Seperti memang tak ada waktu untuknya terus berduka, gadis itu memilih untuk terus berjalan.
Satu hari setelah pemakaman selesai, Haejin masuk sekolah seperti biasa. Dia bertemu temannya dan belajar seperti biasa, dia juga langsung pergi bekerja setelah sepulang sekolah. Seperti biasa .... Mungkin, hanya senyumnya saja yang akan menghilang setelah kepergian ibunya, dan itu pasti tidak akan berlangsung lama. Sama seperti ketika ia kehilangan ayahnya, dia pasti bisa kembali tersenyum setelah melihat orang-orang yang ia cintai. Ah, sayangnya, yang pergi darinya itu adalah sosok yang amat ia cintai. Dia sendirian, tidak akan dikuatkan oleh kata-kata ajaib ibunya lagi. Bahkan pelukan hangat yang sangat ia butuhkan, tak kunjung datang untuk meringankan sesaknya. “Jangan ..., jangan menangis Haejin ....” Haejin Yoon mengusap air mata yang hampir melintasi pipinya, lalu mendongak, menatap langit sore Kota Taekbaek. Selaras kemudian, senyum tipis terbentuk. Bukan senyum yang menggambarkan kebahagiaan, namun senyum yang dipaksakan agar ia tak lupa bagaimana cara melakukannya lagi setelah semua ini. “Butuh sapu tangan?” Renungan panjang Haejin di pinggir sungai itu terhenti seketika, ada seseorang yang berbicara padanya. Gadis itu mengalihkan pandangan pada seorang lelaki yang berdiri di dekat pagar pembatas antara jalan dan sungai di depan mereka. Lelaki dengan tubuh tinggi, memakai kemeja putih dilapisi rompi abu-abu lalu dibalut mantel hitam yang senada dengan warna rambutnya, dia berbicara pada Haejin. Tentu tidak salah lagi, hanya ada Haejin dan orang itu di sana. “Aku tidak tahu mengapa akhir-akhir ini ada saja orang asing yang mengajakku berbicara,” ketus Haejin, tanpa berniat menanggapi tawaran si lelaki berkacamata hitam. “melihat dari penampilanmu, sepertinya kau bukan orang baik.” Ucapan Haejin membuat lelaki itu tersenyum. “Iya ..., kau benar. Aku memang bukan orang baik,” tuturnya lalu menghadap ke arah sungai yang membentang. “Hei ..., apa kematian adalah bagian paling menyedihkan dalam hidup manusia?” Lelaki itu kembali membuka suara, memecah hening antara dua insan yang berdiri di tempat yang sama. Haejin melirik si lelaki, dengan sorot mata yang lebih tajam. Karena hanya orang asing, mungkin Haejin akan memaafkannya yang dengan gamblang mengungkit soal kematian di depan orang yang baru saja ditinggal mati. Haejin tak mau menanggapi, jadi dia memilih beranjak dari sana dan pergi. “Kau mau pergi?” Bahkan tak terbesit sedikit pun di benaknya untuk menanggapi ucapan si lelaki. Sampai suatu ketika ..., “kau pasti masih sangat berduka, ya?” pertanyaan itu langsung menghentikan langkahnya. “Aku berpikir kau masih ingin menangis di hari kedua, karenanya aku datang sambil membawa sapu tangan. Tapi sepertinya, kau sudah tidak ingin menangis lagi ....” Lelaki itu mengubah posisinya, menjadi menghadap Haejin yang juga sedang menghadapnya. Dia tersenyum, lalu berkata, “itu mungkin karena, kau sudah tumbuh menjadi anak yang kuat ..., Haejin Yoon.” Ucapannya membuat emosi Haejin muncul kembali, entah mengapa. Terlebih, lelaki itu tahu jika Haejin baru saja kehilangan seseorang dan dia yang saat ini menyendiri di pinggir sungai karena masih merasa berduka. “Siapa ..., kau?” tanya Haejin, penuh penekanan dan desakan agar segera dijawab sang lawan bicara. “Aku Ilucca Lucretia Reev, yang mengirim bunga padamu kemarin. Maaf tidak bisa menghadiri pe—” Ucapan Ilucca belum selesai, tapi Haejin lebih dulu berlari mendekatinya dan mencengkram kerah bajunya dengan agresif. Tatapannya nyalang, seakan yang di depannya saat ini adalah pembunuh dari ibunya. “Aku tahu kau mengetahui sesuatu tentang kematian ibuku. Katakan, katakan!” Haejin mendesak, namun tampak