Share

Bab 04

Setibanya di dalam vila dengan ruangan sangat lebar, terlihat pemandangan khas yang hadir memanjakan kedua netra, dinding dengan lapisan cat bernuansa serba putih mewarnai dari awal masuk hingga menuju sejurus anak tangga.

Lantai yang terbuat dari ubin seakan memberikan warna kemerlap terang, di antara plafon juga dihiasi lentera berukuran lumayan besar, sementara pojok ruangan tersebut terdapat lemari kristal dan arloji sakana klasik.

"Silakan masuk dulu, Nak." Penjaga—vila bernama—Pak Sukri memperkenankan para mahasiswa untuk masuk.

Sembilan orang yang tergabung dalam satu kelompok itu tak pernah terpikir akan mendapatkan tempat KKN paling spesial, sementara mahasiswa kelompok yang lainnya hanya melaksanakan kegiatan tersebut di satu kabupaten. Karena sangat senang, mereka pun menghambur masuk dan menaiki anak tangga lantai dua.

Tetapi tidak dengan Bisma, ketua dalam regu KKN itu tampak sangat gelisah dan memekik ketika awal menapakkan kakinya di Kecamatan Berastagi. Ketika di tengah perjalanan, dia telah mendapati sebuah penglihatan tak lazim, seperti sosok makhluk berwajah sangat lebar.

"Anak muda, kau tidak masuk bersama yang lainnya?" tanya penjaga—vila di hadapan.

"Maaf, Pak, kalau boleh tahu namanya siapa, ya?" Bisma malah balik nanya pada lelaki paruh baya itu, alisnya juga mengernyit seketika.

"Nama saya, Sukri," responsnya.

Secara spontan, Bisma menyodorkan tangannya dan menatap mantap penjaga yang terlihat seram tetapi baik hati itu. Kemudian dia berkata, "nama saya Bisma, Pak."

"Oh, Nak Bisma. Kamu sangat lembut dan sopan, saya kagum dengan anak muda yang masih menjunjung etika ketika berbicara pada orang tua," puji Pak Sukri.

"Terima kasih, Pak, kalau begitu saya masuk dulu, ya." Bisma pun menarik koper hitamnya yang berisikan pakaian.

"Silakan, Nak, saya juga mau lanjut ke kebun dulu. Kalau ada apa-apa, temui saya di pondok itu. Soalnya, pesan dari dosen kamu—Bu Intan, dia mempercayakan keamanan mahasiswanya pada saya." Lelaki yang membawa cangkul itu pun menatap pondok minimalis di tengah kebun sayur.

"Oh, iya, Pak. Assalammualaikum ...."

"Wa'alaikumsallam ...," respons Pak Sukri.

Ketika berjalan dua langkah ke depan, Bisma merasa sangat merinding, tengkuknya pun terasa sangat berat dan seperti ada suatu keanehan. Karena sangat penasaran, dalam hitungan detik dia memalingkan tatapan ke belakang.

Penjaga—vila pun tak lagi ada di sana, padahal orang itu sudah lumayan tua dan berjalan sangat gontai. Namun, yang membuat Bisma tercengang adalah, lelaki paruh baya seperti Pak Sukri tidak mungkin dapat berlari di tengah permadani ilalang yang tingginya hampir setengah meter.

'Loh, kok, Pak Sukri hilang gitu aja? Perasaan aku baru dua langkah berjalan, aneh banget tau enggak.' Bisma bersenandika.

Seraya membuang perasaan aneh, pemuda tampan berkumis tipis itu memutar badan kembali, tanpa mengetahui siapa gerangan di posisi depan dia menatap mantap sosok yang tengah tertegun.

"Astaghfirullah!" pekik Bisma.

Dengan napas ngos-ngosan, dia terdiam seribu bahasa. Rupanya yang berada di hadapan adalah Fernando seraya membuang senyum semringah, ekspresinya seperti orang bodoh.

"Kenapa, Ketua?" tanyanya.

"Ah, enggak. Ak-aku, cuma kaget aja."

"Pasti mau bilang kalau aku hantu, kan?" Nando membuang tatapan jijik.

"Habisnya, kedatanganmu sangat tiba-tiba, hampir aja aku tabrak," cibir Bisma.

