"Ratna, apa kamu pernah memakaikan dasi untuk Febi?" Tatapannya seakan tak sabar menanti jawaban dariku. Isshh ... kebiasaan banget deh, selalu nanyain soal Febi. Orang dah sering aku bilang juga kalau pernikahanku itu pernikahan semu. Jadi, gak melakukan rutinitas seperti pasangan suami istri pada umumnya."Gak pernah." Aku masih fokus menatap lurus tepat di dada kekarnya."Jadi, aku orang pertama yang kamu pakaikan dasi?" Ia menaikkan kedua alisnya saat aku menatapnya sekilas."Sudah, Mas." Tanganku beralih menata kerah kemejanya. Aku mundur tiga langkah menjauh darinya."Ok, terima kasih ya. Aku langsung jalan sekarang. Kamu tolong, beresin kamar ini dan juga ruangan kerjaku! Kamu gak perlu bantuin di bawah, semua sudah ada tugasnya masing-masing!" tukasnya penuh penekanan dengan wajah yang serius.Segera aku meraih tas kerjanya yang sudah aku siapkan tadi dan menyerahkan padanya."Kamu bawa tas itu dan anterkan aku sampai ke depan!" titahnya dengan tersenyum tipis. Aku menatapn
"Diam, tetap seperti ini. Aku butuh kehangatan, aku menginginkan ini!" Suarnya terdengar seperti orang mengigau.Setelah berpikir sejenak, tanganku meraba lehernya ternyata panas banget. Berarti dia demam tinggi."Mas, badanmu panas banget. Kamu tunggu di sini dulu ya, biar aku buatkan teh hangat sekalian mau bilangin kepala pelayan biar dipanggilkan dokter sekarang!" Aku segera mengurai paksa pelukannya dan menyuruhnya berbaring di kasur. Matanya yang terpejam dengan mulut yang bergetar.Aku beranjak meninggalkannya sendiri di kasur dan bergegas keluar dari kamar menuruni anak tangga dengan langkah cepat. Netraku menyisir mencari keberadaan Kepala Pelayan yang biasa menangani semua urusan di sini. "Pak, itu ...," ucapku terhenti seraya mengatur napas yang tersengal-sengal akibat lari ke sana ke mari."Ratna, ada apa? Bicara pelan-pelan, atur napas dulu!" tukasnya dengan raut muka penuh telisik."Mas Very badannya panas banget sampe-sampe dia ngigau, Pak. Tolong , panggilkan Dokter s
"Mas, apa yang kamu lakukan padaku? Kenapa kamu ...." Aku menarik diri dan segera menjauh dari hadapannya. Dengan tatapan penuh telisik, aku mencoba menyelami perasaannya lewat sorotan matanya."Kenapa? Apa kamu gak suka menerima ciuman dari lelaki tampan sepertiku? Bukankah kamu tak pernah mendapatkannya dari Febi?" Dia mengernyitkan dahinya dan duduk anteng di atas ranjangnya."Tapi kamu bukan suamiku, gak seharusnya kamu melakukan ini padaku. Aku gak mau terkesan hina di mata semua lelaki, apa kamu selalu begitu kepada semua cewek?" Aku bergeming dengan perasaan yang pilu, merasa diri ini tak berharga hingga mudahnya lelaki menciumku."Maafin aku, Ratna. Bukan maksudku merendahkanmu, tapi ini murni dari perasaanku yang memang tertarik denganmu. Aku bukan lelaki yang seperti itu, kalau aku gak suka dan gak ada rasa, aku tak mungkin melakukannya." Ia segera beranjak dari ranjang dan jalan mendekatiku.Dengan penuh penyesalan dia meminta maaf.Ia menangkupkan kedua tangannya di dada.
