“Bantu Hana meyakinkan Dokter Reza bahwa Hana nggak suka ama dia.”“Wah, ngetes apaan? Itu namanya bukan ngetes, tapi nolak!”Serangan protes pun meluncur keluar dari mulut para bidan. Mereka keberatan. Rata-rata sontak menggeleng sambil menautkan alis, tak setuju. Sebagian kecil memandang tak suka. Mereka menganggap Hana kurang bersyukur. Cemooh bernada bullying pun bermunculan. Kentara sekali, mereka memihak Dokter Reza.Hana sangat kecewa.Melihat situasi tersebut, Keyko memutar bola mata. Ya ampun, dunia sudah terbalik. Penjahat dibela, gadis lemah tertindas malah di-bully. Batinnya, gondok.“Hellow, Kakak-Kakak Bidan, monmaap, ya. Yang namanya penjahat itu, sekalipun ganteng, humble, and friendly, tetep aja penjahat. Jangan sampe terpalingkan ama visual Dokter Reza. Hana itu calon korbannya! Apa kalian tega adek koas imut dan polos gini di-PHP? Harusnya kita bantu Hana ngasi pelajaran ama Dokter Reza, biar kapok ngasi harapan palsu ke cewek!” Kakak-kakak bidan terlihat ragu. Mer
Hana merasakan denyut penyesalan di hatinya. Ia terpaksa menolak Akmal, meski cukup menyukainya. Namun, penolakannya bukan karena telah terikat dengan Reza atau karena Reza lebih baik dari Akmal.Keputusannya mungkin tidak akan berbeda jika Akmal datang lebih dulu. Hana bukan pilih-pilih pasangan, ia hanya belum ingin menikah. Meski kadang ia khilaf membicarakan cowok dengan Keyko si ratu pacaran, bukan berarti Hana serius memikirkan pernikahan. Ia pernah terhasut Keyko untuk meminta dikhitbah salah satu kakak tingkat keren dan baik hati, lalu berakhir gagal. Sebab si cowok merasa dipermainkan. Insting cowok itu betul. Hana memang cuma main-main.“Kak Akmal, maaf ....” Hana menangkupkan sepasang tangan. “Jawabannya tertunda lama. Saya sedang ada masalah. Belum bisa menikah dengan siapa pun dalam waktu dekat, kecuali masalah itu selesai.”“Saya masih menunggu jawabanmu. Saya harap rumor yang saya dengar itu tidak betul ....”Sikap Akmal tegas, tanpa basa-basi. Suaranya khas aktivis ka
Hana tidak tahu, berapa jam sudah ia tertidur. Yang jelas, begitu bangun, ia menemukan dirinya sendirian di sebuah kamar yang wangi. Tempat tidurnya bertabur bunga-bunga mawar. Gadis itu terkejut. Siapa yang memindahkannya ke sini? Hawa dingin AC, merindingkan bulu kuduknya. Ia menyilangkan sepasang lengan di depan dada. Seketika Hana menyadari, pakaiannya telah berganti. Bukan lagi gamis berlapis snelli, melainkan gaun tidur berenda cantik transparan.“Hana ....”Satu panggilan rendah magnetik, sedikit serak, mengalun ke telinganya. Hana berpaling dan menemukan Reza sudah di sisinya. Pemuda itu duduk, menatapnya tenang dan dalam. “Kedinginan?” Reza bertanya lembut begitu melihat sedikit Hana menggigil. Ia meraih selimut bed cover. Lalu, menyelubungi sekujur tubuh Hana dengan selimut itu.Gadis itu tak bersuara, hanya memandang dengan binar tanya di matanya. Selimut ia rapatkan kuat-kuat menutupi tubuh dan kepalanya, menyisakan bagian muka.“Maaf, ini ulah nenek.” Reza mengganjur
Reza mencengkeram sepasang bahu Hana untuk menahan gerakannya, lalu menatap lurus-lurus ke matanya.“Sadar, nggak, yang kamu lakukan?”Nanar, Hana membalas tatapan Reza. “Kak Reza serius ngejar Hana?” Suara gadis itu lemah dan selembut desir angin.Reza berdebar-debar menyaksikan mata bintang istrinya yang meredup dan sayu. Ditangkupnya sepasang pipi Hana. “Serius.”Hana memejamkan mata. Rasa gerah di tubuhnya, mengalahkan dinginnya AC. Anehnya, kenyamanan muncul saat ia berdekatan dengan Reza. Hana berusaha menekan keinginan tak wajar itu. Bukankah ia membenci Reza? Bukankah ia ingin menghindar sejauh-jauhnya?“Kamu takut aku mencampakkanmu? Tak percaya padaku?” tanya Reza.Hana mengangguk. Lalu, membuka mata dan mendorong tubuh Reza. Pikiran jernihnya kembali walau hanya seujung jari. Reza tersenyum pahit, menyembunyikan rasa terpukul di hatinya. Wajar Hana tak percaya padanya. Niat awalnya memang seperti itu. Namun, siapa yang Maha Kuasa membolak-balikkan hati manusia? Getaran c
