"Ini ada semut di atas kepalamu, takutnya nanti masuk ke mata."Aku hanya tersenyum malu melihat tingkahku barusan. Kemudian dia melajukan mobilnya melewati perumahan komplek yang begitu hening dan tenang. Hanya ada beberapa kendaraan roda empat yang melintas."Ayok, kita ke sana!" ajaknya dengan berjalan di sampingku dan mengimbangi langkahku yang pelan."Ratna, kamu mau makan apa? Kamu pilih apa saja yang kamu suka, gak usah malu!" Ia menyodorkan buku menu yang sudah tersedia di meja."Mas, samain aja menunya. Cepat ya gak pake lama!" Ia menatap ke arah pelayan itu yang sedang mencatat riques kami. "Ratna, apa kamu pernah dibawa ke sini oleh Febi?" "Enggak pernah, Mas Febi gak pernah mengajakku makan di luar," cicitku kesal."Masa, sih? Ini kan tempat favoritnya, dia sering ngajak aku ke sini. Kadang juga ngajak yang lainnya," "Mungkin dia malu mengajakku ke sini, dengan penampilanku yang udik ini," cebikku dengan wajah tertunduk pilu."Bukannya waktu itu kamu diajak Febi ke caf
"Ratna, apa kamu pernah memakaikan dasi untuk Febi?" Tatapannya seakan tak sabar menanti jawaban dariku. Isshh ... kebiasaan banget deh, selalu nanyain soal Febi. Orang dah sering aku bilang juga kalau pernikahanku itu pernikahan semu. Jadi, gak melakukan rutinitas seperti pasangan suami istri pada umumnya."Gak pernah." Aku masih fokus menatap lurus tepat di dada kekarnya."Jadi, aku orang pertama yang kamu pakaikan dasi?" Ia menaikkan kedua alisnya saat aku menatapnya sekilas."Sudah, Mas." Tanganku beralih menata kerah kemejanya. Aku mundur tiga langkah menjauh darinya."Ok, terima kasih ya. Aku langsung jalan sekarang. Kamu tolong, beresin kamar ini dan juga ruangan kerjaku! Kamu gak perlu bantuin di bawah, semua sudah ada tugasnya masing-masing!" tukasnya penuh penekanan dengan wajah yang serius.Segera aku meraih tas kerjanya yang sudah aku siapkan tadi dan menyerahkan padanya."Kamu bawa tas itu dan anterkan aku sampai ke depan!" titahnya dengan tersenyum tipis. Aku menatapn
"Diam, tetap seperti ini. Aku butuh kehangatan, aku menginginkan ini!" Suarnya terdengar seperti orang mengigau.Setelah berpikir sejenak, tanganku meraba lehernya ternyata panas banget. Berarti dia demam tinggi."Mas, badanmu panas banget. Kamu tunggu di sini dulu ya, biar aku buatkan teh hangat sekalian mau bilangin kepala pelayan biar dipanggilkan dokter sekarang!" Aku segera mengurai paksa pelukannya dan menyuruhnya berbaring di kasur. Matanya yang terpejam dengan mulut yang bergetar.Aku beranjak meninggalkannya sendiri di kasur dan bergegas keluar dari kamar menuruni anak tangga dengan langkah cepat. Netraku menyisir mencari keberadaan Kepala Pelayan yang biasa menangani semua urusan di sini. "Pak, itu ...," ucapku terhenti seraya mengatur napas yang tersengal-sengal akibat lari ke sana ke mari."Ratna, ada apa? Bicara pelan-pelan, atur napas dulu!" tukasnya dengan raut muka penuh telisik."Mas Very badannya panas banget sampe-sampe dia ngigau, Pak. Tolong , panggilkan Dokter s
"Mas, apa yang kamu lakukan padaku? Kenapa kamu ...." Aku menarik diri dan segera menjauh dari hadapannya. Dengan tatapan penuh telisik, aku mencoba menyelami perasaannya lewat sorotan matanya."Kenapa? Apa kamu gak suka menerima ciuman dari lelaki tampan sepertiku? Bukankah kamu tak pernah mendapatkannya dari Febi?" Dia mengernyitkan dahinya dan duduk anteng di atas ranjangnya."Tapi kamu bukan suamiku, gak seharusnya kamu melakukan ini padaku. Aku gak mau terkesan hina di mata semua lelaki, apa kamu selalu begitu kepada semua cewek?" Aku bergeming dengan perasaan yang pilu, merasa diri ini tak berharga hingga mudahnya lelaki menciumku."Maafin aku, Ratna. Bukan maksudku merendahkanmu, tapi ini murni dari perasaanku yang memang tertarik denganmu. Aku bukan lelaki yang seperti itu, kalau aku gak suka dan gak ada rasa, aku tak mungkin melakukannya." Ia segera beranjak dari ranjang dan jalan mendekatiku.Dengan penuh penyesalan dia meminta maaf.Ia menangkupkan kedua tangannya di dada.
