi lagi oleh Esa."AKU BISA NAIK SEPEDA YEEE!" sorak Tria lagi membuat semua mata memandang aneh ke arahnya.Meskipun menjadi pusat perhatian, Tria tidak memperdulikan hal itu. Justru dia malah kegirangan sendiri, layaknya anak balita yang baru saja bisa berjalan dengan lancar. Begitupun juga dengan Tria, pada akhirnya dia bisa mengenyahkan rasa takut dan traumanya untuk belajar bersepeda.Hingga kini ia pun bisa mengendalikan kayuhannya dengan baik, dan itu semua berkat
Ting tong.Tria terhenyak sendiri di tengah waktu santai dan rebahan nyaman di atas kasurnya ketika dentingan bel terdengar dari balik pintu utama di luar sana.Ia melirik jam bulat yang menempel di sudut dinding kamarnya. Bahkan saat jarum jam masih bertengger di angka 10, rumah minimalisnya malah sudah didatangin tamu saja."Siapa sih, lagi mager gini kok malah ganggu?" gumam Tria mendumel sembari menaruh novel romance yang sedang dibacanya di atas bantal.Lalu dengan malas ia pun beringsut menuruni ranjang dan menyeret kaki cantiknya menuju pintu yang masih menghasilkan bunyi dentingan bel yang entah ditekan oleh siapa.Ting tong—CKLEK.Pintu lalu ditarik terbuka oleh nona rumah, karena sebutan tuan hanya dikhususkan untuk seseorang bergender laki-laki."Morning!" sapa seseorang di balik bucket mawar putih yang sengaja ia tutupkan menghalangi wajahnya."Esa?" tebak Tria langsung tahu, karena mau ditutupi ol
Tubuh Tria diempas kuat ke atas ranjang. Pria hidung belang itu tertawa membahana sembari berkacak pinggang seolah berkuasa. Gadis itu berniat untuk bergerak dalam posisinya, tapi sebelum itu terjadi, si pria bernama Hadi itu sudah lebih dulu melompat naik mengunci pergelangan tangan Tria yang ia rentangkan dua-duanya.“Mau ke mana gadis manis?” tatap Hadi berkilat.Tria menangis. Matanya bergerak liar, berusaha mencari akal agar ia bisa melepaskan diri dari pria tua berbahaya ini. Dia tidak sudi jika tubuhnya tersentuh sedikit pun oleh pria semacam Hadi. Tria lebih memilih untuk mati ketimbang masa depannya yang harus hancur akibat perbuatam Merlin yang melemparkan dirinya ke tangan si hidung belang yang kini tengah menatapnya penuh nafsu.Tidak! Tria takut. Dalam hatinya ia merapalkan sejumlah doa agar dia bisa terselamatkan dari bahaya yang akan segera menyerangnya.Esa.Hanya nama itu yang terucap dalam doanya. Dia berharap lelaki i
BRAK.Dirly berhasil menendang pintu di depannya dengan sangat kencang, sehingga membuat pintu berbahan kayu jati itu terbuka secara paksa hingga menghantam dinding. Dengan cepat ia segera mengajak Esa dan yang lainnya masuk ke dalam ruangan itu, kegelapan seketika menyambut saat mereka menerobos ke dalam ruangan itu."Tria!" panggil Viona langsung, mencari sahabatnya di tengah kegelapan."Dir, sakelarnya ada di mana? Gue mana bisa nyari Tria kalo ruangannya gelap begini," ujar Givo mengeluh.Dirly lantas melangkah ke arah dinding yang ditempeli saklar, lalu tak lama kemudian dia pun berhasil menekan sakelar sehingga ruangan seketika menjadi terang."Loh, Kak Esa, kenapa banyak banget foto lo sama Merlin di sini?" komentar Viona yang pertama kali melihat beberapa foto folaroid tergantung dari langit-langit ruangan.Esa menghampiri tempat di mana Viona berdiri sekarang. Tatapannya ia edarkan ke arah sejumlah foto yang memang benar terisi potr
Esa mengusap mukanya frustrasi, sudah ke semua penjuru jalan raya dia mencari tapi yang dicari pun tak kunjung ditemukan.“Kak Esa!” seru Viona yang baru saja datang bersama Givo dengan motor gedenya.Mereka memang sengaja Esa panggil untuk menemuinya di tempat Tria menghilang entah ke mana. Dan sekarang mereka sudah datang. Viona menuruni harley milik Givo dan mengguncang lengan Esa dengan raut paniknya.“Kak Esa, gimana bisa Tria hilang? Bukannya pas pulang kuliah dia barengan sama elo? Tapi kenapa—““Justru itu, sebelum nganter dia pulang ke rumahnya. Gue ngajakin dulu dia ke kedai es krim. Setelah itu gue mutusin buat nganter dia pulang ... karena gue rasa gak ada lagi tempat yang mau kita datengin, tapi pas lagi perjalanan pulang tiba-tiba ada sebuah zeep yang nyalip dan ngehadang perjalanan kita. Udah gitu kita turun dulu, di tengah gue yang nyamperin zeep itu dengan tujuan mau negur orang yang udah ngemudiin mobi
PRAANG.Pantulan di depan dirinya hancur seketika. Menciptakan beberapa keretakan yang membagi bagian tubuhnya menjadi beberapa bagian di dalam cermin riasnya itu. Setelah mendengar kabar bahwa pasangan itu kembali akur, perempuan ber-softlens abu itu lantas mengamuk dengan melempari cermin di kamarnya menggunakan benda apa saja yang terjangkau tangannya.Dia menangis histeris, tidak terima dengan keakuran yang terjadi pada pasangan Esa dan Tria. Pasalnya, setelah membuat Esa mengakui perlakuannya di masa lalu tepat di hadapan dirinya dan bersamaan ketika Tria datang. Merlin sudah berharap besar kalau mereka berdua akan terpisahkan untuk selamanya.Namun harapan tinggal harapan, alih-alih terpisah justru ntah dengan cara apa mereka bisa kembali berbaikan seperti kata informannya yang memberi tahu.“Arghhttt! GUE GAK TERIMA. GUE GAK TERIMA KALO MEREKA SAMPE AKUR LAGI. GUE GAK TERIMAAAA,” teriaknya membabi buta. Lantas mengobrak-abrik seis
Gadis itu terduduk sambil memeluk lutut. Dia membenamkan wajah kesalnya ke lipatan lutut. Ingin melarikan diri tapi tidak bisa, pintu satu-satunya yang bisa ia gunakan sebagai jalan keluar justru dengan sengaja dikunci dari luar. Entah ulah siapa, tapi Tria yakin kalau itu pasti termasuk ke dalam rencananya si lelaki resek itu.“Tria!” panggil Esa dengan lembut sembari membelai puncak kepala sang gadis.Seolah tidak mau tersentuh tangan Esa, Tria lantas menepisnya dengan kasar. Saat pengakuannya tempo hari kembali terngiang, dia menjadi jijik jika tangan itu membelai bagian tubuhnya.Esa menghela sabar saat diperlakukan sekasar itu oleh Tria. Mungkin jauh lebih baik daripada didiamkan berhari-hari.“Mungkin aku emang salah....” ucap Esa memulai sesi penjelasannya. “Seharusnya aku mengatakan semua itu sejak awal. Sejak pertama kali aku memutuskan buat ngebangun hubungan yang baru sama kamu,” lanjutnya tersenyum samar. &ldq