lelaki bernama Ilucca itu tidak mau mengatakannya, sekuat apapun ia mendesak. “Aku tidak bisa memberitahumu, Nona.” “Kenapa!? Apa karena kau memanglah pembunuhnya!?” “Tidak .... Meski aku beri tahu pun, kau tidak akan percaya padaku. Karena aku hanya orang asing yang mencurigakan bagimu ....” Perlahan, Haejin melepaskan cengkramannya. Sama seperti dengan lelaki kemarin, pada akhirnya Haejin hanya bisa melepasnya pergi tanpa mendapat sedikit pun informasi. Haejin menunduk, lagi-lagi ingin menangis. Tapi karena ia berpikir dirinya tidaklah lemah, maka kembali ia gigit bibir bawahnya agar air mata itu tertahan dan tak jatuh mengalir. “Aku suka caramu menghentikan air mata itu, Nona Haejin.” Ilucca merogoh saku mantelnya, memberi Haejin sebuah pisau belati kecil dengan ukiran indah pada gagangnya. “Kau mungkin akan segera bertemu dengan pembunuh ibumu tak lama lagi, jadi bawalah benda ini untuk berjaga-jaga.” Setelah memberikan benda itu, Ilucca perlahan berjalan pergi. Tapi tak lama dari sana, Haejin mengejarnya dan dengan cepat membuatnya terjatuh cukup keras dengan posisi telentang. Kacamatanya terjatuh, dan matanya terpejam. Di saat seperti itu, Ilucca dapat merasakan dinginnya belati menembus dagingnya. Haejin menusuk lehernya. “Kau benar. Aku mungkin tidak percaya dan tidak akan bisa mempercayaimu!” Gadis itu tertawa, menatap luka menganga yang dibuatnya dari atas tubuh Ilucca. Rasanya seakan ia baru saja membalas rasa sakit ibunya dengan menusuk orang asing yang ia temui sore itu. Tapi tawanya tak bertahan lama. Saat Ilucca membuka matanya, Haejin terdiam dengan perasaan merinding dan terkejut luar biasa. Tempat ia menatap saat ini, kedua netra yang sempurna menatapnya, namun tak ada apa-apa di sana. Lelaki yang baru saja ditusuk Haejin dengan tangannya, tersenyum teduh. Lukanya perlahan berhenti mengalirkan darah, lalu tertutup sempurna seperti tak ada apapun yang menggoresnya beberapa detik lalu. “Maafkan aku, Nona Haejin. Aku lengah dan tidak melihat gerakan lincahmu. Aku membuatmu melihat sosok monster dengan mata cantikmu, tapi sang monster tak bisa melihat sosokmu yang cantik dengan mata hampanya.” *** Haejin berjalan pulang seorang diri, dengan langkah lemah seakan tak lagi memiliki semangat untuk hidup. Setelah pertemuannya dengan Ilucca, Haejin kembali menangis untuk waktu yang lama di pinggiran sungai. Entah kenapa, setelah mengetahui kebenaran tentang hal-hal yang tak ingin dipercayainya, perasaannya seperti balok-balok yang kembali runtuh setelah susah payah ditata. Mungkin saja lelaki bernama Ilucca itu tahu siapa yang membunuh ibunya, atau mungkin saja lelaki itulah yang membunuh ibunya. Haejin dibuat bimbang. Perasaan galau itu membuatnya susah mengambil keputusan, karena itulah dia membiarkan Ilucca pergi, dan meninggalkan belati pemberiannya agar dibawa oleh Haejin. “Cih! Jika dia memang benar pelakunya, akan terdengar lucu jika diceritakan ke orang-orang,” ujarnya seraya menendangi kerikil kecil yang kebetulan bertemu dengannya di jalan. “pembunuh itu menemuiku, memberiku senjata untuk membunuhnya tapi setelah itu, dia berkata seakan-akan dia tidak melakukannya.” Kurva menurun yang dibentuk bibirnya makin tajam melengkung. Saat ini, Haejin bahkan tak tahu apa yang bisa ia lakukan untuk membuat perasaan tak mengenakkan itu lenyap. Langkah kecil Haejin terhenti, seraya matanya menangkap sempurna sosok yang berdiri satu meter dari tempatnya berada. “B-Beomyu ...,” katanya, terbata. Baik dia dan Beomyu, tampak seperti sudah saling menemukan satu sama lain. Beomyu mengikis jarak, mendekati Haejin yang sepertinya sebentar lagi akan menangis hanya karena melihat sosoknya saja. Pemuda itu lantas menarik Haejin ke dalam