Yoon Haejin. Tahun ini ia berusia 23 tahun dan sedang bersiap untuk mencari pekerjaan tetap untuknya ketika ia sudah dinyatakan lulus sebagai sarjana.
Saat ini dia berprofesi sebagai mahasiswi di salah satu universitas ternama di kotanya, Daechon. Kota kelahirannya yang menyimpan banyak kenangan masa kecilnya, sekaligus kota yang menyimpan kenangan akan luka terbesarnya.
Hari-hari Haejin selepas lulus dari sekolah menengah atasnya hanya diisi kesibukan. Ia sibuk bekerja siang dan malam, belum lagi ketika ia resmi menjadi mahasiswi. Dia seakan tidak diberi waktu untuk menikmati masa mudanya, tetapi kesibukan itu tidak cukup untuk menutup lubang menganga dalam hatinya yang masih belum bisa merelakan kematian sang ibu 3 tahun lalu.
Haejin masih mengingatnya dengan sangat jelas. Waktu itu ia duduk di bangku kelas tiga, sebentar lagi akan menghadapi ujian kelulusannya. Ketika ia pulang dari les saat malam hari, perasaan lelah yang tak bisa ia tahan itu membuatnya tertidur cepat dan sangat lelap ... sampai ia tidak bisa mendengar suara gaduh yang memenuhi setiap sudut rumahnya malam itu.
Ketika suara semakin gaduh ditambah suara teriakan ibunya yang terus memanggilnya, Haejin bangun dan buru-buru turun ke lantai bawah.
Haejin sangat bingung, terlebih ibunya yang langsung menariknya ke lantai atas untuk bersembunyi. Haejin tidak punya kesempatan untuk bertanya atau mendengarkan penjelasan ibunya dan dia langsung dimasukkan paksa ke dalam lemari dan sang ibu menguncinya dari luar.
“Jangan keluar dari sini atau Ibu akan memukulmu. Mengerti?”
Sejak dulu, Haejin sangat takut dengan sesuatu yang akan menyakiti tubuhnya. Karena itu, dia akan amat patuh dengan apa pun perintah sang ibu jika ibunya sudah memberi peringatan: patuhi atau aku pukul.
Haejin tidak keluar sama sekali, dia hanya di sana dan melihat dari celah pintu lemari ketika teriakan kembali terdengar—dan matanya terbelalak lebar menyaksikan bagaimana ibunya terbunuh dengan sadis di depan matanya.
Ibunya meraung kesakitan, sesosok makhluk dengan mata menyala menarik lehernya dan menggigitnya sampai raungan itu perlahan reda dan ibunya mati lemas—kehabisan darah. Tak sampai di sana, makhluk yang menyerupai manusia biasa itu mengoyak tubuh ibu Haejin di beberapa tempat, seakan-akan tubuh yang pernah bernyawa itu adalah sampah yang tidak ada harganya.
Dan sampai malam itu berakhir pun, Haejin tetap mematuhi perintah ibunya. Tetapi kesan dari malam mencekam itu tidak pernah hilang, menghantui Haejin yang selalu berusaha untuk lari dari kenangan mengerikan itu.
“Huek ...!”
Haejin tersentak di kursinya dan langsung memegangi perut serta menutup mulutnya rapat. Jika ia mengingat bagaimana tubuh ibunya dihancurkan malam itu, isi perutnya seakan-akan seperti diaduk. Dia mual, matanya menggambarkan ketegangan.
“Hei, Haejin. Ada apa?” Seorang teman yang duduk di samping kursinya mengalihkan kepala, untuk melihat keadaan Haejin. Melihat sekilas wajah Haejin yang tegang membuatnya jadi beranjak menuju kursi Haejin.
Haejin menggigit bibir bawahnya. Seharusnya dia tidak tertidur di tengah pelajaran seperti ini. “Tidak. Aku hanya merasa sedikit mual,” jawab Haejin yang malah menimbulkan kecurigaan.
“Oh ... mual ...,” tutur teman perempuan Haejin yang bernama Jung Jihyun itu sembari memasang wajah curiga. “Kau sudah pergi ke dokter kandungan?”
“Apa yang kau katakan, Jung Jihyun!? Aku hanya bermimpi buruk dan itu membuatku jadi mual!” Tentu saja Haejin akan membalas pertanyaan wanita dengan rambut cokelat pendek itu dengan suara yang meninggi, dia pasti merasa kesal. “Ah, sudahlah. Aku mau cari angin segar!”
Haejin segera mengemas buku-bukunya dan memasukkannya ke tasnya. Ia menyampirkan tas itu ke bahu dan bergegas pergi dengan raut kesal. Hal itu segera ditahan oleh Jihyun yang kini menggenggam tangan Haejin. “Hei, kau marah padaku? Aku hanya bercanda!”
“Aku tidak marah padamu, Jihyun. Aku hanya sedang tidak dalam emosi yang bagus. Aku ingin meredakannya.”
“Tapi kau tidak akan meninggalkan kelas di tengah pelajaran, kan? Sebentar lagi dosen akan kembali.”
“Kau yakin dia akan kembali?” tanya Haejin, seakan mematahkan kepercayaan Jihyun yang perlahan-lahan melonggarkan genggamannya pada tangan Haejin. Wanita dengan rambut hitam lurusnya yang panjang itu tersenyum miring, kemudian pergi dengan berkata, “Sampai jumpa, Jihyun.”