Lama terdiam menahan malu dengan wajah tertunduk. Rasanya tak berani untuk sekedar mengangkat wajah. "Sudah, gak usah baper gitu. Aaa ...," tegurnya, tangannya menepuk bahuku."Eeh, i_iya, Mas, maaf," ucapku canggung, tanganku segera mengarahkan suapan ke mulutnya. Aku menaroh piring itu di atas meja kecil, dan mengambil obat yang harus diminum sekarang. Tak lupa sekalian mengambil air putih untuknya. Setelah selesai tugas ini, aku beranjak keluar untuk mencuci piring kotor ke lantai bawah."Ratna, jangan lama-lama! Cepat kembali ke sini, aku ada perlu sama kamu!" titahnya dengan penuh penekanan. "Iya, Mas, aku cuma mau naroh piring," jawabku sambil beranjak keluar lalu menutup pintu kamar kembali. Saat sudah berada di ruang dapur yang cukup luas untuk ukuran dapur, nampak Bibi sedang mencuci piring.Tanganku menggeser badannya dan meraih piring kotor di wastafel, aku menggantikan posisinya."Sini, Bi, biar aku saja yang mencuci. Bibi duduk saja dulu, kasihan kan, dari pagi sudah
"Fe_bi, mau ke sini kok, gak bilang-bilang?!" tegur lelaki berhidung mancung yang kini duduk di sebelahku. "Mas, sudah cukup! Gak enak ada Mas Febi!" desisku dengan mengeratkan gigi sembari mengedipkan mata sebagai kode agar ia berhenti menyuapiku."Udah, diam!" balasnya. Dan aku pun tak bisa berkutik, hanya menuruti perintahnya."Eh, i_ya, gue gak sempat telefon loe soalnya buru-buru. Tadi pagi Sekertaris loe bilang katanya loe lagi sakit, gue jadi khawatir. Makanya gue ke sini mau besuk loe. Tapi, sekarang gue lihat loe baik-baik aja, malahan tambah seger!" Ia menjatuhkan bobotnya di atas sofa yang sendiri, menyandarkan punggungnya ke belakang dan menyilangkan kedua kakinya."Kemarin pulang kerja, badan gue menggigil banget, kepala juga pusing. Gue meriang, soalnya kemarin itu pas jam 12 siang gue belum sempat makan, eh, keburu ada klien yang sudah ada janji dari kemarin-kemarin mau meeting bahas proyek yang di daerah Senen itu loh, Feb sampe sore. Perut kosong ditambah kerjaan
Tak lama aku segera menarik diri, mengurai pelukannya takut ada yang lihat nanti bisa jadi masalah. Aku mengusap air mata yang jatuh dengan ujung jilbabku.Lelaki yang kini masih duduk di sisiku menatapku lekat dengan tatapan yang peduli, seakan dia mengerti kesedihanku."Ratna, aku mau ke bawah nemui Mamah , kamu istirahat dulu, gih! Nanti kalau aku ada perlu baru aku panggil," tukasnya lembut, ia beranjak lalu segera keluar dari kamar. Dan aku pun pergi hendak masuk ke kamar.Tatapanku mengedar ke segala arah, otakku berselancar memikirkan berbagai hal. Tiba-tiba dering ponsel membuyarkan angan dan lamunanku, itu adalah suara nada pesan masuk. Aku segera meraih benda pipih itu yang aku geletakkan sembarangan di atas kasur.{"Ratna, gimana kabarmu? Apa kamu baik-baik saja?} Pesan itu dari Papinya Mas Febi, iya, Beliau mantan mertuaku. Beliau begitu baik dan perhatian sama aku sudah seperti orang tuaku sendiri.{"Aku baik, Pih, Alhamdulillah. Papi sendiri gimana, sehat?} balasku.{
"Maksudnya Mas Very ...." Hatiku mencelos mendengarnya, apa aku gak salah dengar? Harusnya aku senang mendengarnya karena aku pun punya rasa yang sama. Tapi aku takut kejadian kemarin terulang, rasanya aku belum siap untuk terluka lagi."Iya, Ratna, aku mencintaimu dari dulu higga sekarang." Ia beranjak dari duduknya lalu berjalan mondar-mandir di depanku, kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celananya.Dia bercerita kalau dirinya sudah tiga tahun menjomblo, itu pun dia pacaran bukan untuk dibawa serius. Dia bilang kalau dia dari dulu mencintaiku semenjak kami tinggal di kampung dan sekolah bareng lalu terpisah karena kita sama-sama pindah. Dan hingga kini katanya dia masih mencintaiku dan berharap kami bisa bertemu lagi. Tanpa diduga doanya terkabul dan kini kami berjumpa lagi. Aku gak mau berharap banyak pada lelaki mapan. Takut diri ini menjadi bahan olokan lagi yang nantinya aku membuatku terluka."Ratna, apa kamu mau jadi pendamping hidupku?" Ia berhenti tepat di depanku
