Yoon Haejin terbangun di tengah malam ketika sesuatu mengusik alam bawah sadarnya.
Ia terduduk di kasur luasnya, menatap lurus ke depan tanpa tujuan dan maksud apa-apa.
Ah, bermimpikah dirinya? Haejin menanyai dirinya sendiri yang masih belum sadar sepenuhnya. Tidak berniat untuk memikirkannya lebih jauh, ia mungkin akan memutuskan untuk kembali tidur.
Itu hanya menjadi keinginannya yang berlalu bak angin sekilas ketika ia mendengar suara teriakan dari lantai bawah. Haejin terkejut, ia terpaku di kasurnya. Kesadarannya langsung naik ke level tertinggi, ia sangat sadar untuk mendengarkan kembali dan memastikan apakah suara itu nyata atau hanya halusinasinya.
Tapi ketika suara teriakan sang ibu terdengar jelas di telinganya, Haejin memutuskan untuk menganggap itu bukan mimpi belaka.
Haejin buru-buru turun dari ranjangnya, berlari secepat mungkin menghampiri asal dari suara teriakan ibunya yang terdengar dari lantai bawah. Haejin tidak memanggil, ia tidak bersuara. Kepanikan yang memuncak tiba-tiba itu menyekat lidahnya, ia hanya fokus untuk sampai ke tempat sang ibu secepat mungkin tapi ketika ia sampai di tangga—dirinya dicegah oleh ibunya.
“Ibu? Ada apa? Kenapa teriak?” Ibunya, Yoon Sona, tidak menjawab pertanyaan Haejin dan hanya mengajak Haejin untuk kembali naik ke lantai dua—tempat kamar keduanya berada.
Haejin mengira sedang ada perampokan dalam rumahnya dan mungkin saja ibunya sedang berusaha untuk menyelamatkan diri mereka. Tapi ketika mereka sampai di kamar Sona, wanita itu mendorong Haejin untuk segera masuk ke lemari besar miliknya.
“Ibu, ada apa ...?” Haejin masih menyimpan kecemasan, terlebih saat Sona sama sekali tidak membuka mulutnya. Wanita itu terus bungkam sembari mengubur tubuh Haejin dengan tumpukan pakaian, wajahnya paniknya terlihat samar-samar dalam remangnya ruangan.
“Ibu, katakan sesuatu!” Haejin sudah akan menangis, apalagi ketika ia tahu kalau ibunya tidak ikut bersembunyi dengannya. “Ibu membuatku ketakutan!”
Sona berhenti sejenak setelah pekerajaannya selesai. Ia menatap mata Haejin yang saat itu sangat ketakutan dan panik. Ia lantas mencengkeram tengkuk Haejin dengan lembut dan erat.
“Haejin, lihat aku. Jangan menimbulkan suara apa-apa,” ujar Sona, semakin membuat Haejin bingung dan panik.
“Tapi kenapa? Ada apa di luar?”
“Kau tidak perlu tahu. Bersembunyilah dengan baik di sini dan keluarlah saat bantuan datang. Aku akan membuat para tetangga bangun dan menyelamatkanmu.”
“Ibu ...!” Haejin menahan tangan Sona saat wanita itu akan menutup pintu lemarinya. Ia sangat kebingungan, tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi dan apa yang membuat Sona begitu panik menyelamatkan Haejin. “Jangan pergi.”
Haejin melihat raut Sona yang berusaha tegar sementara kepanikan dan takut itu tidak dapat dia sembunyikan. Itu terlihat jelas ketika mata cantiknya tampak berair, menahan cairan itu untuk tidak jatuh tapi tetap saja gagal dilakukannya..
Sona menangis, tanpa memperlihatkan raut kesedihan dan berusaha untuk tetap tegar. Kenyataan itu membuat hati Haejin semakin terluka. Ia takut, sangat panik ketika membayang sang ibu akan mengucapkan kalimat perpisahan sebelum pintu lemari itu benar-benar ditutupnya.
“Jangan keluar dari sini atau Ibu akan memukulmu. Mengerti?” ujar Sona dengan nada mengancam, membuat Haejin hanya bisa membungkam mulutnya dan menuruti ucapan sang ibu tanpa memberi perlawanan. Sebelum pintu ditutup sempurna, ia bisa melihat dengan jelas raut sedih Sona yang menatapnya sembari tersenyum pilu dan berkata, “Aku mencintaimu, Haejin.”
Setelah itu, pintu tertutup rapat dan Sona bergegas untuk lari keluar kamar. Tapi ketika ia belum melewati pintu itu, kehadiran sosok bermata merah yang tiba-tiba muncul sembari membawa kekuatan diluar logikanya membuat Sona jatuh karena amat terkejut.
Haejin mendengar suara ibunya yang ketakutan, tetapi ia hanya bisa membungkam mulutnya dan mematuhi perintah seperti yang ibunya katakan. Kendati ketakutannya tak dapat dibendung, kendati air matanya tak bisa lagi ditampung.
Sona dengan kakinya yang gemetar, menggenggam stik golf peninggalan suaminya itu dengan erat sembari memupuk keberanian yang tampak mustahil.
“Siapa kau sebenarnya?” tanya Sona sembari menatap lelaki tinggi di depannya dengan mata penuh ketakutan. “Kenapa kau menyerang rumahku?”