Tidak sepenuhnya salah saat Haejin berkata ia akan mencari udara segar. Dia benar-benar pergi ke sebuah kafe untuk menenangkan pikiran ... sekaligus bertemu dengan seseorang.
“Selamat siang, Nona Yoon!”
Haejin mengalihkan pandangannya yang semula terpaku pada layar laptopnya menuju ke arah seorang lelaki yang sedang tersenyum ke arahnya.
“Selamat siang, Nona Yoon. Apa kabarmu?” Yang selanjutnya adalah sapaan singkat dari wanita yang datang bersama lelaki tadi.
“Selamat siang untuk Tuan Choi dan Nona Lee. Silakan duduk,” balas Haejin, mempersilakan dua orang di depannya untuk duduk dan bergabung dalam sebuah diskusi—mungkin.
Dua orang yang datang pada Haejin itu adalah Choi Hyeonjun dan Lee Nari, dua anggota dari detektif supernatural yang saat ini sedang hangat-hangatnya dibicarakan rakyat kota.
Haejin bertemu dengan Hyeonjun dan Nari saat ia masih memakai seragam sekolah dulu, saat kasus kematian ibunya sedang menjadi trending topik di pusat kota. Alasan mereka saling kenal sebab ketertarikan divisi tempat Hyeonjun bekerja untuk mengulik kasus kematian ibu Haejin yang misterius.
Tujuan utama mereka tentu saja sama dengan apa yang Haejin inginkan, mereka ingin menangkap makhluk yang membunuh ibu Haejin dengan sangat keji malam itu.
“Apa kau sudah menemukan jejak dari keberadaan vampir itu?” Haejin bertanya, ingin ia segera mendengar kabar baik dari Hyeonjun dan Nari. Tetapi yang Haejin dapatkan adalah gelengan kepala lesu.
Sejak dulu, tujuan mereka tetap sama. Tapi karena yang mereka hadapi ini bukanlah sembarang makhluk, mereka jadi kesulitan untuk menemukan jejak dari keberadaan makhluk tersebut.
“Mereka benar-benar lihai menyembunyikan diri. Aku tidak benar-benar yakin kalau kita akan menemukan mereka suatu saat nanti,” ujar Hyeonjun, tampak sedikit putus asa akan perkembangan penyelidikan mereka yang belum membuahkan hasil sejak tiga tahun yang lalu.
“Kita hanya perlu menjelikan mata,” timpal Nari, menanggapi ucapan Hyeonjun. “Mereka memang menyembunyikan diri dengan berbaur bersama manusia biasa dan membuat keberadaan mereka samar, tapi bukan berarti kita tidak memiliki kesanggupan untuk menemukan mereka. Kita pasti menemukan mereka.”
“Kau yakin sekali bisa menemukan mereka? Memangnya kau punya keahlian untuk mendeteksi vampir?”
“Aku memang tidak bisa mendeteksi mereka,” jawab Nari, rautnya berubah menjadi lebih serius menanggapi ucapan Hyeonjun. “Tapi aku harus menemukan mereka bagaimanapun caranya.”
Hyeonjun menghela napas lalu mengalihkan pandangannya dari Nari menuju Haejin. “Kau tidak perlu cemas, Nona Yoon. Ada orang yang benar-benar akan membantumu sampai akhir,” tuturnya, menyindir Nari dengan tatapan sinis.
Nari menaikkan sebelah alisnya lalu memukul pelan tengkuk Hyeonjun, membuat empunya langsung merintih kesakitan. “Memangnya kau tidak akan membantu Nona Yoon sampai akhir!? Kalau begitu apa gunanya pedang pembunuh vampir yang katanya kau dapatkan dari leluhurmu itu!?”
Hyeonjun hanya terdiam, tidak ingin berdebat dengan Nari lebih lama. Sementara Haejin hanya menghela napas singkat sebelum kembali pada layar laptop yang diperhatikannya sejak tadi.
“Aku sempat membaca beberapa artikel di internet tentang vampir. Yah ... sebagian besar dari orang-orang berkata jika vampir itu tidak benar-benar ada, tapi ada juga yang beranggapan kalau mereka benar-benar ada,” ujar Haejin, menerangkan apa yang didapatnya selama melakukan riset tentang vampir.
“Lalu, kau masuk ke golongan yang mana, Nona?” tanya Hyeonjun.
“Aku tidak ingin percaya jika mereka ada,” jawab Haejin pada mulanya, “tetapi yang membunuh ibuku itu sudah pasti bukan manusia.”
“Iya, dia pasti bukan manusia,” timpal Nari sembari tersenyum memandangi permukaan teh dalam cangkirnya.
Hyeonjun dan Haejin tidak menanggapi lebih. Tetapi tak lama kemudian, Hyeonjun mendekatkan dirinya pada Haejin dan berkata, “Tapi ... apakah vampir itu datang benar-benar hanya untuk berburu?” tanya Hyeonjun pada Haejin dengan suara rendah.
Haejin terdiam lama sebab belum bisa menangkap maksud pertanyaan Hyeonjun. “Maksudmu?” tanya Haejin pada akhirnya.
“Ini selalu menjadi pertanyaanku selama ini, Nona. Jika vampir datang hanya untuk berburu, dia mungkin akan membunuh satu atau dua orang untuk menjadi makanannya. Tapi menurut penuturanmu sejak tiga tahun lalu, seluruh orang yang ada di rumahmu mati, kan? Dan mereka mati bukan karena kehabisan darah setelah dihisap, tapi kehabisan darah karena luka cabikan di tubuh mereka.”
