Clara yakin pasti sedang kerasukan. Tidak hanya itu, ia juga sepertinya sudah terkena gendam. Bisa-bisanya ia setuju bekerja sama dengan Revan.Awalnya Clara pikir hanya kerja sama biasa, tapi sekarang di sinilah wanita itu berada. Ya, di lantai tiga rumah Revan. Tempat yang pria itu gunakan sebagai ruang kerja pribadinya saat berada di rumah.Revan meletakkan sebuah map di samping minuman kaleng yang disiapkannya untuk Clara, setelah itu ia juga duduk di sofa yang berseberangan dengan wanita itu."Apa lagi ini ya Tuhaaan?" tanya Clara menunjuk map itu. Firasatnya lagi-lagi mengatakan ada yang tidak beres."Karena kontrak sebelumnya resmi batal ... ini kontrak barunya."Clara tentu saja terkejut. "Apa?!""Ini kesepakatan kerja sama kita.""Kenapa harus pakai ginian, sih? Bodoh, aku bodoh banget bisa-bisanya percaya. Ternyata ini beneran jebakan baru!""Ini bukan jebakan, Clara. Jelas ini berbeda sama kontrak sebelumnya. Kali ini kamu bisa baca dengan teliti dan hati-hati, kamu juga bi
Seminggu kemudian, Revan benar-benar tidak muncul satu kali pun di hadapan Clara. Apa yang pria itu katakan memang benar kalau mereka akan sulit bertemu meskipun berada di atap yang sama.Ya, sudah seminggu tinggal di rumah ini, Clara sama sekali belum menandatangani surat kontrak yang sebenarnya tidak ada yang perlu direvisi.Sekarang Clara tidak perlu menjadi asisten pria menyebalkan itu lagi. Ah, ia hanya akan menjadi asisten di saat-saat mendesak saja. Contohnya seperti seminggu lalu saat Clara terpaksa ikut ke rumah orangtua Revan.Setelah meneliti ulang dan membaca berkali-kali surat kontrak baru itu nyaris setiap hari, Clara merasa tidak ada hal yang memberatkannya seperti di kontrak sebelumnya. Awalnya, Clara bermaksud berpikir sejenak sebelum memutuskan menolak atau menandatanganinya, sampai kemudian tanpa Clara sadari waktu sudah berlalu selama seminggu. Selama itu pula ia merasa memiliki teman baru. Lidya.Malam ini Clara duduk di ruang makan yang menyatu dengan dapur di la
"Oke, apa yang kamu rencanakan?" tanya Clara. "Maksudnya ... apa yang harus kita lakukan?""Pertama, kamu ke kamar dan tanda tangan. Setelah itu, bawa surat kontraknya ke ruang kerjaku. Aku tunggu di sana."Sebenarnya Clara kesal, padahal Revan tinggal katakan saja apa rencananya. Kenapa surat kontrak itu tampak lebih penting daripada pembicaraan mereka? Namun, ia tidak memiliki pilihan selain mengikuti Revan masuk ke lift. Berdebat hanya akan membuang-buang waktu, sedangkan sekarang sudah malam.Tak lama kemudian, pintu lift pun tertutup. Berdua di ruang sempit bersama Revan seperti ini membuat Clara tidak tahu harus berbuat apa atau memulai pembicaraan dari mana sehingga ia lebih memilih diam."Jangan cemberut. Surat itu untuk pegangan masing-masing, supaya kita sama-sama merasa aman dan nggak khawatir saling mengkhianati," kata Revan memecah keheningan di antara mereka."Ya, ya, ya," jawab Clara.Sampai kemudian, pintu lift terbuka tepat di lantai tiga. "Aku tunggu," pamit Revan se
Clara membuka matanya dan mendapati dirinya berada di sofa. Ah, semalam pasti ia ketiduran dan terbukti TV masih menyala. Nyawanya belum sepenuhnya terkumpul, tetapi saat mendengarkan seorang presenter acara gosip di TV mengatakan hal yang membuatnya terkejut, Clara langsung terduduk.Seluruh tubuh Clara merasa sakit dan pegal, mungkin akibat posisi tidurnya di sofa. Sambil memijat-mijat bahunya, Clara memperhatikan tayangan yang menampilkan Ariana dan Benny di bandara. Ya, mereka sudah pulang. Rupanya satu Minggu kembali berlalu dengan cepat.Tidak bekerja memang membuat Clara lupa tentang hari dan tanggal. Ia nyaris tidak percaya sudah berada di rumah ini selama dua mingguan.Awalnya Clara mengira menunggu kepulangan Ariana dan Benny akan terasa lama, tapi ternyata waktu benar-benar tidak terasa. Terlebih setiap hari Lidya mengajaknya melakukan banyak hal, dari menikmati segala fasilitas di rumah ini, sampai ke salon atau mal untuk sekadar menguras kartu kredit Revan. Clara bahkan t
