“Selamat pagi, Nona Yoon. Aku Choi Hyeonjun, salah satu dari detektif supernatural yang kebetulan tertarik dengan kasus kematian ibumu.”
Haejin terdiam, cukup lama. Gurat bingung tampak kentara di wajahnya, dan lama pula lelaki bernama Hyeonjun itu terdiam sebab Haejin tak kunjung memberi respons atas apa yang baru saja ia ucapkan. Bertahan dalam kecanggungan, Hyeonjun akhirnya tersadar dan bergerak memberi Haejin sebuah kartu. Itu adalah kartu identitasnya sebagai seorang detektif, seperti yang dia katakan. Haejin membaca isi kartu identitas itu dengan konsentrasi penuh. “Detektif supernatural?” ucapnya, dengan nada bingung dan bertanya. “Aku baru mendengar yang seperti ini,” lanjut Haejin. “Ah, biar kujelaskan sedikit. Detektif supernatural adalah orang-orang yang bekerja untuk menangani kasus-kasus yang mungkin sudah tidak bisa ditangani lagi oleh para polisi. Biasanya, orang-orang yang meminta bantuan detektif supernatural adalah mereka yang tidak puas akan kerja polisi dan meminta bantuan pada kami, detektif supernatural.” Hyeonjun menjelaskan beberapa hal pokok tentang pekerjaannya dengan lembut dan sabar, tapi Haejin malah semakin mengerutkan keningnya. “Contoh kasus apa yang kalian tangani?” “Kasus yang berhubungan dengan hal mistis!” Haejin terperanjat, terkejut sebab Hyeonjun menjawab pertanyaannya dengan suara tinggi. Meski itu hanyalah bentuk dari antusiasnya. “Maafkan aku, Nona Yoon.” Dia segera meminta maaf setelah membuat Haejin terkejut. Haejin menghela napas singkat, lalu berkata, “Kau mau apa dengan kasus kematian ibuku?” Haejin bertanya demikian. “Aku adalah rekan dari Senichi Arakawa, polisi yang sebelumnya menangani kasus kematian ibumu. Dia bilang kau mau segera menutup kasusnya meski polisi belum menutupnya.” “Ya ..., aku memang merasa polisi tidak akan bisa melakukannya. Rumor sudah bekerja seperti yang seharusnya.” Mata Hyeonjun memicing, tatapan sinis dan penuh curiga ia layangkan ke Haejin. Dia mendekatkan wajahnya ke Haejin, membuat gadis itu terkejut dan menatapnya dengan sangat heran. Hyeonjun dengan mudahnya bertanya, “Apa kau yang sudah membunuh ibumu?” Haejin hanya bisa memberi ekspresi seakan ia sudah cukup dengan segalanya. Hyeonjun membuatnya makin lelah. “Apa kau tidak membaca raut wajahku yang terlihat sangat ingin menyusulnya ini?” Hyeonjun menjauhkan wajahnya, mengerutkan bibirnya. “Aku pikir kata-kata seperti itu akan terdengar keren dalam suasana seperti ini,” tukas Hyeonjun. Sementara Haejin hanya merotasi matanya, merasa tidak ada hal penting yang akan terjadi membuatnya berpikir untuk mengakhiri saja pertemuannya dengan orang asing yang satu ini. Lelaki bernama Hyeonjun itu masih sibuk membicarakan sesuatu, dia seperti sedang berdiskusi dengan dirinya sendiri. Kyoka mengambil langkah dan bersiap pergi, tapi Hyeonjun keburu menyadari dan menyeretnya kembali ke tempat semula. “Jangan pergi dulu, Nona Yoon,” pintanya dengan sopan, tapi Kyoka tidak berbohong saat ia merasa waktunya terbuang sia-sia karena sudah meladeni lelaki asing bernama Hyeonjun Choi itu. “Jika ada hal yang bisa kubantu, maka cepat katakanlah, Tuan Choi. Aku harus kembali ke kelas dan belajar.” “Soal itu, kau tidak perlu cemas. Gurumu pasti tahu jika kau bertemu denganku guna menyelidiki kasus kematian ibumu.” “Tapi sepertinya organisasimu bukan organisasi resmi yang bisa meminta izin seenaknya dari sekolahku.” Hyeonjun terdiam, terdengar ucapan Haejin barusan amat menohok baginya sehingga lelaki itu hanya tersenyum kikuk. “Yah ..., mau bagaimana lagi. Sedikitnya klien membuat organisasi ini belum cukup untuk mendapat izin resmi dari pemerintah pusat. Tapi jangan cemas, Nona! Pemerintah kota ini sudah memberi izin, dan organisasi kami juga sudah memberikan banyak prestasi keberhasilan dalam menangani kasus-kasus supernatural!” “Kalau begitu, bisakah kau mengusir hantu Perempuan yang ada di kamar mandi wanita? Dia sangat meresahkan dan kadang menyembunyikan pakaian kami saat sedang ganti baju.” Hyeonjun memasang wajah terkejut, lalu mengalihkan pandangannya dengan malu dan senyum kikuk. Hyeonjun berkata, “Kalau yang seperti itu, bukan