Haejin berpikir, lama dan benar-benar berusah mencerna ucapan Hyeonjun. “Itu sepertinya wajar karena menurut data yang aku baca, ketika berburu, vampir cenderung memiliki hasrat membunuh yang tinggi. Seperti hewan buas yang sedang marah yang akan mencabik apa saja yang ada di depannya.”
“Data yang kita baca bisa saja tidak valid, Nona. Sebab yang menulisnya sudah pasti manusia juga.”
“Jadi, sebenarnya apa yang ingin kau katakan pada Nona Yoon, Hyeonjun?” tanya Nari yang sejak tadi lelah mendengarkan. Dia ingin Hyeonjun berbicara langsung ke intinya.
Hyeonjun tertawa kikuk sejenak, sebelum akhirnya kembali memasang wajah serius dan berkata, “Aku khawatir jika vampir itu tidak datang karena lapar, melainkan karena dia memang sengaja berkunjung ke rumahmu.”
Haejin memusatkan mata, perasaan merinding menjalari punggungnya. Ia menelan ludah dengan usaha keras dan berkata, “Maksudmu, ada sesuatu yang membuatnya sengaja datang ke rumahku dan membunuh ibuku?”
“Iya. Kau tidak tinggal di tempat yang sepi sehingga membuat vampir itu dengan mudahnya datang ke rumahmu karena mengira kehadirannya tidak akan membuat keributan. Dia tahu kau tinggal di sana dan dia datang ke rumahmu. Kalau menurut perkiraanku, mungkin membunuh ibumu juga termasuk dari tujuannya,” terang Hyeonjun dengan raut serius, tetapi perasaan antusias itu tidak bisa ditahannya dengan baik. “Wah, kisahmu akan menjadi seperti kisah dalam novel, Nona. Seperti tokoh utama wanita yang diincar oleh bangsa immortal yang kemudian dia akan bertemu makhluk immortal lain dan memulai kisah cinta yang—”
Hyeonjun segera berhenti berkata ketika ia merasa ada seseorang yang menatapnya dengan sangat tajam. Ketika ia menoleh, itu Nari yang menegur Hyeonjun dengan tatapannya atas ucapan sembrono laki-laki itu.
Hyeonjun dan Nari melihat Haejin yang mengepalkan tangannya secara refleks. Membicarakan tentang kematian ibunya yang masih belum bisa ia terima selalu membuat emosinya teraduk tak karuan. Terlebih ketika mendengar ucapan Hyeonjun yang bahkan masih berupa kemungkinan itu, rasanya Haejin seperti kembali menyaksikan kematian itu di depan matanya.
“Tapi ... kenapa harus ibuku ...?” Matanya tampak memerah, menahan emosi yang meluap-luap. Hal itu membuat Nari menyenggol lengan atas Hyeonjun dengan keras, memperingatkan si lelaki yang sudah membuat Haejin kembali mengingat perasaan yang setengah mati ingin wanita itu lupakan.
Hyeonjun segera bergegas menenangkan Haejin. “Ta-tapi itu masih kemungkinan, Nona. Kita akan tahu motif aslinya jika kita berhasil menemukan pembunuh ibumu itu.”
Haejin perlahan kembali tenang. “Iya, kau benar. Masih terlalu dini untukku larut dalam emosi. Aku harus menemukan pembunuh itu untuk tahu motif asli dari kejahatannya!”
“Atau jika yang dikatakan Hyeonjun itu benar, mungkin akan ada vampir lain yang mendatangimu, Nona.” Ucapan Lee Nari membuat Hyeonjun dan Haejin serempak menoleh padanya dengan tatapan bertanya.
“Apa maksudmu, Nona Nari?”
Nari meletakkan cangkirnya sebelum ia dapat meminum isinya. Ia menatap Haejin dengan serius. “Jika vampir itu datang untuk mengincarmu, dia pasti akan menemuimu lagi tak lama lagi setelah tahu kau masih hidup. Dan jika kau berurusan dengan makhluk immortal seperti mereka, pasti ada satu pihak yang akan menemuimu untuk menjelaskan apa masalahmu dengan makhluk seperti itu. Aku yakin jika pihak itu tentunya seorang immortal juga.”
Penjelasan Nari langsung mendapat sanggahan dari Hyeonjun.
“Kau yakin sekali sejak tadi! Apa jangan-jangan kau salah satu dari vampir itu dan bergabung ke Lembaga Detektif Supernatural hanya sebagai mata-mata!?” Tentu saja ucapan Hyeonjun itu langsung mendapat pukulan dari Nari sebagai responsnya.
“Bocah konyol!”
“Kenapa kau terus memukulku, Nari ...?” tanya Hyeonjun sambil mengeluh. “Aku ‘kan hanya heran karena kau mengatakan kemungkinan dengan raut seyakin itu. Padahal siapa tau hanya ada satu vampir di Korea mengingat keberadaan mereka sangat langka dan tipis. Satu vampir itu tentu saja adalah vampir yang sama yang membunuh Nyonya Yoon Sona.”
“Aku yakin pasti akan ada vampir lain yang menemui Nona Yoon,” balas Nari, rautnya kembali serius kendati ia sama sekali tidak menatap mata Hyeonjun. “Karena itu, kita harus mengawasi Nona Yoon selalu sebab mereka bisa kapan saja datang kembali untuk menyakiti Nona Yoon jika kemungkinan yang kau katakan itu adalah hal yang sebenarnya terjadi.