pelukannya. “Maafkan aku, Haejin ...,” ucapnya dengan penuh rasa sesal. Haejin sebenarnya sudah lelah menangis. Tapi kehadiran Beomyu membuatnya berpikir jika ia masih memiliki satu tempat untuknya melepas dukanya, sebab ia tahu, Beomyu tidak akan meninggalkannya. “Beomyu ..., aku sangat merindukanmu.” Haejin menyerah, dia kembali menangis. “Maaf ..., maaf karena baru menemuimu sekarang. Sekarang, menangislah. Keluarkan air mata yang kau tahan untukku, kau sudah bisa membaginya denganku sekarang.” Makin kencang tangis Haejin dalam pelukan Beomyu. Sementara pemuda itu hanya bisa memeluknya seraya mengelus punggungnya dengan lembut. Dia erharap dirinya bisa mengurangi kesedihan gadis itu. Lumayan lama Haejin menangis. Hal itu membuatnya kelelahan dan sangat lapar. Karena itu, Beomyu membawa Haejin ke kedai tempat gadis itu bekerja yang kebetulan tak seberapa jauh dari tempat mereka bertemu. “Paman Pilsu, tolong buatkan gadis ini satu mangkuk ramyeon dan dua minuman hangat untukku dan dia, ya?” Beomyu memesan makanan, dan kembali ke tempat dirinya dan Haejin duduk. Karena mereka akan berbicara berdua saja, jadi sengaja untuk duduk di bagian teras kedai agar tak mengganggu maupun terganggu oleh pembeli lain. Ketika makanan yang dipesan sudah jadi, Haejin langsung memakannya. Sementara Beomyu hanya akan duduk diam, memandanginya dengan senyum penuh harapan. Harapan akan terus berlanjutnya hidup gadis itu seperti biasa, harapan akan dukanya segera berakhir dan dia kembali pada cahaya yang selama ini ia genggam. “Kau tidak harus memakannya dalam sekali suap, Haejin. Pelan-pelan saja,” ujar Beomyu, mengingatkan Haejin untuk tak makan tergesa-gesa. Haejin tidak melanjutkan makannya, dia meletakkan kembali sumpitnya dan menatap Beomyu. “Ada apa?” tanya Beomyu, tampak cemas jika saja Haejin berhenti makan karena ucapannya barusan. “Tidak ada apa-apa. Aku hanya sangat senang bisa melihatmu lagi.” Haejin mengatakannya dengan tulus, meski tanpa senyum mengiringinya. “Aku minta maaf karena menghilang saat kau membutuhkanku. Malam itu, tiba-tiba saja ayah datang dan membawaku beserta nenek untuk keluar dari rumah itu. Kami tinggal di atap yang sama lagi setelah sekian lama.” “Kau pasti sangat senang, kan?” “Iya, pastinya. Tapi aku tidak bisa tidur karena memikirkanmu.” “Terima kasih untuk itu.” “Aku berusaha keras untuk pergi menemuimu, tapi ayah bilang kalau aku tidak bisa keluar dulu untuk beberapa hari.” “Mengingatmu tidak masuk sekolah hari ini, apa saat ini kau sedang kabur?” Beomyu sedikit terkejut saat Haejin bertanya seperti itu. Dia segera menyanggah. “Tidak! Aku sudah meminta izin untuk menemuimu.” Haejin tersenyum tipis, senyum yang rasanya sudah lama sekali tidak Beomyu lihat. “Kenapa responsmu seperti aku sedang menuduhmu membunuh seseorang, Beomyu? Berlebihan sekali,” ucap Haejin, lalu ia kembali memakan ramyeon miliknya sampai habis. Beomyu tersenyum lega. Setelah menghabiskan makanannya, Haejin terdiam. Lama ia tak membuka suara, sampai Beomyu cemas jika saja sekarang hal-hal yang tak diinginkan sedang melintas di kepala gadis itu. Beomyu baru akan membuka mulutnya, dan gadis itu lebih dulu berkata. “Beomyu ..., kenapa ibuku tidak memberiku syair perpisahan dulu sebelum dia pergi?” Beomyu tertegun, tampak tak paham dengan pertanyaan yang seakan keluar begitu saja tanpa alasan. “E-eh? Syair perpisahan?” “Sebelum pergi, biasanya seseorang akan melakukan atau mengatakan hal berharga pada orang yang akan ditinggalkan. Tapi kenapa ibuku tidak? Jika memang akan pergi, setidaknya dia bisa mengelus rambutku dulu sebelum menutup matanya. Tapi dia bahkan pergi dengan tiba-tiba, tanpa memberiku kata-kata, dan tanpa memberiku kesempatan untuk berkata bahwa