"Ya, bolehlah, masa enggak ....Ya sudah, ayok kita ke kamar Bibi. Di situ ada empat kamar khusus asisten-asisten di sini, ukurannya gak terlalu besar hanya dua kali dua meter persegi."Bi Sukma menuntunku ke kamarnya yang paling pojok."Ratna, ini kamar Bibi, nanti kita tidur berdua ya, kamu boleh taroh baju di sini. Ini masih ada yang kosong." Tangannya menunjuk satu persatu semua yang ada di sini."Iya, Bi, terima kasih ya." Aku terenyuh melihat ketulusan hatinya. "Ratna, tadi kamu kenapa tiba-tiba ke sini bawa tas? Siapa yang menyuruhmu?" Dahinya berkerut dengan tatapan penuh telisik. "Aku disuruh ke sini sama Nyonya, katanya di kamar atas itu khusus buat tamunya yang mau nginap." Aku masih sibuk menata baju dalam lemari, sesekali mengalihkan pandangan ke arahnya."Iya, itu memang betul, ya, sudah gak apa-apa. Kamu tidur di sini sama Bibi," tuturnya lembut, ia mengusap kepalaku sambil tersenyum. "Tapi, Bi, Nyonya ngomongnya ketus banget, bikin aku takut," keluhku."Ya, udah, bia
"Ratna!! Sudah siap belum?" Mas Very mengetuk pintu kamar ini disertai suara memanggil."Itu pasti Tuan Muda. Biar Bibi buka dulu pintunya." Bibi beranjak lalu berjalan ke arah pintu untuk membukakannya.Saat pintu dibuka, terlihat sosok lelaki dengan celana levis dipadukan dengan kaos pendek tanpa kerah berdiri di ambang pintu. Dia begitu tampan dan mempesona."Ratna, itu sudah ditungguin sama Tuan Muda, kenapa malah bengong?" tegur Bibi membuatku segera tersadar dari lamunanku lalu aku mengedipkan mata berkali-kali. Ternyata barusan aku terkesima melihat lelaki di depan mataku.Dengan mengenakan rok rempelan warna biru dipadukan dengan kemeja lengan panjang motif daun senada dengan jilbabnya. Dengan make-up tipis sekedar menyamarkan kulit yang terlihat pucat. Dandananku ala kadarnya karena beginilah aku, wanita sederhana dari orang tua yang tak mampu dan juga aku bukan wanita karir. "Eh, iya, Bi," jawabku seraya meraih tas kecil yang ada di atas lemari plastik tempatku menaruh baj
"Mas, siapa dia?" tanyaku kemudian karena kepo juga setelah cewek itu pergi dengan muka ditekuk."Dia mantan aku," jawabnya kesel."Bukannya mantan kamu namanya Rahel yang katanya kuliah bareng sama kamu di luar? Sekarang namanya Sandra?" tanyaku bingung dengan menatapnya serius menunggu jawaban darinya."Iya benar, kalau Sandra mantan terakhirku," jawabnya lagi."Oh, ternyata kamu gonta-ganti cewek terus ya? Laris banget!" lirihku, tapi dia mendengarku."Iya dong, aku kan, cowok keren. Banyak cewek yang ngejar-ngejar untuk minta diajak jalan bareng aku. Tapi, aku gak berselera, aku maunya ...," ia menggantungkan ucapannya sambil menatapku lekat."Maunya ...?" tanyaku melanjutkan."Aku maunya jalan sama kamu, tapi kamunya malah cemberut gini," gerutunya dengan mulut yang dimonyongin.Seketika senyumku terukir indah menghiasi wajahku yang tadi agak kaku karena menahan kesal di dada. Aku menatapnya penuh semangat dengan rasa bangga dan bahagia di hati. Gimana tidak, lelaki sekelas Mas V
