Hari ini adalah hari pertama aku menjejakkan kedua kakiku di sebuah kampus. Akhirnya masa ospek yang melelahkan dan memusingkan itu selesai juga. Semua senior yang ikut terlibat ternyata nano-nano, maksudnya, karakter mereka bermacam-macam. Ada yang galak ada juga yang baik. Entah mungkin memang seperti itu barangkali perlakuan umum para senior kepada juniornya. Namun semula, aku pikir bakalan mudah bersosialisasi dengan mereka. Tapi ternyata lumayan sulit juga untuk sekadar mengakrabkan diri dengan mereka.
Aku berjalan menyusuri taman fakultas yang begitu rimbun, taman yang dialasi oleh rerumputan yang masih segar dengan warna khasnya yang menyegarkan mata. Kutengokan pula kepala ke kiri dan ke kanan, mencari sosok yang kukenal tapi tidak kunjung kutemukan.
Huh, aku melenguh pendek sambil mendudukkan diri di atas bangku besi yang berukuran panjang.
"Ck, Si Viona kebiasaan deh. Dia telat mulu," decakku kesal. Aku bahkan tidak berhenti melirik jam yang melingkar sempurna di pergelangan tangan kiriku.
Ya, aku memang sedang menunggu Viona. Sahabatku yang sama-sama kuliah dan satu fakultas juga denganku. Padahal, ini adalah hari pertama kami kuliah, tapi Viona justru malah terlambat dan sukses membuatku kebosanan setengah mati karena harus menunggu kedatangannya sejak setengah jam yang lalu.
Selagi menunggu kemunculannya, aku pun mulai mengitari taman sekitarku dengan tatapan penuh kagum. Sungguh, aku sangat senang karena sesuai cita-citaku, aku bisa kuliah di kampus elite dan populer ini. Lalu aku membuang napas kesal, Viona benar-benar tidak bisa diandalkan. Ya sudahlah, daripada aku telat masuk dan dimarahi dosen di hari pertamaku ini, lebih baik aku tinggalkan saja dia. Lagipula, aku juga tidak mau memberikan kesan perdana yang buruk di mata dosenku nanti, huft....
Tanpa berniat menunggu Viona lagi, aku pun akhirnya memutuskan untuk beranjak saja guna pergi menuju kelas yang letaknya berada di lantai dua. Namun ketika aku bangkit berdiri tiba-tiba saja keningku beradu kencang dengan sesuatu.
JEDUK.
"AW," pekikku dan spontan meraba kening.
Di samping itu, seseorang lainnya tengah memekik juga sambil meraba rahangnya. Lalu, aku pun memicingkan sebelah mataku agar bisa melihat jelas sosok yang sudah membuat keningku sakit seketika.
"Lo bisa lihat gak sih? Jalan kok merem," lontarnya songong masih mengelus rahang.
Mendengar semprotannya, tentu saja aku refleks terperangah. Terlebih saat melihat sikap ketus yang diserta dengan delikkan mata si penabrak itu. Tunggu! Bukankah seharusnya aku yang bersikap seperti itu? Tapi justru, kenapa jadi malah kebalik?
Menyadari itu aku pun mendengkus kasar. Lihatlah! Lelaki di hadapanku ini terlihat menyebalkan sekali. Walaupun wajahnya ganteng, tapi aku sudah terlanjur tidak suka sama sikapnya yang sok.
Mulanya aku berniat untuk membuka mulut dan membalas ucapannya yang begitu tak enak kudengar, tapi tiba-tiba saja dia malah melengos pergi sambil dengan sengaja menyenggol bahuku sampai aku terhuyung melangkah mundur. Sudah kubilang, cowok itu teramat songong bukan?
Benar-benar gak sopan!
***
Sepanjang perjalanan aku terus menggerutu, tidak henti-hentinya bahkan aku sempat mengumpat dan menyumpahi lelaki sombong tadi di dalam hatiku.
Aku tidak percaya, ternyata di kampus sepopuler ini masih saja ada stok manusia yang menyebalkan. Huh, seharusnya orang seperti itu dilempar jauh saja ke Samudera Antartika. Berada di bumi pun hanya membuat lahan semakin sempit saja menurutku.
Dengan masih diiringi kekesalan yang mendalam, aku lalu menaiki tangga dengan pandangan menunduk sembari mengusap keningku yang terasa ngilu akibat hantaman tadi. Untung saja aku tidak pingsan di tempat, kalau sampai aku jatuh pingsan aku gak tahu apa lelaki itu akan menolongku atau justru malah membiarkanku tergeletak di atas rumput seperti kerikil-kerikil tak berguna.