"Ya, bolehlah, masa enggak ....Ya sudah, ayok kita ke kamar Bibi. Di situ ada empat kamar khusus asisten-asisten di sini, ukurannya gak terlalu besar hanya dua kali dua meter persegi."Bi Sukma menuntunku ke kamarnya yang paling pojok."Ratna, ini kamar Bibi, nanti kita tidur berdua ya, kamu boleh taroh baju di sini. Ini masih ada yang kosong." Tangannya menunjuk satu persatu semua yang ada di sini."Iya, Bi, terima kasih ya." Aku terenyuh melihat ketulusan hatinya. "Ratna, tadi kamu kenapa tiba-tiba ke sini bawa tas? Siapa yang menyuruhmu?" Dahinya berkerut dengan tatapan penuh telisik. "Aku disuruh ke sini sama Nyonya, katanya di kamar atas itu khusus buat tamunya yang mau nginap." Aku masih sibuk menata baju dalam lemari, sesekali mengalihkan pandangan ke arahnya."Iya, itu memang betul, ya, sudah gak apa-apa. Kamu tidur di sini sama Bibi," tuturnya lembut, ia mengusap kepalaku sambil tersenyum. "Tapi, Bi, Nyonya ngomongnya ketus banget, bikin aku takut," keluhku."Ya, udah, bia
"Ver, gimana kalau lo sewa jasa Detektif?" pesan dari Febi sudah kubaca."Boleh, lo yang cari y?" pintaku berbalas."Siyap, Bos." ***Itu dua orang kenapa ya dari tadi ngikutin aku terus? Emangnya aku orang kaya apa yang kalau diculik dapat tebusan?Kalian salah kalau mengira aku anak orang kaya. Tapi, apa mungkin mereka orang suruhan Mas Very yang disewa untuk mencariku? Secara dia kan, orang berduit, yang gak mau capek dan karena kesibukan yang menyita waktunya. Ah, apa iya dia masih menginginkanku untuk jadi pendamping hidupnya? Sementara di rumahnya sudah ada calon yang disiapkan orang tuanya.Gak usah ngarep, Ratna. Dia orang berduit, gampang kok kalau mau mencari 1000 Ratna, gumamku.Dengan langkah cepat, setengah berlari aku terus menghindari dua orang yang sedari tadi ngikutin aku terus. Padahal aku pengen buru-buru sampai kontrakan biar bisa merebahkan tubuhku ke kasur. Rasanya punggung ini pegel banget seharian mondar-mandir mulu.Sekarang mending aku lewat jalan pintas aja
"Iya, aku karyawan baru." Netraku menyisir ke arahnya yang kini berdiri tepat di hadapanku. Seorang lelaki berkulit hitam manis dengan rambut lurus tersenyum ke arahku."Perkenalkan aku Reno, karyawan di sini." Ia menyodorkan tangan ke arahku hendak mengajakku kenalan. "Aku Ratna." Aku menerima uluran tangannya Kami berdiri mematung, saling diam dalam kekakuan karena baru kenal. Lantas aku menarik diri mencoba menghilangkan rasa gugupku dengan menata barang dagangan di rak agar tersusun rapi. Dan dia pun sama mengerjakan tugasnya seperti biasa."Reno, nanti kamu kasih tahu Ratna ya tugas-tugasnya apa saja. Misal kamu mau istirahat jangan ditinggal tokonya, kamu gantian saja!" titah Pak Haji pada lelaki yang berdiri tak jauh dariku."Iya, Pak Haji," sahutnya cepat tanda mengerti."Ratna, kalau kamu butuh sesuatu jangan sungkan ngomong sama Reno ya! Bapak tinggal dulu," selorohnya dengan ramah."Iya, Pak Haji," sahutku sambil menganggukkan kepala.Kemudian pemilik toko itu berlalu per
"Kenapa loe? Suntuk amat kayaknya?" tegur sahabat sekaligus partner kerja Febi saat di kantor."Gue lagi pusing," sahut Very tak bersemangat, ia mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya. Kemudian menyalakannya dan langsung menghisapnya."Pusing kenapa? Loe lagi berantem sama Ratna?" desak Febi ingin tahu, ia pun ikut mengambil rokok yang ada di atas meja dan menyalakannya."Bukan berantem, tapi Ratna diusir dari rumah sama Nyokap gue," tukas sang CEO di kantor Febi sendu sambil mengusap wajahnya dengan kasar."Kok, bisa? Memangnya kenapa? Terus Ratna pergi kemana sekarang?" cecarnya dengan mata yang terbelalak karena kaget."Nyokap gak suka sama Ratna karena takut dia menggagalkan rencana perjodohanku dengan Sean. Sampai sekarang gue belum tahu keberadaannya, kemarin sudah nyari tapi lom ketemu." Tatapan kekasih Ratna itu menatap ke sembarang arah, hatinya limbung, pikirannya pun kacau."Kalau Bokap gue denger, loe pasti dimaki abis, soalnya Bokap gue itu sayang banget sama dia."