Lama terdiam menahan malu dengan wajah tertunduk. Rasanya tak berani untuk sekedar mengangkat wajah. "Sudah, gak usah baper gitu. Aaa ...," tegurnya, tangannya menepuk bahuku."Eeh, i_iya, Mas, maaf," ucapku canggung, tanganku segera mengarahkan suapan ke mulutnya. Aku menaroh piring itu di atas meja kecil, dan mengambil obat yang harus diminum sekarang. Tak lupa sekalian mengambil air putih untuknya. Setelah selesai tugas ini, aku beranjak keluar untuk mencuci piring kotor ke lantai bawah."Ratna, jangan lama-lama! Cepat kembali ke sini, aku ada perlu sama kamu!" titahnya dengan penuh penekanan. "Iya, Mas, aku cuma mau naroh piring," jawabku sambil beranjak keluar lalu menutup pintu kamar kembali. Saat sudah berada di ruang dapur yang cukup luas untuk ukuran dapur, nampak Bibi sedang mencuci piring.Tanganku menggeser badannya dan meraih piring kotor di wastafel, aku menggantikan posisinya."Sini, Bi, biar aku saja yang mencuci. Bibi duduk saja dulu, kasihan kan, dari pagi sudah
"Fe_bi, mau ke sini kok, gak bilang-bilang?!" tegur lelaki berhidung mancung yang kini duduk di sebelahku. "Mas, sudah cukup! Gak enak ada Mas Febi!" desisku dengan mengeratkan gigi sembari mengedipkan mata sebagai kode agar ia berhenti menyuapiku."Udah, diam!" balasnya. Dan aku pun tak bisa berkutik, hanya menuruti perintahnya."Eh, i_ya, gue gak sempat telefon loe soalnya buru-buru. Tadi pagi Sekertaris loe bilang katanya loe lagi sakit, gue jadi khawatir. Makanya gue ke sini mau besuk loe. Tapi, sekarang gue lihat loe baik-baik aja, malahan tambah seger!" Ia menjatuhkan bobotnya di atas sofa yang sendiri, menyandarkan punggungnya ke belakang dan menyilangkan kedua kakinya."Kemarin pulang kerja, badan gue menggigil banget, kepala juga pusing. Gue meriang, soalnya kemarin itu pas jam 12 siang gue belum sempat makan, eh, keburu ada klien yang sudah ada janji dari kemarin-kemarin mau meeting bahas proyek yang di daerah Senen itu loh, Feb sampe sore. Perut kosong ditambah kerjaan
Tak lama aku segera menarik diri, mengurai pelukannya takut ada yang lihat nanti bisa jadi masalah. Aku mengusap air mata yang jatuh dengan ujung jilbabku.Lelaki yang kini masih duduk di sisiku menatapku lekat dengan tatapan yang peduli, seakan dia mengerti kesedihanku."Ratna, aku mau ke bawah nemui Mamah , kamu istirahat dulu, gih! Nanti kalau aku ada perlu baru aku panggil," tukasnya lembut, ia beranjak lalu segera keluar dari kamar. Dan aku pun pergi hendak masuk ke kamar.Tatapanku mengedar ke segala arah, otakku berselancar memikirkan berbagai hal. Tiba-tiba dering ponsel membuyarkan angan dan lamunanku, itu adalah suara nada pesan masuk. Aku segera meraih benda pipih itu yang aku geletakkan sembarangan di atas kasur.{"Ratna, gimana kabarmu? Apa kamu baik-baik saja?} Pesan itu dari Papinya Mas Febi, iya, Beliau mantan mertuaku. Beliau begitu baik dan perhatian sama aku sudah seperti orang tuaku sendiri.{"Aku baik, Pih, Alhamdulillah. Papi sendiri gimana, sehat?} balasku.{
