"Kau tidak membohongiku, kan?""Untuk apa aku membohongimu? Aku, kan ingin membantumu," imbuh Zhan An, "Hei, jangan menatapku dengan tatapan curiga seperti itu. Aku serius.""Saat langit terbelah, aku sedang membawa pedang langit. Itu sangat mengejutkan, tapi juga luar biasa, karena aku bisa bertemu denganmu," lanjutnya lagi."Pedang langit? pedang berat itu bernama pedang langit?" tanyanya kaget, setau Arumi pedang langit adalah pedang yang dimiliki Pendekar Awan, tapi kenapa ada pada pemuda gondrong ini. "Benar. Tapi untuk kau ketahui, dia tidak terlalu berat. Biasa saja," timpalnya mencemooh Arumi. "Lalu dimana pedang itu sekarang?" tanya Arumi tak perduli. Masa bodoh dengan segala ejekan Zhan An, tujuan dia hanya ingin segera pulang ke rumah. "Bukannya seharusnya aku yang bertanya di mana kamu simpan pedang itu?" decak pemuda berambut ikal itu pada Arumi, "Bukankah aku menitipkannya padamu hari itu," tekannya dengan tampang serius. "Sialan," rutuk Arumi dalam hati, tampaknya Z
Lien Hua tercengang dengan kecepatan tangan Zhan An yang luar biasa, entah kapan pisau kecil yang berada dipinggangnya telah dirampas dan melesat ke leher pencuri itu. "Zhan An? Apa yang kau lakukan? Yeye sedang menginterogasinya?!" sergah yeye melihat perbuatannya. "Dia melototiku, aku takut, jadi tidak sengaja aku ...." Pemuda itu berlari memeluk yeye dengan tubuh gemetaran. "Ya ampun. Apa kau takut? Tidak apa-apa Zhan An, Yeye bersamamu di sini. Semua baik-baik saja." Pria tua itu mendekap erat sambil mengelus punggungnya. "Li, bereskan semua. Aku tak ingin cucuku trauma melihat ini semua." Dia membimbing tubuh lemas Zhan An dan membawanya masuk ke rumah.Arumi menghampiri Lien Hua yang masih mematung, tampaknya dia terlalu syok dengan kejadian tadi, "Hei, sadarlah Lien Hua," tepuknya di pundak gadis itu. "Arumii ... Kau ... Kau lihat, kan tadi?" tanyanya tergagap. "Aku melihatnya.""Bagaimana bisa ... Dia .... ""Tenangkan dulu dirimu." Arumi menggandengnya masuk ke rumah se
"Semua persiapan sudah selesai, Tuan." wajah pria itu menunduk, sepasang tangannya beradu, tangan kiri membentuk kepalan dan tangan kanannya sementara tangan kiri terbuka lurus. Mata pria yang duduk di singgasana merah itu melebar, netra merah yang dimilikinya berkilau penuh gairah, "Bagus," sahutnya melemparkan senyum tipis "Aku penasaran, kemana lagi dia akan melarikan diri." Tubuh besar itu menyender nyaman. "Aah, Tiba-tiba aku merasa haus. haruskah kita berpesta hari ini," ujarnya memandang pria botak yang melapor dengan kaki separuh tulang. Mendadak sunyi, sekumpulan pria yang datang bersama pria botak semakin menundukkan kepala. Aura ketakutan yang mencekam sanggup membuat bulu kuduk merinding. "Ada apa dengan kesunyian ini, Uh, ini tidak menyenangkan," keluhnya merasa tak ada tanggapan. "Mereka sedang bertugas, ada baiknya mereka mempersiapkan semua agar lebih matang."Sorot mata syukur dan terimakasih memenuhi pandangan Yongshen. Sebagai wakil pimpinan dia sangat mengert
Mata Zhan An menatap tajam benda itu, "Yeye, itu ....""Benar. Kau ingat kristal yang dulu menghilang? akhirnya dia kembali."PLAK! Lien Hua menepis tangan Zhan An yang terangkat hendak mengambil kotak kayu. "Bola matamu terlalu berbinar. Jangan-jangan kau yang merencanakan penyerangan di tempat ini. Kau bahkan tidak terluka sedikitpun," cerca gadis itu menatap sinis Zhan An seakan hendak mengulitinya. Sungguh aneh pemuda itu kelihatan rapi di saat semua pakaian mereka hampir semua terbakar walau sedikit, wajah paman Li juga terlihat sedikit menghitam, Rambut panjang Yeye sedikit terbakar dan tangan serta kaki Lien Hua menyisakan bekas merah. Sedangkan dia? wajah dan tubuhnya terlihat sangat bersih. Sontak Arumi menatapnya, benar juga, ketika mereka semua dalam keadaan kacau balau pemuda itu masih terlihat glowing. hanya kakinya saja yang masih berlumur lumpur. ck. setidaknya dia bisa berpura-pura terluka kalau ingin bersandiwara dengan benar. "Aku?tidak!." Zhan An mengangkat tang
