***"Sepertinya ini tempatnya, Sayang."Kang Dirman menatap bangunan bertingkat rooftop di depannya. Letaknya strategis, mudah dijangkau anak-anak muda surabaya yang ingin menghabiskan waktu bersama orang terkasih. Bagian depan terdapat halaman yang cukup luas untuk lahan parkir. Cat berwarna putih yang dipadukan dengan pintu dan jendela kaca transparan membuat bangunan bertingkat di depan jalan raya terlihat modern dan berkelas. Bagian atas dikelilingi pagar setinggi pinggang orang dewasa dengan cat warna putih. Resik. Kesan yang bisa dilihat pertama kali adalah bangunan itu bersih dan elegan. "Masya Allah, mewah sekali ini, Mas," ucap Annisa sembari mendongak menatap bagian atas bangunan. "Ini bekas Cafe juga kan?"Kang Dirman mengangguk. "Haikal bilangnya sih begitu, Dek.""Bagaimana menurut kamu?" Kang Dirman menatap Annisa yang masih saja terpaku dengan bangunan indah di depannya. "Punya nomor telepon pemilik Cafe ini kan, Mas? Bagaimana kalau kita lihat-lihat dulu bagian dal
***"Kenapa, Eyang? Aku salah?"Wajah Eyang Salma memerah sementara Fatima terlihat semakin erat mencengkram lengan Pak Handoko. "Kurasa Fatima memang tidak ada urusannya dengan masalah Erina, jadi lebih baik kami pulang dulu," ucap Pak Handoko tegas. "Kalau kamu masih ingin menolong Erina, berunding lah dulu dengan keluargamu, Bu."Bu Sarah berdiri dengan gelisah. Hingga beberapa detik kemudian wanita paruh baya itu menggeleng dan berkata, "Coba kamu usaha dulu, Dan. Atau jual barang-barang bisa dijual. Demi Erina."Om Dani membuang muka, merasa kesal dengan semua saudara Bibi Naomi yang terkesan lepas tangan atas keadaan Erina saat ini. "Mbak Sarah benar, Erina masih tanggung jawab kamu," timpal Bibi Husniah. "Kamu ini Ayahnya, Dan, jadi jangan melepas tanggung jawab begitu saja.""Kalaupun aku punya, tidak mungkin aku meminta bantuan kalian." Om Dani menyugar rambutnya kasar. "Memangnya apa yang bisa aku jual?"Bibi Husniah dan Bu Sarah saling pandang. Sedangkan Eyang Salma duduk
***"Kau pikir aku perduli dengan semua itu, Hana?" Suara Annisa terdengar dingin. Perempuan yang sedang memeluk Emak Asih dengan sangat erat itu berbicara tanpa menoleh ke arah dimana Hana berada. "Berulang kali aku katakan, semua yang berurusan denganmu atau suamimu, aku tidak perduli!""Oh ya?" Hana seperti tidak percaya dengan ucapan Annisa. Wanita yang mengenakan setelan blazer berwarna hitam yang dipadukan dengan kaos warna putih sebagai dalaman itu tersenyum sinis. Penampilan Hana seperti wanita karir meskipun dia sebenarnya hanya berprofesi sebagai Ibu Rumah Tangga biasa. "Aku kira kamu sedang menunggu kabar tentang kami, Nis. Kamu pasti merasa besar kepala karena Mas Farhan sempat datang ke rumah suamimu. Ah, sayang sekali ternyata kami berdua tidak jadi bercerai."Emak menggenggam jemari Annisa kemudian menggeleng samar. "Biarkan saja, Nduk. Ayo!""Nggih, Mak.""Dimana-mana pelakor itu tidak akan pernah menang, Annisa. Istri sah selalu dilindungi Tuhan." Kali ini suara Hana
***"Kamu tidak mengerti, Ken ....""Aku mengerti," sela Kenan. "Tidak. Kamu tidak mengerti apapun. Semua tentang aku adalah keburukan. Kamu akan menyesal sudah mencintaiku sedalam ini. Aku tidak seperti yang kau pikirkan, Kenan. Aku ... aku adalah ladang dosa." Fatima menutup wajahnya menggunakan dua telapak tangan. Dadanya sesak, napasnya tersengal saat bibirnya dengan sengaja memberi tahu pada Kenan siapa dirinya di masa lalu. "Setidaknya biarkan aku mengenal kamu lebih dekat, Fat ....""Lalu membiarkan kamu tahu seperti apa masa laluku?" tanya Fatima menyela."Kalau begitu tutup rapat-rapat masa lalu itu. Sejak awal aku tidak memperkarakan siapa dirimu, Fatima. Aku jatuh cinta begitu saja ketika melihatmu di minimarket siang itu. Begitu saja," papar Kenan menggebu-gebu. "Aku tidak mempermasalahkan seperti apa dirimu di masa lalu, keburukan apa yang pernah kamu lakukan atau apapun itu. Aku sungguh tidak pernah mempermasalahkan itu, Fat. Kamu hanya takut pada perasaanmu sendiri