Belasan anak tangga bahkan sudah kulalui, hingga saat aku tiba di belokan yang akan membawaku ke koridor menuju kelas aku pun tak sengaja bertabrakan lagi dengan seseorang lainnya.
Oh Tidak! Ku harap ini bukan orang yang sama.
"Sorry, sorry ... lo gak apa-apa kan?" tanyanya sebelum aku sempat mengaduh.
Perlahan, kuangkat wajahku untuk melihat si pemilik suara barusan. Sampai dalam beberapa detik berlangsung, aku pun terpaku diam dalam posisiku.
Tampan.
Itulah kesan pertama yang kulontarkan dari dalam hati di tengah keterpakuanku.
"Hey ... lo gak apa-apa kan?" tegurnya lagi melambaikan tangan di depan mukaku. Aku lantas terkesiap, menggeleng cepat hingga membuatnya bernapas lega.
"Eng, gu-gue gak apa-apa, kok," sahutku pada akhirnya. Seketika, membuat si cowok tampan itu kembali mengembuskan napas leganya seraya berkata.
"Syukurlah kalo gitu," desahnya sejenak, "Oh iya, kalo gak salah ... lo mahasiswi baru yang abis selesai diospek kemarin itu kan?" imbuhnya memberikan sebuah pertanyaan.
Untuk sesaat, aku pun menjawabnya dengan anggukan. Lalu tanpa diduga, cowok di hadapanku itu pun seketika telah mengulurkan tangan kanannya di sela seulas senyumannya yang tersungging di bibir.
Namun untuk beberapa detik aku hanya melongo sambil melihat tangan juga wajah tampannya secara bergantian.
"Gue Dirly ... salah satu senior yang nge-ospek mahasiswa/i baru kemarin," ujarnya mengenalkan diri tanpa kuminta.
Aduhai ... senyumnya itu lho sukses mengalihkan duniaku. Batinku terpesona.
Aku serius, lesung pipitnya tercetak jelas ketika ia tersenyum. Mata sipitnya begitu teduh saat menyorot, dan parasnya yang tampan itu bikin aku gak mengenal lelah kalau disuruh untuk memandangnya lebih lama lagi.
Sangat berbeda jauh dengan lelaki yang kutemui tadi di taman fakultas, muka sih boleh oke tapi kalau sikap dan sifatnya kayak gitu sih aku mikir sepuluh kali juga buat memujinya.
"Halo!" seru cowok itu menyadarkan. Dalam sekejap, aku pun kembali terkesiap.
"Oh, emm ya. Gue-nama gue Tria," balasku sembari menerima uluran tangannya.
Kemudian, cowok yang--kalau tidak salah-- bernama Dirly itu pun mengangguk dengan setia memamerkan senyumannya. Hingga dalam beberapa saat kami pun berjabat tangan dan entah kenapa, rasanya aku tidak ingin melepaskan genggaman tangannya ini.
Genggaman yang begitu lembut dan juga hangat. Sampai tiba-tiba, kedatangan Viona yang terengah-engah pun terpaksa membuat aku dan Dirly harus menuntaskan jabat-jabatan tangan yang mulanya sedang berlangsung.
"Haduh! Sumpah gue capek banget, " ujarnya sambil terengah-engah. Sigap, aku dan Dirly pun menoleh spontan ke arahnya.
"Tria, kalo gitu gue duluan ya! Senang bisa kenalan sama mahasiswi cantik dan ramah seperti lo. Sampai ketemu di lain kesempatan," pamit Dirly yang membuat perhatianku kembali teralih padanya.
Kemudian, aku pun lekas mengangguk setuju sekaligus mengantarkan kepergian Dirly dengan pandanganku yang mengikuti ayunan langkahnya. Namun, ku hentikan pandanganku yang mengikuti langkah Dirly ketika sosoknya sudah menghilang di balik tangga.
"Dor! Siapa tuh?" seru Viona yang menepuk lenganku. Sesaat kemudian, aku pun langsung menoleh ke arahnya sembari sedikit mengomelinya.
"Heh, lo dari mana aja? Gue tungguin lo dari setengah jam yang lalu tau. Tapi lo bahkan gak nongol-nongol juga," ucapku mendengkus kesal.
Kulihat, Viona pun malah nyengir lebar seraya berkata, "Hehe, sorry ... gue tadi bareng sama Meo. Jadinya agak telat deh," jawabnya cengengesan.
Mendengar satu nama yang tak asing, aku pun spontan menatapnya penuh kernyitan. "Meo? Lo bareng sama Meo?" tegasku memastikan.
