Sore itu, Gavin datang membawa sebuah kotak besar. “Bukalah,” katanya setelah meletakkan kotak tersebut di depan Prisha.Hem, mau nyogok hatiku rupanya. Prisha membatin, geer. Nggak bakalan berhasil, Dok.Dibukanya tutup kotak besar yang tampak eksklusif itu. Gerakannya ogah-ogahan. Prisha memandang datar satu set gamis yang terlipat rapi dalam kotak tersebut. Ia mengambil pakaian tersebut, lalu membentangkannya. Gamis itu berbahan sutra, berlapis brokat elegan berhiaskan batu-batu permata kecil berkilauan. Kerudungnya juga bertatahkan berlian murni berukuran mungil. Modelnya sederhana, tak berlebihan. Namun, sekali pandang saja, Prisha bisa menebak betapa selangit harga gaun dan kerudungnya.“Warna kesukaanmu, kan?” tanya Gavin. Ia menunggu mata Prisha bersinar gembira dan senyum gadis itu mekar seperti ketika menerima setelan gamis dan kerudung yang dibelikan Alif sebagai ganti pakaian yang tersiram jus buah.Sayang sekali, harapannya musnah. Sorot mata indah Prisha justru penuh t
Bambang, pengusaha tua berusia enam puluh tahun itu sangat menyukai Gavin. Lima tahun lalu, ia pernah mengutarakan harapan pada Zed dan Tibra, untuk menjodohkan putri bungsunya dengan Gavin. Gavin menolak perjodohan tersebut dengan alasan putrinya masih terlalu muda. Lima tahun lalu, Shazia memang baru berusia lima belas tahun. Alasan penolakan Gavin cukup logis sehingga Bambang tak mempermasalahkan.Sekarang Shazia, putri bungsu Bambang itu, telah berusia dua puluh tahun. Shazia ikut hadir dalam pesta beserta seluruh teman-teman sosialitanya yang terdiri dari putri-putri pengusaha dan putri pejabat teras. Tentu saja ia tak akan melewatkan kesempatan emas berjumpa dengan Dokter Gavin, CEO ganteng dari Healthy Light yang menempati jajaran atas ranking eksekutif muda level regional Asia. Shazia, sama seperti ribuan gadis-gadis di luar sana yang tergila-gila pada sang dokter. Tak pernah ia lewatkan sedikit pun berita tentang Dokter Gavin di sosial media. Demi menjadi pusat perhatian,
Dua orang sahabat Shazia datang menghampiri. Mereka mengelilingi Prisha, seakan-akan ingin mengepungnya agar tak melarikan diri.Prisha memutar bola mata dengan malas. Ya ampun, pikirnya. Dasar gadis-gadis kota yang sok berkuasa. Mau mem-bully? Coba saja.Prisha yang sudah kebal di-bully, tertawa dalam hati. “Mana berani saya meremehkan Kak Shazia? Bener itu nama Akak? Putri Pak Bambang, bukan?”Shazia berdecih. “Kalo udah tau, mestinya kamu tau etika. Jangan besar kepala. Gayamu kayak nyonya besar aja.” “Saya tamu undangan di sini. Menemani Dokter Gavin. Sebagai tuan rumah, mestinya kamu juga paham gimana cara menyambut tamu dengan baik,” balas Prisha. Suaranya masih lembut dan sopan. Wajahnya polos. “Kalo ngerti etika, mestinya kamu sadar diri,” balas Shazia, tak mau kalah. “Kamu tuh nggak pantes datang ke sini. Kamu bukan bagian dari kami. Kami semua tau, Dokter Gavin hanya terpaksa menikahimu.”“Oh, ya? Kalo udah tau, kenapa pake nanya alasan Dokter Gavin tertarik padaku?” ba
[Keluarlah! Ada yang ingin kubicarakan. Penting!]Pesan masuk dari nomor asing, baru dibuka setelah ia turun dari panggung dan duduk di meja kehormatan. Ia baru saja mengecek ponsel begitu merasakan benda itu berbunyi berkali-kali. Ternyata ada dua puluh kali panggilan tak terjawab dari nomor asing. Pemilik nomor itulah yang mengiriminya pesan. Prisha refleks menoleh ke arah pintu masuk aula. Beberapa pemuda pemudi berseragam resepsionis berdiri menjaga pintu. Tak seorang pun yang ia kenal. Para tamu memadati aula, tak ada yang berdiri di ambang pintu. Siapa pengirim pesan itu?Prisha memutuskan untuk mengabai pesan yang dianggapnya tak sopan itu. Bukannya memperkenalkan diri, malah memerintah orang untuk keluar. Bener-bener iseng, batinnya kesal. Lantas, dihapusnya pesan tersebut.Tak berapa lama, makan malam dimulai. Meja-meja bundar dipenuhi hidangan makan malam yang menggugah selera. Terhidang apik dalam peralatan makan ekslusif terbuat dari porselin mahal. Menu makanan dan minu