"Ih, amit-amit ... aku juga masih normal kali." Dengan mengangkat siku sebelah kanan, Nando pun bergerak menuju ruangan yang berada di sudut vila.

Karena sangat lelah seharian membawa koper, Bisma pun akhirnya menaiki anak tangga lantai dua, kamar yang tersedia ada sembilan di sana, meski ruang tersebut sangatlah minimalis, tetapi cukup untuk tidur satu ataupun dua orang. Nomor di depan pintunya juga sangat unik, berurutan dari angka satu sampai sembilan.

Tepat di depan pintu nomor satu, Bisma berhenti. Dia menoleh ketujuh sahabatnya yang juga menatap serius menuju portal tertulis aneh itu, bercak merah yang terpampang sangat mengundang berjuta pertanyaan.

"Guys, kalian belum masuk?" tanya Bisma.

"Belum, Bis, kami enggak tahu harus pilih kamar nomor berapa. Soalnya, kamar ini sangat kecil—mana bisa kalau kita tidurnya bertiga." Dari posisi tengah, Anissa berujar.

'Iya juga, ya,' batin Bisma.

"Bagaimana kalau kita tidur di ruang kamar masing-masing? Kan, jaraknya juga dekat jadi gak perlu takutlah sama hantu," titah Bisma seraya membuang cengir.

"Bagus juga katamu. Ya, udah, kita masuk aja," sambar Tias dan Anita.

Bisma pun masuk lebih dulu di kamar nomor satu, yang lainnya juga memasuki kamar tersebut hingga urutan kedelapan. Tepat di kamar paling akhir, ditempati oleh Indah, wanita yang sangat peka akan kahadiran makhluk gaib. Dia berjalan sedikit limbung akibat banyaknya barang bawaan.

Koper yang dia bawa lumayan besar, berisikan pakaian dan perlengkapan praktik untuk meneliti. Lukisan yang ada di dalam ruangannya sangat bagus, dipenuhi dengan foto-foto Danau Toba dan destinasi khas Sumatra Utara. Sementara di jendela kamar, terdapat gorden berwarna hijau.

Indah mendudukkan tubuhnya di atas sprei bernuansa serba putih itu, seketika ruang kamar menjadi temaram ditimpali dengan angin yang masuk melalui ventilasi sangat kencang. Namun, dia tak mau mengambil pusing perihal keanehan, karena tujuannya datang ke Berastagi untuk meneliti.

Desas-desus berdesik memasuki indra pendengarannya, suara kecipak juga seperti terpapar jelas dari luar ruang kamar. Menggunakan tangan kanan, Indah mengambil diarynya dan membuka secarik kertas seraya memainkan benda bertinta hitam itu.

Kebiasaan Indah adalah menulis, menceritakan semua yang terjadi di dalam hidupnya, mulai dari masa lalu sejak dia dibenci ibu tirinya, hingga perihal cinta. Dalam hubungan asmara Indah adalah wanita lemah, tepat di usianya yang menginjak 21 tahun itu harus merelakan kekasihnya—menikah dengan sahabat sendiri.

Sejak kejadian mati suri yang dia alami beberapa bulan lalu, Indah kerap menjadi sasaran utama makhluk gaib yang ingin berkenalan dengannya, mungkin tujuan makhluk itu hanya ingin berteman dengan Indah— mahasiswi korban buli yang mendapat julukan 'PSIKOPAT.'

Ketika sedang menulis, jendela kamar Indah terbuka dengan sangat keras, padahal semilir angin sudah berhenti saat itu.

"Astaghfirullah!" sorak Indah seraya membangkitkan posisi duduknya.

Suara burung kedasik terdengar sejurus dari luar jendela, cahaya—sedikit temaram tampak jelas di netranya. Penasaran kembali menyergap, dengan langkah yang sedikit gontai, lalu dia beringsut menuju jendela tersebut.

Menggunakan tangan kanan, Indah menyibak gorden bernuansa serba hijau itu dan meraih penutup jendela. Namun, tepat di kebun sayuran milik Pak Sukri, dia mendapati siluet pemandangan yang berbeda. Tak sama ketika dia menatap di awal tadi, permadani kebun sayuran tampak seperti batu nisan yang berjajar rapi.

