"Mas, siapa dia?" tanyaku kemudian karena kepo juga setelah cewek itu pergi dengan muka ditekuk."Dia mantan aku," jawabnya kesel."Bukannya mantan kamu namanya Rahel yang katanya kuliah bareng sama kamu di luar? Sekarang namanya Sandra?" tanyaku bingung dengan menatapnya serius menunggu jawaban darinya."Iya benar, kalau Sandra mantan terakhirku," jawabnya lagi."Oh, ternyata kamu gonta-ganti cewek terus ya? Laris banget!" lirihku, tapi dia mendengarku."Iya dong, aku kan, cowok keren. Banyak cewek yang ngejar-ngejar untuk minta diajak jalan bareng aku. Tapi, aku gak berselera, aku maunya ...," ia menggantungkan ucapannya sambil menatapku lekat."Maunya ...?" tanyaku melanjutkan."Aku maunya jalan sama kamu, tapi kamunya malah cemberut gini," gerutunya dengan mulut yang dimonyongin.Seketika senyumku terukir indah menghiasi wajahku yang tadi agak kaku karena menahan kesal di dada. Aku menatapnya penuh semangat dengan rasa bangga dan bahagia di hati. Gimana tidak, lelaki sekelas Mas V
"Mah, udah, cukup ngomelnya! Mamah mau ngapain pagi-pagi ke sini, tumben banget?" pekiknya seraya menggandeng bahunya menuju sofa di kamarnya."Very, Papah siang nanti pulang dan malamnya kita pergi ke rumah teman Papah, si Om Raka," tuturnya."Mau ngapain?" pekik Maa Very penasaran."Papah mau ngenalin kamu sama putri tunggalnya yang cantik," sahutnya dengan melirik ke arahku sambil menyeringai.Sementara putranya itu memberi kode padaku dengan menggerakkan wajahnya agar aku segera keluar dari kamarnya. Mungkin obrolannya yang pribadi itu gak boleh aku dengar.Aku pun mengikuti perintahnya, bergegas keluar dari kamarnya menuju dapur untuk membantu pekerjaan Bibi di belakang."Ratna, kamu kenapa murung gitu? Bukannya barusan dari kamar Tuan Muda?" tanya Bibi penasaran."Aku gak apa-apa, Bi. Sini biar aku aja yang beresin, ya!" tawarku pada Bibi yang sedang memasukkan segala sayur dan ikan-ikan ke dalam kulkas. "Ya, sudah, ini kamu beresin, ya? Bibi mau ngupas bawang buat masak nanti,
"Aku juga tahu kalau kamu sayang sama aku," tuturnya masih dengan memelukku."Mas Very tahu dari mana?" tanyaku dalam isakan, sebelumnya aku tak pernah mengatakan perasaanku padanya."Ya, aku kan suka merhatiin kamu. Terlihat dari mata dan bahasa tubuhmu," terangnya.Aku tergugu di dalam dekapannya, kedua tanganku melingkar di pinggangnya. Rasanya ingin selalu berada di dekatnya, memeluk dan bersandar di bahunya yang kekar. Semenjak kepergian mendiang ibuku, sudah tak ada lagi tempat untuk bersandar."Kamu kenapa baru jujur sekarang? Apa karena kamu dengar kalau aku mau dijodohkan dengan wanita lain? Kamu takut aku menikah dengannya?" cecarnya lagi. Aku hanya mengangguk sebagai tanda mengiyakan ucapannya."Ratna! Kamu dimana?" Suara Bi Sukma tiba-tiba terdengar memanggilku. Membuat kami terlonjak.Kami mengobrol di depan pintu dengan keadaan pinti aku tutup. Kebetulan kamar yang aku tempati letaknya paling ujung di antara kamar ART yang lainnya."Ya, sudah, aku masuk dulu ya, Bi Sukma
"Ver ... iya, kan?" tanya Nyonya Besar lagi pada putranya karena dari tadi dia gak ngerespon."Eh ... i_ya, Mah. Barusan ngomong apa?" pekiknya dengan tergagap."Kamu itu dari tadi gak dengerin Mamah ngomong ya? Sibuk merhatiin asisten itu?" protes Nyonya besar dengan berbisik di telinga putranya."Apaan sih, Mah, kok, ngomongnya gitu?" sanggah Maa Very dengan lirih agar mereka gak mendengarnya. Tapi aku masih bisa mendengarnya biarpun samar-samar.Setelahnya aku langsung berbalik badan dan bergegas kembali ke dapur. Kenapa ya aku jadi hawatir gini? Aku takut Mas Very akan jatuh hati padanya. Aku termenung duduk di pinggir tembok dapur dengan tatapan kosong, dan hatiku pun kalut dan gamang. "Ratna, kamu sudah anterin minuman ke depan?" Bi Sukma menyadarkan aku dari lamunan, seketika aku terlonjak dan langsung menatapnya."Sudah, Bi, tadi." "Kamu kenapa, kayaknya lagi suntuk banget?" pekiknya dengan penuh telisik. Lalu wanita yang seumuran dengan mendiang ibuku kini ikutan duduk di