Haejin memberanikan diri untuk mengintip melalui celah pintu lemari. Celah itu sangat sempit dan tipis, sehingga ia tidak bisa dengan jelas menyaksikan apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin akan tetap seperti itu jika saja ibunya tetap berdiri di depan pintu dan terus terlihat seperti bicara sendiri itu. Tapi semua semakin jelas ketika Haejin melihat sebuah tangan yang terulur ke depan, mencekik leher Sona.
“Ib—” Haejin kembali menekan suaranya, membungkam sendiri mulutnya dengan kedua tangannya kuat-kuat. Dia tidak boleh menimbulkan suara apa pun sesuai dengan yang ibunya perintahkan, tetapi rasanya jadi semakin menyesakkan karena dia seakan-akan hanya diam dan menyaksikan ibunya pergi mendekati kematian.
Haejin tidak bisa melakukan apa-apa selain menangis. Sembari matanya masih terpusat untuk melihat apa yang terjadi, netra itu seketika membulat lebar kala ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri—sesosok makhluk dengan mata merah menggigit leher Sona sampai wanita itu menjerit kesakitan.
Haejin terkejut luar biasa, ketakutan itu seperti air terjun yang mengalir begitu saja. Meski mustahil, ia masih berusaha untuk tetap senyap di tempat persembunyiannya kendati hatinya seperti tercabik-cabik mendengar suara ibunya berteriak meminta tolong berulang kali.
Sampai pada akhirnya, suara teriakan itu perlahan redam dan melemah hingga tak terdengar sama sekali. Haejin melihat tangan yang semula menggenggam stik golf itu kini terkulai lemas tak bertenaga, Haejin semakin rapat membungkam mulutnya sampai tak sadar membuat bibirnya tergigit dan berdarah.
Tapi seakan tak diberi waktu untuk memikirkan dirinya, Haejin kembali dibuat tercengang dengan apa yang lelaki bermata merah itu lakukan dengan jasad ibunya. Dia menggunakan kukunya yang tajam untuk mencabik bekas gigitannya, dan bukan itu saja—dia bahkan mencabik perut Sona sehingga banyak darah yang keluar dari sana.
Haejin benar-benar tidak mampu lagi menopang dirinya untuk menyaksikan lebih lama. Ketakutan yang mendalam akan sosok bengis dan sadis itu membuat jiwanya amat terguncang, sampai akhirnya semua menghitam dan dirinya tenggelam dalam kegelapan.
***
Pemakaman ibu Haejin, Yoon Sona, dilakukan satu hari setelah kematiannya. Tim autopsi mengatakan jika Sona meninggal sebab luka yang ia alami membuatnya kehilangan banyak darah. Melihat luka yang diterima pada bagian perut dan leher, kemungkinan besarnya adalah Sona mengalami tindak pembunuhan oleh seseorang. Tapi itu tak menjadi dugaan kuat sebab melihat kembali bentuk lukanya, itu bukan seperti tertusuk pisau tajam.
Haejin masih bungkam sejak malam di mana kejadian itu terjadi. Matanya terus menatap kosong dan melamun seperti orang linglung yang tidak tahu apa tujuan hidupnya. Semua orang menatapnya penuh iba, termasuk dengan teman-temannya.
Cho Beomju dan Jung Jihyun menatap nanar pada Haejin yang duduk bersandar pada tembok, lemas dan masih terlihat syok. Mereka berpikir itu hal yang wajar jika Haejin masih merasa syok dan belum bisa menerima keadaan, karenanya mereka biarkan Haejin duduk dan menenangkan dirinya.
“Apa Anda berpikir kalau Nyonya Yoon meninggal bukan karena dibunuh seseorang?” Beomju bertanya pada polisi yang menangani kasus kematian Yoon Sona.
Menjadi teman dekat Haejin rupanya membuat Beomju memiliki rasa peduli yang kuat terhadap Haejin. Hampir semua yang mengurus kasus kematian Sona adalah dirinya, tentu saja setelah ia meminta izin dari Haejin. Dia merasa bertanggung jawab untuk membantu Haejin, sebab dirinya tahu jika gadis itu yang tak punya kerabat sama sekali. Haejin benar-benar hanya hidup bersama ibunya saja, dan kini dia sendirian.
Polisi laki-laki yang ditanyai Beomju itu bernama Kang Bongshik, polisi yang katanya terhebat se-kota dalam menangani kasus. Dia menjawab pertanyaan Beomju dengan, “Itu hanya praduga, Nak. Aku tidak bisa memastikan itu tindak pembunuhan, tidak ada barang bukti senjata tajam yang ditemukan di sekitar tempat pembunuhan. Juga, tiga luka robek di perut dan leher yang sejajar rasanya seperti luka yang didapat dari cakaran hewan buas.”
“Jadi, hewan buas mana yang masuk ke rumahnya dan membunuh ibu Haejin? Apa polisi juga mendapat laporan tentang hewan buas yang berkeliaran?”
“Nak, kami akan memberi kabar kepadamu jika kami sudah menemukan hewan buasnya.”
