The Blue Eyes
Jemari ramping nan kokoh menghentak tali kekang kuda yang ia tunggangi. Kuda terbaik dengan surai hitam legam nan berkilau itu segera melesat cepat sebagaimana yang diinginkan tuannya. Yang kini duduk dengan begitu gagah di atas pelana, menatap jauh ke depan dengan senyum lebar. Seakan inilah hari yang telah lama ia nantikan. Hari dimana dirinya bisa menjelajahi setiap penjuru dengan bebas.
Mengenai pencarian pasangan hidup, tentu saja ia tidak serius dengan hal itu. Karena hanya dengan alasan itu Eros mengizinkannya keluar tanpa syarat. Meskipun demikian, soal mimpi yang ia ceritakan itu nyata adanya. Namun, hey, siapa yang akan mempercayai sebuah mimpi?
Jika mimpi itu benar, maka, anggap saja sebuah keberuntungan baginya. Jika tidak, tak usah dipikirkan. Dirinya masih memiliki seribu satu cara untuk mengelabuhi Eros yang terus saja membujuknya untuk menikah. Dan siapa sangka, sikap pengasuhnya itu sperti virus yang mudah menular. Karena sekarang, Paman Leandro pun juga telah terjangkit virus yang sama persis dengan Eros.
Dengan alasan naik tahta, maka dirinya harus segera menikah? Bagaimana mungkin ada aturan menjengkelkan seperti itu? Tidak bisakah ia menjadi kaisar saja tanpa harus menyertakan syarat untuk menikah? Apa yang mereka pikirkan sebetulnya?
Arion menyeringai mencemooh begitu pikiran itu muncul di benaknya. Pandangannya semakin menajam menatap di kejauhan. Kesampingkan masalah rumit itu, saatnya bersenang-senang!
Pangeran itu memacu kudanya semakin kencang. Seakan ingin terbang bebas tanpa perlu mengkhawatirkan apa pun.
Disusul oleh Asta yang berkuda di belakangnya. Meninggalkan pintu gerbang White Kingdom yang berdiri megah, kokoh, dan tampak begitu elegan dengan besi-besi bersepuh emas. Dua penjaga yang membuka gerbang membungkuk penuh hormat melepas kepergian sang pangeran yang menyamar. Segala atribut kerajaan ia tanggalkan. Ia hanya mengenakan pakaian khas pengembara dengan pedang di punggung layaknya kesatria.
Setelah keluar dari wilayah istana, Arion memutar tali kekang kudanya ke arah Barat. Arah di mana pemukiman warga berpusat. Mengundang tanda tanya bagi Asta. Ia tahu pasti pangeran yang satu ini sangat keras kepala dan susah diatur. Sebelum keberangkatan, Eros sudah mengingatkannya berulang kali untuk mengambil jalan yang sudah disiapkan. Jalan khusus bagi keluarga kerajaan. Yang memiliki level keamanan tingkat tinggi. Dan kini, pangerannya itu justru begitu riang gembira mengabaikan peringatan Eros? Dan begitu sengaja mengambil jalur yang berbahaya? Oh, yang benar saja. Jika sampai Eros dan Kaisar mengetahuinya, bukan hanya pangeran keras kepala itu saja yang akan terkena masalah, dirinya pun pasti akan mendapatkan omelan sepanjang hari oleh Eros.
Asta bergidik ngeri hanya dengan membayangkannya. Karena jika sudah mengomel, Eros tidak akan berhenti sampai langit terbelah.
Karenanya, Asta segera menghentakkan kakinya, mencoba mensejajari sang pangeran.
“Pangeran Arion, sepertinya kau mengambil arah yang keliru,” seru Asta berusaha mengimbangi kecepatan kuda sang pangeran yang tak memiliki tandingan dalam hal kecepatan maupun kecerdasan itu.
Tanpa sedikit pun keinginan untuk mengurangi laju kudanya, Arion balas berseru, “Panggil aku Arion, As. Atau aku tidak mau memberikan penjelasan apa pun padamu,” sahutnya sambil tertawa. Membuat Asta mengerjap dengan mulut sedikit terbuka. Tanpa menunggu jawaban Asta, Arion sudah memacu kudanya dengan kecepatan penuh. Asta yang memelankan laju kudanya─bahkan nyaris berhenti─segera tersadar, berusaha kembali mengimbangi kecepatan Arion.