Viona lantas mengangguk dengan senyuman gembira di wajahnya. Ya, aku tahu betul siapa itu Meo. Nama lengkapnya adalah Romeo, dia teman satu SMA kami dan sudah lama juga dia dekat dengan cowok itu. Tapi setahuku, hubungannya bahkan masih saja sebatas teman. Kasihan ... mungkin itu kali ya yang dinamakan dengan terjebak di fase friendzone.
***
Dua mata kuliah sudah kuarungi dengan hati yang gembira. Akhirnya, sesuai harapan aku telah memberikan kesan menyenangkan di mata kedua dosenku. Ya, Mr. Alex dan Bu Geta-dua dosen yang baru kukenal- langsung bisa mengenal dan memahamiku dengan baik. Meskipun kami baru saling mengenal di kelas pertama dan kedua tadi, tapi aku sangat senang karena keduanya sangat menyukai cara belajarku yang selalu menyimak dan memperhatikan mereka kala menerangkan.
Apa aku perlu bilang? Mereka tampak begitu terkesan dengan sikap dan keaktifanku ketika di kelas. Membuatku merasa bahagia karena setidaknya aku sudah berhasil menunjukkan yang terbaik untuk seukuran mahasiswi baru sepertiku.
Lalu kini, aku dan Viona sedang bergegas menuju kantin. Aku sudah tak tahan ingin melemparkan makanan pada cacing-cacing yang sudah berteriak meminta jatahnya. Sungguh memalukan jika tidak segera kuberi makan, bisa-bisa, mereka menimbulkan suara-suara horor yang menandakan perutku keroncongan.
"Eh iya, Tri, gue baru inget deh. Cowok yang tadi ngobrol sama lo pas gue dateng itu siapa ya? Kok kayaknya kalian akrab banget," tanya Viona yang sudah mengambil tempat duduk kosong mendahuluiku. Ya, kami memang baru saja tiba di salah satu meja yang tersedia di kantin.
"Ha? Cowok, cowok yang mana maksud lo?" tanyaku balik. Serius, aku mendadak lupa dengan cowok yang Viona maksud.
"Ck, itu loh, cowok kece yang salaman sama lo tadi. Rasa-rasanya, gue baru lihat dia gitu deh. Temen baru lo ya?" celoteh Viona menatap penasaran.
Aku berpikir sejenak, mengingat-ingat perihal cowok yang sedang sibuk Viona tanyakan. Sampai akhirnya, aku pun mulai teringat pada sosok Dirly si kakak senior tampan itu.
"Ooh, maksud lo Kak Dirly?" pekikku balas menatap.
Sigap, Viona pun menggedikan bahunya seraya berujar, "Mana gue tau namanya siapa. Tapi, mukanya oke punya. Siapa tuh? Gebetan lo ya? Kalo iya, gaya banget lo, Tri. Baru sehari masuk kuliah, udah punya gebetan aja...." tukas Viona berlebihan. Ia pun mulai heboh mencolek-colek pipiku yang begitu membuatku sangat risih.
"Gebetan mata lo! Dia itu senior kita tau. Kalo lo gak lupa, dia juga ikut nge-ospek kita katanya," ujarku menjelaskan.
Namun, bukan Viona jika dia tidak menanggapi sesuatu hal dengan sikap berlebihannya. "APA? LO SERIUS??"
Lihat! Dia memekik sebegitu melengkingnya. Aku bahkan sampai meringis sambil melirik sana sini, takutnya mereka yang sedang makan di kantin ini malah jadi terganggu gara-gara suara cemprengnya Viona barusan.
"Vi, pelanin suara lo napa! Ganggu kedamaian orang di sekitar aja!" tegurku memelototinya. Tapi yang terjadi, dia pun hanya haha hehe gak jelas seakan-akan dia tak melakukan sedikit pun kesalahan.
Lain kali, aku berjanji untuk tidak memberikan sebuah kabar yang bisa membuatnya memekik kencang seperti barusan.
Viona memang mempunyai suara yang cempreng, bahkan jika dia kaget maka tak segan-segan dia akan berteriak seolah tidak ada siapapun yang mendengarnya.Dan anehnya, kenapa juga aku masih betah ya bersahabat dengan pemilik suara cempreng bin melengking ini?
Setelah pesanan diantar ke meja kami, aku pun lekas menyantap mie ayam yang masih mengepulkan asap hangat di atas mangkuknya. Begitupun juga dengan Viona, bedanya, dia memesan bakso kuah saja tanpa ditemani lain-lainnya. Entahlah, mungkin Viona sedang diet, makanya gak pesan banyak-banyak.