aku sangat menyayanginya.” Haejin mengembuskan napas dengan singkat, tampak rautnya kembali mendung setelah mengingat kematian ibunya. “Aku jadi merasa ada yang kurang, tapi aku tidak bisa menutupinya.” “Haejin ...,” Beomyu memanggilnya, membuat Haejin menatap wajahnya. “aku rasa ibumu sudah memberikannya ..., syair perpisahan itu ....” “Benarkah? Apa mungkin aku saja yang tidak mengingatnya?” “Kau tidak melupakannya, kau hanya belum mengingatnya saja.” Beomyu tersenyum, melenyapkan raut mendung Haejin hanya dengan memandang wajah yang indah itu. Lantas, dirinya menatap jalanan sepi di depan mereka. “Syair perpisahan setiap orang, dimulai saat mereka pertama kali bertemu. Mereka yang memiliki hubungan kuat, tentu akan memiliki syair perpisahan yang lebih panjang dari pada mereka yang hanya bertemu karena suatu urusan. Ibumu menulis syair perpisahannya ketika dia melahirkanmu, dan terus menuliskannya sampai saat terakhirnya mengingat dirimu. Judul syair perpisahan itu ..., kenangan.” Beomyu kembali menatap Haejin, dengan tatapan yang serius dan penuh harap akan tersampainya maksud ucapannya pada Haejin. “Kenangan itu syair yang panjang, namun memiliki kesan mendalam. Dia akan mengalun sewaktu-waktu, seperti lagu yang hidup di dalam kepalamu. Kenangan yang kau miliki bersama ibumu pastinya sangat banyak, juga menyenangkan. Karena itulah saat kau kehilangannya, syair perpisahan milik ibumu akan terdengar sangat menyakitkan.” “Apa kau juga memiliki syair perpisahan untukku, Beomyu?” “Tentu saja aku punya. Aku menulisnya saat pertama kali kita bertemu, saat pertama kali aku membangun kenangan bersamamu. Dan syair perpisahanku itu akan selesai saat terakhir kali aku mengingatmu.” Beomyu menjawabnya dengan sangat santai, seakan jika kehilangan dirinya, Haejin akan tetap baik-baik saja. “Kau mau meninggalkanku? Jangan, jangan tinggalkan aku. Aku hanya memilikimu di dunia ini, aku mungkin tidak tahu apa yang akan terjadi padaku nanti kalau aku sampai kehilanganmu juga, Beomyu.” “Bagiku, konsep kehidupan itu hanya; kita didatangi untuk ditinggalkan, dan datang untuk meninggalkan. Terdengar seakan kita memiliki sesuatu hanya untuk kehilangannya, tapi seperti itulah kehidupan.” Haejin membulatkan matanya secara spontan, terkejut akan ucapan Beomyu yang amat menyakitkan. Beomyu melanjutkan ucapannya. “Tapi karena kita akan ditinggalkan, meninggalkan dan kehilangan, setiap waktu dalam hidup akan menjadi sangat berharga. Seseorang akan sangat menghargai waktunya saat sedang melakukan hal yang ia suka, atau menghabiskan waktu dengan orang yang ia cintai. Ibumu sepertinya sangat memahami hal itu, Haejin.” Haejin menunduk, dan kembali datang keinginan untuk menangis. Tapi kala air mata itu hampir terjatuh, Beomyu menyentuh kepalanya, memberi rasa hangat dan nyaman di sana. “Meskipun menyakitkan, syair perpisahan yang ibumu berikan adalah satu-satunya hal berharga yang tersisa dari kehidupannya. Dia menulisnya bersamamu, dan itu pasti akan menjadi maha karya terbesar yang pernah ia buat.” Haejin mengangkat kepalanya, menatap Beomyu yang sedang tersenyum padanya. Beomyu melanjutkan kalimatnya. “Syair perpisahannya adalah lagu terakhir yang bisa ia nyanyikan untukmu, agar kau tidak menyerah dan berhenti menulis syair milikmu di tengah jalan. Karena itu, jangan menyerah, Haejin. Lanjutkan syair milikmu, bersamaku.” Rentetan kalimat itu menyentuh hati kecil Haejin, membuat sensasi hangat di sana namun itu juga menjadi alasannya untuk kembali tersenyum. “Hei, Beomyu .... Apa kalimat panjangmu tadi adalah bait terakhir syair perpisahan yang akan kau berikan padaku?”Malam itu sekitar pukul sebelas, Beomyu kembali ke kediaman ayahnya. Mungkin karena sudah