Clara pikir Revan sudah gila, atau setidaknya sedang kerasukan. Namun, sepertinya ia lebih gila lagi. Bagaimana tidak, sekarang ia sedang berhadapan dengan jarak se-intim ini dengan pria itu di lantai dansa.Revan menautkan satu tangannya yang terangkat dengan tangan Clara, sementara tangan satunya ia tempatkan di pinggang wanita itu.Sedangkan Clara, tangan satunya ia tempatkan di bahu Revan. Wanita itu harus mendongak lantaran Revan jauh lebih tinggi darinya.Berbeda dengan Revan yang santai dan masih bisa tersenyum, jujur saja, Clara sangat gugup. Apalagi ia merasa sedang diperhatikan semua orang. Ya, meskipun semua orang sedang berhadapan dengan pasangannya masing-masing di lantai yang sama, tetap saja Clara merasa kalau orang-orang itu tengah mengawasinya dengan Revan.Lagu romantis masih terus diputar, Clara berusaha mengimbangi gerakan Revan. Sungguh, Clara merasa berada di posisi ingin berlari tapi tidak bisa. Melanjutkan ini pun benar-benar terasa sangat memalukan."Rupanya k
"Ini nih, alasan kita lebih baik pakai satu mobil aja," ucap Angga yang mulai mengemudikan mobilnya meninggalkan rumah orangtua Revan.Di mobil ini, hanya Angga dan Clara yang seratus persen sadar. Lidya sudah memejamkan matanya di kursi depan, tentunya kursi yang wanita itu duduki sudah dibuat senyaman mungkin, juga tidak lupa memasang sabuk pengamannya.Sedangkan Clara, duduk bersama Revan yang mabuk berat di kursi belakang. Revan bahkan sudah membuka jasnya, kemejanya pun sangat berantakan."Aku ngerti Lidya mabuk, tapi pria yang satu ini nih ... dia bahkan dengan penuh percaya diri bilang nggak akan mabuk. Sekarang lihat?" kata Clara sambil sesekali menyingkirkan kepala Revan dari pundaknya."Mereka memang sering seperti ini, Cla.""Hah? Terus gimana cara kamu ngurusin dua orang mabuk sekaligus?""Bos kadang nggak ikut pulang alias bermalam di rumah orangtuanya.""Terus sekarang kenapa ikut pulang? Ngerepotin banget.""Sebelum berangkat, bos udah berpesan seandainya dia mabuk ...
Merasa Revan memeluknya sangat erat, Clara langsung tersadar."Revan, please lepasin. Kamu mau ngapain?" Meskipun tubuhnya merasa nyaman, tapi kesadaran Clara tidak boleh lengah."Apa aku udah pernah bilang, kalau kamu cantik?" balas Revan pelan, tapi dengan posisi seperti itu, Clara bisa mendengarnya dengan jelas. Sangat jelas."Kamu makin melantur, Revan. Lepasin selagi aku masih ngomong dengan cara baik-baik.""Aku serius. Kamu cantik banget, Cla.""Terus kenapa kalau cantik? Ya Tuhan ... kamu mabuk, Revan. Lepasin!" Kali ini Clara berusaha melepaskan diri, tapi rasanya sulit karena pelukan Revan begitu erat."Aku suka kamu. Ini serius."Clara tidak langsung menjawab, tapi detak jantungnya semakin cepat. Lebih cepat dari saat mereka berdansa tadi. Ia tidak pernah membayangkan Revan akan mengatakan hal seperti itu padanya sekalipun dalam kondisi mabuk."Ka-karena aku cantik?""Bukan hanya itu, tapi karena perlahan kamu menguasai hatiku sampai-sampai duniaku seakan hanya tertuju pada
Setelah hal 'panas' yang dilakukannya dengan Revan sepulang dari acara anniversary orangtua pria itu, jujur saja Clara terus memikirkan apa yang mereka lakukan. Mereka memang tidak sampai bercinta, tapi tetap saja Clara jadi merinding sendiri saat membayangkan betapa intensnya ciuman dan sentuhan Revan terhadapnya.Ini adalah ciuman keduanya dengan Revan setelah dulu pria itu salah mengira bahwa Clara adalah Ariana. Bedanya, malam ini Clara mendengarnya dengan sangat jelas kalau pria itu menyebutkan namanya. Terlepas dari pria itu mabuk atau tidak."Lupakan, Clara. Itu konyol!" batinnya.Ya, itu sangat konyol. Kenapa ia mengizinkan pria itu menciumnya bahkan memeluknya dengan posesif? Clara yakin ada yang salah dengan dirinya. Mungkin itulah yang membuat Clara tidak bisa tidur sampai pagi.Jadi, tadi malam setelah Clara yakin Revan benar-benar sudah nyenyak, ia berusaha melepaskan diri dari pelukan pria itu. Agak susah memang karena Revan membuat dirinya seolah guling. Namun, pada akh