tugasku untuk melakukannya, Nona ....” “Lalu tugas siapa? Kau bilang kau ini detektif supernatural yang bisa mengatasi kasus-kasus yang diluar logika, kan?” “Ah ..., sebenarnya di organisasi kami, dibagi beberapa divisi. Ada divisi orang-orang yang berkemampuan khusus sejak lahir, yang tugasnya mengatasi kasus-kasus berbau hal gaib.” “Kalau kau? Di divisi mana tempatmu bertugas?” “Kalau divisi tempaku bekerja, mungkin lebih fokus meneliti dan mengatasi makhluk seperti vampir atau manusia serigala.” “Kau percaya jika mereka ada?” tanya Haejin, membuat Hyeonjun tertegun. Haejin kembali memberi lelaki itu sebuah pertanyaan, “Apa kau pernah bertemu dengan makhluk seperti itu?” Hyeonjun terdiam, tampak ragu menjawab. Dari awal, yang dia urus memang tentang hal yang bertolak belakang dengan logika, akan sangat sulit membuat orang percaya dan berhenti meragukannya. “Aku belum pernah bertemu secara langsung, tapi orang-orang divisiku sudah banyak menemukan bukti yang merujuk pada keberadaan makhluk seperti mereka.” “Bukankah kalian juga masih membutuhkan bukti untuk mengungkap kasus yang kalian tangani?” Hyeonjun menatap Haejin, seakan menunggu jika saja Haejin mau menambahkan kalimatnya. “Jika polisi saja tidak bisa menemukan satu bukti pun atas kematian ibuku, bagaimana kau akan menangani kasusnya?” Lelaki di hadapannya tampak tak bisa menjawab pertanyaan yang diberi. Haejin membuang napas kasar, lalu berkata, “Lupakan saja, Tuan Choi. Aku tidak mau melibatkan orang lain dalam hal ini.” “Apa kau sudah tahu siapa pembunuhnya?” tanya Hyeonjun. Haejin mengalihkan matanya, tak seberapa yakin akan jawaban yang akan dia berikan. “Seseorang mengatakannya padaku,” tukasnya, langsung membuat Hyeonjun panik dan terkejut. “Jangan bertindak sendirian, Nona!” ujarnya, berusaha menasihati agar Haejin tak bertindak gegabah. “Dia bisa saja mengincarmu setelah ibumu, bisa saja itu sebuah jebakan dari dia, sang pembunuh aslinya. Bisa saja dia bukan manusia. Biarkan aku menanganinya, aku akan melindungimu juga.” “Terima kasih, Tuan Choi.” Hyeonjun tak bisa melanjutkan ucapannya, dan membiarkan Haejin menyela. “Tapi jika makhluk apapun itu, memang mengincarku, maka biarkan itu menjadi urusanku dengannya. Kau tidak perlu membahayakan dirimu dengan berusaha melindungiku.” Haejin pergi, tanpa bisa Hyeonjun hentikan. Lelaki itu menelan kecewa, menyayangkan hal yang kekeh dipertahankan gadis itu. Hyeonjun juga memutuskan untuk berhenti memaksa, tapi bukan berarti dia menyerah. Dia akan membujuk Haejin di lain waktu, dan semoga saja hal yang diturunkan nenek moyangnya padanya bisa berguna untuk membantu gadis itu. Hyeonjun memutuskan kembali, berjalan dengan wajah tertunduk sampai mungkin tak bisa menyadari jika ada yang memperhatikannya sejak tadi. Dia menuju sebuah mobil yang terparkir di depan gerbang sekolah, lalu menghela napas dengan berat setelah memasukinya. “Bagaimana hasilnya?” tanya seorang wanita yang duduk di bangku pengemudi. Wanita itu memiliki lencana organisasi yang sama dengan milik Hyeonjun, dan sudah dipastikan jika dia adalah rekan kerja Hyeonjun. Hyeonjun membuang napas dengan sedikit kecewa, lalu berkata, “Gadis itu tidak mengizinkanku ikut campur.” Lee Nari tak bisa menyembunyikan raut kecewanya, karena memang begitulah yang ia rasa. Lagi-lagi orang menolak untuk dibantu oleh detektif supernatural. Tidak heran, manusia yang hidup di zaman sekarang lebih tak acuh terhadap hal yang berbau magis, sehingga mereka memilih untuk tak peduli atau bahkan tak percaya. Mungkin bagi mereka, detektif bersenjata hanyalah sekumpulan orang gila yang menganggap diri mereka berkemampuan khusus sampai bisa melawan hal yang tak masuk logika. “Aku tidak terkejut, tapi rasanya masih sama, kecewa. Mungkin karena aku merasa tidak ada yang mempercayai kita.” Hyeonjun berkata, memasang raut yang kentara menggambarkan perasaannya. Nari menyentuh pundak rekan kerjanya itu, lalu menampar pelan pipi Hyeonjun sampai membuatnya terkejut. “Kali ini apa salahku!?” pekik Hyeonjun. Ya, meski tidak seberapa keras tamparan yang Nari berikan, tetap saja ia tidak menyukai kebiasaan suka