“Tapi jika itu hewan buas, kenapa tidak ada sama sekali anggota tubuhnya yang kurang?” Beomju bergumam, rautnya tampak seperti ia belum bisa menerima satu pun alasan paling logis yang diberikan oleh para polisi. “Ini bukan kasus pencurian disertai pembunuhan, bukan juga kasus serangan hewan buas. Tetapi jika ini kasus pembunuhan—sedikit sekali bukti yang ditemukan.”
“Kau benar. Mungkin jika memang ini kasus pembunuhan, pelaku merupakan orang yang pintar dan berpengalaman,” ujar Bongshik, dirinya ikut melirik dan memberi Haejin tatapan bersimpati. “Pelaku tidak meninggalkan bukti apa pun bahkan sidik jarinya pun tidak ada. Seperti ada trik semacam sihir yang melakukannya, pelaku pembunuhan yang terasa seperti—”
“Bukan manusia.”
Beomju dan Bongshik serempak menoleh ke sumber suara, mereka menatap Haejin dengan ekspresi penuh tanya.
“A-apa kau ingin mengatakan sesuatu, Nak?” tanya Bongshik, antara percaya dan tidak jika yang baru saja berkata itu adalah Haejin yang terus diam bahkan ketika para polisi sudah menyerah untuk meminta keterangannya.
Tanpa menghilangkan raut kehilangan yang mendalam, Haejin menatap Bongshik kemudian berkata, “Yang membunuh ibuku itu ... bukan manusia.”
Tentu saja pernyataan itu membuat Beomju dan juga Bongshik terpaku di tempat, tidak mengerti. Tetapi sebagai polisi yang bekerja untuk menangani kasus kematian Yoon Sona, Bongshik kesampingkan dulu rasa bingungnya demi mendapatkan pernyataan penting dari satu-satunya orang yang hidup dalam tragedi penyerangan kemarin malam.
“Bisa kau jelaskan padaku dengan lebih rinci? Aku ingin mendengarkan pernyataanmu yang paling jelas mengenai kasus ini,” ujar Bongshik, membuka buku catatan kecilnya dan bersiap mencatat pernyatan Haejin.
Haejin mulai berkata. “Aku tidak bisa jelas melihatnya karena malam itu Ibu menyuruhku untuk sembunyi dan jangan bersuara. Aku sembunyi di dalam lemari kamar Ibu dan melihat semua dari celah yang ada.”
“Kau melihat pelakunya!?” Pernyataan Haejin barusan membuat Bongshik langsung bersemangat, tentu saja jika Haejin melihat wajah pelakunya—akan sangat mudah bagi mereka untuk menemukannya.
“Aku tidak melihat wajahnya, tempatnya sangat gelap,” jawab Haejin, mematahkan harapan Bongshik. “Tapi yang aku tahu, matanya berwarna merah ... dan menyala dalam kegelapan.”
Bongshik dan Beomju serempak melirik Haejin ketika gadis itu mengatakan tentang poin terakhir. Mereka menunggu Haejin melanjutkan kata-katanya.
“Tubuhnya tinggi seperti lelaki dewasa biasa, tapi yang sangat aneh darinya adalah mata merah yang menyala itu. Dia menggigit leher ibuku.”
Pernyataan Haejin lagi-lagi berhasil membuat dua orang yang mendengarnya mendelik tak percaya.
“Me-menggigit?”
“Iya. Luka cakaran yang ada di leher itu adalah luka yang dibuatnya untuk menutup bekas gigitannya. Jika kau perhatikan lagi dengan lebih baik, kau akan melihat bekas gigi—”
“Nak, apa kau sadar jika pernyataanmu itu mulai tidak masuk akal?”
Haejin mengangkat kepala, menatap Bongshik yang baru saja berkata demikian dan menyela ucapannya.
“Tidak masuk akal ...?” ulang Haejin.
“Iya .... Bagaimana bisa ada seorang manusia dengan mata merah menyala dan melakukan serangan terhadap ibumu seperti hewan buas? Dari awal pernyataanmu saja itu sudah terdengar aneh.”
“Ta-tapi aku melihatnya sendiri, Pak. Bukankah kau bisa menangkap orang itu dengan pernyataan yang aku keluarkan?”
Bongshik terdengar menghela napas dan ia merotasi matanya ke arah lain. Suasana jadi tidak nyaman, setidaknya Beomju yang hanya mendengarkan itu bisa merasakannya.
“Nak, kami ini menangkap penjahat, bukan siluman. Apa kau tidak salah lihat? Bisa saja yang kau lihat itu hewan buas yang masuk ke rumahmu dan karena ketakutan, kau jadi salah li—”
“JIKA ITU HEWAN BUAS, KENAPA TIDAK ADA SATU PUN TUBUH IBUKU YANG DIMAKAN OLEHNYA!?” Haejin berteriak, menyuarakan emosi dan rasa tak puasnya dengan ucapan Bongshik. Ia mencengkeram kerah seragam lelaki itu, membuat pemiliknya memberikan tatapan geram.
“Haejin, tenanglah ...,” ujar Beomju, berusaha menenangkan Haejin dan melepas tangan itu dari Bongshik.
“Siapa yang membunuh ibuku, Beomju ...? Apa salah ibuku padanya? Dan makhluk apa dia sebenarnya?” Beomju tak tahu harus mengatakan apa, sebab semua terjadi dengan tiba-tiba dan dia pun masih tak menyangka jika hal seperti ini akan terjadi pada temannya.