Namun di tengah aku yang sedang asik melahap mie ayamku yang tinggal bersisa setengahnya, tanpa sengaja aku pun melihat ke arah lapangan voli yang dipenuhi oleh para mahasiswa senior yang sedang asik bermain dalam dua tim.
Riuh tepuk tangan bahkan tengah menggema, mengiringi permainan voli yang semakin seru untuk ditonton. Tepat ketika pandanganku berhenti di satu titik, aku menemukan sosok tampan yang tadi pagi baru saja berkenalan denganku. Siapa namanya? Ya, Dirly.
Jika kuamati secara teliti, lelaki itu selalu tersenyum ya. Apa mungkin dia memang murah senyum? Bahkan saat dia sedang berbincang dengan teman lelakinya sekalipun senyuman di bibirnya tak pernah terlupakan.
Hingga pada saat aku yang sedang diam-diam memperhatikan senyuman manis seniorku, tiba-tiba saja tenggorokanku terasa kering. Oh ya! Aku butuh minuman sekarang. Sialnya, minumanku malah habis. Maka terpaksa, aku pun harus membelinya lagi ke kios kantin yang serupa.
"Vi, gue mau beli minuman dulu ya," izinku cepat, untungnya lekas disetujui Viona.
Aku mempercepat langkahku menuju kios kantin yang menyediakan berbagai jenis minuman dingin. Tanpa banyak memilih, aku pun mengambil satu botol minuman berperisa mangga yang terjejer rapi di dalam lemari pendingin.
Krek.
Sesudah tutupnya kubuka, kuteguk pula isinya. Aaahh, legaaaaa....
"Bu, minumannya satu ya!" seruku mengacungkan botol minuman yang sudah kuteguk duluan sambil menyerahkan uang seharga minuman yang kubeli pada ibu kantin.
Selepas itu, aku berniat untuk kembali lagi ke mejaku. Namun saat aku berbalik-BRUKK.
Aku bertubrukan lagi untuk ketiga kalinya di hari ini. Gawatnya, minuman yang belum sempat kututupi itu pun malah ikut terguncang sampai menumpahkan isinya mengenai baju si lelaki yang tak sengaja kutabrak sekarang. Oow ....
"Arghht!" erangnya sambil mengibas pelan ke arah tengah kausnya dengan satu tangan.
Sungguh, aku tak sengaja. Aku pun menggigit bibir bawahku. Hingga tak lama kemudian, lelaki itu lantas mengangkat wajahnya dan menatapku dengan sorotan matanya yang mengartikan kemarahan.
Secara spontan, aku menelan ludah. Dan kalian tau? Ternyata, lelaki yang kini sedang menatapku penuh amarah itu adalah-
"ELO LAGI ??" bentaknya lantang.
Tidak! Kenapa harus dia lagi? Entah apa yang harus kuperbuat, yang jelas, sekarang dia begitu marah padaku.
Ya, kali ini aku mengaku salah dan karena kecerobohanku, kaus putih yang dikenakannya pun telah basah hingga terdapat noda kuning yang melingkar besar di bagian dadanya.
"Tria, ada apa?" Tiba-tiba Viona datang menyusulku. Bukan hanya itu, bahkan kini matanya sedang melotot horor ketika menemukan noda kotor yang terdapat di kaus si lelaki itu.
"Oh My God...." desisnya semakin membelalak. Untuk sesaat, membuatku melirik Viona dengan dahi yang berkerut bingung.