malam, semua orang tak menyambutnya yang pergi sejak siang.Ketika Beomyu mengatakan ia tidak kabur hanya untuk menemui Haejin, dia memang berkata yang sebenarnya. Karena itu, rasanya lega sekali setelah kembali dan mengetahui Haejin baik-baik saja.Beomyu pergi menuju dapur, mungkin yang ia butuhkan saat ini adalah segelas air putih untuk menetralkan tubuhnya yang sedikit lelah. Tanpa berbasa-basi, ia segera membasahi tenggorokannya dengan air dan berniat untuk kembali ke kamar untuk istirahat.Tapi ketika melewati ruang makan, Beomyu berhenti saat sebuah suara memanggilnya dalam kegelapan.“Sudah pulang, Tuan Muda Beomyu?”Beomyu sempat terperanjat, dia tak menyangka jika ada seseorang yang duduk di sisi tergelap ruang makan itu, kursi yang berada di sisi paling ujung meja makan dan berseberangan dengannya berdiri saat ini. Beom
“Selamat pagi, Nona Yoon. Aku Choi Hyeonjun, salah satu dari detektif supernatural yang kebetulan tertarik dengan kasus kematian ibumu.”Haejin terdiam, cukup lama. Gurat bingung tampak kentara di wajahnya, dan lama pula lelaki bernama Hyeonjun itu terdiam sebab Haejin tak kunjung memberi respons atas apa yang baru saja ia ucapkan.Bertahan dalam kecanggungan, Hyeonjun akhirnya tersadar dan bergerak memberi Haejin sebuah kartu. Itu adalah kartu identitasnya sebagai seorang detektif, seperti yang dia katakan. Haejin membaca isi kartu identitas itu dengan konsentrasi penuh.“Detektif supernatural?” ucapnya, dengan nada bingung dan bertanya. “Aku baru mendengar yang seperti ini,” lanjut Haejin.“Ah, biar kujelaskan sedikit. Detektif supernatural adalah orang-orang yang bekerja untuk menangani kasus-kasus yang mungkin sudah tidak bisa ditangani lagi oleh para polisi. Biasanya, orang-orang yang meminta bantuan detektif supernatural adal
Ilucca bertopang dagu, dia menghadap Haejin seakan sedang menatap wajah gadis itu. Sementara Haejin, tampak ia masih diselimuti kebingungan akan ucapan yang dilontarkan Ilucca beberapa detik lalu.“Sudah kubilang, berhenti mengatakan hal-hal aneh!” tukas Haejin pada akhirnya. Dia yang merasa cukup meluangkan waktu untuk meladeni Ilucca, berpikir mungkin sudah saatnya kembali bekerja. Tapi saat dia akan bangkit dari kursi, Ilucca secepat kilat menahan tangannya.Haejin terkejut, sekaligus kembali mendaratkan bokongnya ke kursi dengan cukup keras. Tapi rasa nyeri itu sengaja ia abaikan, sebab melihat wajah Ilucca yang serius membuatnya berpikir akan ada hal berguna yang lelaki itu lontarkan.“Kau mau pergi dan membiarkan lelaki tampan ini duduk sendirian?” Mungkin tidak seharusnya Haejin mengharap sesuatu yang berharga keluar dari mulut lelaki itu. Dari tingkah dan ucapannya saja, sudah terlihat jika dia adalah pribadi yang senang mengerjai orang
HeejinHaejin pulang dengan diantar oleh Zakiel, dan saat ini gadis itu sudah berada di tempat kerjanya sejak setengah jam yang lalu.Haejin biasanya akan mulai bekerja sepulang sekolah sampai larut malam menjelang, tapi karena urusannya dengan Ilucca, dia jadi meminta sedikit waktu dan terlambat kerja.Kedai ramyeon dan Jajangmyeon tempatnya bekerja merupakan kedai yang lumayan terkenal di daerah sekitarnya. Kalau sudah seperti ini, Haejin akan mengabaikan segala hal dan fokus saja pada pekerjaannya melayani pelanggan dan menjadi kaki tangan koki di sana.“Nona Yoon, tolong berikan ini pada pelanggan di sebelah sana.” Haejin mengangguk, lalu dengan sigap menerima pesanan itu dan mengantarnya pada pemesan. Dia menuju meja paling ujung, dekat sudut ruangan yang biasanya tak banyak pelanggan suka untuk duduk di sana.Di sanalah, Haejin menghampiri pelanggannya yang tampak fokus membaca sesuatu dari sebuah buku