Setelah mengoyak roti menjadi potongan kecil, pria berambut perak memasukkannya ke dalam mulut dengan hening. "Cobalah bertahan hidup, lakukan demi dirimu sendiri, kalau itu belum cukup lakukan demi aku karena kau berhutang nyawa padaku. tapi kalau itu masih juga kurang. lakukan demi dendammu." ujarnya dengan penekanan. Dendam. mungkin itu bukan kalimat yang pas diucapkan saat ini, karena Sejak kekasihnya menusuknya dengan pisau, saat itu jiwanya telah mati. Memang pisau itu hanya belati kecil biasa namun racun yang melumurinya sanggup membunuh seekor naga. Tubuhnya yang sekarat terselamatkan setelah Syaoran meminta bantuan pada Siluman Lintah. Lintah. nama yang sangat pantas disampirkan pada makhluk biadab itu karena hidupnya sebagai parasit dan pemangsa. Dia ingat betul saat perempuan berleher panjang dengan mulut yang lebar bersedia membantu dengan syarat meminta kekekalan tubuhnya. Karena tidak ingin pemuda berambut perak itu mati, dia mengabulkan permintaan siluman Lintah da
Wanita cantik itu berkali-kali menatap pintu, kegelisahan terlihat jelas dari air mukanya. Langkahnya mondar mandir seiring helaan nafasnya. "Tenanglah istriku. " Yintian mengomentari istrinya Li wei yang terlihat begitu tidak sabaran. "Aku tidak bisa tenang, kenapa belum ada kabar dari anak itu." Sekali lagi Li Wei mengintip ke luar. Berharap sosok yang dinantikannya menunjukkan wajah. "Anak itu memang tidak bisa diharapkan," gerutunya sembari duduk di sebelah Yintian. "Jangan berkata seperti itu, Bila dia mendengarnya itu akan membuatnya sakit hati," tegur Yintian. "Kalau saja cahaya itu mampu membantu She Xian tantu aku tidak kesusahan seperti ini, ternyata sakit yang dideritanya membutuhkan sesuatu yang lebih kuat.""Kau akan membunuhnya? mengulangi hal yang sama sepertiku?" Yintian menatap istrinya perih, "Ambil saja milikku. tokh ini sejatinya bukan hakku." lanjutnya dengan mimik wajah bersalah. "Tidak, Sayang. Tidak ada yang lebih berhak memilikinya selain kamu." Li wei m
Hari ini Kediaman Yeye tampak sibuk, setelah peristiwa hilangnya Amethyst untuk kedua kali, Dia berinisiatif memanggil ke dua saudaranya untuk membicarakan masalah itu. Pria pertama bernama Qui, kakak pertama dari yeye itu bermata sipit dengan kumis putih panjang seperti kumis lele. Menggunakan hanfu putih bersih. Pria itu tampak serius dengan kening berlipat. Pertama kali bertemu Arumi matanya langsung menatap tajam, Arumi sempat merasa ketakutan karena pria tua itu terus menatapnya secara terang terangan. Pria kedua bernama Chyou, sesuai namanya yang berarti rupawan dan tenang bagai musim gugur, pria itu kelihatan masih sangat tampan walau sudah berumur, jika dilihat dengan seksama, tidak akan ada yang pernah menyangka jika dia adalah kakak kedua Yeye. Berbanding terbalik dari Qui yang tampak serius dia tampak tenang menikmati teh hangat yang disajikan paman Li, berkali-kali dia mengayunkan tangannya menghirup uap panas dari aroma teh hijau, "Pesona Li memang tidak pernah pudar,
