***"Kenapa, Mas?" Delia memicingkan mata menatap Haikal yang terbahak-bahak di samping Kang Dirman. "Kamu lagi ngomongin aku sama Annisa, ngaku!"Haikal menggeleng sementara Kang Dirman justru mengangguk membenarkan. Melihat anggukan kepala Kang Dirman, Delia seketika melotot ke arah suaminya. "Mas," panggil Delia ketus. "Kamu lagi gibahin kita berdua, ya kan?""Dek, bukan seperti itu, kami tadi cuma ....""Neng, bagaimana kalau bikin kuenya besok saja, Neng Delia harus istirahat, saya tidak mau kalau sampai Haikal marah gara-gara Neng Delia sibuk di dapur sama Annisa. Atau begini ... biar Annisa dan saya yang bikin brownies buat Neng Delia, bagaimana?" Kang Dirman berbicara sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sesekali suami Annisa itu nyengir memamerkan barisan giginya yang rapi. Sebisa mungkin Kang Dirman berbicara dengan pelan agar Delia tidak tersinggung."Kamu bilang gitu sama Kang Dirman, Mas?" Delia lagi-lagi memicing menatap suaminya. Haikal melambai-lambaikan tang
***"Pak, maaf kalau kami berdua tidak bisa mampir," kata Kang Dirman sungkan. "Saya khawatir keadaan Bapak sekarang tidak baik-baik saja."Pak Handoko mengangguk paham. Tangan pria paruh baya itu menepuk-nepuk bahu Kang Dirman kemudian berkata, "Terima kasih sudah mengantarkan Bapak dan ibu, Nak Dirman. Hati-hati di jalan, sampaikan salam Bapak untuk mertua kamu.""Insyaallah," jawab Kang Dirman. "Assalamualaikum ....""Waalaikumsalam."Mobil yang Kang Dirman kemudikan keluar dari halaman rumah Pak Handoko sementara pasangan paruh baya itu berdiri di ambang pintu sambil memperhatikan mobil milik Haikal itu berlalu dan menghilang di balik tikungan. "Harusnya tadi kita minta antar Dirman sekalian, Pak," ucap Bu Sarah kesal. "Jaka sama Fatima pasti sudah di rumah Naomi, terus kita mau naik apa?"Bu Sarah bersungut-sungut sambil memutar anak kunci yang tersimpan di bawah pot bunga kecil yang terletak di samping kursi teras. "Naik motor kan bisa, jangan kebiasaan menggerutu, Bu," tegur
***"Assalamu'alaikum ...."Seorang perempuan muda mengetuk pintu rumah Haikal yang tertutup rapat. "Assalamu'alaikum ....""Waalaikumsalam," jawab Delia sambil membuka pintu cukup lebar. "Mbak Delia?""Iya," jawab Delia seraya mengangguk. "Cari saya, Mbak?"Perempuan muda yang beberapa bulan belakangan menjadi abdi memasak di rumah Ustad Jefri itu mengangguk. "Saya Neneng," ucapnya memperkenalkan diri. "Boleh saya masuk, Mbak? Ada banyak hal yang ingin saya katakan.""Neneng?" ulang Delia sembari mengernyit. "Nggih. Abdi masaknya Ustad Jefri," jawab Neneng ragu. "Tapi itu dulu," imbuhnya. "Astaghfirullah, jadi sampean ini yang ...." Delia menghentikan ucapannya, khawatir jika Neneng merasa malu karena sudah mendapatkan perlakuan buruk dari Ustad Jefri. "Nggih, Mbak Delia, saya perempuan yang dilecehkan oleh Ustad Jefri.""Tapi ... ah, masuklah, Neneng! Mari!"Delia membuka pintunya lebar-lebar mempersilahkan Neneng agar memasuki ruang tamunya yang teramat luas. Neneng menganggu
***"Minumlah dulu, Neng," kata Delia seraya menyodorkan secangkir teh hangat ke hadapan Neneng. Neneng menerima cangkir dengan tangan gemetar. Tidak dapat dipungkiri, hatinya merasa gelisah, takut, juga malu. Siapa sangka jika perempuan yang ingin Ranti lenyapkan adalah perempuan sebaik Delia. Seteguk dua teguk berhasil memasuki kerongkongan Neneng yang gersang. Sebentar, hatinya merasa tenang karena ternyata Emak dan Delia tidak menggebu-gebu seperti sebelumnya. "Jadi selama ini kamu yang sudah menjadi kaki tangan Mbak Ranti, Neng?" tanya Delia tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun dari Neneng. "Tapi, darimana kamu tahu kalau hari itu aku sedang pergi bersama Kang Dirman dan Bulek Jamila?"Neneng kembali menunduk, sepuluh jemarinya kembali bertaut. Rasa takut juga resah kembali menggelayuti hatinya. "Mbak Delia sendiri yang mengatakan ketika berada di tempat Tukang Sayur. Sampean bilang kalau mau pergi bersama Kang Dirman dan Yu Jamila untuk membeli keperluan