Share

Bab 06

Mereka pun kembali mencatat hasil wawancara pagi ini, tak berapa lama akhirnya sesi tanya jawab telah berakhir. Tiba-tiba, wanita paruh baya selaku istri dari Pak Sukri datang membawa nampan berisikan minuman hangat, yaitu kopi.

"Hayo ... kita minum dulu, jangan serius banget belajarnya," sambarnya, lalu dia meletakkan nampan berisikan gelas kosong itu ditambah kudapan di atas meja.

"Silakan diminum, Nak, kopinya," kata Pak Sukri.

Anissa pun mengisi beberapa gelas dengan minuman hangat itu, perlakuan dari empu pembimbing sangatlah baik, mereka mendapatkan sebuah nilai moral tersendiri dari masyarakat kampung. Lain halnya jika melaksanakan KKN di kota besar, mata hati mereka telah ditutupi benang merah, meskipun ramai tapi tak satu pun peduli.

Arloji berjalan hampir satu jam, tetapi Nando dan Andre tak kunjung datang. Karena pagi ini hanya membahas perihal tanya jawab, para mahasiswa ingin kembali ke vila untuk menjemput dua sahabat yang tak kunjung datang.

"Pak, kami permisi balik dulu. Kedua teman saya tak kunjung datang, takutnya mereka enggak tahu jalan menuju sini," titah Bima, lalu mereka pun berpamitan pergi dan menjabat tangan empu tersebut.

Setelah keluar dari pondok, mereka mendengar teriakan beberapa kali dari dalam vila.

"Tolong ...!"

"Tunggu-tunggu, kalian dengar suara itu enggak?" tanya Bisma seraya memberhentikan langkah.

"Iya, kami dengar. Jangan-jangan, Nando sama Andre—" Pikram menggantung ucapannya.

Mereka pun berlari memasuki vila sebagai tempat peristirahatan, sesampainya di dalam ruang tamu, sumber suara menghilang. Decak jantung gelenyar menafsirkan teriakan tadi, setibanya mereka dalam ruang sedikit temaram itu—tidak ada siapa pun.

"Nando ...."

"Andre ...," timpal Anissa.

"Mereka, kok, enggak ada?" tanya Tias.

Indah menoleh ke arah samping kanannya, dia mendapati sosok bertumbuh tinggi tengah berjalan kencang menuju kamar mandi.

"Siapa itu!?" pekik Indah, wanita berbandana merah sebagai pengikat rambutnya itu berjalan meninggalkan para sahabat.

"Indah ... tunggu kita ...." Anita dan Tias mengikuti dari arah belakang.

Setibanya di depan kamar mandi, ternyata ada sebuah ruangan yang sepertinya menghubungkan ke lantai dua gedung. Namun, tempat itu sama persis ketika beberapa hari lalu—hadir di mimpi Indah. Wanita berusia 21 tahun itu melangkah sedikit gontai. Setibanya di tengah ruangan, ternyata Nando telah meninggal dunia dengan mulut yang mengeluarkan darah segar.

"Tidak ...," teriak Indah.

Seluruh rekan-rekannya yang sedari tadi ada di dalam ruang tamu menghambur sejurus menuju sumber suara, tepat di depan ruangan—tempat penyimpanan benda-benda pusaka. Terdapat keris, gendang, dan lainnya berjajar rapi. Seperti alat untuk sebuah pertunjukan pentas seni, tetapi entah apa namanya.

"Indah, kau kenapa?" tanya Bisma dari ambang pintu, mereka tercengang ketika mendapati tubuh Nando telah terkapar di atas lantai.

"Nando!?" Anissa tertegun di posisinya.

Bisma pun mendeteksi denyut nadi di leher Nando, dia membuang ekspresi sangat kesal dengan apa yang terjadi hari ini.

"Innalillahi, wainnailahi, roziun ...." Bisma menutup kedua bola mata Fernando yang kala itu masih terbuka lebar.

Beberapa menit setelahnya, terdengar suara lagi dari dalam kamar mandi. Setelah sebelumnya sunyi, teriakan terdengar memasuki indra pendengaran ketujuh mahasiswa yang menggerompok di sebuah gudang.

"Tolong ...."

"Sepertinya itu suara Andre, kalian dengar enggak?" tanya Tias spontan.

"Iya, dia seperti ada di dalam kamar mandi," jawab Indah sekenanya.

Bisma dan Pikram menghambur keluar ruangan, mereka mendekati sumber suara yang tadinya terdengar.

"Andre, kau di dalam?" tanya Bisma.

Akan tetapi, tiba-tiba suara tersebut terdiam sesaat.

"Dobrak aja, Bis," ujar Anissa bersama dengan isak tangis yang tak tertahan.

Bersambung …

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status