"Maksudnya Mas Very ...." Hatiku mencelos mendengarnya, apa aku gak salah dengar? Harusnya aku senang mendengarnya karena aku pun punya rasa yang sama. Tapi aku takut kejadian kemarin terulang, rasanya aku belum siap untuk terluka lagi."Iya, Ratna, aku mencintaimu dari dulu higga sekarang." Ia beranjak dari duduknya lalu berjalan mondar-mandir di depanku, kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celananya.Dia bercerita kalau dirinya sudah tiga tahun menjomblo, itu pun dia pacaran bukan untuk dibawa serius. Dia bilang kalau dia dari dulu mencintaiku semenjak kami tinggal di kampung dan sekolah bareng lalu terpisah karena kita sama-sama pindah. Dan hingga kini katanya dia masih mencintaiku dan berharap kami bisa bertemu lagi. Tanpa diduga doanya terkabul dan kini kami berjumpa lagi. Aku gak mau berharap banyak pada lelaki mapan. Takut diri ini menjadi bahan olokan lagi yang nantinya aku membuatku terluka."Ratna, apa kamu mau jadi pendamping hidupku?" Ia berhenti tepat di depanku
Hari-hari setelah melahirkanAku, Ratna, terbaring di ranjang rumahku yang terasa lebih hangat dari sebelumnya. Rasanya tubuhku masih sangat lelah setelah proses melahirkan yang begitu panjang dan menguras tenaga. Namun, ada sesuatu yang membuatku merasa lebih hidup dari sebelumnya—sebuah kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata. Putra pertama kami, Amran Zakir Pratama, kini ada di dunia ini, dengan wajah yang begitu mirip dengan suamiku. Rasanya sulit untuk mempercayai bahwa aku, Ratna, kini menjadi seorang ibu.Dari tempat tidurku, aku bisa melihat Very, suamiku, yang duduk di sampingku dengan senyum bangga terpancar di wajahnya. Matanya penuh dengan kasih sayang, dan setiap kali ia menatapku, aku merasa seperti menjadi pusat dunia ini.“Sayang, kamu nggak capek kan?” tanya Very lembut, tangannya mengelus lembut rambutku yang acak-acakan. Ia selalu begitu perhatian, dan saat itu aku merasa betul-betul dimanjakan.Aku tersenyum lemah, meski masih kelelahan. “Sedi
Malam yang MengusikAku sedang duduk di sofa ruang keluarga, menonton acara favorit di TV sambil menikmati sisa malam yang tenang. Very, suamiku, duduk di sebelahku sambil memainkan ponselnya. Bi Sukma, asisten rumah tangga kami, baru saja selesai merapikan dapur. Di luar, suasana sunyi, hanya suara jangkrik yang samar terdengar.Namun, ketenangan itu terusik ketika suara bel pintu berbunyi. Very mengangkat kepala, menatapku sejenak sebelum akhirnya bangkit dengan malas.“Aku yang buka,” katanya sambil melangkah menuju pintu.Aku mengangguk sambil mengalihkan pandangan kembali ke TV. Tak lama, aku mendengar suara familiar dari arah pintu."Febi? Malam-malam begini, ada apa?" tanya Very dengan nada heran.Aku melirik sekilas. Febi, sahabat Very, berdiri di depan pintu dengan wajah yang tampak kusut."Gue lagi suntuk banget di rumah, Ver," kata Febi setelah melangkah masuk. "Amel lagi sensitif, bawaannya marah-marah terus. Gue nggak tahu mau ngomong sama siapa, jadi gue ke sini aja."Ve
Aku melangkah keluar dari kamar tidur, menyusuri lantai marmer yang dingin menuju ruang tengah. Rumah ini terasa begitu luas, terlalu besar untuk hanya aku tempati bersama Mas Veri. Tapi aku tak bisa memungkiri, aku mencintai setiap sudutnya. Cahaya matahari pagi masuk menembus jendela besar yang menghadap taman belakang, memberikan nuansa hangat pada ruangan.