Bongshik melirik Haejin dengan angkuh, sementara gadis itu juga membalas tatapannya dengan berani. Ketegangan keduanya mereda setelah Bongshik mendapat panggilan untuk segera kembali ke kantornya.
Bongshik membenahi seragamnya yang sempat berantakan akibat ulah Haejin lalu berkata, “Aku akan memberi tahu jika ada perkembangan mengenai kasus kematian nyonya Yoon. Tapi untuk sekarang, aku perlu pamit undur diri,” ujar Bongshik lalu memberikan penghormatan terakhir sebelum benar-benar pergi setelah mengutarakan belasungkawanya.
Kini di ruangan itu hanya ada Beomju dan Haejin. Para pelayat sudah datang sejak pagi dan sejak itu pula, Haejin belum makan apa-apa. “Aku akan membelikanmu makanan di dekat sini. Kau makan dulu, ya?” Haejin tidak menjawab, dia hanya diam termenung sembari kembali bersandar pada dinding yang dingin.
Beomju meninggalkannya, dan ruangan menjadi sepi. Bersama keheningan itu, Haejin biarkan air matanya menetes kembali. Dia jadi teringat tentang ucapan orang-orang tentang kematian ibunya yang tampak tak wajar. Seperti tidak dilakukan oleh manusia.
Lumayan lama ia berdiam diri di sana, dan beberapa saat setelahnya terdengar suara seseorang membuka pintu kamar duka itu. Haejin mengira itu adalah Beomju, tapi itu adalah seorang yang asing. Haejin sama sekali tidak mengenalnya dan itu membuatnya langsung memasang mata.
Rambut seputih salju, tubuh kurus yang tinggi dan kulit pucatnya.
“Permisi ...,” ucap Haejin, menyela kegiatan lelaki itu yang tampak tulus memberi penghormatan terakhir pada mendiang ibunya. “Apa kau mengenal ibuku?” tanya Haejin kemudian, tetapi lelaki itu tidak menjawabnya.
Haejin berdiri sesaat setelah lelaki itu menyelesaikan penghormatannya, ia menghampiri Haejin dan memberikan sebuah buket bunga tanda belasungkawa. Lelaki itu tak menatap Haejin, membuatnya curiga. Dia hanya diam sembari menyerahkan bunga yang hanya Haejin tatap dengan tidak berselera.
“Saya datang untuk memberikan bunga belasungkawa ini, Nona.”
Haejin sempat terdiam sembari menatapnya, tak lama kemudian gadis itu tertawa remeh. “Kalau kau tidak berkata, aku bisa berpikir kau sedang mengajakku berkencan, Tuan. Lain kali, kirim karangan bunga saja, jangan seperti ini.”
Haejin menerima bunga itu, lalu berniat untuk meletakkannya di depan foto sang ibu tetapi ia urung sebab memikirkan sesuatu.
“Apa kau teman ibuku, Tuan?” tanya Haejin, memandangi bunga-bunga yang ada di tangannya itu dengan tatapan tak berarti.
“Bukan.”
“Lalu kau mengenal ibuku?”
“Iya ....”
“Apa aku boleh tahu siapa namamu?”
Haejin mengalihkan tatapannya ke lelaki asing itu ketika pertanyaannya tak kunjung dijawab. Ia memperhatikan dengan lekat sampai yang ditanya akhirnya bicara. “Saya hanya datang untuk memberikan bunga itu pada Anda, Nona.”
Mata gadis itu tidak ia alihkan, perasaan curiga yang tak ia inginkan itu akhirnya muncul perlahan ke permukaan.
“Siapa yang menyuruhmu? Kenapa dia tidak datang ke sini langsung?” tanya Haejin, tampaknya lelaki di hadapannya kesulitan untuk menjawab. Tingkahnya semakin membuat Haejin merasa curiga sampai akhirnya itu tersuarakan lewat kata-katanya. “Ah ... yang menyuruhmu tidak datang karena akan terasa aneh jika datang ke pemakaman korbannya, kan?”
“Nona ...?” Lelaki itu bereaksi dengan terkejut mendengar ucapan Haejin. “Tuan saya bukanlah pembunuh dari nyonya Yoon.”
Haejin tidak menunggu lawan bicaranya memberi penjelasan. Ia melempar bunganya dengan kasar ke lantai lalu mencengkeram kerah kemeja yang dipakai lelaki asing itu.
“Aku mengenal semua teman ibuku tetapi ada satu kenalan yang tidak aku tahu. Katakan, apa tuanmu itu memiliki masalah dengan ibuku sampai harus membunuhnya dengan keji seperti ini?” Amarah Haejin kembali membuncah, dia tidak bisa menahannya. Air matanya kembali berlinang dan matanya sarat akan kebencian. “MAKHLUK ANEH YANG MEMBUNUH IBUKU ITU PASTI SURUHAN TUANMU, KAN!?”
Di saat seperti itu, Beomju yang baru saja memasuki ruangan mau tak mau harus membuang barang bawaannya dan menghampiri Haejin yang mengamuk seperti sedang kesurupan itu.
“Haejin, apa yang kau lakukan!?” Beomju bertanya, tetapi suaranya tenggelam oleh teriakan Haejin yang terus berkata seakan-akan orang asing di depan mereka ini adalah pembunuh dari Yoon Sona.