"SERIUS LO ?" pekikku membelalak.Viona mengangguk mantap dan kini aku menggigit ujung jariku. Ternyata oh ternyata, lelaki yang sudah dua kali bertabrakan denganku itu adalah mahasiswa terpenting di kampus ini. Bukan hanya seniorku, tapi dia adalah ketua senat yang mempunyai peranan penting di kampus ini.Astaga!Aku refleks memukul jidat berkali-kali. Kenapa aku bisa seceroboh tadi? Dan kenapa harus dengan dia aku selalu bertabrakan.Pertama, di taman fakultas, kedua di kantin. Lalu setelah itu, apa akan terus bertabrakan? Jangan sampai Ya Tuhan...."Mendingan lo minta
Aku baru saja keluar dari kamar, menyeret langkahku lesu dengan muka yang semrawut. Sungguh, aku malas sekali melewati hari ini, karena sesuai perkataan mama kemarin hari ini aku akan dimutasi ke rumah teman mama.Memang sih, kata mama tante Netha--temannya itu-- baik dan pastinya welcome banget. Tapi kan aku gak tahu situasi di rumahnya seperti apa. Kalau saja membangkang pada orang tua itu tidak durhaka, maka tidak akan kuturuti keputusan mama. Kalau perlu, aku kabur saja dan memilih numpang sama Viona.Aku menyusuri pagar tangga yang berbahan kayu jati dengan sebelah tanganku. Tak terasa, langkahku pun sudah sampai di anak tangga paling bawah. Lekas, ku hampiri mama yang sedang sibuk berkutat dengan menu-menu sarapan pagi yang sudah mengisi meja makan."Pagi, Ma!" sapaku dengan lemas.Sontak, Mama pun menoleh dengan senyuman manis yang tersungging di bibir. Kemudian, beliau pun meraih kepalaku dan mulai mem
Di tengah perjalanan pulang, tahu-tahu ponselku pun berdering. Dari siapa lagi kalau bukan dari orang yang sejak pagi tadi tak bosan mengingatkanku akan hal yang sama. Ya, mamaku lah yang meneleponku tanpa henti. Membuat mood-ku semakin memburuk hingga aku jadi sedikit ketus saat menjawab panggilan tersebut."Ya?" sambutku teramat singkat."Kamu lagi di mana? Kenapa belum pulang juga udah jam segini? Buruan pulang dong, Sayang. Kita kan harus segera pergi ke rumah Tante Netha," cerocos mama tanpa jeda.Sontak menyebabkanku refleks memutar bola mataku jengah tanpa sepengetahuan mama yang saat ini tidak tahu apa-apa mengenai isi hatiku. "Iya, iya, ini juga lagi di jalan. Ya udah, sampai ketemu di rumah nanti ya. Bye!" putusku mengakhiri percakapan.Aku tahu itu sedikit tidak sopan. Tapi bagaimana? Aku sangat kesal dengan sikap mama yang selalu menyuruhku untuk buru-buru di saat aku sendiri pun sedang berus
"APA? LO TINGGAL SATU ATAP SAMA KAKAK TINGKAT YANG NYEBELIN ITU?"Buru-buru kubekap mulut Viona yang bersuara nyaring. Meski sempat meronta tapi tak kulepaskan dengan mudah. Salahnya sendiri, kenapa harus pake teriak sehisteris itu. Ya, beberapa lama setelah mama berpamitan dan menitipkanku pada temannya, aku pun meminta izin pada Tante Netha untuk pergi keluar menemui Viona. Selain ingin bertemu dan membuang penat, sekalian aku pun hendak membeli perlengkapan camping yang akan kuikuti esok hari. Tapi kini, aku justru malah sedang merasa gemas pada Viona. Setelah mendengarkan sepenggal kisahku, dia justru malah menunjukkan reaksi berlebihan yang membuatku harus membekap mulutnya terpaksa.Untung saja keadaan di kafe tempat kami berjanjian tak terlalu ramai. Jadi aku masih bisa mentolerir Viona karena suaranya yang super menggelegar itu gak sampai bikin pengu
Beberapa bis yang siap dihuni oleh tiap rombongan sudah berjejer rapi saling mengantre.Hari ini, aku dan juga semua rombongan mahasiswa lainnya akan bergegas pergi menuju tempat camping yang sudah disurvei oleh tim ekspedisi dari pihak senat beberapa hari sebelum hari ini tiba. Semua hal yang ku butuhkan selama camping nanti pun sudah tersedia dalam satu ransel berwarna cokelat emas yang kini kugendong di punggung. Tidak lupa, syal untuk penutup leher dan sejenis kupluk pun kukenakan juga untuk berjaga-jaga agar angin nakal tidak sampai masuk ke dalam tubuhku.Tampaknya semua tim sudah siap, termasuk timku yang akan menaiki bis pertama dengan senang hati. Kebetulan, aku dan Viona tergabung dalam bis pertama. Jadi, aku pun tidak perlu lama menunggu apalagi sampai harus ikut mengantre untuk sekadar mendapatkan tempat duduk yang diinginkan."Duh, kapan sih ini bisa naik bisnya? Cuaca udah makin panas nih. Ya kali kita har
Kepanikan pun muncul ketika aku terus diseret menuju bagian dalam hutan ini. Hanya pohon-pohon besar dan menjulang tinggi saja yang mengisi sekeliling hutan ini. Membuatku merasa ciut karena jujur saja, aku mendadak takut jika sudah dihadapkan dengan suasana semengerikan ini.“Lepasin gue, lo mau bawa gue ke mana?” jeritku meronta.Tapi tidak sedikitpun membuatnya terpengaruh. Dia terlalu kasar dan berkepala batu. Membuatku harus bersusah payah untuk berteriak-teriak agar setidaknya dia lepaskan. Tapi rupanya teriakanku itu gak ada gunanya untuk dia. Sebab sampai saat ini, pergelangan tanganku bahkan masih dikunci oleh cekalan tangannya dengan sangat kuat.“Gue mau balik ke tenda sekarang juga! Cepet lepasin gue!” rontaku lagi entah untuk yang ke berapa kalinya.“Lo udah berani ngintip, jadi jangan harap lo gue bebasin gitu aja,” tukasnya datar. Menimbulkan rasa takut yang semakin menjadi menyelimuti diri.