Aku merasa kasihan dan terenyuh atas nasib buruk yang menimpanya apalagi saat dia masih menjadi istri Febi. Dia begitu tersiksa jiwa dan raganya atas perlakuan Febi dan keluarganya. Aku merasa iba padanya apalagi dia hidup sebatang kara. Aku tak bisa bayangkan gimana kalau aku jadi dia."Very ... kamu mau kemana, rapi banget? Bukan_nya hari ini tanggal merah ya?" pekiknya dengan gurat tanya di wajahnya saat aku baru keluar dari kamar."Aku mau ngajak Ratna beli baju bagus buat datang ke acara pernikahan temanku, Mah" sahutku sambil membetulkan penampilanku."Apa? Kamu mau datang di pernikahan teman ngajak Ratna? Gak salah?" cecar ibuku dengan wajah yang tampak emosi. "Iya, Mah, kebetulan temanku ini kenal sama Ratna. Ya, udah jadi sekalian," terangku dengan santai karena sekarang perasaanku lagi berbunga-bunga. Tak peduli penolakan dari Mamah."Ya gak harus bareng juga kali?! Kamu itu harusnya ajak Sean, dong, dia kan calon tunanganmu!" protes Mamah begitu ngotot."Gak bisa, Mah. Tol
"Mas, Hendrik ...?!" Matanya membola saat Beliau melihat mantan mertuaku itu menolongku."Ratna, kamu tidak apa-apa?" Tangan kekar Pak Hendrik_ mantan mertuaku mampu menopang tubuhku hingga aku tak sampai jatuh ke lantai.Aku terkejut melihat kehadirannya yang tiba-tiba. " Aku tidak apa-apa, Pi."Aku melihat Mamah dari kekasihku melongo dengan mulut yang menganga. "Kartika ... kenapa kamu berbuat kasar sama Ratna? Salahnya apa sampai-sampai aku dengar kamu marahin dia?" sergahnya dengan berkacak pinggang."Sampean mengenalnya?" pekiknya tak percaya."Iya, dia ini putriku," jawab Papi tegas."Apa? Bukannya putri sampean namanya Alexa?" pekik Nyonya Kartika tak percaya."Iya memang, tapi Ratna juga sudah aku anggap seperti putriku sendiri," sahut Papi lagi sambil menggandeng bahuku. " Kalau sampai ada orang menyakiti dia, akan berhadapan langsung denganku.""Maaf, Mas, kalau gitu aku permisi dulu," pamit Mamah Mas Very terburu-buru dengan wajah pias."Ratna, kamu ke sini sama siapa? M
"Emang mereka ngomong apa sampai kamu cemberut gitu?" Bi Sukma menatapku penuh telisik."Mereka bilang aku sudah menyerahkan kesucianku pada Tuan Very, makanya Beliau deketin aku terus." Wajahku cemberut sambil membuka hijabku."Kalau kamu gak ngerasa, jangan dipikirin! Biarin aja mereka ngomong apa." Beliau mengelus bahuku sambil mengucap kata sabar."Abisnya mereka sering banget nyibirin aku, Bi," keluhku."Oh, iya, Bibi mau nanya sama kamu. Emang benar ya, kamu pacaran sama Den Very?" tanyanya sambil menaikkan kedua alisnya.Aku berpikir sejenak untuk menjawabnya, antara malu dan takut. "I_iya, Bi. Aku dan dia saling mencintai, salah, ya?""Ya, enggak salah, cuma takutnya Tuan sama Nyonya melarangnya karena kalian gak sederajat. Apalagi kamu kan, tahu kalau kemarin Den Very dijodohin dengan wanita lain. Kamu sendiri kan, yang mengantar minumnya?" tukasnya."Iya memang, Bi. Tapi katanya dia gak mau dijodohin sama cewek itu, dia lebih milih aku. Aku juga sudah terlanjur sayang sama