***
Hari semakin sore, matahari perlahan bergulir ke tempatnya untuk tertidur.
Langit senja dengan warna jingga selalu menjadi hal yang indah untuk dinikmati mata, setidaknya bagi seorang anak yang sedang melepas rindu dengan ibunda.
Yoon Haejin sejatinya tahu jika kehidupan manusia diawali kelahiran dan selalu berakhir dengan kematian. Dia tidak bisa memungkiri jika ibunya adalah makhluk yang bisa mati, pun sama kasusnya dengan dirinya yang tidak abadi.
Tetapi jika berbicara mengenai cara seorang manusia mati, apakah menurutmu Haejin akan melupakan begitu saja bagaimana sang ibu dengan kejamnya dihabisi?
Bahkan seekor singa pun tak layak untuk mati dengan cara yang seperti itu.
Haejin bertahan hidup selama ini demi alasan yang tak bisa ia jamin kejelasannya. Dia bertahan dan menyimpan semua kenangan buruk itu sendirian, bahkan ketika dunia sudah menyerah dan berbalik arah memunggunginya.
Hanya Haejin yang tahu bagaimana sakitnya, sesaknya, dan menyesalnya dirinya yang menyaksikan sang ibu mati dan tanpa bisa sedikit pun ia selamatkan.
Sampai akhir, Haejin tetap memilih untuk menjadi anak yang patuh dengan tidak keluar dari lemari itu apa pun yang terjadi. Tapi ... apa itu adalah keputusan yang tepat untuk diambilnya?
Ketika dia sembunyi dengan aman di ruang sempit itu, ia mendengar ibunya menjerit meminta tolong. Ketika ia bisa sedikit saja melihat keluar tempat persembunyiannya, ia menyaksikan ibunya dihabisi dengan begitu keji.
Haejin tetap hidup, tapi dia sendirian.
Seluruh orang yang tinggal di rumah masa kecilnya termasuk sang ibu tewas dalam sekejap, dalam hitungan detik yang tak memberikan mereka kesempatan untuk teriak.
Sesudah begitu pun, dia masih harus menghadapi kenyataan kalau tidak ada yang percaya akan ceritanya. Mereka semua bilang jika Haejin hanya meracau karena sangat panik, sementara bukti sudah dilenyapkan dengan amat apik.
“Huft ....” Haejin membuang napas dengan berat, berusaha menegarkan diri sebelum beranjak dari tempatnya berada.
Ia berbalik badan, kemudian berhenti setelah kakinya hampir melangkah pergi.
Lagi-lagi Haejin melihatnya.
Ini bukan kali pertama dan Haejin amat jelas mengingatnya. Presensi laki-laki tinggi dengan kacamata hitam yang selalu membawa buket bunga, duduk beberapa meter di belakang Haejin biasa menikmati pemandangan sore di pinggiran sebuah bendungan.
Haejin mengerutkan keningnya, merasa keheranan. Biasanya ia akan langsung pergi tanpa berpikir lebih lanjut, tapi kali ini entah kenapa ia ingin sekali bertanya.
Ia mendekati lelaki dengan mantel cokelat muda itu dan berdiri di depannya. Cukup lama Haejin berdiri di sana, tetapi lelaki yang duduk sembari menggoyangkan kakinya dengan riang itu. Dia seakan bersenandung dalam diamnya seraya membiarkan goyangan kakinya mengikuti irama itu. Haejin akhirnya beranikan diri untuk bersuara.
“Sedang menunggu seseorang?”
Suaranya berusaha dibuat lembut, tetapi Haejin tidak tahu jika itu akan mengejutkan si lelaki. Ia semakin heran.
“Hei, kenapa kau terkejut? Aku di sini sejak tadi.”
Lelaki itu lantas berdiri. “Benarkah? Aku tidak sadar.”
“Apa kau punya urusan di tempat ini? Aku sering melihatmu.”
“Ah, aku pikir itu selalu.” Haejin lagi-lagi mengerutkan keningnya, bingung akan perkataan lelaki di hadapannya. Lelaki itu kembali bersuara. “Apa langit sore sangat indah? Kau sepertinya sangat menikmatinya untuk menenangkan diri.”
“Dari mana kau tahu?”
“Aku hanya menebak.”
Haejin menatap lelaki itu dengan kening yang semakin mengerut. Dia malas curiga tetapi perasaannya terus mengatakan jika ada hal aneh yang lelaki itu sembunyikan.
Sampai akhirnya ia tak tahan lagi, dan menyuarakan kecurigaannya itu dalam satu tarikan napas. “Apa kau mengikutiku?”
Pertanyaan Haejin membuat lelaki itu terkejut sesaat, tetapi tak lama ia malah tersenyum yang membuat Haejin makin curiga.
“Jadi benar, ya ...? Kau mengikutiku?”
“Dari mana kau tahu?”
“Yah, aku sudah melihat keberadaanmu sejak pertama kali aku sering datang ke tempat ini sampai sekarang. Kau terus duduk di tempat ini dan membawa buket bunga. Ada apa? Apa kau stalker? Kau penggemarku?”
Mendengar perkataan panjang Haejin, lelaki yang masih tak melepas kacamatanya itu tertawa. Haejin makin mengerutkan keningnya.