Ketika pemuda yang sudah menjadi teman semasa kecilnya itu sudah berada di sampingnya dengan ekspresi menuntut penjelasan, Arion tersenyum lebar. “Apa yang ingin kau dengar?” tanyanya ringan.
“Kau sudah tahu, Arion,” jawabnya dengan sedikit kebimbangan ketika menyebut nama sang pangeran.
Asta tahu pasti sosok seperti apa Arion. Pemuda itu sangat keras kepala dengan keputusannya. Sesungguhnya─menurut hukum kerajaan─menyebut nama kaisar dan anak keturunannya tanpa mengikutsertakan gelar kebesaran adalah terlarang. Ia bisa saja mendapat hukuman cambuk dari bagian keamanan. Dan yang paling aneh adalah, baru pertama ini ia menemukan sosok pangeran yang tidak mau dipanggil dengan gelar kebesarannya yang seharusnya menjadi kebanggaan.
Di sisi lain, mendengar intonasi aneh ketika Asta menyebut namanya, Arion sungguh tak mampu menahan tawa. Ia tergelak lepas. Melupakan adat kesopanan seorang pangeran yang diajarkan bertahun-tahun.
Demi melihat hal itu, tanpa sadar, Asta tersenyum. Pangeran Arion tetaplah seorang manusia biasa. Sahabat masa kecilnya yang tak pernah berubah.
“Asta, kau tahu? Kau adalah sahabat terbaikku selain Ega dan Egy. Aku tidak ingin ada sekat apa pun yang bisa merusak pertemanan kita. Seharusnya kau mengerti apa yang kumaksud, bukan?” tegas Arion dengan senyum lebar.
“Kau percaya padaku?” tanya Asta tanpa sadar. Kalimat itu meluncur begitu saja dari dasar hatinya. Tidak peduli jika pertanyaan itu sama sekali tidak sejalan dengan topik pembicaraan sang pangeran.
Keresahan dan kegelisahan yang memberatkan pikirannya akhir-akhir ini membuat kalimat itu keluar dengan sendirinya. Seakan ingin meyakinkan diri sendiri bagaimana harus menentukan sikap.
Asta tahu pasti siapa Arion. Meskipun pangerannya itu terlihat begitu santai dan sama sekali tak ingin berpikir rumit, ingin hidup sederhana dan bahagia, namun, Arion adalah sosok pangeran yang cerdas. Memiliki pemikiran yang mendalam dan sama sekali tidak menyukai kekerasan.
Rencana jahat ayahnya, yang merupakan perdana menteri kepercayaan sang kaisar, kemungkinan besar sudah diketahui oleh mata hati Arion yang sangat tajam dan jernih. Dan pangeran ini masih tersenyum dengan penuh ketulusan padanya?
Entah bagaimana, tiba-tiba Asta merasakan keharuan yang medalam jauh di lubuk hatinya.
“Tentu saja. Bahkan ketika kau berbohong padaku, aku akan mempercayainya,” sahut Arion ringan sambil tertawa tanpa beban. Sebuah pernyataan yang langsung menghantam benak Asta dengan begitu kuat, bagai palu yang meremukkan kaca.
“Asta,” Arion memelankan laju kudanya ketika mereka sudah tiba di perbatasan antara desa dan kompleks kerajaan. “Lihat di sana,” lanjut Arion dengan jari telunjuk terangkat, mengarah pada pemukiman yang padat penduduk. Bola mata besarnya menyipit saat menyaksikan aktivitas orang-orang desa. Mereka terlihat sangat sederhana dan lemah. Pandangannya terkunci pada anak-anak yang ramai ikut membantu orangtuanya di ladang-ladang. “Anak-anak itu, menurutmu, berapa usia mereka?” tanya Arion tanpa menoleh. Dan tanpa sadar, ia sudah menghentikan laju kudanya tepat di sisi pepohonan terakhir dari batas desa.
Asta mengikuti arah pandang Arion setelah berusaha keras mengendalikan gejolak hatinya begitu mendengar penuturan Arion yang begitu tulus tentang betapa kuat kepercayaan yang pangeran itu berikan padanya.
Asta berdeham ringan, “Sekitar 7-8 tahun, mungkin,” sahutnya tak yakin, sedikit heran dengan hal yang mencuri perhatian pangerannya itu.