menampar milik wanita itu. Nari tak menggubris, memilih untuk menjalankan mobilnya, meninggalkan area sekolah. “Aku tidak suka melihat orang yang berisik, memasang wajah menyedihkan itu hanya karena gagal dalam suatu hal.” Sembari menyetir, Nari berkata demikian. Hyeonjun hanya meliriknya dengan tatapan kesal, tapi dia tidak berani untuk memarahi Nari yang notabenenya adalah senior Hyeonjun di detektif supernatural. Baiklah, Hyeonjun akan melupakan rasa kesalnya. Sebenarnya, ada hal penting yang ingin dia sampaikan pada Nari. “Aku rasa gadis itu tahu jika yang membunuh ibunya bukanlah manusia.” Nari melirik Hyeonjun sekilas, diamnya sudah jelas sedang menunggu kelanjutan ucapan lelaki itu. Maka Hyeonjun melanjutkan kalimatnya, “Tapi dia memintaku untuk tidak ikut campur dengan alasan tidak ingin orang lain berada dalam keadaan bahaya jika mencampuri urusannya.” “Memang gadis itu memiliki hubungan apa dengan makhluk yang membunuh ibunya?” “Aku tidak tahu. Aku tidak sempat bertanya lebih dan dia sudah berjalan pergi ke kelasnya tanpa bisa kuhentikan.” “Pedang yang kau bilang warisan leluhurmu itu ....” Ucapan Nari dan langsung mengalihkan perhatian Hyeonjun yang semula menatap jalanan. “Bukankah ini kesempatan yang tepat untuk membuktikan kehebatannya?” Hyeonjun melirik ke kursi penumpang, lalu dia mengambil sebuah benda panjang yang terbalut kain lusuh serta beberapa kertas jimat yang menempel di kain itu. Lima tahun lalu, sebelum ayahnya meninggal, Hyeonjun diamanatkan untuk memiliki sekaligus menjaga pedang yang bahkan belum pernah ia lihat wujudnya itu. Ayahnya berkata jika pedang itu adalah warisan dari leluhurnya yang merupakan petarung. Pedang itu diberi nama Pedang Pembelah Iblis, diberikan atas doa manusia kepada Dewa kala bumi tengah dipertaruhkan keselamatannya. Seperti namanya, pedang itu tak hanya tajam, namun mampu membelah makhluk mistis dan tak kasatmata yang dilindungi kekuatan magis diluar akal manusia. “Pedang ini adalah milikku, katanya.” Hyeonjun memandangi pedang yang sekarang menjadi miliknya itu. “Milik darah yang mengalir dalam diriku.” Lalu saat membuka sedikit bagian atasnya, dia melihat sesuatu pada gagangnya yang sekilas berwarna keperakan. Hyeonjun berseru, “Wah, ada sesuatu di gagangnya.” Ucapan yang membuat Nari mengalihkan atensi dan sesekali melirik pedang Hyeonjun, ingin tahu apa yang dimaksud 'sesuatu' oleh lelaki itu. Hyeonjun menunjukkan gagang pedangnya pada Nari, dan kening wanita itu jadi mengerut samar. “Sepertinya ini tulisan ...,” ujar Hyeonjun dan Nari setuju akan ucapannya. “Tapi itu huruf yang tidak kuketahui, dan mungkin baru pertama kali aku melihatnya,” balas Nari lalu kembali fokus menyetir. Hyeonjun dan dia sama-sama tidak tahu huruf apa dan bagaimana cara membacanya, jadi Hyeonjun memutuskan untuk menyimpan kembali pedang itu ke dalam sarungnya. *** Sepulang sekolah, Haejin pergi ke sebuah toko kue yang berada di persimpangan dekat rumahnya. Hari ini adalah jadwalnya untuk bekerja paruh waktu di toko kue itu, jadi dia akan bersiap melakukan yang terbaik sampai tokonya tutup pukul delapan malam nanti. Suasana sore di toko kue yang lama tak Haejin perhatikan. Melihat para pelanggan menikmati kue sembari sibuk beraktivitas, menghirup aroma segar kopi racikan barista yang ada di sana, juga sedapnya bau kue yang baru saja keluar dari dapur. Haejin hampir lupa jika ia menyukai semua itu, dan untunglah dia tak lupa caranya mengekspresikan rasa sukanya. Gadis itu tersenyum tipis, sembari berdiri dan menopang dagunya di meja kasir. Tak berlangsung lama ia menikmati kegiatannya, perhatiannya dialihkan dengan suara lonceng kecil yang berbunyi kala ada seseorang membuka pintu toko. Haejin bersiap menyapa dan melayani pelanggannya, tapi saat ia melihat siapa pelanggannya, senyumnya perlahan hilang. “Yo ..., selamat sore, Nona Haejin.” Haejin terdiam, cukup lama sembari menatap lelaki bernama Ilucca yang dia temui kemarin. Haejin tidak membencinya, dia hanya berada di suasana hati yang tak merasa nyaman jika melihat sosok jangkung Ilucca. Apalagi dia sudah tahu jika Ilucca bukanlah manusia sepertinya. “Ada