Sebakda Subuh, Hana mendapatkan pakaian ganti dari pelayan rumah keluarga ningrat Reza. Pelayan yang mengantarkan pakaian memperlihatkan ekspresi bahagia. “Mbak Hana dan Mas Reza, ditunggu keluarga untuk sarapan di ruang makan.” Si pelayan berpesan sebelum meninggalkan kamar. “Jangan mengejarku lagi.” Hana berkata dingin kepada Reza, usai berpakaian rapi. “Kamu udah dapetin yang kamu mau.” Kalimatnya formal dan sikapnya kaku seperti menghadapi orang asing.“Hana, kamu merendahkan aku.” Reza betul-betul tersinggung. “Sama sepertimu. Ini yang pertama bagiku.”“Anggap saja malam ini nggak terjadi apa-apa.” “Nggak terjadi apa-apa?” Hati Reza tercubit. “Hana, kamu keterlaluan!”“Tolong, Dok. Jauhi aku. Jangan membuatku tambah membencimu.” “Aku akan tetap mengejarmu.”“Please ....” Mata besar Hana kembali berair. “Jangan siksa aku lagi.” Gadis itu menengadah, agar embun bening yang melayang di pelupuknya tidak jatuh. Dilema batinnya terasa menyesakkan dada. Ia menunjukkan kemarahan pad
Setiba di ruangan THT, Hana berpapasan dengan Kinanti. Ia langsung menyeret temannya itu ke koridor yang lebih sepi.“Lo sok ngakrabin gue, ternyata jadi intel, ya? Kurang ajar! Dibayar berapa lo ama keluarganya Dokter Reza buat nyulik gue?” bentak Hana.Kinanti menepis tangan Hana. Bukannya minta maaf, ia malah melotot tak kalah galak. “Dasar kurang bersyukur! Jual mahal lo! Kalo bukan karena desakan nenek, kagak sudi gue nyulik elo! Lo pikir Mas Reza beneran suka ama lo? Gaklah! Dia cuma terpaksa, manfaatin lo karena desakan keluarga aja! Lo kepilih acak, ngasal doang, bukan karena dia emang suka elo! Elonya aja yang betingkah banget, sok alim, sok minta dikejar!”Hana geram sekali. Ucapan Kinanti memantik rasa terhinanya.Plakk!Tangan gadis ahli silat betawi itu mendarat keras di pipi kiri Kinanti.“Aduh!” Kinanti refleks memegangi pipinya yang perih. “Hana! Berani lo nampar gue?!”Kinanti melotot. Kemarahannya meledak. Sudah lama sebenarnya ia cemburu melihat sikap jual mahal Ha
Reza menuntaskan jadwal operasi hari itu, dua jam setelah tragedi perundungan yang menimpa Hana. Saat mengecek ponsel, ia dapat kabar mengejutkan tersebut dari kepala pendidikan dan pelatihan nakes. Sebagai dokter penanggung jawab bimbingan klinik, tentu saja ia diminta menangani masalah tersebut.Reza gegas berlari ke IGD. Namun, Hana sudah tidak ada. Menurut dokter jaga, koas Hana sudah pulang dijemput sahabatnya, Keyko. Jantung Reza serasa diremas tangan tak kasatmata, membayangkan istrinya yang imut dan kekanak-kanakan, menderita luka-luka akibat bullying. Walaupun menurut dokter dan perawat IGD, Hana hanya menderita luka fisik yang tak terlalu parah, Reza tetap mencemaskannya.Ia menghubungi Hana berkali-kali via telepon, serta mengirim belasan chat. Telepon tak diangkat, chat tak dibalas. Namun, ponsel Hana aktif. Apakah istrinya sengaja tak ingin dihubungi? [Hana, kamu di mana?][Nimas, kamu nggak apa-apa?][Angkat telponku, Han!] [Hana .... Sayang, aku mau jemput kamu. Mau
Hana menggantung jawaban chat Reza. Matanya tertarik foto profil pemuda itu. Reza memajang foto akad nikah, saat bersalaman dengan babenya. Hatinya bergetar. Seserius itukah dokter mesum itu ingin memperistrinya, sampai-sampai menjadikan acara akad nikah sebagai foto profil? Apakah tidak khawatir dilihat rekan sejawat dan seluruh daftar kontaknya?Gadis itu mematikan ponsel, lalu merebahkan tubuh letihnya di kamar vila yang sejuk ber-AC. Babe dan enyaknya berkali-kali menelepon, sengaja ia abaikan juga. Ia tak ingin diganggu siapa pun.Setelah beristirahat selepas perjalanan dari Jakarta-Puncak yang melelahkan, kekeruhan pikiran Hana pelan-pelan mengendap dan jernih.Ada rasa marah menyusup ke dada, karena merasa dipaksa menerima situasi yang bukan pilihannya. Seumur hidup, Hana adalah putri tunggal yang dimanja dan selalu diratukan oleh orang tuanya. Kenapa soal jodoh, enyak babe malah merampas hak pilihnya? Ia bahkan tak diberi kesempatan berpikir!Hana juga merasa wajar jika ia me