p
***"Kenapa melamun?" Delia yang sedang duduk di depan TV seketika terperanjat mendapat tepukan lembut di bahunya."Kangen sama Haikal?"Wanita yang sedang hamil besar itu mengangguk lemah. "Nggih, Mak," jawabnya jujur. "Kira-kira Mas Haikal pulang kapan ya?""Kenapa gak coba ditelepon, Nduk?"Delia menggeleng sambil cemberut. "Kan ceritanya lagi ngambek, Mak."Melihat ekspresi wajah Delia, Emak hampir saja tertawa lebar. Perempuan yang sedang hamil memang ada-ada saja moodnya. Sebentar-sebentar senang, sebentar-sebentar sedih. "Bagaimana kalau Emak yang telepon?" Emak Karti menawarkan diri berharap menantunya mengangguk dan kembali tersenyum."Tidak perlu, Mak. Toh, Mas Haikal juga belum kasih kabar ...."Tring ....Tiba-tiba ponsel yang tergeletak di samping Delia berdering. Emak melirik sekilas sambil mengulas senyum ketika melihat nama ‘suamiku’ terpampang di layar ponsel. "Dia pasti kepikiran sama kamu, Nduk," kata Emak seraya menunjuk ponsel Delia menggunakan dagu. "Angkatla
***POV FatimaSetelah kepulangan Kenan, hatiku diliputi rasa takut. Akankah kedua orang tuanya menerimaku sebagai menantu? Apakah benar jika Ayah dan Ibunya akan menyayangiku sementara ... sementara putra mereka menikahi janda yang sedang hamil ini? Apa benar di dunia ini ada keluarga sebaik itu? Apa aku yakin dengan keputusan ini?Entahlah. Rasanya aku lelah memberikan penolakan sementara Kenan terus berjuang memberikan keyakinan kepadaku. Dia pria muda, namun apa yang Bapak katakan memang benar bahwa kedewasaan seseorang tidak diukur dari seberapa tua umur mereka. Aku merasa seperti wanita paling beruntung dan paling tidak tau diri. Beruntung karena pertemuan singkat antara aku dan Kenan berujung pada keseriusan pria itu padaku. Namun ... aku juga merasa bahwa jika lamarannya aku terima, bukankah aku seperti wanita jahat? Bagaimana bisa aku menerima pria lajang seperti Kenan sementara aku adalah janda yang sedang berbadan dua?Tapi janda bukanlah status yang hina. Tidak ada pere
***"Kamu gak lagi pengen makan apa-apa, Sayang?"Annisa yang sedang merebahkan diri di atas kasur seketika menoleh menatap suaminya yang baru selesai mandi. Rambut Kang Dirman sedikit basah membuat degup jantung Annisa berdetak kencang. Meskipun sudah menikah, wanita itu selalu merasa malu ketika menatap dada bidang suaminya tanpa baju. "Eng-- enggak ada, Mas," jawab Annisa terbata. "Beneran gak ada? Kalau lagi pengen makan sesuatu, bilang," ucap Kang Dirman seraya terus mendekati istrinya di tempat pembaringan. "Jangan sungkan-sungkan buat ngomong sama Mas, Annisa. Pokoknya kalau lagi pengen apapun itu, kamu wajib ngomong. Mengerti?!"Annisa mengangguk patah-patah. "Nggih, Mas.""Kenapa wajah kamu merah begitu, demam?" Kang Dirman meletakkan punggung tangannya di atas dahi Sang Istri. "Lah, malah berkeringat. Kamu baik-baik saja kan, Nis?""Ba-- baik, Mas. Tapi ....""Kenapa? Ada apa, Sayang? Apa yang kamu rasakan saat ini, bilang sama Mas, Nis!" cecar Kang Dirman panik. Pria yang
***"Apa-apaan ini, Eyang?!" Fatima sejak tadi berdiri di ambang pintu kini melenggang masuk ke ruang tamu. Eyang Salma menoleh, beberapa detik kemudian bibir wanita tua itu mencebik melihat betapa berani Fatima berteriak di depannya. "Membebaskan Erina sampai jual rumah, Eyang yakin mau jual rumah Bibi Naomi hanya demi membebaskan Erina?" selidik Fatima. "Atau ... justru ada hal lain, Eyang?""H-- hal lain a-- apa maksud kamu, hah?" sahut Eyang terbata. "Eyang mau jual rumah Bibimu itu murni buat bebasin Erina. Kalian kalau gak mau bantu kasih pinjaman, ya sudah, diam! Biar Eyang jual saja rumah Naomi agar putrinya bisa bebas.""Wah, hebat sekali perjuangan Eyang. Erina bisa bebas hanya dengan uang lima belas juta sementara kalau rumah Bibi Naomi dijual, berapa ratus juta yang bisa Eyang kantongi?" Fatima manggut-manggut sambil tersenyum sinis. "Lagipula uang segitu pasti Om Dani punya, Eyang. Kenapa Eyang yang harus kebingungan mengurus Erina, sesayang itu Eyang pada Erina, iya?"