“Benar. Beberapa hari yang lalu, aku bertemu dengan mereka. Apa yang kita lakukan ketika seusia mereka?” Kali ini, Arion menoleh penuh ke arah Asta. Memaksa pemuda yang tak banyak bicara itu untuk mengenang masa kecilnya.
Bayangan masa kecil itu pun seketikan menghampiri benak Asta tanpa perlu usaha keras untuk menggali gudang ingatan tentangnya. Karena bagi Asta, masa kecil mereka benar-benar sangat berharga. Bersama Arion, dan si kembar Ega–Egy, mereka menghabiskan masa itu dengan belajar, berlatih, dan bermain. Ia teringat bagaimana mereka berempat selalu membuat Eros marah-marah karena sering sekali kabur ke hutan untuk berburu burung, mengendap-endap ke kanal belakang istana hanya untuk berenang dan adu kecepatan. Dan masih banyak lagi kenakalan yang biasa mereka lakukan. Sebuah ingatan yang tanpa sadar, membuat Asta tersenyum.
“Asta,” tegur Arion sambil terkekeh pelan begitu melihat sahabat baiknya itu tersenyum sendiri, meski samar.
Secepat kilat, senyum Asta memudar, digantikan dengan sikap salah tingkah. “Maaf, Pang─eh, Arion. Sebenarnya, apa yang ingin kau tunjukkan padaku?”
Arion terkekeh pelan sebelum pandangannya kembali terlempar jauh menembus batas. “White Kingdom adalah kerajaan besar. Paling besar di antara lima kerajaan di Goldstone Empire. Menurut teori yang kita pelajari dari Chiron dulu, bukankah fungsi kerajaan adalah melindungi dan mensejahterakan rakyatnya? Pada titik ini, aku sungguh gagal memahaminya,” tutur Arion tanpa sedikit pun memalingkan pandangannya.
Asta terdiam, menatap lekat-lekat gestur wajah sahabat semasa kecilnya itu. Sang putra mahkota ini, sama sekali tidak berubah. Kecuali bentuk fisiknya yang terlihat semakin matang dan rupawan.
Detik berikutnya, pandangannya sudah beralih mengikuti arah pandang Arion. Menangkap rumah-rumah penduduk yang tampak sederhana. Jauh dari hiruk-pikuk kemewahan seperti kehidupan para pejabat istana. “Manusia memang rumit, Arion. Ambisi telah menenggelamkan jiwa mereka ke dalam lumpur kehinaan yang mereka anggap kejayaan.” Rahang Asta mengeras, tatapannya begitu tajam menusuk penuh amarah, berimbas pada getar suaranya yang terdengar sangat dingin. Membuat Arion langsung menoleh. Sedikit terkejut dengan perubahan ekspresi Asta yang terasa asing baginya. Mengingat Asta adalah sosok pendiam yang miskin ekspresi. Namun, dengan alasan yang sulit ia jelaskan, Arion merasa senang melihat sikap sahabatnya itu. Sebuah sikap yang syarat akan keyakinan yang sulit tergoyahkan.
Menyadari tatapan Arion, Asta langsung berpaling. “Maaf, Arion, tidak seharusnya aku berkata demikian,” sesalnya.
Arion terkekeh pelan. “Aku senang kau sudah kembali, As,” serunya sambil menyentak tali kekang kuda.
“Hey,” seru Asta. Tidak ada sahutan kecuali kekehan menjengkelkan yang membuat Asta mendengus. Bagaimana bisa pangeran keras kepala itu mengambil kesimpulan hanya dalam kurun waktu satu kedipan mata? Namun demikian, senyum Asta mengembang sebelum ia turut menyentak tali kekang kuda menyusul sahabat terbaiknya. Bukankah lelaki tidak harus banyak bicara untuk menyampaikan isi hati dan pikirannya?
Setelah pembicaraan mereka itu, entah bagaimana, Asta merasakan beban berat di pundaknya seakan telah menghilang. Menguap tanpa jejak. Detik itu juga, ia sungguh tahu apa yang harus ia lakukan.