“Aaaaaaaakh!”Haejin menjerit kesakitan, kala taring tajam makhluk itu menembus kulit dan dagingnya. Terasa darahnya seakan mengalir cepat meninggalkan raganya, membuatnya tubuhnya perlahan terasa lemas. Ia menangis, menahan sakit dan tak ada yang menolongnya. Tapi meski demikian, masih ada saja pergerakan kecil untuk memberontak, seperti memukul agar gigitan itu terlepas, meski mustahil.Kini Haejin hanya bisa pasrah, tubuhnya melemas dan ia menatap ke langit. Di atas sana, bulan bersinar dengan terang. Indah sekali.Apa sesuatu yang menjadi hal terakhir yang dilihat, akan terasa lebih indah dari biasanya?Haejin tersenyum, merasa jika hidup malangnya adalah sebuah lakon lucu yang bisa ia tertawakan. Bagaimana bisa, Tuhan menulis kisah hidupnya dengan sangat menyedihkan?“Ah ..., ibu ....” ujar Haejin dengan lemah. Samar-samar ia mengingat wajah sang ibu, dan kesadaran yang memudar membuatnya berilusi jika senyum
Seperti yang sudah dikatakan, setelah merasa cukup untuk mengawasi Haejin dengan matanya sendiri, Ilucca akan menyerahkan tugas selanjutnya untuk dilaksanakan Zakiel. Lelaki itu sudah bersiap di sana, bahkan satu jam sebelum Ilucca meninggalkan rumah Haejin.Kini Zakiel bertugas untuk mengantar Haejin menuju sekolah, meski gadis itu sempat menolaknya dengan alasan ini adalah tindakan yang berlebihan. “Kau tidak perlu repot-repot melakukannya, Tuan Zakiel. Aku bisa pergi ke sekolah dengan kendaraan umum, seperti biasanya.” Haejin membuka percakapan pertama dengan Zakiel di hari itu, sebab ia merasa sudah melalui perjalanan dengan hening dan itu membuatnya merasa agak canggung.“Izinkan aku mengatakan sesuatu, Nona. Pertama, kau tidak perlu memanggilku dengan sebutan 'Tuan', Nona. Panggil saja aku dengan namaku.”“Ah ..., bolehkah?” tanya Haejin, sedikit melirik wajah serius Zakiel yang sedang menyetir mobil, “kupikir karena kau adalah makhluk ya
“Jadi, apa alasanmu memberikan tatapan terkejut seperti malam tadi, Nona?”Eimiris kembali tersentak kala perhatiannya dialihkan oleh pertanyaan mengejutkan dari Hyeonjun. Dia hanya terdiam, tak bisa menjawab. Sementara netranya menyelam dalam ke mata lelaki itu, mendapati bayangannya adalah satu-satunya hal yang ada di sana.Haejin juga menunggu jawaban Eimiris, namun wanita itu terlihat terlalu gugup untuk menjawab. Haruskah Haejin membantu?“Ah, Nona Eimiris, bisakah kau mengantarku ke tempat tuanmu berada saat ini?”Pada akhirnya, Haejin memutuskan untuk membantu wanita itu keluar dari tekanan yang membuatnya gugup, bukan membantunya mengatasi kegugupan itu. Perhatian Eimiris bergulir ke Haejin, dan dia segera berfokus pada tujuan awalnya datang ke sini, yaitu menjemput Haejin untuk pulang.“Kau tidak ingin kembali dulu ke rumah, Nona Yoon?” Haejin menjawabnya dengan gelengan.“Aku ingin menemui tuanmu
Kisah yang akan diceritakan ini, terjadi ribuan tahun yang lalu di sebuah daerah yang kini dinamai Inggris.Hari itu adalah hari yang mendung, cuaca tidak menyenangkan dengan redupnya bayangan dan angin berembus membuat merinding. Rasanya, pagi dan petang tak ada bedanya, tapi gelap tak akan menakutkan di mata mereka yang sudah akrab dengannya.Hutan lebat menjadi sebuah tempat yang tepat untuk melakukan perburuan. Berburu dan menemukan spesies hewan atau monster baru, pastinya akan sangat menyenangkan bagi yang menyukainya. Salah satu dari penyuka kegiatan berburu itu adalah Oliver Jes Verstellar.“Yang Mulia ..., apa tidak masalah jika kita tetap melanjutkan perburuan? Mendungnya semakin gelap, dan sebentar lagi mungkin akan hujan ....” Oliver tiada peduli. Dirinya terus berjalan, menembus lebatnya hutan seraya bergerak mengendap-endap. Seluruh inderanya hanya berfokus melakukan perburuan, dia memilih untuk mengabaikan ucapan salah satu prajurit penjaganya.