Sampai akhirnya Beomju mendapat sedikit celah dan langsung ditariknya Haejin untuk menjauh. Gadis itu menangis dengan histeris dan Beomju menenangkannya dengan pelukan erat.
Haejin kira lelaki asing tadi akan langsung pergi setelah diperlakukan kasar olehnya, tapi tanpa Haejin duga, dia malah memungut buket bunga bawannya yang sudah sedikit rusak akibat hempasan Haejin, ia kembali menyodorkan bunga itu agar Haejin mau menerimanya dengan baik-baik.
“Saya datang untuk menyampaikan rasa belasungkawa tuan saya dengan bunga ini,” ujar si lelaki, masih tanpa keberanian untuk menatap mata Haejin. Setelah memberikan bunganya, dia perlahan undur diri. Tetapi dia sempat berhenti di ambang pintu, hanya untuk mengatakan sesuatu yang tak tuannya titipkan. “Saya minta maaf, karena tidak bisa menjaga nyonya Yoon dengan baik.”
Tubuh Haejin seketika membatu. Hatinya menghangat dan itu membuatnya terkejut. Dia tiba-tiba saja jatuh terduduk, sesaat setelah lelaki itu meninggalkan ruangan. Haejin melihat buket bunga duka yang diberikan padanya, lalu melihat sebuah nama yang diduga adalah pengirim bunga yang sebenarnya.
Ilucca Lucretia Reev.
-Bersambung-
Pemakaman ibu Haejin, Yoon Sona, dilakukan pagi hari setelah kematiannya. Tim autopsi mengatakan jika Sona meninggal sebab luka yang ia alami membuatnya kehilangan banyak darah. Melihat luka yang diterima pada bagian perut, kemungkinan besarnya adalah Sona mengalami tindak pembunuhan oleh seseorang. Tapi itu tak menjadi dugaan kuat sebab melihat kembali bentuk lukanya, itu bukan seperti tertusuk pisau tajam.“Apa anda berpikir kalau ibu saya meninggal bukan karena dibunuh seseorang?” Haejin bertanya pada polisi yang menangani kasus kematian ibunya.Polisi laki-laki itu bernama Kang Bongshin, polisi yang katanya terhebat se-kota dalam menangani kasus. Dia menjawab pertanyaan Haejin. “Saya tidak bisa memastikan itu tindak pembunuhan, tidak ada barang bukti senjata tajam yang ditemukan di sekitar tempat pembunuhan. Juga, tiga luka robek di perut yang sejajar rasanya seperti luka yang didapat dari cakaran hewan buas.”“Jadi, hewan buas mana yang masuk ke rumahku da
Seperti memang tak ada waktu untuknya terus berduka, gadis itu memilih untuk terus berjalan.Satu hari setelah pemakaman selesai, Haejin masuk sekolah seperti biasa. Dia bertemu temannya dan belajar seperti biasa, dia juga langsung pergi bekerja setelah sepulang sekolah. Seperti biasa ....Mungkin, hanya senyumnya saja yang akan menghilang setelah kepergian ibunya, dan itu pasti tidak akan berlangsung lama. Sama seperti ketika ia kehilangan ayahnya, dia pasti bisa kembali tersenyum setelah melihat orang-orang yang ia cintai.Ah, sayangnya, yang pergi darinya itu adalah sosok yang amat ia cintai. Dia sendirian, tidak akan dikuatkan oleh kata-kata ajaib ibunya lagi. Bahkan pelukan hangat yang sangat ia butuhkan, tak kunjung datang untuk meringankan sesaknya.“Jangan ..., jangan menangis Haejin ....” Haejin Yoon mengusap air mata yang hampir melintasi pipinya, lalu mendongak, menatap langit sore Kota Taekbaek. Selaras kemudian, senyum
Malam itu sekitar pukul sebelas, Beomyu kembali ke kediaman ayahnya. Mungkin karena sudah malam, semua orang tak menyambutnya yang pergi sejak siang.Ketika Beomyu mengatakan ia tidak kabur hanya untuk menemui Haejin, dia memang berkata yang sebenarnya. Karena itu, rasanya lega sekali setelah kembali dan mengetahui Haejin baik-baik saja.Beomyu pergi menuju dapur, mungkin yang ia butuhkan saat ini adalah segelas air putih untuk menetralkan tubuhnya yang sedikit lelah. Tanpa berbasa-basi, ia segera membasahi tenggorokannya dengan air dan berniat untuk kembali ke kamar untuk istirahat.Tapi ketika melewati ruang makan, Beomyu berhenti saat sebuah suara memanggilnya dalam kegelapan.“Sudah pulang, Tuan Muda Beomyu?”Beomyu sempat terperanjat, dia tak menyangka jika ada seseorang yang duduk di sisi tergelap ruang makan itu, kursi yang berada di sisi paling ujung meja makan dan berseberangan dengannya berdiri saat ini. Beom
