Semburat arunika menerpa alam semesta, setelah subuh mulai menyingsing meninggalkan bulir segar di perbatasan dedaunan. Halaman vila sangat asri dipandang netra, permadani tumbuhan hijau menghias indahnya lahan perkebunan.Berbagai jenis sayuran serta buah-buahan tumbuh di tempat dengan julukan paling subur di Provinsi Sumatra Utara itu. Kabar tersebut tersiar hingga mancanegara, bahkan buah-buahan seperti strawberry dapat beradaptasi dengan udara sekitar, kita tak perlu membelinya dari luar negeri.Akan tetapi, rumor itu tertutup oleh sebuah ironi mengejutkan, daerah berjulukan paling subur itu menyimpan sejuta misteri, seperti kejadian yang baru saja melanda kelompok tim KKN Universitas Nusantara. Mereka harus kehilangan dua sahabatnya dalam kurun waktu bersamaan, bahkan makam mereka di samping vila pun belum mengering.Dengan langkah sedikit limbung, Indah dan teman-teman menuruni anak tangga lantai dua. Pasalnya, mereka tengah terteror penampakan arwah dari sahabat mereka yang tel
Sesampainya di depan pondok berukuran minimalis, para mahasiswa tercengang setelah mendapati beberapa bunga dan sesajen terpampang di pinggir kebun milik Pak Sukri. Pasalnya, nampan berisikan ayam cemani itu seperti telah terpotong di bagian kepalanya.Karena Pikram hampir saja menabrak isi sesajen di jalan setapak itu, dia beringsut spontan dan menjauh begitu saja. Sementara mahasiswa lainnya tampak bingung dengan bau kemenyan yang hinggap di lubang hidung mereka. Netra mendongak ke arah samping kanan dan kiri, sembari otak berkutat perihal penglihatan tak lazim pagi itu. Indah dapat merasakan aura mistis luar biasa di sekitar pondok tersebut, sebuah sosok muncul dari belakang rumah milik Pak Sukri."Siapa itu!" sorak Indah.Karena sangat terkejut, keenam sahabatnya menoleh posisi mahasiswi dengan panggilan psikopat itu. Rasa penasaran terus menghujani Indah, keingintahuannya gelenyar seraya menyibak logika dalam isi kepala. Tanpa memerdulikan siapa pun, dia tertegun ketika sosok ba
Mendengar teriakan itu, kelima sahabat yang tadinya sedang bergurau riang menghampiri kedua sahabat ketika awal bersikap sangat romantis. Suara burung kedasik kembali berkoar memasuki indra pendengaran masing-masing mahasiswa, secara serempak mereka mencari di mana sumber bunyi itu."Burung kedasik," ucap Anita spontan, nada suaranya terdengar lirih ditimpali rasa gemetar."Burung kedasik? Emang kenapa dengan burung itu, Nit?" tanya Anissa seraya menatap mantap lawan bicara."Pertanda akan ada korban kematian lagi. Ta-tapi, semoga bukan di antara kita." Anita pun kembali membungkam seraya menadahkan kepalanya, tampak dari ekspresi itu sangatlah ketakutan."Enggak, jangan bilang Bisma akan mati selanjutnya!" pekik Anissa, dia pun tengah menelan ludah beberapa kali.Tak berapa lama, empu—selaku pemilik kebun sayur—datang, dia memboyong istrinya yang mengenakan kebaya panjang beserta kain batik sebagai penutup pengganti rok. Di desa tersebut sangatlah kental akan budaya setempat, sehingg
"Kita masih di dalam vila, kok, Bis." Anita menjawab seraya menoleh ke kanan dan ke kiri sahabatnya yang sedang menggerompok membentuk posisi bulat."Apa yang terjadi padaku, Nit?" Anissa pun mencoba bangkit dari posisi tidurnya. Dengan sigap, Indah dan Tias membantu Anissa untuk mendudukkan badan.Akhirnya, kedua sahabat mereka pun kembali sadar. Suara burung kedasik tak lagi terdengar, tetapi hilangnya suara itu membuat listrik di vila—padam secara spontan. "Astaghfirullah!" sorak kelima mahasiswa secara serempak.Nestapa menyergap jiwa masing-masing mahasiswi yang notabenenya memiliki hati paling sensitif dibandingkan pria, kelima wanita itu merasa sedang diruntuk sebuah ayat-ayat kematian sepanjang hari, hanya tinggal menghitung giliran saja—siapa yang akan pergi selanjutnya.Bahkan hilangnya mobil milik mereka juga menjadi tanda tanya besar, alih-alih ingin pergi dari kubangan daerah mistis tersebut, tetapi tak ada kendaraan yang mampu membawa mereka meninggalkan lokasi. Gairah