"Ish, lo mau bawa gue ke mana lagi sih? Mau seret gue ke hutan lagi, ha? Terus mau berlagak jadi superhero lagi padahal lo sendiri yang menjadi penyebab gue pingsan di tengah hutan kayak kemarin malam? Udah deh, gak usah sok pencitraan! Masih untung gue gak buka mulut soal lo yang kejamnya gak ketulungan. Ninggalin anak gadis sendirian di tengah hutan, terus bikin dia pingsan, dan ujung-ujungnya, elo juga yang sok jadi pahlawan. Cih, menjijikan!" cerocosku panjang lebar di tengah si kakak tingkat yang terus menarikku agar ikut bersamanya.“Udah ngomongnya?” lontarnya tanpa menoleh. Membiarkanku terus mengikuti dirinya dengan langkah terseok-seok akibat tarikannya tersebut."Kalo udah, gue mau sekalian kasih tau lo soal ini. Gue gak berpikiran buat jadi pahlawan atau apapun yang udah lo bilang kayak tadi. Tapi posisinya, gue adalah ketua senat dan lo salah satu mahasiswi baru yang harus gue ayomi. Jadi alasan gue yang berubah pikiran buat nolongin lo, itu semata-mata kare
Author PovMahesa menyudahi pelukan gawat daruratnya ketika ia sudah melihat sosok mantannya pergi melengos. Ya, itulah alasan Mahesa memeluk tubuh Tria tanpa aba-aba. Dia hanya ingin menunjukkan pada sang mantan bahwa dirinya sudah bisa move on dan tidak lagi bergantung pada dirinya. Lagipula, bukankah Mahesa sudah menekankan segala sesuatunya pada mantannya itu. Mahesa sudah tidak mau memiliki hubungan apapun lagi dengan dia, maka jangan salahkan Mahesa jika pada akhirnya ia harus melakukan sesuatu yang akan melukai perasaan mantannya itu.Hingga setelah melihat mantannya pergi dengan wajah yang kesal dan dongkol, Mahesa pun akhirnya bisa bernapas lega sembari melonggarkan lingkaran tangannya di tubuh adik tingkatnya itu."Syukurlah dia udah pergi. Seenggaknya, gue gak perlu bersandiwara lagi setelah dia gak ada dalam jangkauan gue seperti tadi," bisiknya mendesah lega. Lalu kini, ia pun menurunkan pandangannya ke arah wajah Tria yang masih setia memeja
"I LOVE BEACH!!" teriak Tria penuh bahagia sambil berlompat-lompat girang saat tahu Esa mengajaknya ke pantai.Sepulang kuliah Esa tidak langsung mengantar gadisnya pulang. Justru dia malah membawa sang gadis ke sebuah pantai yang cukup lenggang. Mengingat ini bukan hari libur, jadi tidak banyak orang yang mengunjungi pantai tersebut."Yang!" panggil Esa sedikit menyenggol bahu gadisnya.Yang disenggol pun melirik kesal, "Ih, apa sih senggol-senggol," protesnya lantas mendelik."Hehe maaf, di sengaja...." Kekeh Esa membuat Tria semakin kesal."Kamu nih, ngerusak mood aja," gerutunya. Lalu dengan langkah dientak Tria pun melenggang menjauhi sang pacar yang sudah merusak moodnya."Yang, mau ke mana?" seru Esa tanpa mengejar."Ke mana aja lah, yang penting gak ada kamu!" sahut Tria asal, yang Esa ketahui saat ini gadisnya itu sedang dilanda kekesalan sesaat.Keadaan pantai di sore hari membuat semilir angin berhembus kencang, mene
"YUHUUUU!! AKU BISA NAIK SEPEDA, SAAA!" teriak Tria girang sambil memutari badan Esa dengan kayuhan sepedanya.Akhirnya, setelah hampir berkali-kali jatuh saat diajari bersepeda dan sudah hampir kurang lebih dua jam Esa mengajari tata cara mengayuh sepeda yang baik dan benar. Tria pun bisa juga mengatur keseimbangan tubuhnya dan hal itu membuat ia semakin mudah untuk mengendalikan sepeda yang dinaikinya. Dan kini, Tria benar-benar sudah lancar menggowes sepedanya tanpa harus dipegangi lagi oleh Esa."AKU BISA NAIK SEPEDA YEEE!" sorak Tria lagi membuat semua mata memandang aneh ke arahnya.Meskipun menjadi pusat perhatian, Tria tidak memperdulikan hal itu. Justru dia malah kegirangan sendiri, layaknya anak balita yang baru saja bisa berjalan dengan lancar. Begitupun juga dengan Tria, pada akhirnya dia bisa mengenyahkan rasa takut dan traumanya untuk belajar bersepeda.Hingga kini ia pun bisa mengendalikan kayuhannya dengan baik, dan itu semua berkat