Setelahnya, mereka selalu memacu kudanya dengan pelan setiap kali melewati desa-desa. Mengamati sekitar dalam diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Para orang tua yang mengemis di tepian jalan, anak-anak kecil yang berjualan di p***r, wanita-wanita penambang pasir, dan banyak lagi aktivitas penduduk yang mencuri perhatian mereka.
“Apa kau masih sering pergi ke tempat-tempat seperti ini?” tanya Asta memecah keheningan.
Arion tertawa pelan. “Kau pikir begitu?”
“Apa yang kau lakukan di tempat-tempat seperti ini?” Asta sudah sering mendengar Eros marah-marah dan menyuruh penjaga untuk mencari Arion yang tiba-tiba menghilang. Menipunya dengan guling yang diselimuti jubah kebesarannya.
Arion tergelak, “Bermain gundu dengan anak-anak desa,” sahutnya ringan tanpa beban. Alis kanan Asta berkedut mendengar jawaban Arion. Membuat Arion semakin tergelak. “Hey, aku serius, As. Lain kali kau harus mencobanya. Ini sangat menyenangkan,” lanjutnya.
Kuda Asta meringkik, seperti dikejutkan oleh sesuatu, “Kau tahu, Arion? Zero bahkan terkejut mendengar penuturanmu,” balas Asta, lantas tertawa. Tawa langka yang jarang sekali ia tunjukkan. Arion bahkan bisa mengingat dan menghitung berapa kali Asta tertawa seperti itu.
“Kau tertawa, Asta? Hey, kau sungguh tertawa?” goda Arion dengan bola mata berbinar jahil.
Tawa Asta langsung terhenti, ia mengibaskan tangannya dengan wajah memerah karena malu. Untuk mengurangi rasa malunya, ia berdeham canggung. “Sebenarnya, apa yang kau cari di Pantai Selatan, Arion? Apakah yang dikatakan Eros benar? Kau akan mencari pasangan hidup di sana?” Demi mendengar pertanyaan polos Asta, Arion tergelak sejadinya, ia bahkan sampai memegangi perut menahan sakit. Asta mendengus, “Berhenti tertawa, Arion. Kau membuat martabat seorang pangeran White Kingdom jatuh ke dasar jurang hingga tak bisa diselamatkan,” gerutu Asta. Alih-alih membuat Arion diam, yang ada justru sebaliknya, pangeran itu semakin tergelak hingga sudut-sudut matanya berair.
Arion terus saja tergelak, sama sekali tak mempedulikan seruan Asta yang mengingatkan tentang harkat dan martabatnya sebagai seorang pangeran yang terhormat.“Memangnya kenapa jika aku seorang pangeran, eh? Aku tidak boleh tertawa lepas? Oh yang benar saja, jika demkian, dunia ini pasti sangat membosankan. Benar, tidak?” balas Arion seraya mengerling jahil, mengedipkan sebelah mata dengan senyum yang masih tersungging dengan lebarnya. Membuat Asta benar-benar kehilangan kata. Diam-diam, dirinya menyumpahi Ega dan Egy yang tidak ikut bersama mereka. Andai si kembar itu bersama mereka sekarang, pasti dirinya tidak akan menjadi bulan-bulanan si pangeran seperti ini.Karena entah bagaimana, si kembar itu selalu saja memiliki trik-trik licik untuk melawan kekeraskepalaan Arion.Arion menatap wajah datar Asta yang dibalur sedikit kebingungan dengan sebelah alis terangakat, lantas terkekeh pelan. Sahabat masa kecilnya itu benar-benar miskin ekspresi. Sangat
“Aku akan ke sana. Jika kau tidak ingin pergi bersamaku, kau bisa kembali. Namun, kupastikan kau akan menyesali keputusanmu itu seumur hidupmu,” putus Arion seraya mengerling jahil ke arah Asta yang masih memberikan tatapan tak percaya padanya.Dan tanpa menghiraukan peringatan Asta, Arion sudah kembali memacu kudanya memasuki hutan pinus yang terlihat begitu dingin dan angkuh. Meninggalkan Asta yang seketika juga menghentak tali kekang kudanya.“Arion, tidak bisakah kau untuk kali ini saja memikirkan rakyatmu?” seru Asta dari arah belakang. Sebuah seruan yang hanya mampu membuat Arion mengerutkan kening samar tanpa sedikit pun keingnan untuk berhenti.“Sudah ada Kaisar dan para pejabat yang memikirkannya. Mereka tidak memerlukan orang sepertiku untuk berpikir tentang masalah itu.” Arion balas berseru. Nada suaranya begitu tenang dan santai. Seakan sama sekali tak keberatan menyerahkan status putra mahkota pada siapa pun yang