“Kenapa kau tertawa?” tanya wanita itu dengan raut waspada.
Sehabis tertawa, lelaki itu lantas berkata, “Aku bukan penggemarmu,” kemudian ia memberikan bunga yang dibawanya pada Haejin, “tapi jika kau mengira aku selalu datang untuk memberimu bunga, kau mungkin benar.”
Haejin tentu saja tidak bisa menerimanya dengan mudah. Ia menatap bunga dan lelaki itu secara bergantian dengan alis bertaut.
“Apa maksudmu dengan memberikan bunga ini padaku?” tanya Haejin dengan nada ketus, sama sekali tidak terdengar ramah. “Jelaskan padaku apa maksudmu!”
Kalimat terakhir terdengar seperti perintah desakan. Lelaki itu membuang napas, seakan-akan pada akhirnya dia harus berkata juga setelah diam untuk sekian lama.
“Aku ingin mengatakan hal yang belum sempat aku katakan secara langsung sejak tiga tahun lalu,” ujar lelaki itu, “aku turut berduka cita ....”
Mendengar itu, tentu saja Haejin langsung makin mengerutkan dahinya. “Apa maksudmu?”
“Waktu itu aku tidak bisa datang langsung ke acara pemakaman ibumu, karenanya aku mengirimkan seseorang untuk mengucapkan belasungkawa. Tapi kau menolak semuanya karena masih syok. Aku paham dan aku memutuskan untuk menunggumu siap, aku menunggu sampai saat ini tiba.” Penuturan yang lelaki itu ucapkan seakan membangkitkan beberapa ingatan yang hampir terkubur dalam memori Haejin. Ingatan di hari pemakaman sang ibu, ketika ada seseorang yang datang sebagai perwakilan untuk memberinya bunga dan ucapan belasungkawa.
Dan ingatan itu semakin diperkuat saat si lelaki asing kembali berkata. “Jadi untuk kali ini, apa kau akan menerima ucapan belasungkawa dariku ... Nona Yoon Haejin?”
-Bersambung-
Yoon Haejin terbangun di tengah malam ketika sesuatu mengusik alam bawah sadarnya. Ia terduduk di kasur luasnya, menatap lurus ke depan tanpa tujuan dan maksud apa-apa. Ah, bermimpikah dirinya? Haejin menanyai dirinya sendiri yang masih belum sadar sepenuhnya. Tidak berniat untuk memikirkannya lebih jauh, ia mungkin akan memutuskan untuk kembali tidur. Itu hanya menjadi keinginannya yang berlalu bak angin sekilas ketika ia mendengar suara teriakan dari lantai bawah. Haejin terkejut, ia terpaku di kasurnya. Kesadarannya langsung naik ke level tertinggi, ia sangat sadar untuk mendengarkan kembali dan memastikan apakah suara itu nyata atau hanya halusinasinya. Tapi ketika suara teriakan sang ibu terdengar jelas di telinganya, Haejin memutuskan untuk menganggap itu bukan mimpi belaka. Haejin buru-buru turun dari ranjangnya, berlari secepat mungkin menghampiri asal dari suara teriakan ibunya yang terdengar dari lantai bawah. Haejin tidak memanggil,
Pemakaman ibu Haejin, Yoon Sona, dilakukan pagi hari setelah kematiannya. Tim autopsi mengatakan jika Sona meninggal sebab luka yang ia alami membuatnya kehilangan banyak darah. Melihat luka yang diterima pada bagian perut, kemungkinan besarnya adalah Sona mengalami tindak pembunuhan oleh seseorang. Tapi itu tak menjadi dugaan kuat sebab melihat kembali bentuk lukanya, itu bukan seperti tertusuk pisau tajam.“Apa anda berpikir kalau ibu saya meninggal bukan karena dibunuh seseorang?” Haejin bertanya pada polisi yang menangani kasus kematian ibunya.Polisi laki-laki itu bernama Kang Bongshin, polisi yang katanya terhebat se-kota dalam menangani kasus. Dia menjawab pertanyaan Haejin. “Saya tidak bisa memastikan itu tindak pembunuhan, tidak ada barang bukti senjata tajam yang ditemukan di sekitar tempat pembunuhan. Juga, tiga luka robek di perut yang sejajar rasanya seperti luka yang didapat dari cakaran hewan buas.”“Jadi, hewan buas mana yang masuk ke rumahku da
Seperti memang tak ada waktu untuknya terus berduka, gadis itu memilih untuk terus berjalan.Satu hari setelah pemakaman selesai, Haejin masuk sekolah seperti biasa. Dia bertemu temannya dan belajar seperti biasa, dia juga langsung pergi bekerja setelah sepulang sekolah. Seperti biasa ....Mungkin, hanya senyumnya saja yang akan menghilang setelah kepergian ibunya, dan itu pasti tidak akan berlangsung lama. Sama seperti ketika ia kehilangan ayahnya, dia pasti bisa kembali tersenyum setelah melihat orang-orang yang ia cintai.Ah, sayangnya, yang pergi darinya itu adalah sosok yang amat ia cintai. Dia sendirian, tidak akan dikuatkan oleh kata-kata ajaib ibunya lagi. Bahkan pelukan hangat yang sangat ia butuhkan, tak kunjung datang untuk meringankan sesaknya.“Jangan ..., jangan menangis Haejin ....” Haejin Yoon mengusap air mata yang hampir melintasi pipinya, lalu mendongak, menatap langit sore Kota Taekbaek. Selaras kemudian, senyum