Sore sepulang sekolah, Haejin memutuskan untuk kembali ke tempat kerjanya. Kali ini dia akan menjalankan tugasnya sebagai pelayan toko kue yang baik dan ramah.Gadis dengan surai hitam yang selalu ia ikat rendah itu memakai apronnya, mulai membaur dengan tugasnya.Seperti biasanya, kafe yang menjadi tempatnya bekerja ini selalu ramai saat sore hari. Orang-orang memilih kafe dengan suasana seperti tempat ini untuk mencari ketenangan atau inspirasi.“Silakan nikmati pesanan anda ....” Seperti seseorang yang selalu berusaha untuk profesional terhadap apa yang dikerjakan, Haejin menunjukannya dengan baik. Dia ramah, kerjanya cepat, dan juga ... dia tidak pernah telat jika tidak ada urusan yang sangat mendadak dan penting. Jika dia seorang pegawai kantoran, dia pasti mendapat promosi untuk naik pangkat lebih cepat dari pegawai lainnya.Ilucca tidak tahu sejak kapan merasakan kehadiran Haejin m
“Selamat pagi, Nona Haejin.”Haejin baru saja selesai bersiap, dia membuka pintu dan disambut sapaan selamat pagi dari Zakiel yang entah sejak kapan sudah berada di sana.“Selamat pagi, Zakiel ....” Tak ada alasan bagi Haejin untuk tak membalasnya dengan senyuman. Tapi sedetik setelahnya, ia kembali teringat dengan cerita Eimiris malam tadi.Astaga, dia jadi merasa puluhan kali lebih iba saat melihat tatapan mata Zakiel. Itu pasti sulit untuknya, hidup ribuan tahun terikat dengan rasa menyesal yang amat dalam.“Ada apa, Nona?” Meski ada banyak hal yang ingin ia bicarakan pada Zakiel, namun mengingat kembali waktu yang dia miliki, Haejin urung. Dia akan berbicara lagi tapi itu nanti, setelah dirinya selesai sekolah atau bekerja.Haejin menggeleng, lalu masuk ke mobil. Dia cukup tenang pagi ini, sebab otaknya masih sibuk memikirkan cerita tak masuk akal yang didengarnya kemarin.“Kenapa kisah kalian se
Selepas mendengar cerita keseluruhan tentang asal mula hubungannya dengan kaum vampir serta sejarah tentang peperangan tiga kaum, Haejin memutuskan untuk kembali. Sebenarnya dia belum merasa puas di beberapa poin, tapi Ilucca memintanya untuk pulang sebab akan sangat lama jika Ilucca harus memberikan pengertian tambahan tentang beberapa hal yang belum gadis itu pahami. Tentu saja Haejin pulang dengan Zakiel yang mengantarnya. Zakiel tidak mau mengambil risiko besar jika saja percobaan pembunuhan terhadap Haejin akan kembali terjadi di masa depan. Dia harus memastikan gadis itu selamat, sebab keberadaan Haejin adalah satu-satunya kunci untuk memenangkan Skyfall nantinya. Sejak perjalanan bermula, hening yang setia mengitari keduanya. Tak ada percakapan, yang terdengar hanya suara lembut mesin mobil dan kendaraan-kendaraan lain yang berpapasan dengan tumpangan mereka. Sepanjang perjalanan, yang Haejin lakukan hanya m
Hubungan yang mulai membaik antara manusia dan makhluk penghisap darah, nyatanya tak berlangsung lama sesuai apa yang diharapkan Oliver dan Victor.Karena enam bulan setelah perayaan kelahiran anak Oliver, berita mengejutkan datang dari sudut Kota Thetia yang ramai dan menjadi pusat perdagangan Verstellar.Telah ditemukan seorang mayat pemuda yang meninggal dalam keadaan sangat pucat dan kurus. Tubuhnya bahkan lebih terlihat seperti mayat yang diawetkan, kendati kematiannya hanya terjadi dalam waktu semalam.Yang lebih mencengangkan lagi, terdapat luka gigitan taring tajam di lehernya dan diduga dari luka itulah, darahnya dihisap habis.Tuduhan langsung mengarah pada Kerajaan Lucretia, sebagai satu-satunya kerajaan bagi para makhluk yang hidup dengan menghisap darah manusia.Victor, sebagai sang raja, tentunya menyangkal tuduhan tersebut. Ia memberi rakyatnya kepercayaan yang besar, dan itu pun sudah dibuktikan puluhan tahun lamanya. Tidak ada rakyat Lu
“Sepertinya tidak ada yang berubah sejak kutinggal pergi ....”Itu adalah kalimat pertama yang Oliver ucap sesaat setelah memasuki kembali istana kebanggannya. Seluruh orang yang ada di Verstellar terkejut, dan tentunya merasa senang. Raja mereka telah kembali, raja mereka pulang untuk memimpin dan mengayomi rakyat-rakyatnya.“Yang Mulia!” Suara teriakan yang memanggilnya menggema di aula istana Gimera. Oliver menoleh, melihat sang istri berlari dari ujung pintu utama, berhambur memeluknya. Tangis wanita itu pecah, menandakan betapa ia sangat merasa bahagia melihat suaminya pulang dalam keadaan selamat.“Syukurlah, Yang Mulia ..., syukurlah,” ujarnya, menangis bahagia. Oliver hanya tertawa, dalam hati ia merasakan rindu yang sama.“Lama tak berjumpa, Sabrina,” balas Oliver, membuat wanitanya kembali memeluk erat sang badan seakan tak ingin berpisah kembali.“Yang Mulia, apa kau sudah mendengarnya? Ibu kota kita, Thetia, diserang oleh sekelompok monster
“Me-mencari darah?” Oliver bertanya dengan gagap, entah mengapa ia merasa sedikit ngeri. Bagaimanapun juga, yang sedang dia ajak bicara saat ini adalah seorang vampir, monster penghisap darah yang sering digosipkan orang-orang di sekitarnya.Victor tak menjawab, dia merespons dengan suara tawa pelan. “Kau takut aku akan menghisap darahmu?” ia bertanya, dan Oliver hanya membulatkan mata sekilas. Bukan maksud ingin berburuk sangka, Oliver hanya berjaga-jaga jika saja sifat buas yang sering dibicarakan dari mulut ke mulut itu benar adanya. Victor menambahkan, “Aku tidak meminum darah manusia selancang itu.”Oliver termangu, menunggu kelanjutan ucapan Victor. “Kami, khususnya yang berada di kasta bangsawan, dilarang keras untuk meminum darah manusia langsung. Itu sama saja dengan membunuh manusia yang tak bersalah, jika disamakan dengan hukum para manusia sepertimu.”“Lalu, bagaimana kau mendapatkan darah untuk diminum?”