"Ada apa, Nak?" Melihat air muka Zhan An berubah, Li Wei yang memang sedang menanti-nanti benda yang dibawanya bertanya pelan. "Tidak, Ibu. Aku memang ingin menunjukkan sesuatu yang penting," jawab Zhan An mengulas senyum. Dia membuka telapak tangan lalu muncullah pedang hijau miliknya. "Ada apa dengan pedang ini?" "Lihatlah di belakangnya". Zhan An menggeser pedang miliknya dan tampak pedang dengan siluet biru. Zhan An menyimpan pedang miliknya lalu meletakkan pedang biru di depannya. Pedang langit!" seru Yuwen terkesima, dia sering mendengar kehebatan pedang langit namun baru berkesempatan melihatnya saat ini. Pedang bercahaya biru, dengan ukiran kilat menyambar di bagian gagang dan ujung pedang yang sedikit bergerigi, dikisahkan pedang ini terbuat dari gigi naga langit sehingga dapat menghancurkan apa saja dengan mudah. Begitu pandai Zhan An menyembunyikan pedang langit di dalam pedang miliknya sehingga tidak dapat terdeteksi karena tertutup aura hijau. "Apa kau yakin?" tanya
Arumi bersiap-siap menunggu jemputan dari Jendral Jiao. Setelah ditinggalkan Kai begitu saja, dia merasa sebatang kara, dan bingung harus kemana. Beruntung Jendral Jiao menawarkan solusi untuk menetap di kediamannya sementara sampai Arumi lebih sehat sambil memikirkan arah tujuannya. Awalnya dia berniat tinggal di penginapan Niu, namun kepingan uangnya menipis. Tawaran yang diajukan Jendral Jiao sangat menarik. Dia akan merasa aman bersama petugas pemerintah itu, selain itu tentu dia tidak perlu repot mengeluarkan uang untuk membayar penginapan dan makanan. Ini sangat luar biasa, hanya orang bodoh yang akan menolaknya."Nona, jemputan anda sudah datang." Suara laki-laki terdengar setelah ketukan pintu. Rupanya orang yang akan membawanya ke kediaman Jendral Jiao sudah tiba. Memang tadi dia meminta izin kepada Jendral Jiao untuk mengambil pakaian dan Barang-barangnya dari wisma Niu sebelum mereka berangkat ke kediaman Jendral Jiao. Jendral Jiao mengiyakan dan berkata akan mengatur or
Tubuh itu terbungkuk, dahi dan pipinya mengernyit, darah tersembur dari mulut, namun kedua tangannnya masih mengontrol gelembung udara yang menyelimuti Qui dan Chyou. melihat musuhnya tak bergeming, She Xian kembali mencungkil perut Yeye, menusukkan kelima jari runcing ke dalam perut Yeye dan mengeruk darah dari lubang itu.Air mata menetes dari pelupuk mata Qui, hatinya terasa tertusuk ribuan jarum melihat Yuze yang berjuang sekuat tenaga, mengobarkan nyawa demi melindungi mereka. Mata itu terpejam, tak sanggup melihat ketiadaan Yuze yang sangat menyakitkan.Balon udara terangkat dan terbang menjauh, melindungi mereka dari serangan Hei An. Setelah menerbangkan gelembung udara, lutut pria tua itu terjatuh, nafasnya tersengal, tangannya lunglai se lunglai tubuhnya yang kehabisan tenaga, darah membanjiri tubuh bagian bawah. Dia tidak mati sia-sia karena berhasil menyelamatkan Amethyst, kedua saudaranya dan Lien Hua. Dia sudah menang. Senyum terukir dari bibirnya yang dipenuhi darah,
"Di mana Amethystku." Hawa tiba-tiba terasa panas, mereka sontak menoleh, pria besar berambut merah menatap garang. Bola mata berwarna merah darah itu menguliti satu persatu wajah kelelahan di hadapannya. "Siapa kau?" tanya Qui menatap tak kalah tajam, tubuhnya bersiaga, hawa panas yang menyertai kedatangan pria bermata merah itu membawa kesuraman.Ujung matanya melihat dedaunan yang menguning lalu layu seketika, bahkan kuncup bunga menghitam dan kering. "Aku pemilik Amethyst, cepat serahkan padaku, dan jadilah hambaku. Maka kalian akan kuampuni" Dia mengangkat telapak tangan, percikan api muncul yang kelamaan membentuk gumpalan bola api. Sambil menyeringai memperlihatkan giginya yang runcing, Hei An mempermainkan bola api di telapak tangannya memantul dan berputar-putar mengelilingi mereka satu persatu. Bola api pecah dan menyebar ke segala penjuru saat Hei An menjentikkan jemari. Percikan menghantam dan membakar segala sesuatu yang mengenainya. "Lien Hua, cepat pergi." Yeye men