"Hei, kamu tahu, siapa yang datang semalam?" Tau-tau Nyonya besar sudah berdiri di belakangku saat aku sedang menyapu halaman belakang.Dan seketika aku menoleh ke arahnya. Aku menatapnya tanpa mampu menjawabnya."Dia itu calon istrinya Very, dia cantik, modis, berkelas dan anggun. Beda sama kamu yang bisanya cuma bersih-bersih doang, dah gitu kucel lagi." Wanita paruh baya itu yang masih terlihat cantik menatapku penuh kebencian."Maaf, Nyonya, saya harus ikut bicara. Nyonya gak boleh merendahkan orang seenaknya, dia manusia yang punya perasaan. Kasihanilah Nyonya, apalagi dia ini sebatang kara. Kalau dia terluka mau ngadu kepada siapa?" bela Bibi di depanku. Bibi tiba-tiba hadir di antara kami."Oh, dia sebatang kara? Waaah, lebih parah lagi dong! Macam orang ilang aja!" cebiknya dengan sinis."Itu bukan maunya, tapi takdir dari Yang Maha Kuasa. Jangan begitulah, Nyonya ngomongnya. Maaf kalau saya lancang!" Bibi terus membelaku, aku hanya memandang keduanya bergantian sambil masih
"Ver, gimana kalau lo sewa jasa Detektif?" pesan dari Febi sudah kubaca."Boleh, lo yang cari y?" pintaku berbalas."Siyap, Bos." ***Itu dua orang kenapa ya dari tadi ngikutin aku terus? Emangnya aku orang kaya apa yang kalau diculik dapat tebusan?Kalian salah kalau mengira aku anak orang kaya. Tapi, apa mungkin mereka orang suruhan Mas Very yang disewa untuk mencariku? Secara dia kan, orang berduit, yang gak mau capek dan karena kesibukan yang menyita waktunya. Ah, apa iya dia masih menginginkanku untuk jadi pendamping hidupnya? Sementara di rumahnya sudah ada calon yang disiapkan orang tuanya.Gak usah ngarep, Ratna. Dia orang berduit, gampang kok kalau mau mencari 1000 Ratna, gumamku.Dengan langkah cepat, setengah berlari aku terus menghindari dua orang yang sedari tadi ngikutin aku terus. Padahal aku pengen buru-buru sampai kontrakan biar bisa merebahkan tubuhku ke kasur. Rasanya punggung ini pegel banget seharian mondar-mandir mulu.Sekarang mending aku lewat jalan pintas aja
"Iya, aku karyawan baru." Netraku menyisir ke arahnya yang kini berdiri tepat di hadapanku. Seorang lelaki berkulit hitam manis dengan rambut lurus tersenyum ke arahku."Perkenalkan aku Reno, karyawan di sini." Ia menyodorkan tangan ke arahku hendak mengajakku kenalan. "Aku Ratna." Aku menerima uluran tangannya Kami berdiri mematung, saling diam dalam kekakuan karena baru kenal. Lantas aku menarik diri mencoba menghilangkan rasa gugupku dengan menata barang dagangan di rak agar tersusun rapi. Dan dia pun sama mengerjakan tugasnya seperti biasa."Reno, nanti kamu kasih tahu Ratna ya tugas-tugasnya apa saja. Misal kamu mau istirahat jangan ditinggal tokonya, kamu gantian saja!" titah Pak Haji pada lelaki yang berdiri tak jauh dariku."Iya, Pak Haji," sahutnya cepat tanda mengerti."Ratna, kalau kamu butuh sesuatu jangan sungkan ngomong sama Reno ya! Bapak tinggal dulu," selorohnya dengan ramah."Iya, Pak Haji," sahutku sambil menganggukkan kepala.Kemudian pemilik toko itu berlalu per
"Kenapa loe? Suntuk amat kayaknya?" tegur sahabat sekaligus partner kerja Febi saat di kantor."Gue lagi pusing," sahut Very tak bersemangat, ia mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya. Kemudian menyalakannya dan langsung menghisapnya."Pusing kenapa? Loe lagi berantem sama Ratna?" desak Febi ingin tahu, ia pun ikut mengambil rokok yang ada di atas meja dan menyalakannya."Bukan berantem, tapi Ratna diusir dari rumah sama Nyokap gue," tukas sang CEO di kantor Febi sendu sambil mengusap wajahnya dengan kasar."Kok, bisa? Memangnya kenapa? Terus Ratna pergi kemana sekarang?" cecarnya dengan mata yang terbelalak karena kaget."Nyokap gak suka sama Ratna karena takut dia menggagalkan rencana perjodohanku dengan Sean. Sampai sekarang gue belum tahu keberadaannya, kemarin sudah nyari tapi lom ketemu." Tatapan kekasih Ratna itu menatap ke sembarang arah, hatinya limbung, pikirannya pun kacau."Kalau Bokap gue denger, loe pasti dimaki abis, soalnya Bokap gue itu sayang banget sama dia."