“Apa kau yakin dengan keputusanmu itu?” tanya Asta sekali lagi. Jika mereka membiarkan para pembunuh bayaran itu hidup, tidak menutup kemungkinan jika mereka akan kembali lagi dengan lebih banyak bantuan dan strategi baru setelah mengetahui bahwa dirinya memutuskan berada di pihak sang putra mahkota. Bahkan mungkin saja ayahnya, yang seorang perdana menteri memutuskan untuk melenyapkan dirinya bersama sang putra mahkota.Jika mereka membunuh para pembunuh bayaran itu saat ini juga, si penyewa akan kehilangan jejak mereka, dan tentu saja, akan kesulitan menemukan mereka. Dan lagi, Arion bersikeras akan melintasi dinding batu, tempat di mana rumor-rumor mengerikan beredar selama ribuan tahun. Bahkan pembunuh bayaran terhebat di White Kingdom pun tak akan pernah mempertaruhkan nyawa mereka untuk mengejar hingga ke balik dinding batu. Membunuh para pembunuh bayaran itu jelas akan memberikan mereka waktu untuk segera meninggalkan tempat ini.Namun ….
Tidak ada waktu bagi Asta untuk terkejut apalagi mengagumi kemampuan Arion. Karena di detik berikutnya, mata reptil monster berwujud kadal itu bergerak-gerak dengan lubang hidung sebesar sumur yang mengembang dan mengempis seakan tengah megendus sesuatu. Lidahnya yang bercabang seketika terjulur begitu bola matanya yang besar menangkap keberadaan Arion dan Asta, lantas, sepertinya makhluk itu memutuskan bahwa keduanya adalah lalat pengganggu yang layak ia singkirkan dari pandangannya. Karena tanpa ragu, makhluk itu merangkak pelan namun pasti ke arah keduanya.Dan yang lebih buruk daripada itu, sepertinya sama sekali tak berniat menghentikan proses pengeluaran gasnya. Membuat Asta semakin pucat pasi.“Celaka! Sepertinya monster itu tengah menuju ke arah kita, Arion. Apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya Asta seraya menarik gagang pedangnya cepat. Manik sewarna kelabunya menatap tajam ke arah suara ranting dan dedaunan kering berkeratak terinjak.
Arion menoleh ke arah Asta seraya tersenyum lebar setelah si penjaga dinding batu menyetujui permintaanya. Binar di matanya seakan ingin mengatakan, “Lihatlah, bukankah sudah kukatakan kalau semuanya akan baik-baik saja?”Asta, yang sudah mampu kembali menguasai dirinya dari rasa terkejut setelah bertemu dengan monster yang bisa berbicara, dan lagi, yang bisa dengan begitu mudah menyetujui permintaan Arion, hanya mampu mengangkat kedua bahu dan menyeringai samar.“Bagaimanapun juga, kau adalah seorang pangeran. Dan sepertinya, makhluk itu sangat menyadari jika kau memiliki kepala sekeras batu,” ucap Asta seraya mensejajarkan diri dengan kuda Arion yang telah berjalan sedikit di depannya, lantas, menoleh ke arah Arion dengan seringai seakan tengah menertawakan diri sendiri. “Kurasa, makhluk itu hanya ingin melihat bagaimana kita menjerit kesakitan dan memohon untuk segera dibukakan pintu neraka,” lanjutnya seraya tertawa iron
Asta segera membungkam mulutnya begitu menyadari suaranya bisa di dengar oleh si raja hutan yang kini berkacak pinggang. Sebuah gestur yang membuat Asta mati-matian menahan tawa.Mendapati situasi yang tidak menguntungkan, Asta segera berdeham untuk menghilangkan nada tawa itu dari getar suaranya.“Oh, maafkan aku. Aku sungguh tidak bermaksud demikian, hanya saja, ini benar-benar hal yang baru bagi kami,” balas Asta seraya menangkupkan kedua tangan di depan dada dengan nada penuh penyesalan. Sorot matanya bahkan meredup seakan merasa bersalah.Sebuah sikap yang membuat Arion nyaris tersedak. Ini sungguh kali pertama dirinya melihat sikap Asta yang tampak begitu mengiba. Seolah sikap tanpa ekspresi dan tanpa emosi yang selalu ditunjukkannya, yang bahkan menjadi identitasnya itu luntur begitu saja.Inikah Asta yang sesungguhnya? Begitu hangat dan lembut? Lantas, kenapa ketika di lingkungan istana ia tampak begitu dingin tak tersentuh?