"Mah, udah, cukup ngomelnya! Mamah mau ngapain pagi-pagi ke sini, tumben banget?" pekiknya seraya menggandeng bahunya menuju sofa di kamarnya."Very, Papah siang nanti pulang dan malamnya kita pergi ke rumah teman Papah, si Om Raka," tuturnya."Mau ngapain?" pekik Maa Very penasaran."Papah mau ngenalin kamu sama putri tunggalnya yang cantik," sahutnya dengan melirik ke arahku sambil menyeringai.Sementara putranya itu memberi kode padaku dengan menggerakkan wajahnya agar aku segera keluar dari kamarnya. Mungkin obrolannya yang pribadi itu gak boleh aku dengar.Aku pun mengikuti perintahnya, bergegas keluar dari kamarnya menuju dapur untuk membantu pekerjaan Bibi di belakang."Ratna, kamu kenapa murung gitu? Bukannya barusan dari kamar Tuan Muda?" tanya Bibi penasaran."Aku gak apa-apa, Bi. Sini biar aku aja yang beresin, ya!" tawarku pada Bibi yang sedang memasukkan segala sayur dan ikan-ikan ke dalam kulkas. "Ya, sudah, ini kamu beresin, ya? Bibi mau ngupas bawang buat masak nanti,
"Aku juga tahu kalau kamu sayang sama aku," tuturnya masih dengan memelukku."Mas Very tahu dari mana?" tanyaku dalam isakan, sebelumnya aku tak pernah mengatakan perasaanku padanya."Ya, aku kan suka merhatiin kamu. Terlihat dari mata dan bahasa tubuhmu," terangnya.Aku tergugu di dalam dekapannya, kedua tanganku melingkar di pinggangnya. Rasanya ingin selalu berada di dekatnya, memeluk dan bersandar di bahunya yang kekar. Semenjak kepergian mendiang ibuku, sudah tak ada lagi tempat untuk bersandar."Kamu kenapa baru jujur sekarang? Apa karena kamu dengar kalau aku mau dijodohkan dengan wanita lain? Kamu takut aku menikah dengannya?" cecarnya lagi. Aku hanya mengangguk sebagai tanda mengiyakan ucapannya."Ratna! Kamu dimana?" Suara Bi Sukma tiba-tiba terdengar memanggilku. Membuat kami terlonjak.Kami mengobrol di depan pintu dengan keadaan pinti aku tutup. Kebetulan kamar yang aku tempati letaknya paling ujung di antara kamar ART yang lainnya."Ya, sudah, aku masuk dulu ya, Bi Sukma
"Ver ... iya, kan?" tanya Nyonya Besar lagi pada putranya karena dari tadi dia gak ngerespon."Eh ... i_ya, Mah. Barusan ngomong apa?" pekiknya dengan tergagap."Kamu itu dari tadi gak dengerin Mamah ngomong ya? Sibuk merhatiin asisten itu?" protes Nyonya besar dengan berbisik di telinga putranya."Apaan sih, Mah, kok, ngomongnya gitu?" sanggah Maa Very dengan lirih agar mereka gak mendengarnya. Tapi aku masih bisa mendengarnya biarpun samar-samar.Setelahnya aku langsung berbalik badan dan bergegas kembali ke dapur. Kenapa ya aku jadi hawatir gini? Aku takut Mas Very akan jatuh hati padanya. Aku termenung duduk di pinggir tembok dapur dengan tatapan kosong, dan hatiku pun kalut dan gamang. "Ratna, kamu sudah anterin minuman ke depan?" Bi Sukma menyadarkan aku dari lamunan, seketika aku terlonjak dan langsung menatapnya."Sudah, Bi, tadi." "Kamu kenapa, kayaknya lagi suntuk banget?" pekiknya dengan penuh telisik. Lalu wanita yang seumuran dengan mendiang ibuku kini ikutan duduk di
Aku merasa kasihan dan terenyuh atas nasib buruk yang menimpanya apalagi saat dia masih menjadi istri Febi. Dia begitu tersiksa jiwa dan raganya atas perlakuan Febi dan keluarganya. Aku merasa iba padanya apalagi dia hidup sebatang kara. Aku tak bisa bayangkan gimana kalau aku jadi dia."Very ... kamu mau kemana, rapi banget? Bukan_nya hari ini tanggal merah ya?" pekiknya dengan gurat tanya di wajahnya saat aku baru keluar dari kamar."Aku mau ngajak Ratna beli baju bagus buat datang ke acara pernikahan temanku, Mah" sahutku sambil membetulkan penampilanku."Apa? Kamu mau datang di pernikahan teman ngajak Ratna? Gak salah?" cecar ibuku dengan wajah yang tampak emosi. "Iya, Mah, kebetulan temanku ini kenal sama Ratna. Ya, udah jadi sekalian," terangku dengan santai karena sekarang perasaanku lagi berbunga-bunga. Tak peduli penolakan dari Mamah."Ya gak harus bareng juga kali?! Kamu itu harusnya ajak Sean, dong, dia kan calon tunanganmu!" protes Mamah begitu ngotot."Gak bisa, Mah. Tol