“Ratna, mau sarapan apa hari ini, Nak?” suara lembut Bi Sukma terdengar dari dapur.Aku tersenyum dan melangkah mendekat. Bi Sukma sudah sibuk dengan apron merah mudanya, memotong buah di meja dapur. Kehadirannya di sini membuatku merasa lebih nyaman, seolah aku punya ibu kedua yang selalu siap menemani.“Apa aja yang ringan, Bi. Aku nggak terlalu lapar. Toast sama teh aja, ya,” jawabku sambil mengambil kursi di meja makan.Bi Sukma tersenyum lembut, wajahnya penuh kehangatan. “Baik, Nak. Veri nggak bilang mau makan di rumah?”Aku menggeleng. “Kayaknya enggak. Biasanya dia makan siang di kantor.”Bi Sukma mengangguk. “Syukurlah
Hari ini adalah hari besar untukku dan suamiku. Setelah menabung bertahun-tahun dan kerja kerasnya sebagai seorang CEO, kami akhirnya bisa pindah ke rumah baru. Rumah megah di kawasan elit, lengkap dengan halaman luas dan interior serba mewah. Aku memandangi pintu besar di depanku dengan campuran rasa bahagia dan gugup. Rasanya seperti mimpi.“Ratna, ayo masuk,” panggil Mas Very, membuyarkan lamunanku.Aku tersenyum dan melangkah masuk, disambut oleh keramaian suara keluarga dan rekan-rekan Mas Very yang ikut membantu hari ini. Semua barang sudah tertata rapi, seperti yang sudah kami rencanakan sebelumnya. Bahkan aroma harum bunga segar dari vas di ruang tamu sudah mengisi ruangan.Acara syukuran dimulai dengan doa yang dipandu oleh Pak Kyai setempat. Suaranya lembut dan penuh khidmat, memohonkan kedamaian dan keselamatan untuk rumah ini dan semua yang tinggal di dalamnya. Aku mengatupkan kedua tanganku di atas perutku yang sudah membesar, merasakan tendangan lembut dari bayi kami."
“Kerja terus malam-malam begini, Mas?” tanyaku sambil melirik ponselnya.Mas Very hanya tersenyum sekilas. "Iya, ada laporan yang harus kukirim."Namun, ponselnya tiba-tiba bergetar. Di layar, aku sempat melihat nama Arina muncul sebelum dia buru-buru mengangkatnya. Jantungku berdegup lebih cepat. Siapa dia? Kenapa menelepon suamiku selarut ini?Aku mencoba memasang wajah biasa saja, tapi sulit. Rasa cemburu menjalar pelan-pelan di hatiku. Kuamati cara Mas Very berbicara—nada suaranya rendah, seolah tidak ingin aku mendengar.Setelah dia selesai, aku langsung menyelidik, "Arina? Siapa itu, Mas?"Mas Very menatapku dengan tenang, lalu tertawa kecil sambil mengacak rambutku. "Sayang, jangan cemburu, dong. Itu Arina, karyawati di kantor. Dia cuma mau memastikan soal dokumen untuk besok."Aku tidak yakin. "Tapi, kenapa harus malam-malam begini? Kan, bisa besok pagi di kantor."Melihat ekspresiku yang berubah, Mas Very segera memelukku erat. "Sayangku, kamu lagi bawa dede bayi, ya, jadi se
Aku duduk di sofa ruang tamu, menatap jam di tanganku yang berdetak lambat. Sudah lima belas menit sejak aku mengirim pesan kepada Mas Very. Aku tahu dia pasti sedang bergegas pulang, apalagi sejak aku memasuki trimester terakhir kehamilan. Mas Very selalu khawatir dan memastikan aku tidak terlalu banyak beraktivitas.Pintu depan terbuka perlahan, dan aku mendengar langkah kaki yang sangat kukenal. "Ratna?" panggilnya dengan suara lembut."Aku di sini," jawabku, mencoba terdengar biasa saja meskipun dadaku terasa sesak karena capek.Mas Very langsung menghampiri, duduk di sampingku sambil memperhatikan wajahku yang mungkin terlihat tegang. "Kenapa? Kamu kelihatan aneh," tanyanya, menggenggam tanganku dengan erat. "Kamu capek?"Aku menggeleng pelan, memutuskan untuk jujur. "Tadi Febi ngajak ketemu."Alisnya langsung bertaut. "Febi? Mantan suami kamu?" Nada suaranya berubah, terdengar waspada sekaligus cemburu."Dia bilang sesuatu yang ... bikin aku bingung." Aku menunduk, menghindari t