urusan apa kemari?” tanya Haejin. Nada bicaranya tak terdengar ramah. “Apa aku tidak boleh pergi ke toko kue?” “Kau tahu jika setelah pertemuan kemarin, aku mungkin saja tak ingin bertemu lagi denganmu.” Ilucca menggaruk dagunya yang tak gatal sembari tertawa-tawa kecil. “Masalahnya, aku ini tidak suka memikirkan bagaimana perasaan manusia yang bertemu denganku,” jawabnya, kentara sekali memang tak peduli seperti apa Haejin memandangnya. Haejin berdecih, “Yah, aku juga sudah menduga hal itu.” “Jadi, bisa tolong beri aku menu paket terbaik toko ini dan carikan aku tempat duduk yang nyaman?” Haejin menjauhkan wajahnya, seraya matanya menatap Ilucca dengan aneh dan bingung. “Kau bisa melakukannya sendiri, jangan ganggu pekerjaanku.” Haejin kembali ke kesibukannya, atau mungkin lebih tepatnya, pura-pura menyibukkan diri agar tak diganggu sosok Ilucca yang terkesan menemuinya hanya untuk main-main. Ilucca mendekatkan wajahnya, berbisik pada Haejin, “Seperti yang kau lihat kemarin, Nona, aku ini buta.” Ucapannya sama sekali tak membuat Haejin percaya. Gadis itu masih dengan tatapan dinginnya, tak berniat ingin menggubris Ilucca. “Kau bisa masuk ke sini, tanpa menabrak satu benda pun. Kau sungguh buta atau hanya ingin bermain-main denganku?” “Aku masuk karena mendengar keramaian dan mencium bau yang enak. Tapi ketika aku masuk, ternyata suara di sini lebih berisik dari dugaanku dan aku tidak bisa menggunakan pendengaranku dengan baik untuk menganalisa keadaan toko ini.” Haejin menatap lekat kedua mata Ilucca yang tertutup kacamata hitamnya, memastikan kecurigaannya bahwa yang kemarin ia lihat itu hanyalah tipuan Ilucca belaka. Tapi belum sampai tujuannya tercapai, Ilucca lebih dulu membuyarkan konsentrasi Haejin dengan berkata, “Sedang terpesona dengan wajah tampanku?” Perkataan Ilucca itu membuat Haejin langsung mengalihkan wajahnya, dan mendengar decihan kesal yang gadis itu keluarkan, Ilucca jadi tertawa. Haejin dengan terpaksa melakukan apa yang lelaki di hadapannya itu inginkan. Dia memang tidak ingin melakukannya, tapi jika dia tetap menolak, rasanya seperti lelaki itu tidak akan mudah menyerah dan pergi meninggalkan tempat kerjanya saat ini. Haejin menggandeng tangan Ilucca, untuk pertamakalinya sampai membuat lelaki itu sempat terdiam dan tertegun. Tangan seorang manusia ternyata sangat hangat seperti sinar mentari, dan perasaan itu membuatnya nyaman. Tapi tak berlangsung lama, Haejin melepaskan genggamannya. “Duduk di sini,” tukas Haejin. Saat ia hendak pergi, Ilucca mencegah dengan menggenggam tangannya. Langkah Haejin tercekat, ia melirik sinis pada Ilucca. “Bukankah di sini adalah bagian tengah dari toko ini?” tanya Ilucca. Haejin menjawabnya dengan dingin, “Iya.” “Pantas saja terdengar sangat ramai. Jika duduk di sini, aku bisa mendengar suara-suara dari seluruh sudut ruangan ini, dan aku tidak terlalu suka suara yang ramai.” “Kalau tidak suka suara ramai, kenapa datang ke keramaian?” “Karena di keramaian itu, ada kau di dalamnya.” Haejin membisu, sementara Ilucca juga tak mengatakan apa-apa setelah itu, hanya mereka yang saling menghadapkan wajah seakan mata mereka saling bertukar pandang. Pada akhirnya, Haejin tetap bergerak menuruti keinginan Ilucca. Dia mengantarkan lelaki itu ke meja yang berada di sudut ruangan, tempat yang paling sepi dari segala sudut yang ada di toko itu. “Berhenti mengatakan hal-hal aneh. Duduk di sini dan tunggu pesananmu.” Setelah mengatakan itu, Haejin kembali ke meja kasir, menulis pesanan yang akan diberikannya pada Ilucca. Lelaki itu sudah duduk dengan manis, tanpa memerlukan bantuan untuk menemukan kursinya. Dia tersenyum sembari kepalanya menghadap ke luar jendela. Seakan ia sedang menikmati pemandangan pejalan kaki yang lewat di depan toko, atau memperhatikan laju mobil di jalanan. Selagi menunggu pesanannya jadi, Haejin terus menatap presensi Ilucca dengan mata curiga. Dia tidak tahu apa tujuan lelaki itu menemuinya kali ini. Pesanan untuk Ilucca sudah jadi, Haejin mengambilnya lalu mengantarkannya langsung pada Ilucca. “Hm ..., bau yang sangat enak!” Ilucca menarik sendok kue itu dari pembungkusnya, lalu