"Mas, Hendrik ...?!" Matanya membola saat Beliau melihat mantan mertuaku itu menolongku."Ratna, kamu tidak apa-apa?" Tangan kekar Pak Hendrik_ mantan mertuaku mampu menopang tubuhku hingga aku tak sampai jatuh ke lantai.Aku terkejut melihat kehadirannya yang tiba-tiba. " Aku tidak apa-apa, Pi."Aku melihat Mamah dari kekasihku melongo dengan mulut yang menganga. "Kartika ... kenapa kamu berbuat kasar sama Ratna? Salahnya apa sampai-sampai aku dengar kamu marahin dia?" sergahnya dengan berkacak pinggang."Sampean mengenalnya?" pekiknya tak percaya."Iya, dia ini putriku," jawab Papi tegas."Apa? Bukannya putri sampean namanya Alexa?" pekik Nyonya Kartika tak percaya."Iya memang, tapi Ratna juga sudah aku anggap seperti putriku sendiri," sahut Papi lagi sambil menggandeng bahuku. " Kalau sampai ada orang menyakiti dia, akan berhadapan langsung denganku.""Maaf, Mas, kalau gitu aku permisi dulu," pamit Mamah Mas Very terburu-buru dengan wajah pias."Ratna, kamu ke sini sama siapa? M
Hari-hari setelah melahirkanAku, Ratna, terbaring di ranjang rumahku yang terasa lebih hangat dari sebelumnya. Rasanya tubuhku masih sangat lelah setelah proses melahirkan yang begitu panjang dan menguras tenaga. Namun, ada sesuatu yang membuatku merasa lebih hidup dari sebelumnya—sebuah kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata. Putra pertama kami, Amran Zakir Pratama, kini ada di dunia ini, dengan wajah yang begitu mirip dengan suamiku. Rasanya sulit untuk mempercayai bahwa aku, Ratna, kini menjadi seorang ibu.Dari tempat tidurku, aku bisa melihat Very, suamiku, yang duduk di sampingku dengan senyum bangga terpancar di wajahnya. Matanya penuh dengan kasih sayang, dan setiap kali ia menatapku, aku merasa seperti menjadi pusat dunia ini.“Sayang, kamu nggak capek kan?” tanya Very lembut, tangannya mengelus lembut rambutku yang acak-acakan. Ia selalu begitu perhatian, dan saat itu aku merasa betul-betul dimanjakan.Aku tersenyum lemah, meski masih kelelahan. “Sedi
Malam yang MengusikAku sedang duduk di sofa ruang keluarga, menonton acara favorit di TV sambil menikmati sisa malam yang tenang. Very, suamiku, duduk di sebelahku sambil memainkan ponselnya. Bi Sukma, asisten rumah tangga kami, baru saja selesai merapikan dapur. Di luar, suasana sunyi, hanya suara jangkrik yang samar terdengar.Namun, ketenangan itu terusik ketika suara bel pintu berbunyi. Very mengangkat kepala, menatapku sejenak sebelum akhirnya bangkit dengan malas.“Aku yang buka,” katanya sambil melangkah menuju pintu.Aku mengangguk sambil mengalihkan pandangan kembali ke TV. Tak lama, aku mendengar suara familiar dari arah pintu."Febi? Malam-malam begini, ada apa?" tanya Very dengan nada heran.Aku melirik sekilas. Febi, sahabat Very, berdiri di depan pintu dengan wajah yang tampak kusut."Gue lagi suntuk banget di rumah, Ver," kata Febi setelah melangkah masuk. "Amel lagi sensitif, bawaannya marah-marah terus. Gue nggak tahu mau ngomong sama siapa, jadi gue ke sini aja."Ve