Rumah Baru untuk Kebahagiaan BaruMatahari sore memancarkan sinar keemasan, memberikan suasana hangat di sekitar kawasan elit yang penuh dengan rumah-rumah mewah. Di antara bangunan megah itu, Very menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah besar dengan desain modern. Ratna, istrinya yang sedang hamil tujuh bulan, duduk di sampingnya dengan raut wajah penuh penasaran."Ini rumahnya, Sayang," kata Very sambil tersenyum hangat. Ia turun dari mobil lalu membuka pintu untuk Ratna.Ratna keluar dengan perlahan, tangannya memegang perut yang mulai membesar. "Ini ... rumah kita?" tanyanya dengan nada tak percaya.Very mengangguk, matanya berbinar-binar melihat ekspresi kagum di wajah istrinya. "Iya, untuk kamu dan calon anak kita. Kamu suka?"Ratna terdiam sejenak, matanya menjelajahi setiap sudut rumah yang terlihat megah bahkan dari luar. "Suka? Aku ... aku bahkan nggak tahu harus ngomong apa. Ini luar biasa, Mas Very. Kamu benar-benar serius melakukan ini semua untukku?"Very mendekat d
"Sayang, Mas sudah siapkan rumah buat keluarga kecil kita yang agak besaran biar nanti kalau dedenya sudah lahir bisa leluasa maen." Lelaki yang sebentar lagi mau jadi Ayah begitu antusias bercerita sambil terus mengelus perutku yang sudah mulai membuncit."Ngapain sih, Mas beli rumah lagi? Di sini juga kan, enak dan cukup buat keluarga kecil kita?!" Tanganku mengelus kepalanya yang masih fokus dan gak mau lepas dari perutku ini. Dia terus menciumi dede yang masih dalam kandunganku seakan tak sabar menunggu kehadirannya."Rumah ini terlalu kecil buat anak kita maen, sayang. Yang pasti nanti anak kita bakal berlarian ke sana ke mari, dan itu membutuhkan tempat yang cukup luas serta perlu kamar khusus buat tempat maen." Wajahnya didongakkan menghadapku sambil menjawil daguku gemas."Ya, sudah terserah Mas saja," balasku pasrah."Nah, gitu dong. Masa CEO properti rumahnya kecil dan jelek, malu dong," sanggahnya.Aku senang mendengarnya, suamiku ternyata begitu perhatian dan peduli sama a
"Gue ngerasa jenuh dan bosan ngejalani rumah tangga yang kayak gini, gak ada warna." Ia menjambak rambutnya kasar, kecewa terpancar jelas dari wajahnya."Kenapa loe ngomongnya gitu? Itu kan, keputusan dan pilihan loe sendiri? Kenapa mesti bosan?" Very menatap lekat wajah sang sahabat. Ia ikut merasakan apa yang ia rasakan."Iya, sih, memang. Cuma dulu waktu masih pacaran semua terasa indah dan menyenangkan, karena Amel bisa membuat gue merasa nyaman berada di sisinya. Tapi setelah nikah keadaan berubah, Amel jadi wanita yang membosanku. Sikapnya yang jutek dan kasar membuat gue jengah dan muak. Dan juga dia banyak menuntut ini dan itu yang sekiranya di luar batas kemampuan." Sang pelayan kantin datang membawa makanan yang mereka pesan. Sambil makan mereka terus bercerita, saling tukar pengalamannya selama menikah tanpa ada yang ditutup-tutupi karena mereka bersahabat sudah lama. Sudah tak ada lagi kata malu atau canggung."Ya, itu karena loe dalam menilai cewek dari parasnya dulu, ga