memakan kuenya dengan semangat. Tak lupa, Ilucca juga memuji rasa kue di toko kue itu setelah memasukkan sendok pertamanya ke mulut. Haejin tersenyum, menertawakan hal konyol yang baru saja ia pikirkan tentang sosok di hadapannya. “Ada apa?” tanya Ilucca. “Terkadang kau terlihat seakan bisa melihat, dan terkadang kau terlihat seperti benar-benar buta.” Haejin mengalihkan pandangannya menuju luar ruangan, di luar sana, orang berlalu-lalang dengan sibuknya. Tanpa ia sadari, Ilucca tersenyum menanggapi ucapannya barusan. Ilucca meletakkan sendoknya, lalu meminum kopi yang disediakan Haejin untuknya sebelum ia berkata, “Kau pernah dengar? Jika seseorang yang kehilangan satu saja dari inderanya, maka indera yang lain akan bekerja lebih tajam dari sewajarnya.” “Tapi kau bukan 'seseorang' itu,” balas Haejin. Ilucca langsung terdiam. Tak berlangsung lama, ia tertawa hambar. “Iya ..., kau benar ....” “Aneh sekali. Biasanya makhluk sepertimu memiliki kesempurnaan fisik maupun indera. Apa kau kehilangan penglihatanmu karena suatu kecelakaan atau pertarungan dengan makhluk lain?” “Aku sudah buta dari kecil,” jawab Ilucca dengan senyum teduh yang malah dianggap aneh oleh Haejin. Gadis itu memasang raut bingung. “Bisa-bisanya ada kelainan genetik pada makhluk sepertimu.” Ilucca masih mempertahankan cengirannya, sama sekali tak menganggap jika Haejin sedang berkata semena-mena ataupun mengejeknya. “Aku punya harga mahal yang suatu saat nanti akan menebus kegelapan ini,” tutur lelaki itu, mengarahkan wajahnya tepat ke Haejin seakan mata itu bisa melihat sosok Haejin di hadapannya, “dan aku butuh bantuanmu untuk membuat hal itu menjadi nyata.” -BersambungIlucca bertopang dagu, dia menghadap Haejin seakan sedang menatap wajah gadis itu. Sementara Haejin, tampak ia masih diselimuti kebingungan akan ucapan yang dilontarkan Ilucca beberapa detik lalu.“Sudah kubilang, berhenti mengatakan hal-hal aneh!” tukas Haejin pada akhirnya. Dia yang merasa cukup meluangkan waktu untuk meladeni Ilucca, berpikir mungkin sudah saatnya kembali bekerja. Tapi saat dia akan bangkit dari kursi, Ilucca secepat kilat menahan tangannya.Haejin terkejut, sekaligus kembali mendaratkan bokongnya ke kursi dengan cukup keras. Tapi rasa nyeri itu sengaja ia abaikan, sebab melihat wajah Ilucca yang serius membuatnya berpikir akan ada hal berguna yang lelaki itu lontarkan.“Kau mau pergi dan membiarkan lelaki tampan ini duduk sendirian?” Mungkin tidak seharusnya Haejin mengharap sesuatu yang berharga keluar dari mulut lelaki itu. Dari tingkah dan ucapannya saja, sudah terlihat jika dia adalah pribadi yang senang mengerjai orang
HeejinHaejin pulang dengan diantar oleh Zakiel, dan saat ini gadis itu sudah berada di tempat kerjanya sejak setengah jam yang lalu.Haejin biasanya akan mulai bekerja sepulang sekolah sampai larut malam menjelang, tapi karena urusannya dengan Ilucca, dia jadi meminta sedikit waktu dan terlambat kerja.Kedai ramyeon dan Jajangmyeon tempatnya bekerja merupakan kedai yang lumayan terkenal di daerah sekitarnya. Kalau sudah seperti ini, Haejin akan mengabaikan segala hal dan fokus saja pada pekerjaannya melayani pelanggan dan menjadi kaki tangan koki di sana.“Nona Yoon, tolong berikan ini pada pelanggan di sebelah sana.” Haejin mengangguk, lalu dengan sigap menerima pesanan itu dan mengantarnya pada pemesan. Dia menuju meja paling ujung, dekat sudut ruangan yang biasanya tak banyak pelanggan suka untuk duduk di sana.Di sanalah, Haejin menghampiri pelanggannya yang tampak fokus membaca sesuatu dari sebuah buku
“Aaaaaaaakh!”Haejin menjerit kesakitan, kala taring tajam makhluk itu menembus kulit dan dagingnya. Terasa darahnya seakan mengalir cepat meninggalkan raganya, membuatnya tubuhnya perlahan terasa lemas. Ia menangis, menahan sakit dan tak ada yang menolongnya. Tapi meski demikian, masih ada saja pergerakan kecil untuk memberontak, seperti memukul agar gigitan itu terlepas, meski mustahil.Kini Haejin hanya bisa pasrah, tubuhnya melemas dan ia menatap ke langit. Di atas sana, bulan bersinar dengan terang. Indah sekali.Apa sesuatu yang menjadi hal terakhir yang dilihat, akan terasa lebih indah dari biasanya?Haejin tersenyum, merasa jika hidup malangnya adalah sebuah lakon lucu yang bisa ia tertawakan. Bagaimana bisa, Tuhan menulis kisah hidupnya dengan sangat menyedihkan?“Ah ..., ibu ....” ujar Haejin dengan lemah. Samar-samar ia mengingat wajah sang ibu, dan kesadaran yang memudar membuatnya berilusi jika senyum