Aku melangkah keluar dari kamar tidur, menyusuri lantai marmer yang dingin menuju ruang tengah. Rumah ini terasa begitu luas, terlalu besar untuk hanya aku tempati bersama Mas Veri. Tapi aku tak bisa memungkiri, aku mencintai setiap sudutnya. Cahaya matahari pagi masuk menembus jendela besar yang menghadap taman belakang, memberikan nuansa hangat pada ruangan.“Ratna, mau sarapan apa hari ini, Nak?” suara lembut Bi Sukma terdengar dari dapur.Aku tersenyum dan melangkah mendekat. Bi Sukma sudah sibuk dengan apron merah mudanya, memotong buah di meja dapur. Kehadirannya di sini membuatku merasa lebih nyaman, seolah aku punya ibu kedua yang selalu siap menemani.“Apa aja yang ringan, Bi. Aku nggak terlalu lapar. Toast sama teh aja, ya,” jawabku sambil mengambil kursi di meja makan.Bi Sukma tersenyum lembut, wajahnya penuh kehangatan. “Baik, Nak. Veri nggak bilang mau makan di rumah?”Aku menggeleng. “Kayaknya enggak. Biasanya dia makan siang di kantor.”Bi Sukma mengangguk. “Syukurlah
Hari ini adalah hari besar untukku dan suamiku. Setelah menabung bertahun-tahun dan kerja kerasnya sebagai seorang CEO, kami akhirnya bisa pindah ke rumah baru. Rumah megah di kawasan elit, lengkap dengan halaman luas dan interior serba mewah. Aku memandangi pintu besar di depanku dengan campuran rasa bahagia dan gugup. Rasanya seperti mimpi.“Ratna, ayo masuk,” panggil Mas Very, membuyarkan lamunanku.Aku tersenyum dan melangkah masuk, disambut oleh keramaian suara keluarga dan rekan-rekan Mas Very yang ikut membantu hari ini. Semua barang sudah tertata rapi, seperti yang sudah kami rencanakan sebelumnya. Bahkan aroma harum bunga segar dari vas di ruang tamu sudah mengisi ruangan.Acara syukuran dimulai dengan doa yang dipandu oleh Pak Kyai setempat. Suaranya lembut dan penuh khidmat, memohonkan kedamaian dan keselamatan untuk rumah ini dan semua yang tinggal di dalamnya. Aku mengatupkan kedua tanganku di atas perutku yang sudah membesar, merasakan tendangan lembut dari bayi kami."
“Kerja terus malam-malam begini, Mas?” tanyaku sambil melirik ponselnya.Mas Very hanya tersenyum sekilas. "Iya, ada laporan yang harus kukirim."Namun, ponselnya tiba-tiba bergetar. Di layar, aku sempat melihat nama Arina muncul sebelum dia buru-buru mengangkatnya. Jantungku berdegup lebih cepat. Siapa dia? Kenapa menelepon suamiku selarut ini?Aku mencoba memasang wajah biasa saja, tapi sulit. Rasa cemburu menjalar pelan-pelan di hatiku. Kuamati cara Mas Very berbicara—nada suaranya rendah, seolah tidak ingin aku mendengar.Setelah dia selesai, aku langsung menyelidik, "Arina? Siapa itu, Mas?"Mas Very menatapku dengan tenang, lalu tertawa kecil sambil mengacak rambutku. "Sayang, jangan cemburu, dong. Itu Arina, karyawati di kantor. Dia cuma mau memastikan soal dokumen untuk besok."Aku tidak yakin. "Tapi, kenapa harus malam-malam begini? Kan, bisa besok pagi di kantor."Melihat ekspresiku yang berubah, Mas Very segera memelukku erat. "Sayangku, kamu lagi bawa dede bayi, ya, jadi se
Aku duduk di sofa ruang tamu, menatap jam di tanganku yang berdetak lambat. Sudah lima belas menit sejak aku mengirim pesan kepada Mas Very. Aku tahu dia pasti sedang bergegas pulang, apalagi sejak aku memasuki trimester terakhir kehamilan. Mas Very selalu khawatir dan memastikan aku tidak terlalu banyak beraktivitas.Pintu depan terbuka perlahan, dan aku mendengar langkah kaki yang sangat kukenal. "Ratna?" panggilnya dengan suara lembut."Aku di sini," jawabku, mencoba terdengar biasa saja meskipun dadaku terasa sesak karena capek.Mas Very langsung menghampiri, duduk di sampingku sambil memperhatikan wajahku yang mungkin terlihat tegang. "Kenapa? Kamu kelihatan aneh," tanyanya, menggenggam tanganku dengan erat. "Kamu capek?"Aku menggeleng pelan, memutuskan untuk jujur. "Tadi Febi ngajak ketemu."Alisnya langsung bertaut. "Febi? Mantan suami kamu?" Nada suaranya berubah, terdengar waspada sekaligus cemburu."Dia bilang sesuatu yang ... bikin aku bingung." Aku menunduk, menghindari t