hantaran."Deli
***"Sepertinya ini tempatnya, Sayang."Kang Dirman menatap bangunan bertingkat rooftop di depannya. Letaknya strategis, mudah dijangkau anak-anak muda surabaya yang ingin menghabiskan waktu bersama orang terkasih. Bagian depan terdapat halaman yang cukup luas untuk lahan parkir. Cat berwarna putih yang dipadukan dengan pintu dan jendela kaca transparan membuat bangunan bertingkat di depan jalan raya terlihat modern dan berkelas. Bagian atas dikelilingi pagar setinggi pinggang orang dewasa dengan cat warna putih. Resik. Kesan yang bisa dilihat pertama kali adalah bangunan itu bersih dan elegan. "Masya Allah, mewah sekali ini, Mas," ucap Annisa sembari mendongak menatap bagian atas bangunan. "Ini bekas Cafe juga kan?"Kang Dirman mengangguk. "Haikal bilangnya sih begitu, Dek.""Bagaimana menurut kamu?" Kang Dirman menatap Annisa yang masih saja terpaku dengan bangunan indah di depannya. "Punya nomor telepon pemilik Cafe ini kan, Mas? Bagaimana kalau kita lihat-lihat dulu bagian dal
***"Kenapa, Eyang? Aku salah?"Wajah Eyang Salma memerah sementara Fatima terlihat semakin erat mencengkram lengan Pak Handoko. "Kurasa Fatima memang tidak ada urusannya dengan masalah Erina, jadi lebih baik kami pulang dulu," ucap Pak Handoko tegas. "Kalau kamu masih ingin menolong Erina, berunding lah dulu dengan keluargamu, Bu."Bu Sarah berdiri dengan gelisah. Hingga beberapa detik kemudian wanita paruh baya itu menggeleng dan berkata, "Coba kamu usaha dulu, Dan. Atau jual barang-barang bisa dijual. Demi Erina."Om Dani membuang muka, merasa kesal dengan semua saudara Bibi Naomi yang terkesan lepas tangan atas keadaan Erina saat ini. "Mbak Sarah benar, Erina masih tanggung jawab kamu," timpal Bibi Husniah. "Kamu ini Ayahnya, Dan, jadi jangan melepas tanggung jawab begitu saja.""Kalaupun aku punya, tidak mungkin aku meminta bantuan kalian." Om Dani menyugar rambutnya kasar. "Memangnya apa yang bisa aku jual?"Bibi Husniah dan Bu Sarah saling pandang. Sedangkan Eyang Salma duduk
***"Kau pikir aku perduli dengan semua itu, Hana?" Suara Annisa terdengar dingin. Perempuan yang sedang memeluk Emak Asih dengan sangat erat itu berbicara tanpa menoleh ke arah dimana Hana berada. "Berulang kali aku katakan, semua yang berurusan denganmu atau suamimu, aku tidak perduli!""Oh ya?" Hana seperti tidak percaya dengan ucapan Annisa. Wanita yang mengenakan setelan blazer berwarna hitam yang dipadukan dengan kaos warna putih sebagai dalaman itu tersenyum sinis. Penampilan Hana seperti wanita karir meskipun dia sebenarnya hanya berprofesi sebagai Ibu Rumah Tangga biasa. "Aku kira kamu sedang menunggu kabar tentang kami, Nis. Kamu pasti merasa besar kepala karena Mas Farhan sempat datang ke rumah suamimu. Ah, sayang sekali ternyata kami berdua tidak jadi bercerai."Emak menggenggam jemari Annisa kemudian menggeleng samar. "Biarkan saja, Nduk. Ayo!""Nggih, Mak.""Dimana-mana pelakor itu tidak akan pernah menang, Annisa. Istri sah selalu dilindungi Tuhan." Kali ini suara Hana
***"Kamu tidak mengerti, Ken ....""Aku mengerti," sela Kenan. "Tidak. Kamu tidak mengerti apapun. Semua tentang aku adalah keburukan. Kamu akan menyesal sudah mencintaiku sedalam ini. Aku tidak seperti yang kau pikirkan, Kenan. Aku ... aku adalah ladang dosa." Fatima menutup wajahnya menggunakan dua telapak tangan. Dadanya sesak, napasnya tersengal saat bibirnya dengan sengaja memberi tahu pada Kenan siapa dirinya di masa lalu. "Setidaknya biarkan aku mengenal kamu lebih dekat, Fat ....""Lalu membiarkan kamu tahu seperti apa masa laluku?" tanya Fatima menyela."Kalau begitu tutup rapat-rapat masa lalu itu. Sejak awal aku tidak memperkarakan siapa dirimu, Fatima. Aku jatuh cinta begitu saja ketika melihatmu di minimarket siang itu. Begitu saja," papar Kenan menggebu-gebu. "Aku tidak mempermasalahkan seperti apa dirimu di masa lalu, keburukan apa yang pernah kamu lakukan atau apapun itu. Aku sungguh tidak pernah mempermasalahkan itu, Fat. Kamu hanya takut pada perasaanmu sendiri p