Seperti yang sudah dikatakan, setelah merasa cukup untuk mengawasi Haejin dengan matanya sendiri, Ilucca akan menyerahkan tugas selanjutnya untuk dilaksanakan Zakiel. Lelaki itu sudah bersiap di sana, bahkan satu jam sebelum Ilucca meninggalkan rumah Haejin.Kini Zakiel bertugas untuk mengantar Haejin menuju sekolah, meski gadis itu sempat menolaknya dengan alasan ini adalah tindakan yang berlebihan. “Kau tidak perlu repot-repot melakukannya, Tuan Zakiel. Aku bisa pergi ke sekolah dengan kendaraan umum, seperti biasanya.” Haejin membuka percakapan pertama dengan Zakiel di hari itu, sebab ia merasa sudah melalui perjalanan dengan hening dan itu membuatnya merasa agak canggung.“Izinkan aku mengatakan sesuatu, Nona. Pertama, kau tidak perlu memanggilku dengan sebutan 'Tuan', Nona. Panggil saja aku dengan namaku.”“Ah ..., bolehkah?” tanya Haejin, sedikit melirik wajah serius Zakiel yang sedang menyetir mobil, “kupikir karena kau adalah makhluk ya
“Jadi, apa alasanmu memberikan tatapan terkejut seperti malam tadi, Nona?”Eimiris kembali tersentak kala perhatiannya dialihkan oleh pertanyaan mengejutkan dari Hyeonjun. Dia hanya terdiam, tak bisa menjawab. Sementara netranya menyelam dalam ke mata lelaki itu, mendapati bayangannya adalah satu-satunya hal yang ada di sana.Haejin juga menunggu jawaban Eimiris, namun wanita itu terlihat terlalu gugup untuk menjawab. Haruskah Haejin membantu?“Ah, Nona Eimiris, bisakah kau mengantarku ke tempat tuanmu berada saat ini?”Pada akhirnya, Haejin memutuskan untuk membantu wanita itu keluar dari tekanan yang membuatnya gugup, bukan membantunya mengatasi kegugupan itu. Perhatian Eimiris bergulir ke Haejin, dan dia segera berfokus pada tujuan awalnya datang ke sini, yaitu menjemput Haejin untuk pulang.“Kau tidak ingin kembali dulu ke rumah, Nona Yoon?” Haejin menjawabnya dengan gelengan.“Aku ingin menemui tuanmu
Kisah yang akan diceritakan ini, terjadi ribuan tahun yang lalu di sebuah daerah yang kini dinamai Inggris.Hari itu adalah hari yang mendung, cuaca tidak menyenangkan dengan redupnya bayangan dan angin berembus membuat merinding. Rasanya, pagi dan petang tak ada bedanya, tapi gelap tak akan menakutkan di mata mereka yang sudah akrab dengannya.Hutan lebat menjadi sebuah tempat yang tepat untuk melakukan perburuan. Berburu dan menemukan spesies hewan atau monster baru, pastinya akan sangat menyenangkan bagi yang menyukainya. Salah satu dari penyuka kegiatan berburu itu adalah Oliver Jes Verstellar.“Yang Mulia ..., apa tidak masalah jika kita tetap melanjutkan perburuan? Mendungnya semakin gelap, dan sebentar lagi mungkin akan hujan ....” Oliver tiada peduli. Dirinya terus berjalan, menembus lebatnya hutan seraya bergerak mengendap-endap. Seluruh inderanya hanya berfokus melakukan perburuan, dia memilih untuk mengabaikan ucapan salah satu prajurit penjaganya.
“Me-mencari darah?” Oliver bertanya dengan gagap, entah mengapa ia merasa sedikit ngeri. Bagaimanapun juga, yang sedang dia ajak bicara saat ini adalah seorang vampir, monster penghisap darah yang sering digosipkan orang-orang di sekitarnya.Victor tak menjawab, dia merespons dengan suara tawa pelan. “Kau takut aku akan menghisap darahmu?” ia bertanya, dan Oliver hanya membulatkan mata sekilas. Bukan maksud ingin berburuk sangka, Oliver hanya berjaga-jaga jika saja sifat buas yang sering dibicarakan dari mulut ke mulut itu benar adanya. Victor menambahkan, “Aku tidak meminum darah manusia selancang itu.”Oliver termangu, menunggu kelanjutan ucapan Victor. “Kami, khususnya yang berada di kasta bangsawan, dilarang keras untuk meminum darah manusia langsung. Itu sama saja dengan membunuh manusia yang tak bersalah, jika disamakan dengan hukum para manusia sepertimu.”“Lalu, bagaimana kau mendapatkan darah untuk diminum?”