Rumah Baru untuk Kebahagiaan BaruMatahari sore memancarkan sinar keemasan, memberikan suasana hangat di sekitar kawasan elit yang penuh dengan rumah-rumah mewah. Di antara bangunan megah itu, Very menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah besar dengan desain modern. Ratna, istrinya yang sedang hamil tujuh bulan, duduk di sampingnya dengan raut wajah penuh penasaran."Ini rumahnya, Sayang," kata Very sambil tersenyum hangat. Ia turun dari mobil lalu membuka pintu untuk Ratna.Ratna keluar dengan perlahan, tangannya memegang perut yang mulai membesar. "Ini ... rumah kita?" tanyanya dengan nada tak percaya.Very mengangguk, matanya berbinar-binar melihat ekspresi kagum di wajah istrinya. "Iya, untuk kamu dan calon anak kita. Kamu suka?"Ratna terdiam sejenak, matanya menjelajahi setiap sudut rumah yang terlihat megah bahkan dari luar. "Suka? Aku ... aku bahkan nggak tahu harus ngomong apa. Ini luar biasa, Mas Very. Kamu benar-benar serius melakukan ini semua untukku?"Very mendekat d
"Sayang, Mas sudah siapkan rumah buat keluarga kecil kita yang agak besaran biar nanti kalau dedenya sudah lahir bisa leluasa maen." Lelaki yang sebentar lagi mau jadi Ayah begitu antusias bercerita sambil terus mengelus perutku yang sudah mulai membuncit."Ngapain sih, Mas beli rumah lagi? Di sini juga kan, enak dan cukup buat keluarga kecil kita?!" Tanganku mengelus kepalanya yang masih fokus dan gak mau lepas dari perutku ini. Dia terus menciumi dede yang masih dalam kandunganku seakan tak sabar menunggu kehadirannya."Rumah ini terlalu kecil buat anak kita maen, sayang. Yang pasti nanti anak kita bakal berlarian ke sana ke mari, dan itu membutuhkan tempat yang cukup luas serta perlu kamar khusus buat tempat maen." Wajahnya didongakkan menghadapku sambil menjawil daguku gemas."Ya, sudah terserah Mas saja," balasku pasrah."Nah, gitu dong. Masa CEO properti rumahnya kecil dan jelek, malu dong," sanggahnya.Aku senang mendengarnya, suamiku ternyata begitu perhatian dan peduli sama a
"Gue ngerasa jenuh dan bosan ngejalani rumah tangga yang kayak gini, gak ada warna." Ia menjambak rambutnya kasar, kecewa terpancar jelas dari wajahnya."Kenapa loe ngomongnya gitu? Itu kan, keputusan dan pilihan loe sendiri? Kenapa mesti bosan?" Very menatap lekat wajah sang sahabat. Ia ikut merasakan apa yang ia rasakan."Iya, sih, memang. Cuma dulu waktu masih pacaran semua terasa indah dan menyenangkan, karena Amel bisa membuat gue merasa nyaman berada di sisinya. Tapi setelah nikah keadaan berubah, Amel jadi wanita yang membosanku. Sikapnya yang jutek dan kasar membuat gue jengah dan muak. Dan juga dia banyak menuntut ini dan itu yang sekiranya di luar batas kemampuan." Sang pelayan kantin datang membawa makanan yang mereka pesan. Sambil makan mereka terus bercerita, saling tukar pengalamannya selama menikah tanpa ada yang ditutup-tutupi karena mereka bersahabat sudah lama. Sudah tak ada lagi kata malu atau canggung."Ya, itu karena loe dalam menilai cewek dari parasnya dulu, ga