Ya Allah aku mesti kemana ini? Nyari kontrakan kan gak gampang, mana ini bukan daerah sendiri lagi!! Kaki ini terus melangkah menyusuri komplek perumahan elit menuju jalan raya. Dan lima belas menit kemudian aku sampai di halte, terdiam sendiri sambil duduk di halte menunggu kendaraan umum yang lewat.Nyonya bilang aku harus pergi jauh agar tak bertemu dengan Mas Very lagi, huuuufftt. Ingin rasanya menangis meratapi nasib ini, aku sendiri, tak ada saudara atau kerabat di sini. Keluarga besar Ibu dan Bapak jauh di luar pulau, dah gitu kami lost contack semenjak aku pindah ke kota."Neng, mau naik?" tanya Pak kenek saat melihatku."Iya, Bang, ke terminal ya?" tanyaku memastikan."Iya, Neng. Ayok, naik!" ajaknya, ia turun lalu mempersilakan aku duduk di jok yang kosong. Kemudian mobil melaju hingga beberapa menit baru sampai terminal."Neng, sudah sampai terminal," tutur Pak Kenek memberitahu. Dan aku langsung turun setelah memberi ongkos.Kemudian aku naik bis ingin ke makam Ibu dulu, t
"Ver, gue mau dong disuapin sama Ratna, kayaknya enak deh." Dia menatapku penuh arti dan seolah ada maksud tersembunyi, entahlah aku juga gak yakin.Ddeegg!! Apa? Dia mau aku suapin, gak salah? Selama nikah aja dia gak pernah memintaku seperti ini, kenapa sekarang ...? Why??Sekilas aku melirik ke arah kekasihku, ternyata mimik mukanya menunjukkan kalau dia ...iya dia sepertinya tak suka tapi berusaha tersenyum meski sangat terlihat terpaksa."Ayo, dong, aku mau nyobain spagetinya. Kamu bikin sendiri?" Mas Febi sepertinya tak sabar ingin nyobain makanan yang aku buat. Lantas aku segera mengarahkan garpu yang sudah dikaitkan dengan spageti ke mulutnya, dan dia sudah siap menerima suapan dariku.Sesaat dia terpejam menikmati setiap sentuhan rasa yang menempel di lidahnya."Enak banget, sumpah. Baru kali ini aku makan spageti seenak ini, restoran bintang lima aja kalah. Gila ... ini enak buanget." Mas Febi terus nyerocos mendeskripsikan semua rasa yang ia nikmati."Ya enaklah orang tin
"Ya, udah besok kita nikah yuuk, biar bisa mandi bareng," cakapnya membuatku terkejut setengah mati. Emang segampang itu nikah? Restu aja lom dapet. Huuuftt!!!"Jangan becanda deh?" protesku sambil bersungut, sebenarnya itu ungkapan yang ingin aku dengar secepatnya. Tapi, mengingat orang tuanya yang tak merestui hubungan kami, itu menjadi suatu yang sulit untuk mewujudkannya."Aku serius, sayang, malahan seratus rius loh." Ia begitu gigih meyakinkanku atas perasaan dan niat seriusnya. Tapi aku sendiri menjadi dilema??"Tapi gimana dengan Tuan dan Nyonya besar? Mereka gak ...." Belum selesai ngomong dia sudah duluan memotong ucapanku."Huusstt!! Kamu gak usah khawatir soal itu. Aku lelaki bisa tetap nikah tanpa wali, aku tak peduli bagaimana keputusan orang tuaku nantinya." Ia seakan begitu semangat untuk terus melanjutkan hubungan ke jenjang serius. Aku mencintai dan menyayanginya sepenuh hati, rasa ini pertama dalam hidupku. Bahkan, meski aku kemarin sempat menikah selama 6bulan kur