“Sepertinya tidak ada yang berubah sejak kutinggal pergi ....”Itu adalah kalimat pertama yang Oliver ucap sesaat setelah memasuki kembali istana kebanggannya. Seluruh orang yang ada di Verstellar terkejut, dan tentunya merasa senang. Raja mereka telah kembali, raja mereka pulang untuk memimpin dan mengayomi rakyat-rakyatnya.“Yang Mulia!” Suara teriakan yang memanggilnya menggema di aula istana Gimera. Oliver menoleh, melihat sang istri berlari dari ujung pintu utama, berhambur memeluknya. Tangis wanita itu pecah, menandakan betapa ia sangat merasa bahagia melihat suaminya pulang dalam keadaan selamat.“Syukurlah, Yang Mulia ..., syukurlah,” ujarnya, menangis bahagia. Oliver hanya tertawa, dalam hati ia merasakan rindu yang sama.“Lama tak berjumpa, Sabrina,” balas Oliver, membuat wanitanya kembali memeluk erat sang badan seakan tak ingin berpisah kembali.“Yang Mulia, apa kau sudah mendengarnya? Ibu kota kita, Thetia, diserang oleh sekelompok monster
Sore sepulang sekolah, Haejin memutuskan untuk kembali ke tempat kerjanya. Kali ini dia akan menjalankan tugasnya sebagai pelayan toko kue yang baik dan ramah.Gadis dengan surai hitam yang selalu ia ikat rendah itu memakai apronnya, mulai membaur dengan tugasnya.Seperti biasanya, kafe yang menjadi tempatnya bekerja ini selalu ramai saat sore hari. Orang-orang memilih kafe dengan suasana seperti tempat ini untuk mencari ketenangan atau inspirasi.“Silakan nikmati pesanan anda ....” Seperti seseorang yang selalu berusaha untuk profesional terhadap apa yang dikerjakan, Haejin menunjukannya dengan baik. Dia ramah, kerjanya cepat, dan juga ... dia tidak pernah telat jika tidak ada urusan yang sangat mendadak dan penting. Jika dia seorang pegawai kantoran, dia pasti mendapat promosi untuk naik pangkat lebih cepat dari pegawai lainnya.Ilucca tidak tahu sejak kapan merasakan kehadiran Haejin m
“Selamat pagi, Nona Haejin.”Haejin baru saja selesai bersiap, dia membuka pintu dan disambut sapaan selamat pagi dari Zakiel yang entah sejak kapan sudah berada di sana.“Selamat pagi, Zakiel ....” Tak ada alasan bagi Haejin untuk tak membalasnya dengan senyuman. Tapi sedetik setelahnya, ia kembali teringat dengan cerita Eimiris malam tadi.Astaga, dia jadi merasa puluhan kali lebih iba saat melihat tatapan mata Zakiel. Itu pasti sulit untuknya, hidup ribuan tahun terikat dengan rasa menyesal yang amat dalam.“Ada apa, Nona?” Meski ada banyak hal yang ingin ia bicarakan pada Zakiel, namun mengingat kembali waktu yang dia miliki, Haejin urung. Dia akan berbicara lagi tapi itu nanti, setelah dirinya selesai sekolah atau bekerja.Haejin menggeleng, lalu masuk ke mobil. Dia cukup tenang pagi ini, sebab otaknya masih sibuk memikirkan cerita tak masuk akal yang didengarnya kemarin.“Kenapa kisah kalian se
Selepas mendengar cerita keseluruhan tentang asal mula hubungannya dengan kaum vampir serta sejarah tentang peperangan tiga kaum, Haejin memutuskan untuk kembali. Sebenarnya dia belum merasa puas di beberapa poin, tapi Ilucca memintanya untuk pulang sebab akan sangat lama jika Ilucca harus memberikan pengertian tambahan tentang beberapa hal yang belum gadis itu pahami. Tentu saja Haejin pulang dengan Zakiel yang mengantarnya. Zakiel tidak mau mengambil risiko besar jika saja percobaan pembunuhan terhadap Haejin akan kembali terjadi di masa depan. Dia harus memastikan gadis itu selamat, sebab keberadaan Haejin adalah satu-satunya kunci untuk memenangkan Skyfall nantinya. Sejak perjalanan bermula, hening yang setia mengitari keduanya. Tak ada percakapan, yang terdengar hanya suara lembut mesin mobil dan kendaraan-kendaraan lain yang berpapasan dengan tumpangan mereka. Sepanjang perjalanan, yang Haejin lakukan hanya m
Hubungan yang mulai membaik antara manusia dan makhluk penghisap darah, nyatanya tak berlangsung lama sesuai apa yang diharapkan Oliver dan Victor.Karena enam bulan setelah perayaan kelahiran anak Oliver, berita mengejutkan datang dari sudut Kota Thetia yang ramai dan menjadi pusat perdagangan Verstellar.Telah ditemukan seorang mayat pemuda yang meninggal dalam keadaan sangat pucat dan kurus. Tubuhnya bahkan lebih terlihat seperti mayat yang diawetkan, kendati kematiannya hanya terjadi dalam waktu semalam.Yang lebih mencengangkan lagi, terdapat luka gigitan taring tajam di lehernya dan diduga dari luka itulah, darahnya dihisap habis.Tuduhan langsung mengarah pada Kerajaan Lucretia, sebagai satu-satunya kerajaan bagi para makhluk yang hidup dengan menghisap darah manusia.Victor, sebagai sang raja, tentunya menyangkal tuduhan tersebut. Ia memberi rakyatnya kepercayaan yang besar, dan itu pun sudah dibuktikan puluhan tahun lamanya. Tidak ada rakyat Lu