Malam itu sekitar pukul sebelas, Beomyu kembali ke kediaman ayahnya. Mungkin karena sudah malam, semua orang tak menyambutnya yang pergi sejak siang.Ketika Beomyu mengatakan ia tidak kabur hanya untuk menemui Haejin, dia memang berkata yang sebenarnya. Karena itu, rasanya lega sekali setelah kembali dan mengetahui Haejin baik-baik saja.Beomyu pergi menuju dapur, mungkin yang ia butuhkan saat ini adalah segelas air putih untuk menetralkan tubuhnya yang sedikit lelah. Tanpa berbasa-basi, ia segera membasahi tenggorokannya dengan air dan berniat untuk kembali ke kamar untuk istirahat.Tapi ketika melewati ruang makan, Beomyu berhenti saat sebuah suara memanggilnya dalam kegelapan.“Sudah pulang, Tuan Muda Beomyu?”Beomyu sempat terperanjat, dia tak menyangka jika ada seseorang yang duduk di sisi tergelap ruang makan itu, kursi yang berada di sisi paling ujung meja makan dan berseberangan dengannya berdiri saat ini. Beom
“Selamat pagi, Nona Yoon. Aku Choi Hyeonjun, salah satu dari detektif supernatural yang kebetulan tertarik dengan kasus kematian ibumu.”Haejin terdiam, cukup lama. Gurat bingung tampak kentara di wajahnya, dan lama pula lelaki bernama Hyeonjun itu terdiam sebab Haejin tak kunjung memberi respons atas apa yang baru saja ia ucapkan.Bertahan dalam kecanggungan, Hyeonjun akhirnya tersadar dan bergerak memberi Haejin sebuah kartu. Itu adalah kartu identitasnya sebagai seorang detektif, seperti yang dia katakan. Haejin membaca isi kartu identitas itu dengan konsentrasi penuh.“Detektif supernatural?” ucapnya, dengan nada bingung dan bertanya. “Aku baru mendengar yang seperti ini,” lanjut Haejin.“Ah, biar kujelaskan sedikit. Detektif supernatural adalah orang-orang yang bekerja untuk menangani kasus-kasus yang mungkin sudah tidak bisa ditangani lagi oleh para polisi. Biasanya, orang-orang yang meminta bantuan detektif supernatural adal
Ilucca bertopang dagu, dia menghadap Haejin seakan sedang menatap wajah gadis itu. Sementara Haejin, tampak ia masih diselimuti kebingungan akan ucapan yang dilontarkan Ilucca beberapa detik lalu.“Sudah kubilang, berhenti mengatakan hal-hal aneh!” tukas Haejin pada akhirnya. Dia yang merasa cukup meluangkan waktu untuk meladeni Ilucca, berpikir mungkin sudah saatnya kembali bekerja. Tapi saat dia akan bangkit dari kursi, Ilucca secepat kilat menahan tangannya.Haejin terkejut, sekaligus kembali mendaratkan bokongnya ke kursi dengan cukup keras. Tapi rasa nyeri itu sengaja ia abaikan, sebab melihat wajah Ilucca yang serius membuatnya berpikir akan ada hal berguna yang lelaki itu lontarkan.“Kau mau pergi dan membiarkan lelaki tampan ini duduk sendirian?” Mungkin tidak seharusnya Haejin mengharap sesuatu yang berharga keluar dari mulut lelaki itu. Dari tingkah dan ucapannya saja, sudah terlihat jika dia adalah pribadi yang senang mengerjai orang
HeejinHaejin pulang dengan diantar oleh Zakiel, dan saat ini gadis itu sudah berada di tempat kerjanya sejak setengah jam yang lalu.Haejin biasanya akan mulai bekerja sepulang sekolah sampai larut malam menjelang, tapi karena urusannya dengan Ilucca, dia jadi meminta sedikit waktu dan terlambat kerja.Kedai ramyeon dan Jajangmyeon tempatnya bekerja merupakan kedai yang lumayan terkenal di daerah sekitarnya. Kalau sudah seperti ini, Haejin akan mengabaikan segala hal dan fokus saja pada pekerjaannya melayani pelanggan dan menjadi kaki tangan koki di sana.“Nona Yoon, tolong berikan ini pada pelanggan di sebelah sana.” Haejin mengangguk, lalu dengan sigap menerima pesanan itu dan mengantarnya pada pemesan. Dia menuju meja paling ujung, dekat sudut ruangan yang biasanya tak banyak pelanggan suka untuk duduk di sana.Di sanalah, Haejin menghampiri pelanggannya yang tampak fokus membaca sesuatu dari sebuah buku
“Aaaaaaaakh!”Haejin menjerit kesakitan, kala taring tajam makhluk itu menembus kulit dan dagingnya. Terasa darahnya seakan mengalir cepat meninggalkan raganya, membuatnya tubuhnya perlahan terasa lemas. Ia menangis, menahan sakit dan tak ada yang menolongnya. Tapi meski demikian, masih ada saja pergerakan kecil untuk memberontak, seperti memukul agar gigitan itu terlepas, meski mustahil.Kini Haejin hanya bisa pasrah, tubuhnya melemas dan ia menatap ke langit. Di atas sana, bulan bersinar dengan terang. Indah sekali.Apa sesuatu yang menjadi hal terakhir yang dilihat, akan terasa lebih indah dari biasanya?Haejin tersenyum, merasa jika hidup malangnya adalah sebuah lakon lucu yang bisa ia tertawakan. Bagaimana bisa, Tuhan menulis kisah hidupnya dengan sangat menyedihkan?“Ah ..., ibu ....” ujar Haejin dengan lemah. Samar-samar ia mengingat wajah sang ibu, dan kesadaran yang memudar membuatnya berilusi jika senyum