Dengan napas ngos-ngosan, Indah memalingkan tatapan menuju pintu ruang kamar. Kemudian, dia kembali meraih engsel dan menutup rapat jendela kamarnya.

'Kenapa kebun yang ada di bawah berubah jadi kuburan? Padahal, ketika tadi kami berbincang sama penjaga, kebun itu dipenuhi sayuran dan buah-buahan.'

Selesai bermonolog, Indah kembali berjalan menuju kursi dan meja belajarnya. Dengan tangan kanan, dia menyibak rambutnya yang menutup wajah sebagian. Tatapan penuh pun hanya tertuju pada buku diary di hadapan, yang menjadi pertanyaan besar baginya adalah, mengapa diary miliknya sudah tertulis angka 9. Tulisan dengan bercak merah yang sama seperti ketika Indah berada di rumahnya.

'Astaghfirullah, kok, ada angka sembilan lagi? Perasaan aku enggak ada nulis sama sekali.'

Berjuta pertanyaan datang secara bertubi-tubi dari dalam kepala Indah, otak tak lagi berpikir netral merumuskan penglihatan tak lazim belakangan ini. Bulir bening keluar dari leher bergerak sejurus melalui lekuk pipi, sentuhan tangan lembut juga terasa mendarat di pundaknya.

'Itu tangan siapa, ya?' tanyanya dalam hati.

Karena tak tahan, dia menoleh secara spontan. "Siapa itu!"

Akan tetapi, di belakang tidak ada siapa pun, jendela yang tadinya sudah tertutup malah kembali terbuka. Pintu kamarnya pun seperti ada yang mengetuk beberapa kali.

"Masuk ...!" teriaknya mempersilakan.

Pintu kamar pun terbuka, mereka adalah Anita dan Tias yang datang menjumpai.

"Indah, kau lagi apa?" tanya Anita.

"A-aku, lagi ... ini, nulis. Iya, lagi nulis," titah Indah terbata-bata.

"Lagi nulis, kok, seperti orang dikejar hantu gitu?" sambar Tias sekenanya.

Percakapan pun hening seketika, kedua sahabat Indah mendudukkan tubuh di atas sprei bernuansa serba putih, sambil mengunyah cokelat yang mereka bawa dari rumah. Namun, Indah hanya fokus pada tulisan angka sembilan di buku diarynya.

"Lagi lihat apa, sih? serius amat?" Anita kepo, lalu dia berdiri menemui posisi sahabatnya.

Dengan sagat cepat, Indah menutup buku diarynya dan menekan kening seketika. "Enggak lihat apa-apa, kok."

"Kita keluar, yuk, bosan di dalam kamar terus," ajak Tias penuh harap.

"Boleh, aku juga bosen di kamar terus. Indah, kau ikut enggak?" tanya Anita.

"Gimana, ya, aku lagi malas benget keluar kamar."

"Udah, ayo ...." Anita pun menarik tangan sahabatnya yang pemalu itu.

Mereka keluar dari kamar dan menuju lantai satu. Ketika sampai di ruang tamu, Indah menoleh ke arah dapur. Dengan mata telanjang, dia mendapati sosok bertubuh tinggi berjalan memasuki ruangan berukuran minimalis itu.

"Siapa itu?" tanya Indah, dia berhenti di samping lemari kristal.

"Kenapa, Ndah?" tanya Anita penasaran.

"Tadi ada laki-laki berjalan kencang banget ke arah sana."

"Di mana? Perasaan enggak ada siapa-siapa," sambar Tias, wanita berbandana merah itu mendongak secara saksama.

"Tadi aku lihat di sana ... ada orang lewat kencang banget," timpal Indah meyakinkan.

"Halah ... paling juga Nando atau Pikram. Mereka, kan, memang super jahil jadi anak. Udah, yuk, kita keluar aja," desak Anita, kedua sahabat pun memaksa Indah untuk keluar dari vila.

Sesampainya di depan halaman, mereka tercengang setelah melihat anak cowok sibuk membersihkan halaman. Di sana ada Bisma, Andre, Nando dan Pikram. Sementara Anissa dan Siska berfoto di samping kebun strawberry.

"Bentar-bentar, mereka semua ada di luar. Jadi, tadi yang kamu lihat siapa, Ndah?" tanya Tias, tatapannya gelenyar ke posisi sejurus.

Bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status