Ya Allah aku mesti kemana ini? Nyari kontrakan kan gak gampang, mana ini bukan daerah sendiri lagi!! Kaki ini terus melangkah menyusuri komplek perumahan elit menuju jalan raya. Dan lima belas menit kemudian aku sampai di halte, terdiam sendiri sambil duduk di halte menunggu kendaraan umum yang lewat.Nyonya bilang aku harus pergi jauh agar tak bertemu dengan Mas Very lagi, huuuufftt. Ingin rasanya menangis meratapi nasib ini, aku sendiri, tak ada saudara atau kerabat di sini. Keluarga besar Ibu dan Bapak jauh di luar pulau, dah gitu kami lost contack semenjak aku pindah ke kota."Neng, mau naik?" tanya Pak kenek saat melihatku."Iya, Bang, ke terminal ya?" tanyaku memastikan."Iya, Neng. Ayok, naik!" ajaknya, ia turun lalu mempersilakan aku duduk di jok yang kosong. Kemudian mobil melaju hingga beberapa menit baru sampai terminal."Neng, sudah sampai terminal," tutur Pak Kenek memberitahu. Dan aku langsung turun setelah memberi ongkos.Kemudian aku naik bis ingin ke makam Ibu dulu, t
"Ver, gue mau dong disuapin sama Ratna, kayaknya enak deh." Dia menatapku penuh arti dan seolah ada maksud tersembunyi, entahlah aku juga gak yakin.Ddeegg!! Apa? Dia mau aku suapin, gak salah? Selama nikah aja dia gak pernah memintaku seperti ini, kenapa sekarang ...? Why??Sekilas aku melirik ke arah kekasihku, ternyata mimik mukanya menunjukkan kalau dia ...iya dia sepertinya tak suka tapi berusaha tersenyum meski sangat terlihat terpaksa."Ayo, dong, aku mau nyobain spagetinya. Kamu bikin sendiri?" Mas Febi sepertinya tak sabar ingin nyobain makanan yang aku buat. Lantas aku segera mengarahkan garpu yang sudah dikaitkan dengan spageti ke mulutnya, dan dia sudah siap menerima suapan dariku.Sesaat dia terpejam menikmati setiap sentuhan rasa yang menempel di lidahnya."Enak banget, sumpah. Baru kali ini aku makan spageti seenak ini, restoran bintang lima aja kalah. Gila ... ini enak buanget." Mas Febi terus nyerocos mendeskripsikan semua rasa yang ia nikmati."Ya enaklah orang tin
"Ya, udah besok kita nikah yuuk, biar bisa mandi bareng," cakapnya membuatku terkejut setengah mati. Emang segampang itu nikah? Restu aja lom dapet. Huuuftt!!!"Jangan becanda deh?" protesku sambil bersungut, sebenarnya itu ungkapan yang ingin aku dengar secepatnya. Tapi, mengingat orang tuanya yang tak merestui hubungan kami, itu menjadi suatu yang sulit untuk mewujudkannya."Aku serius, sayang, malahan seratus rius loh." Ia begitu gigih meyakinkanku atas perasaan dan niat seriusnya. Tapi aku sendiri menjadi dilema??"Tapi gimana dengan Tuan dan Nyonya besar? Mereka gak ...." Belum selesai ngomong dia sudah duluan memotong ucapanku."Huusstt!! Kamu gak usah khawatir soal itu. Aku lelaki bisa tetap nikah tanpa wali, aku tak peduli bagaimana keputusan orang tuaku nantinya." Ia seakan begitu semangat untuk terus melanjutkan hubungan ke jenjang serius. Aku mencintai dan menyayanginya sepenuh hati, rasa ini pertama dalam hidupku. Bahkan, meski aku kemarin sempat menikah selama 6bulan kur