“Vin, gimana soal pencairan saham istrimu?” Saat sedang terlibat diskusi seru dengan beberapa pengusaha bidang industri kesehatan, seseorang tiba-tiba bertanya pada Gavin. Pertanyaan tersebut mengalihkan perhatian para pengusaha tersebut. “Apakah itu benar? Kami pikir hanya rumor.” Mereka berkomentar, ingin tahu. Mereka menaruh perhatian karena penarikan saham kemungkinan berpengaruh terhadap biaya produksi perusahaan multinasional Healthy Light. Jika modal berkurang, kualitas dan kuantitas produksi kemungkinan akan terpengaruh.Gavin menoleh pada orang yang bertanya. Ternyata orang itu Zakki, sepupunya. Zakki menyeringai. Pertanyaannya disengaja, untuk melemahkan kepercayaan para pengusaha muda terhadap Gavin. Itu bakal berpengaruh terhadap kerja sama perusahaan.“Perusahaan kita sudah menyiapkan antisipasi. Tak akan terpengaruh oleh penarikan saham,” sahut Gavin, tenang. “Syukurlah. Kamu memang handal meski belum berpengalaman.” Zakki manggut-manggut. “Ngomong-ngomong, di mana
“Biar semua orang tau kebusukan keluarga Devandra dan kerabatnya!” desis Joanna. Sepasang tangannya meremas ujung gaun dengan ketat. Joanna yang pikirannya bersumbu pendek, akhirnya melupakan niat awalnya. Sejuta rasa sakit yang dialami akibat merasa dibedakan dalam keluarga, mencuat di hatinya. Bercampur luka patah hati diperlakukan kasar oleh Gavin dan papanya sendiri. Ia yang selama ini terbiasa mem-bully, tiba-tiba merasa tertindas oleh kata-kata Prisha. Kemarahan hebat membayang di wajah cantik adik Ariana itu, mengingatkan Prisha pada wajah penyihir jahat yang diselimuti hawa balas dendam dalam film-film fantasi. Prisha berusaha tetap tenang dan berkepala dingin. Entah apa maksud Joanna mengajaknya bertengkar di luar aula dan memancing wartawan datang. Jika itu untuk mencemarkan nama baik keluarga Gavin, maka Joanna berhasil. Para wartawan terlihat antusias mengarahkan kameranya. Belasan blitz menerpa wajah Prisha dan Joanna.“Joanna, kenapa kau lakukan ini?” tegur Prisha. S
“Maaf, Sha nggak tau, Kek. Sha pulang duluan ....”“Acara belum selesai, kalian malah kabur! Cepat telpon Gavin! Segera kembali!”“Pak Dok nggak ngangkat telpon, Kek. Chat pun nggak dibaca.”“Ahh, kemana anak itu?” Kakek Zed misuh-misuh.Kecemasan Prisha merambat naik. “Pak Dok biasanya didampingi penjaga. Bentar kuhubungi kepala penjaga, Kek.”“Penjaga tak boleh masuk ke acara. Mereka hanya mengawal di depan aula. Kalo Gavin keluar, para penjaga pasti melihatnya dan melapor padaku. Sudahlah. Mungkin ia masih di dalam mansion. Nanti kutanya Pak Bambang. Tadi kulihat dia pergi dengan si Indra, putra Pak Bambang.”“Oh, baik, Kek. Moga segera ketemu. Mohon maaf, Sha lelah, nggak sanggup kembali ke acara. Izin pulang duluan, ya, Kek.”“Minta izin, tapi kamunya udah di jalan.” Si kakek menggerutu sebelum mengakhiri panggilan telepon.Prisha mengembuskan napas halus. Kecemasannya sedikit berkurang. “Segede itu nggak mungkin hilang gitu aja, kan? Kakek Zed cukup protektif. Pasti bisa menjaga
Prisha meringis kesakitan karena cengkeraman Gavin terlalu kuat. Seperti orang takut kehilangan.“Sabar, Pak Dok. Sha ada di sini. Di sebelahmu. Nggak perlu dipegang kuat-kuat. Segitunya, ih.” Dokter muda itu mengomel. Nadanya mengalun, mirip orang ngambek.Ariana takjub melihat ketenangan Prisha. Istri Gavin masih sanggup ngemil dan menggerutu, seakan-akan yang berlangsung di depan matanya hanya peristiwa biasa. Bayangkan, istri mana yang tahan jika suaminya ditemukan sekamar dengan wanita lain? Jika berada di posisi Prisha, Ariana mungkin akan menjerit, memaki, dan menjambak rambut wanita penggoda itu. Jelas-jelas Shazialah yang memasuki kamar itu dan sengaja membiarkan dirinya dimanfaatkan!“Pokoknya, saya tak bersalah! Kalo masih ngotot, saya tak akan segan memanggil detektif untuk menyelidiki kasus ini. Saya merasa dirugikan!” kata Gavin, tegas.Prisha mengangguk-angguk, maklum. Tidak heran jika suaminya merasa rugi. Jangankan terhadap Shazia, terhadap istri sah saja Gavin meras