Sore sepulang sekolah, Haejin memutuskan untuk kembali ke tempat kerjanya. Kali ini dia akan menjalankan tugasnya sebagai pelayan toko kue yang baik dan ramah.Gadis dengan surai hitam yang selalu ia ikat rendah itu memakai apronnya, mulai membaur dengan tugasnya.Seperti biasanya, kafe yang menjadi tempatnya bekerja ini selalu ramai saat sore hari. Orang-orang memilih kafe dengan suasana seperti tempat ini untuk mencari ketenangan atau inspirasi.“Silakan nikmati pesanan anda ....” Seperti seseorang yang selalu berusaha untuk profesional terhadap apa yang dikerjakan, Haejin menunjukannya dengan baik. Dia ramah, kerjanya cepat, dan juga ... dia tidak pernah telat jika tidak ada urusan yang sangat mendadak dan penting. Jika dia seorang pegawai kantoran, dia pasti mendapat promosi untuk naik pangkat lebih cepat dari pegawai lainnya.Ilucca tidak tahu sejak kapan merasakan kehadiran Haejin m
“Selamat pagi, Nona Haejin.”Haejin baru saja selesai bersiap, dia membuka pintu dan disambut sapaan selamat pagi dari Zakiel yang entah sejak kapan sudah berada di sana.“Selamat pagi, Zakiel ....” Tak ada alasan bagi Haejin untuk tak membalasnya dengan senyuman. Tapi sedetik setelahnya, ia kembali teringat dengan cerita Eimiris malam tadi.Astaga, dia jadi merasa puluhan kali lebih iba saat melihat tatapan mata Zakiel. Itu pasti sulit untuknya, hidup ribuan tahun terikat dengan rasa menyesal yang amat dalam.“Ada apa, Nona?” Meski ada banyak hal yang ingin ia bicarakan pada Zakiel, namun mengingat kembali waktu yang dia miliki, Haejin urung. Dia akan berbicara lagi tapi itu nanti, setelah dirinya selesai sekolah atau bekerja.Haejin menggeleng, lalu masuk ke mobil. Dia cukup tenang pagi ini, sebab otaknya masih sibuk memikirkan cerita tak masuk akal yang didengarnya kemarin.“Kenapa kisah kalian se
Selepas mendengar cerita keseluruhan tentang asal mula hubungannya dengan kaum vampir serta sejarah tentang peperangan tiga kaum, Haejin memutuskan untuk kembali. Sebenarnya dia belum merasa puas di beberapa poin, tapi Ilucca memintanya untuk pulang sebab akan sangat lama jika Ilucca harus memberikan pengertian tambahan tentang beberapa hal yang belum gadis itu pahami. Tentu saja Haejin pulang dengan Zakiel yang mengantarnya. Zakiel tidak mau mengambil risiko besar jika saja percobaan pembunuhan terhadap Haejin akan kembali terjadi di masa depan. Dia harus memastikan gadis itu selamat, sebab keberadaan Haejin adalah satu-satunya kunci untuk memenangkan Skyfall nantinya. Sejak perjalanan bermula, hening yang setia mengitari keduanya. Tak ada percakapan, yang terdengar hanya suara lembut mesin mobil dan kendaraan-kendaraan lain yang berpapasan dengan tumpangan mereka. Sepanjang perjalanan, yang Haejin lakukan hanya m
Hubungan yang mulai membaik antara manusia dan makhluk penghisap darah, nyatanya tak berlangsung lama sesuai apa yang diharapkan Oliver dan Victor.Karena enam bulan setelah perayaan kelahiran anak Oliver, berita mengejutkan datang dari sudut Kota Thetia yang ramai dan menjadi pusat perdagangan Verstellar.Telah ditemukan seorang mayat pemuda yang meninggal dalam keadaan sangat pucat dan kurus. Tubuhnya bahkan lebih terlihat seperti mayat yang diawetkan, kendati kematiannya hanya terjadi dalam waktu semalam.Yang lebih mencengangkan lagi, terdapat luka gigitan taring tajam di lehernya dan diduga dari luka itulah, darahnya dihisap habis.Tuduhan langsung mengarah pada Kerajaan Lucretia, sebagai satu-satunya kerajaan bagi para makhluk yang hidup dengan menghisap darah manusia.Victor, sebagai sang raja, tentunya menyangkal tuduhan tersebut. Ia memberi rakyatnya kepercayaan yang besar, dan itu pun sudah dibuktikan puluhan tahun lamanya. Tidak ada rakyat Lu