“Selamat pagi, Nona Yoon. Aku Choi Hyeonjun, salah satu dari detektif supernatural yang kebetulan tertarik dengan kasus kematian ibumu.”Haejin terdiam, cukup lama. Gurat bingung tampak kentara di wajahnya, dan lama pula lelaki bernama Hyeonjun itu terdiam sebab Haejin tak kunjung memberi respons atas apa yang baru saja ia ucapkan.Bertahan dalam kecanggungan, Hyeonjun akhirnya tersadar dan bergerak memberi Haejin sebuah kartu. Itu adalah kartu identitasnya sebagai seorang detektif, seperti yang dia katakan. Haejin membaca isi kartu identitas itu dengan konsentrasi penuh.“Detektif supernatural?” ucapnya, dengan nada bingung dan bertanya. “Aku baru mendengar yang seperti ini,” lanjut Haejin.“Ah, biar kujelaskan sedikit. Detektif supernatural adalah orang-orang yang bekerja untuk menangani kasus-kasus yang mungkin sudah tidak bisa ditangani lagi oleh para polisi. Biasanya, orang-orang yang meminta bantuan detektif supernatural adal
Ilucca bertopang dagu, dia menghadap Haejin seakan sedang menatap wajah gadis itu. Sementara Haejin, tampak ia masih diselimuti kebingungan akan ucapan yang dilontarkan Ilucca beberapa detik lalu.“Sudah kubilang, berhenti mengatakan hal-hal aneh!” tukas Haejin pada akhirnya. Dia yang merasa cukup meluangkan waktu untuk meladeni Ilucca, berpikir mungkin sudah saatnya kembali bekerja. Tapi saat dia akan bangkit dari kursi, Ilucca secepat kilat menahan tangannya.Haejin terkejut, sekaligus kembali mendaratkan bokongnya ke kursi dengan cukup keras. Tapi rasa nyeri itu sengaja ia abaikan, sebab melihat wajah Ilucca yang serius membuatnya berpikir akan ada hal berguna yang lelaki itu lontarkan.“Kau mau pergi dan membiarkan lelaki tampan ini duduk sendirian?” Mungkin tidak seharusnya Haejin mengharap sesuatu yang berharga keluar dari mulut lelaki itu. Dari tingkah dan ucapannya saja, sudah terlihat jika dia adalah pribadi yang senang mengerjai orang
HeejinHaejin pulang dengan diantar oleh Zakiel, dan saat ini gadis itu sudah berada di tempat kerjanya sejak setengah jam yang lalu.Haejin biasanya akan mulai bekerja sepulang sekolah sampai larut malam menjelang, tapi karena urusannya dengan Ilucca, dia jadi meminta sedikit waktu dan terlambat kerja.Kedai ramyeon dan Jajangmyeon tempatnya bekerja merupakan kedai yang lumayan terkenal di daerah sekitarnya. Kalau sudah seperti ini, Haejin akan mengabaikan segala hal dan fokus saja pada pekerjaannya melayani pelanggan dan menjadi kaki tangan koki di sana.“Nona Yoon, tolong berikan ini pada pelanggan di sebelah sana.” Haejin mengangguk, lalu dengan sigap menerima pesanan itu dan mengantarnya pada pemesan. Dia menuju meja paling ujung, dekat sudut ruangan yang biasanya tak banyak pelanggan suka untuk duduk di sana.Di sanalah, Haejin menghampiri pelanggannya yang tampak fokus membaca sesuatu dari sebuah buku
“Aaaaaaaakh!”Haejin menjerit kesakitan, kala taring tajam makhluk itu menembus kulit dan dagingnya. Terasa darahnya seakan mengalir cepat meninggalkan raganya, membuatnya tubuhnya perlahan terasa lemas. Ia menangis, menahan sakit dan tak ada yang menolongnya. Tapi meski demikian, masih ada saja pergerakan kecil untuk memberontak, seperti memukul agar gigitan itu terlepas, meski mustahil.Kini Haejin hanya bisa pasrah, tubuhnya melemas dan ia menatap ke langit. Di atas sana, bulan bersinar dengan terang. Indah sekali.Apa sesuatu yang menjadi hal terakhir yang dilihat, akan terasa lebih indah dari biasanya?Haejin tersenyum, merasa jika hidup malangnya adalah sebuah lakon lucu yang bisa ia tertawakan. Bagaimana bisa, Tuhan menulis kisah hidupnya dengan sangat menyedihkan?“Ah ..., ibu ....” ujar Haejin dengan lemah. Samar-samar ia mengingat wajah sang ibu, dan kesadaran yang memudar membuatnya berilusi jika senyum
Seperti yang sudah dikatakan, setelah merasa cukup untuk mengawasi Haejin dengan matanya sendiri, Ilucca akan menyerahkan tugas selanjutnya untuk dilaksanakan Zakiel. Lelaki itu sudah bersiap di sana, bahkan satu jam sebelum Ilucca meninggalkan rumah Haejin.Kini Zakiel bertugas untuk mengantar Haejin menuju sekolah, meski gadis itu sempat menolaknya dengan alasan ini adalah tindakan yang berlebihan. “Kau tidak perlu repot-repot melakukannya, Tuan Zakiel. Aku bisa pergi ke sekolah dengan kendaraan umum, seperti biasanya.” Haejin membuka percakapan pertama dengan Zakiel di hari itu, sebab ia merasa sudah melalui perjalanan dengan hening dan itu membuatnya merasa agak canggung.“Izinkan aku mengatakan sesuatu, Nona. Pertama, kau tidak perlu memanggilku dengan sebutan 'Tuan', Nona. Panggil saja aku dengan namaku.”“Ah ..., bolehkah?” tanya Haejin, sedikit melirik wajah serius Zakiel yang sedang menyetir mobil, “kupikir karena kau adalah makhluk ya