Tak lama kemudian, Clara pun menghampiri Revan dan duduk di kursi yang pria itu tarik tadi. "Aku nggak nyangka kamu bisa masak.""Enggak pernah masak bukan berarti nggak bisa, ya." Revan berkata sambil mengambil posisi duduk di kursi yang ada di hadapan Clara."Nah itu maksudku. Kamu, kan, nggak pernah masak ... kenapa tiba-tiba berlagak jadi koki begini?""Pengen aja, kenapa? Masalah buat kamu?" jawab Revan. "Lagian aku kalau lagi senggang kadang begini, kok. Kamunya aja yang baru lihat.""Sebenarnya aku jarang makan makanan berat kalau pagi. Apalagi ini masih pagi banget.""Takut gemuk?""Bukan itu. Lagian kenapa masak sebanyak ini, sih?""Aku yang masak kenapa kamu yang ribet, sih? Tinggal makan aja, malah seharusnya kamu berterima kasih karena udah dimasakin.""Siapa juga yang minta dimasakin?" gumam Clara sangat pelan. Ia sewot sendiri."Oke, mari berhenti debat dan selamat makan," balas Clara sengaja mengakhiri topik. Lagi pula ia ingin secepatnya pergi dari tempat ini.Meskipun
Semalam Revan memang mabuk. Ia sebenarnya tidak ingin mabuk, tapi keadaan mengharuskannya seperti itu. Bagaimana tidak, ia harus meminum jatah Clara yang dipaksa minum oleh Lidya dan Ayra karena tidak ingin Clara mabuk.Tiba di rumah, Revan bahkan belum sepenuhnya sadar. Sampai kemudian, ia menemukan sedikit kesadarannya saat sedang membawa mikrofon dan parahnya lagi, lagu yang diputar adalah 'Anak Kambing Saya'. Detik itu juga ia menyadari kalau Clara ada di ruangan yang sama dengannya. Parahnya, wanita itu sedang mengarahkan ponsel ke arahnya, sedang apa lagi kalau bukan sedang merekamnya?Meskipun belum sadar sepenuhnya karena masih setengah mabuk, tetap saja Revan malu sekaligus tidak terima kalau Clara berusaha mengerjainya di tengah ketidakberdayaan ini. Ya, jujur saja untuk berdiri pun Revan masih agak oleng.Itu sebabnya ia membuka bajunya, hal yang biasa Revan lakukan saat hendak tidur. Ia juga ingin Clara segera keluar saat melihatnya bertelanjang dada. Setelah Clara keluar,
Ya Tuhan, Clara ingin pingsan saja. Sayangnya tidak bisa. Pura-pura pun ia tidak mampu.Setelah beberapa saat hanya ada keheningan, "Ka-kamu masih mabuk," ucap Clara gugup. Hanya itu yang bisa ia ucapkan."Baik semalam dan sekarang, aku sadar. Sepenuhnya sadar," tegas Revan.Dalam kegugupannya, Clara berusaha menenangkan diri. Ia mulai mendongak dan perlahan melepaskan tangan Revan. Sekuat tenaga ia juga mencoba menstabilkan ekspresinya.Setelah bisa mengendalikan dirinya, Clara sengaja pura-pura tertawa untuk menyamarkan kegugupannya. Tawa yang tentu saja sangat kentara dibuat-buat."Kamu menganggap lucu hal ini?" tanya Revan. "Kamu tahu, butuh keberanian buat mengungkapkan ini dan kamu hanya tertawa."Seketika tawa Clara berhenti. Ia lalu bertanya, "Kamu sayang aku?""Ya. Aku serius. Gimana kalau kita pacaran aja?""Wah, kalau begitu kebetulan sama dong ... aku juga sayang kamu nih, bahkan sebelum aku lahir ke dunia ini, aku udah lebih dulu sayang kamu." Sejujurnya jantung Clara mas
Melalui cermin, Clara melihat lehernya sudah kembali seperti semula. Tanda merah yang biasa orang-orang sebut kiss mark sudah hilang sepenuhnya sehingga ia tidak perlu mengenakan pakaian yang bisa menutupi bagian itu. Jujur saja ia malu sehingga beberapa hari ini terpaksa menutupinya. Ia tidak mau Lidya sampai melihatnya lalu berpikir yang tidak-tidak. Walau bagaimanapun, Lidya tidak sepolos itu. Justru, sepertinya wanita itu lebih berpengalaman darinya.Ah, memikirkannya membuat Clara jadi teringat lagi pada kejadian di ruang karaoke. Padahal kejadian itu sudah berlalu dan tanda merahnya pun sudah hilang. Kenapa sensasinya masih terbayang sampai sekarang? Tuh kan, sekarang Clara kembali merinding.Mungkin pagi itu, saat Revan menyatakan perasaan pada Clara, adalah terakhir kalinya mereka bertemu. Ya, sesuai harapan Clara kalau Revan kembali disibukkan dengan aktivitas pekerjaannya. Clara biasanya akan senang karena artinya, ia tidak perlu repot-repot bertemu pria itu. Terlebih biasan