“Sepertinya tidak ada yang berubah sejak kutinggal pergi ....”Itu adalah kalimat pertama yang Oliver ucap sesaat setelah memasuki kembali istana kebanggannya. Seluruh orang yang ada di Verstellar terkejut, dan tentunya merasa senang. Raja mereka telah kembali, raja mereka pulang untuk memimpin dan mengayomi rakyat-rakyatnya.“Yang Mulia!” Suara teriakan yang memanggilnya menggema di aula istana Gimera. Oliver menoleh, melihat sang istri berlari dari ujung pintu utama, berhambur memeluknya. Tangis wanita itu pecah, menandakan betapa ia sangat merasa bahagia melihat suaminya pulang dalam keadaan selamat.“Syukurlah, Yang Mulia ..., syukurlah,” ujarnya, menangis bahagia. Oliver hanya tertawa, dalam hati ia merasakan rindu yang sama.“Lama tak berjumpa, Sabrina,” balas Oliver, membuat wanitanya kembali memeluk erat sang badan seakan tak ingin berpisah kembali.“Yang Mulia, apa kau sudah mendengarnya? Ibu kota kita, Thetia, diserang oleh sekelompok monster
“Me-mencari darah?” Oliver bertanya dengan gagap, entah mengapa ia merasa sedikit ngeri. Bagaimanapun juga, yang sedang dia ajak bicara saat ini adalah seorang vampir, monster penghisap darah yang sering digosipkan orang-orang di sekitarnya.Victor tak menjawab, dia merespons dengan suara tawa pelan. “Kau takut aku akan menghisap darahmu?” ia bertanya, dan Oliver hanya membulatkan mata sekilas. Bukan maksud ingin berburuk sangka, Oliver hanya berjaga-jaga jika saja sifat buas yang sering dibicarakan dari mulut ke mulut itu benar adanya. Victor menambahkan, “Aku tidak meminum darah manusia selancang itu.”Oliver termangu, menunggu kelanjutan ucapan Victor. “Kami, khususnya yang berada di kasta bangsawan, dilarang keras untuk meminum darah manusia langsung. Itu sama saja dengan membunuh manusia yang tak bersalah, jika disamakan dengan hukum para manusia sepertimu.”“Lalu, bagaimana kau mendapatkan darah untuk diminum?”
Kisah yang akan diceritakan ini, terjadi ribuan tahun yang lalu di sebuah daerah yang kini dinamai Inggris.Hari itu adalah hari yang mendung, cuaca tidak menyenangkan dengan redupnya bayangan dan angin berembus membuat merinding. Rasanya, pagi dan petang tak ada bedanya, tapi gelap tak akan menakutkan di mata mereka yang sudah akrab dengannya.Hutan lebat menjadi sebuah tempat yang tepat untuk melakukan perburuan. Berburu dan menemukan spesies hewan atau monster baru, pastinya akan sangat menyenangkan bagi yang menyukainya. Salah satu dari penyuka kegiatan berburu itu adalah Oliver Jes Verstellar.“Yang Mulia ..., apa tidak masalah jika kita tetap melanjutkan perburuan? Mendungnya semakin gelap, dan sebentar lagi mungkin akan hujan ....” Oliver tiada peduli. Dirinya terus berjalan, menembus lebatnya hutan seraya bergerak mengendap-endap. Seluruh inderanya hanya berfokus melakukan perburuan, dia memilih untuk mengabaikan ucapan salah satu prajurit penjaganya.
“Jadi, apa alasanmu memberikan tatapan terkejut seperti malam tadi, Nona?”Eimiris kembali tersentak kala perhatiannya dialihkan oleh pertanyaan mengejutkan dari Hyeonjun. Dia hanya terdiam, tak bisa menjawab. Sementara netranya menyelam dalam ke mata lelaki itu, mendapati bayangannya adalah satu-satunya hal yang ada di sana.Haejin juga menunggu jawaban Eimiris, namun wanita itu terlihat terlalu gugup untuk menjawab. Haruskah Haejin membantu?“Ah, Nona Eimiris, bisakah kau mengantarku ke tempat tuanmu berada saat ini?”Pada akhirnya, Haejin memutuskan untuk membantu wanita itu keluar dari tekanan yang membuatnya gugup, bukan membantunya mengatasi kegugupan itu. Perhatian Eimiris bergulir ke Haejin, dan dia segera berfokus pada tujuan awalnya datang ke sini, yaitu menjemput Haejin untuk pulang.“Kau tidak ingin kembali dulu ke rumah, Nona Yoon?” Haejin menjawabnya dengan gelengan.“Aku ingin menemui tuanmu
Seperti yang sudah dikatakan, setelah merasa cukup untuk mengawasi Haejin dengan matanya sendiri, Ilucca akan menyerahkan tugas selanjutnya untuk dilaksanakan Zakiel. Lelaki itu sudah bersiap di sana, bahkan satu jam sebelum Ilucca meninggalkan rumah Haejin.Kini Zakiel bertugas untuk mengantar Haejin menuju sekolah, meski gadis itu sempat menolaknya dengan alasan ini adalah tindakan yang berlebihan. “Kau tidak perlu repot-repot melakukannya, Tuan Zakiel. Aku bisa pergi ke sekolah dengan kendaraan umum, seperti biasanya.” Haejin membuka percakapan pertama dengan Zakiel di hari itu, sebab ia merasa sudah melalui perjalanan dengan hening dan itu membuatnya merasa agak canggung.“Izinkan aku mengatakan sesuatu, Nona. Pertama, kau tidak perlu memanggilku dengan sebutan 'Tuan', Nona. Panggil saja aku dengan namaku.”“Ah ..., bolehkah?” tanya Haejin, sedikit melirik wajah serius Zakiel yang sedang menyetir mobil, “kupikir karena kau adalah makhluk ya