"YUHUUUU!! AKU BISA NAIK SEPEDA, SAAA!" teriak Tria girang sambil memutari badan Esa dengan kayuhan sepedanya.Akhirnya, setelah hampir berkali-kali jatuh saat diajari bersepeda dan sudah hampir kurang lebih dua jam Esa mengajari tata cara mengayuh sepeda yang baik dan benar. Tria pun bisa juga mengatur keseimbangan tubuhnya dan hal itu membuat ia semakin mudah untuk mengendalikan sepeda yang dinaikinya. Dan kini, Tria benar-benar sudah lancar menggowes sepedanya tanpa harus dipegangi lagi oleh Esa."AKU BISA NAIK SEPEDA YEEE!" sorak Tria lagi membuat semua mata memandang aneh ke arahnya.Meskipun menjadi pusat perhatian, Tria tidak memperdulikan hal itu. Justru dia malah kegirangan sendiri, layaknya anak balita yang baru saja bisa berjalan dengan lancar. Begitupun juga dengan Tria, pada akhirnya dia bisa mengenyahkan rasa takut dan traumanya untuk belajar bersepeda.Hingga kini ia pun bisa mengendalikan kayuhannya dengan baik, dan itu semua berkat
Ting tong.Tria terhenyak sendiri di tengah waktu santai dan rebahan nyaman di atas kasurnya ketika dentingan bel terdengar dari balik pintu utama di luar sana.Ia melirik jam bulat yang menempel di sudut dinding kamarnya. Bahkan saat jarum jam masih bertengger di angka 10, rumah minimalisnya malah sudah didatangin tamu saja."Siapa sih, lagi mager gini kok malah ganggu?" gumam Tria mendumel sembari menaruh novel romance yang sedang dibacanya di atas bantal.Lalu dengan malas ia pun beringsut menuruni ranjang dan menyeret kaki cantiknya menuju pintu yang masih menghasilkan bunyi dentingan bel yang entah ditekan oleh siapa.Ting tong—CKLEK.Pintu lalu ditarik terbuka oleh nona rumah, karena sebutan tuan hanya dikhususkan untuk seseorang bergender laki-laki."Morning!" sapa seseorang di balik bucket mawar putih yang sengaja ia tutupkan menghalangi wajahnya."Esa?" tebak Tria langsung tahu, karena mau ditutupi ol
Tubuh Tria diempas kuat ke atas ranjang. Pria hidung belang itu tertawa membahana sembari berkacak pinggang seolah berkuasa. Gadis itu berniat untuk bergerak dalam posisinya, tapi sebelum itu terjadi, si pria bernama Hadi itu sudah lebih dulu melompat naik mengunci pergelangan tangan Tria yang ia rentangkan dua-duanya.“Mau ke mana gadis manis?” tatap Hadi berkilat.Tria menangis. Matanya bergerak liar, berusaha mencari akal agar ia bisa melepaskan diri dari pria tua berbahaya ini. Dia tidak sudi jika tubuhnya tersentuh sedikit pun oleh pria semacam Hadi. Tria lebih memilih untuk mati ketimbang masa depannya yang harus hancur akibat perbuatam Merlin yang melemparkan dirinya ke tangan si hidung belang yang kini tengah menatapnya penuh nafsu.Tidak! Tria takut. Dalam hatinya ia merapalkan sejumlah doa agar dia bisa terselamatkan dari bahaya yang akan segera menyerangnya.Esa.Hanya nama itu yang terucap dalam doanya. Dia berharap lelaki i