Di ruangan khusus di lantai satu, Revan, Angga dan Lidya memang sedang duduk sambil fokus mendengarkan melalui alat yang sudah terhubung dengan ruang tamu sehingga mereka bisa mendengarkan pembicaraan Clara dan Ariana dengan sangat jelas. Tadi, Angga memang sengaja meletakkan alat berbentuk pulpen andalannya di ruang tamu.Ketiganya, terutama Revan sangat terkejut saat mendengar Clara tidak mengatakan tentang asisten. Melainkan calon istri. Apa-apaan ini?"Bos?" bisik Angga yang sudah menoleh ke arah Revan."Bisa-bisanya Clara seenaknya sendiri. Seharusnya bukan itu yang dia katakan. Dia pasti kerasukan, bukan ... maksudku dia udah nggak waras!" jawab Revan, ekspresinya sekarang sangat sulit diartikan. "Aku harus menghentikan ini sebelum kegilaannya makin menjadi-jadi.""Tunggu, Bos. Mungkin dia mempunyai rencana lain," kata Angga lagi."Rencana apa? Kalaupun dia ingin berpendapat tentang rencana lain, seharusnya bilang sejak awal." Revan lalu menoleh pada Lidya. "Kamu dengar jawaban
"Kamu yakin bukan aku aja yang nyetir? Tangan kamu gemetar terus dari tadi," ucap Clara memecah keheningan di dalam mobil. Ia dan Ariana memang sedang dalam perjalanan mencari tempat yang nyaman untuk berbicara.Ariana menoleh sejenak pada Clara di sampingnya, lalu kembali fokus ke arah jalanan. "A-aku aja nggak apa-apa. Aku gemetar karena belum makan.""Oh, kirain karena takut sama aku," balas Clara blakblakan.Eskpresi Ariana seperti orang bersalah yang tertangkap basah. "Ng-ngapain aku takut?""Ya karena kamu selingkuh sama pacarku. Ah, maksudnya sekarang udah jadi mantan. Wajar kalau kamu takut, apalagi kartu matimu ada di tanganku. Sayang banget ya, karier yang lagi bagus-bagusnya, sekarang berada di tanganku. Itu sebabnya kamu harus bersikap baik padaku," terang Clara memperjelas posisi mereka.Ariana tidak menjawab, pandangannya masih lurus ke depan. Namun, Clara sangat tahu betul kalau wanita itu sedang menahan kekesalan."Ah, karena kamu belum makan ... gimana kalau kita ngob
Clara masih memperhatikan mobil Ariana yang semakin menjauh meninggalkannya. Setelah mobil itu hilang dari penglihatannya, Clara lalu bersiap-siap untuk menyeberang.Namun sebelumnya, ia terlebih dahulu memeriksa ponselnya yang masih aktif merekam. Ya, Clara memang merekam pembicaraannya dengan Ariana sedari tadi saat mereka mulai masuk ke mobil. Setelah menyimpannya ke folder yang aman, Clara lalu kembali meletakkan ponselnya.Sekarang, Clara kembali bersiap-siap untuk menyeberang. Sesuai yang Ariana tunjuk tadi, di seberang sana ada restoran mewah dan Clara ingin makan di sana sebelum kembali ke rumah Revan. Ia ingin beristirahat sejenak di tempat yang nyaman sebelum berdebat dengan pria itu. Clara sangat yakin Revan akan menguras energinya dengan mengajak berdebat seperti biasa. Apalagi sudah jelas Revan memiliki alasan untuk mengamuk.Jalanan yang cukup ramai, ditambah teriknya matahari membuat Clara memutuskan untuk berteduh sejenak. Ia menoleh ke belakang, ada sebuah toko bunga.
Selama beberapa saat, Clara berusaha mencerna kalimat yang Revan lontarkan. Ia lalu tertawa yang dibuat-buat, lebih tepatnya mentertawakan Revan.Sampai kemudian ia menjawab, "Lelucon kamu benar-benar nggak lucu, tahu. Sekarang tolong kasih waktu setidaknya sepuluh menit karena aku baru banget selesai makan. Setelah itu, aku siap adu mulut sama kamu.""Adu mulut? Maksudnya berciuman?" jawab Revan pura-pura polos.Clara mengernyit. "Sial. Kamu pasti kerasukan!""Gimana keadaan bayi kita? Apa perlu aku antar ke dokter kandungan? Aku mau mendengar detak jantungnya.""Revaaan!" teriak Clara."Iya, Calon Istriku? Jangan teriak dong. Kasihan bayi kita."Clara mengembuskan napas kesal. Sungguh, ia awalnya membayangkan Revan akan memarahinya. Namun, yang pria itu lakukan sekarang benar-benar tak terduga. Kalau boleh jujur, Clara merasa lebih baik bertengkar daripada menghadapi respons Revan yang seperti ini."Iya, aku tahu aku salah. Apa yang aku katakan terhadap Ariana tadi nggak sesuai deng