"Sean, kamu itu cantik, pintar, punya segalanya. Pasti banyak cowok yang tertarik sama kamu." Tatapan mataku menyisir pandangan ke arahnya yang duduk tepat di hadapanku."Lantas?" Sean menyipitkan matanya seolah sedang menerka maksud ucapanku."Kamu bisa cari cowok lain selain aku, karena aku sudah mencintai wanita lain." Hatiku begitu mantap mengungkapkan apa yang kurasa, meski nanti pasti akan dapat penolakan dari orang tuaku dan orang tuanya.Kuhisap rokok yang ada di tanganku dan menghembuskan asapnya ke samping. Aku gak mau dia menghisap asap rokokku."Apa kamu bilang?" Wajahnya ia dekatkan ke arahku dengan pandangan melebar seolah ingin mendengar lebih jelas lagi."Aku tidak bisa mencintaimu karena ada nama wanita lain di hatiku," ucapku memperjelas dengan keyakinan yang mantap."Si_siapa dia? Wanita mana yang bisa mengalahkan pesonaku? Selama hidupku aku tak pernah mendapat penolakan dari seorang lelaki. Bahkan, tinggal tunjuk aja, lelaki itu takhluk di hadapanku!" sarkasnya d
"Mamah ... kapan pulang?" Lelaki yang kini sudah menjadi kekasihku melangkah masuk melalui pintu utama dan langsung menghampiri mamahnya."Tadi sore jam 3 an, kamu baru pulang kerja?" Nyonya besar langsung memeluk putranya erat.Aku dan Bibi sedari tadi sibuk menyiapkan makan malam besar karena katanya malam ini keluarga Sean_cewek yang dijodohkan dengan Mas Very mau datang dan makan malam di sini. "Iya, soalnya di kantor lagi banyak kerjaan. Uuh, capek banget, aku ke kamar dulu ya, Mah mau mandi," tukasnya sambil meregangkan otot-ototnya dengan menaikkan kedua tangannya ke atas. Lalu beranjak pergi."Oh, iya, Very, nanti jam 7 malam keluarga Sean mau ke sini. Kita makan malam bersama," cetusnya dengan lantang. Tiba-tiba ia berjalan menghampiriku yang masih sibuk menata hidangan di meja."Sayang, kamu masak apa? Banyak banget makanannya," bisiknya di telingaku."Memangnya barusan gak dengar apa, kalau calon istrimu mau datang ke sini," ketusku dengan memasang wajah cemberut."Masa?
"Mas ... jaga ucapanmu, tak selayaknya kamu meminta begituan saat kita belum halal! Kalau kamu sayang sama aku, tolong jaga nama baikku." Mataku seketika memanas mendengar ucapannya yang konyol itu."Aku kecewa sama kamu, Mas, ternyata kamu sama saja seperti pria di luaran sana yang tak bisa menahan napsu." Kini tatapanku berubah sangar dengan mengeratkan gigi."Sayang, maaf ya, aku gak bermaksud begitu, aku cuma mau mengetes kamu aja. Aku pikir kamu wanita ....""Gampangan yang bisa menyerahkan mahkotanya pada lelaki sebelum akad? Tidak, Mas, aku tidak sehina itu meskipun aku orang miskin tapi aku tahu batasannya.""Sayang, tolong maafin aku." Tangannya langsung meraih tanganku tapi dengan segera aku hempaskan.Aku keluar menuju pintu utama, berjalan ke arah taman depan meninggalkan Mas Very di dapur dengan perasaan kacau dan emosi."Eheemm ...." Suara bariton tiba-tiba mengagetkanku, seketika aku langsung menoleh ke arah sumber suara."Mas Fe_bi," lirihku sambil menatap wajahnya se