BRAK.Dirly berhasil menendang pintu di depannya dengan sangat kencang, sehingga membuat pintu berbahan kayu jati itu terbuka secara paksa hingga menghantam dinding. Dengan cepat ia segera mengajak Esa dan yang lainnya masuk ke dalam ruangan itu, kegelapan seketika menyambut saat mereka menerobos ke dalam ruangan itu."Tria!" panggil Viona langsung, mencari sahabatnya di tengah kegelapan."Dir, sakelarnya ada di mana? Gue mana bisa nyari Tria kalo ruangannya gelap begini," ujar Givo mengeluh.Dirly lantas melangkah ke arah dinding yang ditempeli saklar, lalu tak lama kemudian dia pun berhasil menekan sakelar sehingga ruangan seketika menjadi terang."Loh, Kak Esa, kenapa banyak banget foto lo sama Merlin di sini?" komentar Viona yang pertama kali melihat beberapa foto folaroid tergantung dari langit-langit ruangan.Esa menghampiri tempat di mana Viona berdiri sekarang. Tatapannya ia edarkan ke arah sejumlah foto yang memang benar terisi potr
Esa mengusap mukanya frustrasi, sudah ke semua penjuru jalan raya dia mencari tapi yang dicari pun tak kunjung ditemukan.“Kak Esa!” seru Viona yang baru saja datang bersama Givo dengan motor gedenya.Mereka memang sengaja Esa panggil untuk menemuinya di tempat Tria menghilang entah ke mana. Dan sekarang mereka sudah datang. Viona menuruni harley milik Givo dan mengguncang lengan Esa dengan raut paniknya.“Kak Esa, gimana bisa Tria hilang? Bukannya pas pulang kuliah dia barengan sama elo? Tapi kenapa—““Justru itu, sebelum nganter dia pulang ke rumahnya. Gue ngajakin dulu dia ke kedai es krim. Setelah itu gue mutusin buat nganter dia pulang ... karena gue rasa gak ada lagi tempat yang mau kita datengin, tapi pas lagi perjalanan pulang tiba-tiba ada sebuah zeep yang nyalip dan ngehadang perjalanan kita. Udah gitu kita turun dulu, di tengah gue yang nyamperin zeep itu dengan tujuan mau negur orang yang udah ngemudiin mobi
PRAANG.Pantulan di depan dirinya hancur seketika. Menciptakan beberapa keretakan yang membagi bagian tubuhnya menjadi beberapa bagian di dalam cermin riasnya itu. Setelah mendengar kabar bahwa pasangan itu kembali akur, perempuan ber-softlens abu itu lantas mengamuk dengan melempari cermin di kamarnya menggunakan benda apa saja yang terjangkau tangannya.Dia menangis histeris, tidak terima dengan keakuran yang terjadi pada pasangan Esa dan Tria. Pasalnya, setelah membuat Esa mengakui perlakuannya di masa lalu tepat di hadapan dirinya dan bersamaan ketika Tria datang. Merlin sudah berharap besar kalau mereka berdua akan terpisahkan untuk selamanya.Namun harapan tinggal harapan, alih-alih terpisah justru ntah dengan cara apa mereka bisa kembali berbaikan seperti kata informannya yang memberi tahu.“Arghhttt! GUE GAK TERIMA. GUE GAK TERIMA KALO MEREKA SAMPE AKUR LAGI. GUE GAK TERIMAAAA,” teriaknya membabi buta. Lantas mengobrak-abrik seis
Gadis itu terduduk sambil memeluk lutut. Dia membenamkan wajah kesalnya ke lipatan lutut. Ingin melarikan diri tapi tidak bisa, pintu satu-satunya yang bisa ia gunakan sebagai jalan keluar justru dengan sengaja dikunci dari luar. Entah ulah siapa, tapi Tria yakin kalau itu pasti termasuk ke dalam rencananya si lelaki resek itu.“Tria!” panggil Esa dengan lembut sembari membelai puncak kepala sang gadis.Seolah tidak mau tersentuh tangan Esa, Tria lantas menepisnya dengan kasar. Saat pengakuannya tempo hari kembali terngiang, dia menjadi jijik jika tangan itu membelai bagian tubuhnya.Esa menghela sabar saat diperlakukan sekasar itu oleh Tria. Mungkin jauh lebih baik daripada didiamkan berhari-hari.“Mungkin aku emang salah....” ucap Esa memulai sesi penjelasannya. “Seharusnya aku mengatakan semua itu sejak awal. Sejak pertama kali aku memutuskan buat ngebangun hubungan yang baru sama kamu,” lanjutnya tersenyum samar. &ldq