“Sepertinya tidak ada yang berubah sejak kutinggal pergi ....”Itu adalah kalimat pertama yang Oliver ucap sesaat setelah memasuki kembali istana kebanggannya. Seluruh orang yang ada di Verstellar terkejut, dan tentunya merasa senang. Raja mereka telah kembali, raja mereka pulang untuk memimpin dan mengayomi rakyat-rakyatnya.“Yang Mulia!” Suara teriakan yang memanggilnya menggema di aula istana Gimera. Oliver menoleh, melihat sang istri berlari dari ujung pintu utama, berhambur memeluknya. Tangis wanita itu pecah, menandakan betapa ia sangat merasa bahagia melihat suaminya pulang dalam keadaan selamat.“Syukurlah, Yang Mulia ..., syukurlah,” ujarnya, menangis bahagia. Oliver hanya tertawa, dalam hati ia merasakan rindu yang sama.“Lama tak berjumpa, Sabrina,” balas Oliver, membuat wanitanya kembali memeluk erat sang badan seakan tak ingin berpisah kembali.“Yang Mulia, apa kau sudah mendengarnya? Ibu kota kita, Thetia, diserang oleh sekelompok monster
“Me-mencari darah?” Oliver bertanya dengan gagap, entah mengapa ia merasa sedikit ngeri. Bagaimanapun juga, yang sedang dia ajak bicara saat ini adalah seorang vampir, monster penghisap darah yang sering digosipkan orang-orang di sekitarnya.Victor tak menjawab, dia merespons dengan suara tawa pelan. “Kau takut aku akan menghisap darahmu?” ia bertanya, dan Oliver hanya membulatkan mata sekilas. Bukan maksud ingin berburuk sangka, Oliver hanya berjaga-jaga jika saja sifat buas yang sering dibicarakan dari mulut ke mulut itu benar adanya. Victor menambahkan, “Aku tidak meminum darah manusia selancang itu.”Oliver termangu, menunggu kelanjutan ucapan Victor. “Kami, khususnya yang berada di kasta bangsawan, dilarang keras untuk meminum darah manusia langsung. Itu sama saja dengan membunuh manusia yang tak bersalah, jika disamakan dengan hukum para manusia sepertimu.”“Lalu, bagaimana kau mendapatkan darah untuk diminum?”
Kisah yang akan diceritakan ini, terjadi ribuan tahun yang lalu di sebuah daerah yang kini dinamai Inggris.Hari itu adalah hari yang mendung, cuaca tidak menyenangkan dengan redupnya bayangan dan angin berembus membuat merinding. Rasanya, pagi dan petang tak ada bedanya, tapi gelap tak akan menakutkan di mata mereka yang sudah akrab dengannya.Hutan lebat menjadi sebuah tempat yang tepat untuk melakukan perburuan. Berburu dan menemukan spesies hewan atau monster baru, pastinya akan sangat menyenangkan bagi yang menyukainya. Salah satu dari penyuka kegiatan berburu itu adalah Oliver Jes Verstellar.“Yang Mulia ..., apa tidak masalah jika kita tetap melanjutkan perburuan? Mendungnya semakin gelap, dan sebentar lagi mungkin akan hujan ....” Oliver tiada peduli. Dirinya terus berjalan, menembus lebatnya hutan seraya bergerak mengendap-endap. Seluruh inderanya hanya berfokus melakukan perburuan, dia memilih untuk mengabaikan ucapan salah satu prajurit penjaganya.
“Jadi, apa alasanmu memberikan tatapan terkejut seperti malam tadi, Nona?”Eimiris kembali tersentak kala perhatiannya dialihkan oleh pertanyaan mengejutkan dari Hyeonjun. Dia hanya terdiam, tak bisa menjawab. Sementara netranya menyelam dalam ke mata lelaki itu, mendapati bayangannya adalah satu-satunya hal yang ada di sana.Haejin juga menunggu jawaban Eimiris, namun wanita itu terlihat terlalu gugup untuk menjawab. Haruskah Haejin membantu?“Ah, Nona Eimiris, bisakah kau mengantarku ke tempat tuanmu berada saat ini?”Pada akhirnya, Haejin memutuskan untuk membantu wanita itu keluar dari tekanan yang membuatnya gugup, bukan membantunya mengatasi kegugupan itu. Perhatian Eimiris bergulir ke Haejin, dan dia segera berfokus pada tujuan awalnya datang ke sini, yaitu menjemput Haejin untuk pulang.“Kau tidak ingin kembali dulu ke rumah, Nona Yoon?” Haejin menjawabnya dengan gelengan.“Aku ingin menemui tuanmu
Seperti yang sudah dikatakan, setelah merasa cukup untuk mengawasi Haejin dengan matanya sendiri, Ilucca akan menyerahkan tugas selanjutnya untuk dilaksanakan Zakiel. Lelaki itu sudah bersiap di sana, bahkan satu jam sebelum Ilucca meninggalkan rumah Haejin.Kini Zakiel bertugas untuk mengantar Haejin menuju sekolah, meski gadis itu sempat menolaknya dengan alasan ini adalah tindakan yang berlebihan. “Kau tidak perlu repot-repot melakukannya, Tuan Zakiel. Aku bisa pergi ke sekolah dengan kendaraan umum, seperti biasanya.” Haejin membuka percakapan pertama dengan Zakiel di hari itu, sebab ia merasa sudah melalui perjalanan dengan hening dan itu membuatnya merasa agak canggung.“Izinkan aku mengatakan sesuatu, Nona. Pertama, kau tidak perlu memanggilku dengan sebutan 'Tuan', Nona. Panggil saja aku dengan namaku.”“Ah ..., bolehkah?” tanya Haejin, sedikit melirik wajah serius Zakiel yang sedang menyetir mobil, “kupikir karena kau adalah makhluk ya