Suara gelak tawa kawanan binatang buas itu pun seketika menggema di udara. Seketika menerbangkan burung-burung liar yang tak Arion ketahui jenisnya di sekitar mereka.“Kau lihat itu, kini mereka menganggap kita seperti idiot,” kekeh Asta dengan seringai ironi.“Bukan sepenuhnya salah mereka, karena pada kenyataannya, selama ribuan tahun, bangsa manusia di bawah kekuasaan White Kingdom sama sekali tak pernah bersentuhan dengan kaum mereka. Dan lebih buruk daripada itu, bangsa kita telah menanamkan pemahaman yang sangat kuat pada bayi-bayi yang bahkan belum lahir dengan ritual penangkal gangguan dari bangsa mereka. Sejak awal, kita telah memperlakukan mereka dengan buruk.”Jawaban Arion yang disampaikan dengan nada seakan mengandung sebuah penyesalan itu sontak saja membuat sebelah alis Asta terangkat.“Apa kau sungguh berpikir demikian?” tanya Asta dengan sedikit menelengkan kepala. Sedikit heran dengan penjelasan panger
“Siapa namamu?”Sebuah pertanyaan yang ditanyakan dengan kedua mata menyipit dan getar suara yang mengandung nada rasa ingin tahu itu sontak saja membuat anak buah si raja hutan saling toleh, saling melempar tatapan bingung.Hal itu tentu saja mereka lakukan bukan tanpa alasan. Masalahnya, pemimpin mereka itu sama sekali tak segan-segan menelan siapa pun manusia yang memasuki kawasan mereka.Satu-satunya manusia yang ia perlakukan dengan baik hanyalah seorang gadis yang berhasil mengelabuhi mereka dan menerobos masuk ke wilayah mereka dengan begitu berani.Yang datang menantang mereka dengan sinar mata yang membara penuh tekad, sekalipun tubuhnya babak belur dan pakaiannya compang-camping penuh noda darah yang mengalir deras dari tubuhnya.Belakangan mereka ketahui, ternyata gadis itu adalah korban pembantaian yang dilakukan oleh bangsanya sendiri.Dan tak dipungkiri, pemimpin mereka jelas sangat menyukai gairah dendam yang memba
“Apa maksudmu, Arion? Apakah kau sungguh-sungguh ingin menyerahkan hidupmu pada mereka?” desis Asta dengan tatapan penuh kemarahan. “Darimana kau yakin mereka akan memenuhi harapanmu jika kau sudah mati, hah? Tidakkah kau mampu berpikir sedikit saja lebih rasional?” Asta benar-benar tak mampu menahan kemarahannya melihat sikap pangerannya yang begitu naif.Bagaimana bisa pengerannya itu berjudi dengan nyawa sebagai taruhan? Apakah ia benar-benar sudah menyerah hidup sebagai seorang pangeran dan ingin segera menanggalkan status yang tak pernah diinginkannya itu?Akan tetapi, kemungkinan terakhir sangat mustahil, Asta tahu pasti siapa Arion. Meskipun dirinya tak menyukai sesuatu, namun jika sesuatu itu telah dibebankan di pundaknya, maka ia akan penuh totalitas menjalankan kewajibannya itu.Jika bukan karena kemungkinan terakhir itu, lalu bagaimana dirinya bisa menjelaskan sikap Arion yang begitu naif itu?Bahkan Asta juga tahu pasti
“Aku hanya akan mempercayai kata-katamu jika kau bersedia menyerahkan nyawamu tanpa perlawanan. Bagaimana menurutmu, eh, Pangeran?” tanya si raja hutan seraya menyeringai mencemooh. Yang seketika membuat Asta kembali mengangkat pedangnya dan melempari makhluk itu dengan tatapan tajam.Namun, lagi-lagi, Arion mengangkat sebelah tangannya untuk menghentikan gerakan pedang Asta, sekali lagi meminta sahabat baiknya itu untuk menurunkan pedangnya, menurunkan kemarahannya.Akan tetapi, kali ini Asta sedikit keras kepala, tentu saja ia tidak akan diam saja melihat makhluk di hadapannya itu bertindak sewenang-wenang pada Arion.“Asta,” lirih Arion penuh ketegasan begitu melihat gelagat kekeraskepalaan Asta.“Jangan menghentikanku, Arion. Selama aku masih hidup, aku tidak akan pernah membiarkan makhluk-makhluk itu menyentuh ujung rambutmu! Dan kau lihat, mereka sudah sangat keterlaluan dengan permintaan konyol seperti itu!” gera