Dalam suasana temaram vila yang menyimpan berjuta pertanyaan, seraya merumuskan misteri itu dalam kepala wanita yang sedari tadi merebahkan kedua sayap di atas kursi sofa sekelebat tercengang ke ambang pintu. Napas yang terengah-engah sekilas terasa berhenti pada tumpuan penglihatan, di luar sana seperti tengah digelar sebuah acara dengan alat musik yang terdengar sangat menggugah, hitam putih temaram permadani dengan bannyaknya penonton—hadir menggerompok.Rasa penasaran menghujani Indah yang sedari tadi mencoba untuk menyibak logika dalam isi kepala, menoleh kanan dan kiri seraya menyingkap sebuah penglihatan nyata. Penonton pun tak hanya berdiam diri mendengar alunan irama itu, mereka menari serempak dengan hentak kaki yang hampir sama.Lamat-lamat, Indah beringut dari kursi sofa dan berjalan sangat gontai, ditimpali rasa pusing menyergap kepalanya, pagelaran acara itu berlangsung di depan halaman vila. Secara saksama, wanita berusia 21 tahun itu membulatkan kedua netranya tanpa m
Sosok berambut ikal dan panjang itu mengedarkan senyum kecil, tatapannya sejurus menuju netra wanita yang sedang mengenakan kain panjang khas suku Batak itu. Kuku-kuku yang ada pada jemari sosok itu juga sangat tajam dan panjang, badan kurus dan semampai mematung tanpa pergerakan.'Ini boneka atau manusia, ya?' tanya Indah dalam hati.Karena sangat penasaran, dia memutuskan untuk menyentuh permukaan kulit bagian wajah sosok itu. Seraya menelan ludah, Indah menarik napas berat beberapa kali. Dimulai dari telapak kaki, Indah menatap secara saksama, kemudian menuju betis dan sejurus pada perut. Namun, tubuh makhluk itu semakin dilihat semakin terasa sangat panjang dan tinggi. Semakin dia mendongak semakin panjang dan tak tahu sampai mana batas penglihatan itu berhenti.Sekitar hampir tiga meter dari pusat tatapan, akhirnya tinggi badan makhluk itu berhenti. Sudah menyamai tinggi pohon randu yang ada di sampingnya. Karena sangat gemetar, Indah mencoba untuk mundur beberapa langkah ke bela
Hari berganti hari, minggu kedua telah mereka lewati bersama dengan kejadian yang tak pernah terpikirkan. Keenam mahasiswi Universitas Nusantara sedang diruntuk rasa bingung, pertanyaan datang tanpa jeda seolah otak tak mampu untuk merumuskan segalanya.Permadani terpampang jelas di luar vila, makam tanpa batu nisan menghabiskan ketiga mahasiwa yang tak mampu untuk mencekal takdir. Ironi itu memang hakiki, akan tetapi maut tak mau berdamai dengan mereka. Karena kematian itu terjadi sangat tidak wajar, kehadiran mereka dalam vila hanyalah bagai tawanan dalam penjara pesugihan."Aku mengajak kalian berkumpul di ruangan ini karena ingin membahas sesuatu," ucap Bisma yang sedari tadi memekik di atas kursi sofa.Kerlingan netra masing-masing mahasiswa menoleh kiri dan kanan, sepertinya Bisma memiliki pemikiran yang sama, lamat-lamat para mahasiswi tak percaya perihal makhluk gaib itu ada di sekitar vila."Berhubung kita sudah berkumpul di ruangan ini, apa yang ingin kalian bahas." Anissa m
"Kau bisa menjamin kalau bukan dia yang membunuh?" sambar Anissa spontan bernada sedikit mendayu."Kalian lagi ngomongi siapa? Sepertinya serius sekali. Perihal membunuh, siapa yang dibunuh?" Indah hadir di tengah-tengah perseteruan yang terjadi, kedatangannya yang secara tiba-tiba membuat bungkam perbincangan."Eh, Indah, kita enggak ngomongi soal pembunuhan, kok. Kau salah dengar kali," titah Anissa meringis takut, dia menggigit bibir bawahnya seraya menoleh ke wajah para sahabat yang telah melotot."Oh, kirain lagi ngomongi apa. Soalnya, aku bukan pembunuh. Kalau kalian berpikir aneh tentang kejadian ini, suatu saat permainan ini akan terungkap." Indah kembali memutar badan dan berjalan menuju lantai dua.Setelah orang yang tengah mereka bahas pergi, napas pun kembali netral setelah sebelumnya terhenti sejenak. Pembahasan tak lagi terdengar, mereka lebih memilih meninggalkan ruang tamu.Anita dan Tias berjalan menemui sahabatnya yang sedang berada di dalam kamar tidur. Pintu kamar