Sore sepulang sekolah, Haejin memutuskan untuk kembali ke tempat kerjanya. Kali ini dia akan menjalankan tugasnya sebagai pelayan toko kue yang baik dan ramah.Gadis dengan surai hitam yang selalu ia ikat rendah itu memakai apronnya, mulai membaur dengan tugasnya.Seperti biasanya, kafe yang menjadi tempatnya bekerja ini selalu ramai saat sore hari. Orang-orang memilih kafe dengan suasana seperti tempat ini untuk mencari ketenangan atau inspirasi.“Silakan nikmati pesanan anda ....” Seperti seseorang yang selalu berusaha untuk profesional terhadap apa yang dikerjakan, Haejin menunjukannya dengan baik. Dia ramah, kerjanya cepat, dan juga ... dia tidak pernah telat jika tidak ada urusan yang sangat mendadak dan penting. Jika dia seorang pegawai kantoran, dia pasti mendapat promosi untuk naik pangkat lebih cepat dari pegawai lainnya.Ilucca tidak tahu sejak kapan merasakan kehadiran Haejin m
“Selamat pagi, Nona Haejin.”Haejin baru saja selesai bersiap, dia membuka pintu dan disambut sapaan selamat pagi dari Zakiel yang entah sejak kapan sudah berada di sana.“Selamat pagi, Zakiel ....” Tak ada alasan bagi Haejin untuk tak membalasnya dengan senyuman. Tapi sedetik setelahnya, ia kembali teringat dengan cerita Eimiris malam tadi.Astaga, dia jadi merasa puluhan kali lebih iba saat melihat tatapan mata Zakiel. Itu pasti sulit untuknya, hidup ribuan tahun terikat dengan rasa menyesal yang amat dalam.“Ada apa, Nona?” Meski ada banyak hal yang ingin ia bicarakan pada Zakiel, namun mengingat kembali waktu yang dia miliki, Haejin urung. Dia akan berbicara lagi tapi itu nanti, setelah dirinya selesai sekolah atau bekerja.Haejin menggeleng, lalu masuk ke mobil. Dia cukup tenang pagi ini, sebab otaknya masih sibuk memikirkan cerita tak masuk akal yang didengarnya kemarin.“Kenapa kisah kalian se
Selepas mendengar cerita keseluruhan tentang asal mula hubungannya dengan kaum vampir serta sejarah tentang peperangan tiga kaum, Haejin memutuskan untuk kembali. Sebenarnya dia belum merasa puas di beberapa poin, tapi Ilucca memintanya untuk pulang sebab akan sangat lama jika Ilucca harus memberikan pengertian tambahan tentang beberapa hal yang belum gadis itu pahami. Tentu saja Haejin pulang dengan Zakiel yang mengantarnya. Zakiel tidak mau mengambil risiko besar jika saja percobaan pembunuhan terhadap Haejin akan kembali terjadi di masa depan. Dia harus memastikan gadis itu selamat, sebab keberadaan Haejin adalah satu-satunya kunci untuk memenangkan Skyfall nantinya. Sejak perjalanan bermula, hening yang setia mengitari keduanya. Tak ada percakapan, yang terdengar hanya suara lembut mesin mobil dan kendaraan-kendaraan lain yang berpapasan dengan tumpangan mereka. Sepanjang perjalanan, yang Haejin lakukan hanya m
Hubungan yang mulai membaik antara manusia dan makhluk penghisap darah, nyatanya tak berlangsung lama sesuai apa yang diharapkan Oliver dan Victor.Karena enam bulan setelah perayaan kelahiran anak Oliver, berita mengejutkan datang dari sudut Kota Thetia yang ramai dan menjadi pusat perdagangan Verstellar.Telah ditemukan seorang mayat pemuda yang meninggal dalam keadaan sangat pucat dan kurus. Tubuhnya bahkan lebih terlihat seperti mayat yang diawetkan, kendati kematiannya hanya terjadi dalam waktu semalam.Yang lebih mencengangkan lagi, terdapat luka gigitan taring tajam di lehernya dan diduga dari luka itulah, darahnya dihisap habis.Tuduhan langsung mengarah pada Kerajaan Lucretia, sebagai satu-satunya kerajaan bagi para makhluk yang hidup dengan menghisap darah manusia.Victor, sebagai sang raja, tentunya menyangkal tuduhan tersebut. Ia memberi rakyatnya kepercayaan yang besar, dan itu pun sudah dibuktikan puluhan tahun lamanya. Tidak ada rakyat Lu