“Oh benarkah? Kalau begitu, kau hanya punya satu pilihan. Kau harus membunuhku jika kau tidak ingin kata-katamu itu hanya akan berakhir menjadi omong kosong yang menggelikan!” ujar si raja singa dengan dagu terangakat seraya menyeringai menantang, menunjukkan taring-taring tajamnya yang siap mencabik apa pun yang dikehendakinya.Sialnya, ancaman kengerian itu sama sekali tak berguna untuk Arion. Pangeran itu masih dengan ketenangannya yang begitu mengagumkan, justru tersenyum dan menatap lurus si raja hutan. Mengunci tatapan keduanya hingga pada titik seakan mampu saling menyelami pikiran yang tersembunyi jauh di kedalaman hati masing-masing.Lantas, setelah mengunci lawan bicaranya seperti itu, dengan suara tenang namun begitu tegas nan bertenaga, Arion berujar penuh keyakinan.“Aku tidak akan pernah membunuhmu. Bukan perkelahian dan permusuhan yang kuinginkan dari kalian. Aku sungguh-sungguh ingin menjalin pertemanan yang sehat dengan kalian.
Secepat kilat, Asta segera menarik pedangnya dan menjadikan tubuhnya sebagai perisai Arion begitu melihat reaksi mengancam dari puluhan binatang buas di hadapannya.Tidak butuh orang dengan kemampuan analisa yang tinggi untuk mengetahui tatapan membunuh yang dilemparkan secara terang-terangan pada mereka. Karena sebagai orang yang sudah sangat terlatih di medan pertempuran, Asta jelas mampu mencium nafsu membunuh yang sangat pekat menguar di udara dan menusuk hidungnya tanpa bisa dicegah.“Arion, cepat tinggalkan tempat ini. Aku akan menghadang dan memperlambat mereka,” desis Asta yang kini sudah berada di depan Arion tanpa menoleh. Menatap penuh waspada pada gerakan jenis apa pun yang dilakukan kawanan binatang buas di hadapannya.Tangannya yang kokoh mencengkeram gagang pedang dengan begitu kuat. Bersiap menebas apa pun yang akan menyerang mereka.Ksatria itu jelas tahu pasti jika mereka tidak akan mungkin bisa menang mengalahkan kawanan bin
“Siapa namamu?”Sebuah pertanyaan yang ditanyakan dengan kedua mata menyipit dan getar suara yang mengandung nada rasa ingin tahu itu sontak saja membuat anak buah si raja hutan saling toleh, saling melempar tatapan bingung.Hal itu tentu saja mereka lakukan bukan tanpa alasan. Masalahnya, pemimpin mereka itu sama sekali tak segan-segan menelan siapa pun manusia yang memasuki kawasan mereka.Satu-satunya manusia yang ia perlakukan dengan baik hanyalah seorang gadis yang berhasil mengelabuhi mereka dan menerobos masuk ke wilayah mereka dengan begitu berani.Yang datang menantang mereka dengan sinar mata yang membara penuh tekad, sekalipun tubuhnya babak belur dan pakaiannya compang-camping penuh noda darah yang mengalir deras dari tubuhnya.Belakangan mereka ketahui, ternyata gadis itu adalah korban pembantaian yang dilakukan oleh bangsanya sendiri.Dan tak dipungkiri, pemimpin mereka jelas sangat menyukai gairah dendam yang memba