Kisah yang akan diceritakan ini, terjadi ribuan tahun yang lalu di sebuah daerah yang kini dinamai Inggris.Hari itu adalah hari yang mendung, cuaca tidak menyenangkan dengan redupnya bayangan dan angin berembus membuat merinding. Rasanya, pagi dan petang tak ada bedanya, tapi gelap tak akan menakutkan di mata mereka yang sudah akrab dengannya.Hutan lebat menjadi sebuah tempat yang tepat untuk melakukan perburuan. Berburu dan menemukan spesies hewan atau monster baru, pastinya akan sangat menyenangkan bagi yang menyukainya. Salah satu dari penyuka kegiatan berburu itu adalah Oliver Jes Verstellar.“Yang Mulia ..., apa tidak masalah jika kita tetap melanjutkan perburuan? Mendungnya semakin gelap, dan sebentar lagi mungkin akan hujan ....” Oliver tiada peduli. Dirinya terus berjalan, menembus lebatnya hutan seraya bergerak mengendap-endap. Seluruh inderanya hanya berfokus melakukan perburuan, dia memilih untuk mengabaikan ucapan salah satu prajurit penjaganya.
“Jadi, apa alasanmu memberikan tatapan terkejut seperti malam tadi, Nona?”Eimiris kembali tersentak kala perhatiannya dialihkan oleh pertanyaan mengejutkan dari Hyeonjun. Dia hanya terdiam, tak bisa menjawab. Sementara netranya menyelam dalam ke mata lelaki itu, mendapati bayangannya adalah satu-satunya hal yang ada di sana.Haejin juga menunggu jawaban Eimiris, namun wanita itu terlihat terlalu gugup untuk menjawab. Haruskah Haejin membantu?“Ah, Nona Eimiris, bisakah kau mengantarku ke tempat tuanmu berada saat ini?”Pada akhirnya, Haejin memutuskan untuk membantu wanita itu keluar dari tekanan yang membuatnya gugup, bukan membantunya mengatasi kegugupan itu. Perhatian Eimiris bergulir ke Haejin, dan dia segera berfokus pada tujuan awalnya datang ke sini, yaitu menjemput Haejin untuk pulang.“Kau tidak ingin kembali dulu ke rumah, Nona Yoon?” Haejin menjawabnya dengan gelengan.“Aku ingin menemui tuanmu
Seperti yang sudah dikatakan, setelah merasa cukup untuk mengawasi Haejin dengan matanya sendiri, Ilucca akan menyerahkan tugas selanjutnya untuk dilaksanakan Zakiel. Lelaki itu sudah bersiap di sana, bahkan satu jam sebelum Ilucca meninggalkan rumah Haejin.Kini Zakiel bertugas untuk mengantar Haejin menuju sekolah, meski gadis itu sempat menolaknya dengan alasan ini adalah tindakan yang berlebihan. “Kau tidak perlu repot-repot melakukannya, Tuan Zakiel. Aku bisa pergi ke sekolah dengan kendaraan umum, seperti biasanya.” Haejin membuka percakapan pertama dengan Zakiel di hari itu, sebab ia merasa sudah melalui perjalanan dengan hening dan itu membuatnya merasa agak canggung.“Izinkan aku mengatakan sesuatu, Nona. Pertama, kau tidak perlu memanggilku dengan sebutan 'Tuan', Nona. Panggil saja aku dengan namaku.”“Ah ..., bolehkah?” tanya Haejin, sedikit melirik wajah serius Zakiel yang sedang menyetir mobil, “kupikir karena kau adalah makhluk ya