“Sepertinya tidak ada yang berubah sejak kutinggal pergi ....”Itu adalah kalimat pertama yang Oliver ucap sesaat setelah memasuki kembali istana kebanggannya. Seluruh orang yang ada di Verstellar terkejut, dan tentunya merasa senang. Raja mereka telah kembali, raja mereka pulang untuk memimpin dan mengayomi rakyat-rakyatnya.“Yang Mulia!” Suara teriakan yang memanggilnya menggema di aula istana Gimera. Oliver menoleh, melihat sang istri berlari dari ujung pintu utama, berhambur memeluknya. Tangis wanita itu pecah, menandakan betapa ia sangat merasa bahagia melihat suaminya pulang dalam keadaan selamat.“Syukurlah, Yang Mulia ..., syukurlah,” ujarnya, menangis bahagia. Oliver hanya tertawa, dalam hati ia merasakan rindu yang sama.“Lama tak berjumpa, Sabrina,” balas Oliver, membuat wanitanya kembali memeluk erat sang badan seakan tak ingin berpisah kembali.“Yang Mulia, apa kau sudah mendengarnya? Ibu kota kita, Thetia, diserang oleh sekelompok monster
“Me-mencari darah?” Oliver bertanya dengan gagap, entah mengapa ia merasa sedikit ngeri. Bagaimanapun juga, yang sedang dia ajak bicara saat ini adalah seorang vampir, monster penghisap darah yang sering digosipkan orang-orang di sekitarnya.Victor tak menjawab, dia merespons dengan suara tawa pelan. “Kau takut aku akan menghisap darahmu?” ia bertanya, dan Oliver hanya membulatkan mata sekilas. Bukan maksud ingin berburuk sangka, Oliver hanya berjaga-jaga jika saja sifat buas yang sering dibicarakan dari mulut ke mulut itu benar adanya. Victor menambahkan, “Aku tidak meminum darah manusia selancang itu.”Oliver termangu, menunggu kelanjutan ucapan Victor. “Kami, khususnya yang berada di kasta bangsawan, dilarang keras untuk meminum darah manusia langsung. Itu sama saja dengan membunuh manusia yang tak bersalah, jika disamakan dengan hukum para manusia sepertimu.”“Lalu, bagaimana kau mendapatkan darah untuk diminum?”
Kisah yang akan diceritakan ini, terjadi ribuan tahun yang lalu di sebuah daerah yang kini dinamai Inggris.Hari itu adalah hari yang mendung, cuaca tidak menyenangkan dengan redupnya bayangan dan angin berembus membuat merinding. Rasanya, pagi dan petang tak ada bedanya, tapi gelap tak akan menakutkan di mata mereka yang sudah akrab dengannya.Hutan lebat menjadi sebuah tempat yang tepat untuk melakukan perburuan. Berburu dan menemukan spesies hewan atau monster baru, pastinya akan sangat menyenangkan bagi yang menyukainya. Salah satu dari penyuka kegiatan berburu itu adalah Oliver Jes Verstellar.“Yang Mulia ..., apa tidak masalah jika kita tetap melanjutkan perburuan? Mendungnya semakin gelap, dan sebentar lagi mungkin akan hujan ....” Oliver tiada peduli. Dirinya terus berjalan, menembus lebatnya hutan seraya bergerak mengendap-endap. Seluruh inderanya hanya berfokus melakukan perburuan, dia memilih untuk mengabaikan ucapan salah satu prajurit penjaganya.
“Jadi, apa alasanmu memberikan tatapan terkejut seperti malam tadi, Nona?”Eimiris kembali tersentak kala perhatiannya dialihkan oleh pertanyaan mengejutkan dari Hyeonjun. Dia hanya terdiam, tak bisa menjawab. Sementara netranya menyelam dalam ke mata lelaki itu, mendapati bayangannya adalah satu-satunya hal yang ada di sana.Haejin juga menunggu jawaban Eimiris, namun wanita itu terlihat terlalu gugup untuk menjawab. Haruskah Haejin membantu?“Ah, Nona Eimiris, bisakah kau mengantarku ke tempat tuanmu berada saat ini?”Pada akhirnya, Haejin memutuskan untuk membantu wanita itu keluar dari tekanan yang membuatnya gugup, bukan membantunya mengatasi kegugupan itu. Perhatian Eimiris bergulir ke Haejin, dan dia segera berfokus pada tujuan awalnya datang ke sini, yaitu menjemput Haejin untuk pulang.“Kau tidak ingin kembali dulu ke rumah, Nona Yoon?” Haejin menjawabnya dengan gelengan.“Aku ingin menemui tuanmu
Seperti yang sudah dikatakan, setelah merasa cukup untuk mengawasi Haejin dengan matanya sendiri, Ilucca akan menyerahkan tugas selanjutnya untuk dilaksanakan Zakiel. Lelaki itu sudah bersiap di sana, bahkan satu jam sebelum Ilucca meninggalkan rumah Haejin.Kini Zakiel bertugas untuk mengantar Haejin menuju sekolah, meski gadis itu sempat menolaknya dengan alasan ini adalah tindakan yang berlebihan. “Kau tidak perlu repot-repot melakukannya, Tuan Zakiel. Aku bisa pergi ke sekolah dengan kendaraan umum, seperti biasanya.” Haejin membuka percakapan pertama dengan Zakiel di hari itu, sebab ia merasa sudah melalui perjalanan dengan hening dan itu membuatnya merasa agak canggung.“Izinkan aku mengatakan sesuatu, Nona. Pertama, kau tidak perlu memanggilku dengan sebutan 'Tuan', Nona. Panggil saja aku dengan namaku.”“Ah ..., bolehkah?” tanya Haejin, sedikit melirik wajah serius Zakiel yang sedang menyetir mobil, “kupikir karena kau adalah makhluk ya