"Sean, kamu itu cantik, pintar, punya segalanya. Pasti banyak cowok yang tertarik sama kamu." Tatapan mataku menyisir pandangan ke arahnya yang duduk tepat di hadapanku."Lantas?" Sean menyipitkan matanya seolah sedang menerka maksud ucapanku."Kamu bisa cari cowok lain selain aku, karena aku sudah mencintai wanita lain." Hatiku begitu mantap mengungkapkan apa yang kurasa, meski nanti pasti akan dapat penolakan dari orang tuaku dan orang tuanya.Kuhisap rokok yang ada di tanganku dan menghembuskan asapnya ke samping. Aku gak mau dia menghisap asap rokokku."Apa kamu bilang?" Wajahnya ia dekatkan ke arahku dengan pandangan melebar seolah ingin mendengar lebih jelas lagi."Aku tidak bisa mencintaimu karena ada nama wanita lain di hatiku," ucapku memperjelas dengan keyakinan yang mantap."Si_siapa dia? Wanita mana yang bisa mengalahkan pesonaku? Selama hidupku aku tak pernah mendapat penolakan dari seorang lelaki. Bahkan, tinggal tunjuk aja, lelaki itu takhluk di hadapanku!" sarkasnya d
"Mamah ... kapan pulang?" Lelaki yang kini sudah menjadi kekasihku melangkah masuk melalui pintu utama dan langsung menghampiri mamahnya."Tadi sore jam 3 an, kamu baru pulang kerja?" Nyonya besar langsung memeluk putranya erat.Aku dan Bibi sedari tadi sibuk menyiapkan makan malam besar karena katanya malam ini keluarga Sean_cewek yang dijodohkan dengan Mas Very mau datang dan makan malam di sini. "Iya, soalnya di kantor lagi banyak kerjaan. Uuh, capek banget, aku ke kamar dulu ya, Mah mau mandi," tukasnya sambil meregangkan otot-ototnya dengan menaikkan kedua tangannya ke atas. Lalu beranjak pergi."Oh, iya, Very, nanti jam 7 malam keluarga Sean mau ke sini. Kita makan malam bersama," cetusnya dengan lantang. Tiba-tiba ia berjalan menghampiriku yang masih sibuk menata hidangan di meja."Sayang, kamu masak apa? Banyak banget makanannya," bisiknya di telingaku."Memangnya barusan gak dengar apa, kalau calon istrimu mau datang ke sini," ketusku dengan memasang wajah cemberut."Masa?
"Mas ... jaga ucapanmu, tak selayaknya kamu meminta begituan saat kita belum halal! Kalau kamu sayang sama aku, tolong jaga nama baikku." Mataku seketika memanas mendengar ucapannya yang konyol itu."Aku kecewa sama kamu, Mas, ternyata kamu sama saja seperti pria di luaran sana yang tak bisa menahan napsu." Kini tatapanku berubah sangar dengan mengeratkan gigi."Sayang, maaf ya, aku gak bermaksud begitu, aku cuma mau mengetes kamu aja. Aku pikir kamu wanita ....""Gampangan yang bisa menyerahkan mahkotanya pada lelaki sebelum akad? Tidak, Mas, aku tidak sehina itu meskipun aku orang miskin tapi aku tahu batasannya.""Sayang, tolong maafin aku." Tangannya langsung meraih tanganku tapi dengan segera aku hempaskan.Aku keluar menuju pintu utama, berjalan ke arah taman depan meninggalkan Mas Very di dapur dengan perasaan kacau dan emosi."Eheemm ...." Suara bariton tiba-tiba mengagetkanku, seketika aku langsung menoleh ke arah sumber suara."Mas Fe_bi," lirihku sambil menatap wajahnya se