Suara gelak tawa kawanan binatang buas itu pun seketika menggema di udara. Seketika menerbangkan burung-burung liar yang tak Arion ketahui jenisnya di sekitar mereka.“Kau lihat itu, kini mereka menganggap kita seperti idiot,” kekeh Asta dengan seringai ironi.“Bukan sepenuhnya salah mereka, karena pada kenyataannya, selama ribuan tahun, bangsa manusia di bawah kekuasaan White Kingdom sama sekali tak pernah bersentuhan dengan kaum mereka. Dan lebih buruk daripada itu, bangsa kita telah menanamkan pemahaman yang sangat kuat pada bayi-bayi yang bahkan belum lahir dengan ritual penangkal gangguan dari bangsa mereka. Sejak awal, kita telah memperlakukan mereka dengan buruk.”Jawaban Arion yang disampaikan dengan nada seakan mengandung sebuah penyesalan itu sontak saja membuat sebelah alis Asta terangkat.“Apa kau sungguh berpikir demikian?” tanya Asta dengan sedikit menelengkan kepala. Sedikit heran dengan penjelasan panger
Asta segera membungkam mulutnya begitu menyadari suaranya bisa di dengar oleh si raja hutan yang kini berkacak pinggang. Sebuah gestur yang membuat Asta mati-matian menahan tawa.Mendapati situasi yang tidak menguntungkan, Asta segera berdeham untuk menghilangkan nada tawa itu dari getar suaranya.“Oh, maafkan aku. Aku sungguh tidak bermaksud demikian, hanya saja, ini benar-benar hal yang baru bagi kami,” balas Asta seraya menangkupkan kedua tangan di depan dada dengan nada penuh penyesalan. Sorot matanya bahkan meredup seakan merasa bersalah.Sebuah sikap yang membuat Arion nyaris tersedak. Ini sungguh kali pertama dirinya melihat sikap Asta yang tampak begitu mengiba. Seolah sikap tanpa ekspresi dan tanpa emosi yang selalu ditunjukkannya, yang bahkan menjadi identitasnya itu luntur begitu saja.Inikah Asta yang sesungguhnya? Begitu hangat dan lembut? Lantas, kenapa ketika di lingkungan istana ia tampak begitu dingin tak tersentuh?
Arion menoleh ke arah Asta seraya tersenyum lebar setelah si penjaga dinding batu menyetujui permintaanya. Binar di matanya seakan ingin mengatakan, “Lihatlah, bukankah sudah kukatakan kalau semuanya akan baik-baik saja?”Asta, yang sudah mampu kembali menguasai dirinya dari rasa terkejut setelah bertemu dengan monster yang bisa berbicara, dan lagi, yang bisa dengan begitu mudah menyetujui permintaan Arion, hanya mampu mengangkat kedua bahu dan menyeringai samar.“Bagaimanapun juga, kau adalah seorang pangeran. Dan sepertinya, makhluk itu sangat menyadari jika kau memiliki kepala sekeras batu,” ucap Asta seraya mensejajarkan diri dengan kuda Arion yang telah berjalan sedikit di depannya, lantas, menoleh ke arah Arion dengan seringai seakan tengah menertawakan diri sendiri. “Kurasa, makhluk itu hanya ingin melihat bagaimana kita menjerit kesakitan dan memohon untuk segera dibukakan pintu neraka,” lanjutnya seraya tertawa iron
Tidak ada waktu bagi Asta untuk terkejut apalagi mengagumi kemampuan Arion. Karena di detik berikutnya, mata reptil monster berwujud kadal itu bergerak-gerak dengan lubang hidung sebesar sumur yang mengembang dan mengempis seakan tengah megendus sesuatu. Lidahnya yang bercabang seketika terjulur begitu bola matanya yang besar menangkap keberadaan Arion dan Asta, lantas, sepertinya makhluk itu memutuskan bahwa keduanya adalah lalat pengganggu yang layak ia singkirkan dari pandangannya. Karena tanpa ragu, makhluk itu merangkak pelan namun pasti ke arah keduanya.Dan yang lebih buruk daripada itu, sepertinya sama sekali tak berniat menghentikan proses pengeluaran gasnya. Membuat Asta semakin pucat pasi.“Celaka! Sepertinya monster itu tengah menuju ke arah kita, Arion. Apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya Asta seraya menarik gagang pedangnya cepat. Manik sewarna kelabunya menatap tajam ke arah suara ranting dan dedaunan kering berkeratak terinjak.