"Ayah,ini calon istriku." Tiba-tiba Chen Yu datang memperkenalkan seorang wanita cantik, menurutnya, meskipun perkenalan mereka singkat namun sudah membuatnya mantap menjadikan Li Wei sebagai wanita yang akan mendampinginya sampai akhir usia. 'Apa kau yakin dengan keputusanmu Chen-chen?" tanya Yuze setelah Li Wei pulang. Meski sudah dewasa dia tetap memanggil anak semata wayangnya itu dengan nama Chen-Chen, Nama panggilan yang diberikan mending istrinya."Kenapa Ayah berkata seperti itu? Apa karena dia terlalu cantik?"Yuze tertawa spontan, "Apa yang kau katakan," tanyanya merasa geli. "Ayah tidak menyukainya karena dia terlalu cantik dari Ibu," rajuk anak itu kesal. "Kau ini." Yuze menepak bahu anaknya ringan. "Tidak ada yang lebih cantik dari Ibumu.""Kalau begitu apa karena dia bangsa siluman? bukankan aku juga setengah siluman?" Pria bermata sipit dengan alis tegas itu menatap Yuze penasaran. "Bukan seperti itu, Ayah tidak pernah mempermasalahkan soal status dan lain sebagainy
"Ada apa?"tanya Arumi saat gadis itu tampak kebingungan. Dia terlihat tidak fokus dan selalu menoleh ke samping."Sepertinya, ada sesuatu. Sebentar."Lien Hua berdiri dan membawa serta cermin hingga Arumi ikut melihat. " Paman, siapa mereka?""Wanita tidak tahu diri," jawab paman Li dengan suara dingin. Arumi sempat terkejut mendengar jawaban itu karena paman Li menurutnya adalah orang yang paling sabar di Wangliang. "Arumi apa kau penasaran siapa wanita itu?" bisik Lien Hua dengan muka jahil seperti biasa. "Aku penasaran," sahut Arumi cekikikan. Suara tawa itu memaksa Zhan An, Jiao Yu dan Ming Hao memberinya tatapan heran. "Apa yang membuatmu gembira?" Zhan An mendekat dan melihat apa yang mereka bicarakan. "Wanita tidak tahu diri." "Wanita tidak tahu diri?" Zhan An mengamati wajah sesorang wanita yang tampak lewat cermin ajaib, seketika wajahnya mengeras. Secara kasar dia merampas cermin dan melemparkannya hingga berkeping. Sontak Arumi melongo dan merasa aneh dengan tindakan
Arumi terdesak, tubuhnya jatuh terduduk dan terpojok di dinding. Pria bercadar itu menarik tombak lantas menekannya pada leher Arumi. Gadis itu meringis, ujung tombak yang tajam menggores kulit dan menimbulkan sensasi nyeri. "Kau tidak bisa membunuhku," ujarnya menantang, balas menatap tajam, "Aku tidak mau mati di sini."Tubuh tegap itu berhenti, seakan kalimat yang keluar dari mulut Arumi mengusiknya. Melihat hal itu Arumi mengedarkan pandangan, dia harus mencari sesuatu untuk melepaskan diri. Tiba-tiba seekor srigala berjalan dari arah sel, matanya memantau Arumi yang tampak sangat terkejut. Srigala itu mendekat lalu terbang melompat ke arah mereka. "Dibelakangmu!" seru Arumi dengan mata melotot, sontak Yongshen melepaskannya dan menahan serangan srigala dengan tombaknya. Tubuh Yongshen terjepit, dia mengumpulkan kekuatan di kaki dan menghantam perut binatang buas itu, lalu berputar dan melepaskan diri. Matanya mencari keberadaan Arumi namun gadis itu telah menghilang. Gadis ya
Ming Hao tengah menyiapkan tempat tidur Jendral Jiao Yu. Malam ini rencananya Jendral akan tidur di kantor. Setelah melakukan penyelidikan di desa Nahuy, Jendral tampak sangat lelah, jadi dia ingin menyuruh pria itu cepat beristirahat. Seharusnya diusianya sekarang Jendral Jiao Yu sudah memiliki istri yang pengertian dan lembut, namun dia terlalu gila bekerja sehingga selalu mengabaikan perintah orangtuanya untuk menikah. Oleh karena itu Raja menurunkan titah untuknya mengawasi dan membantu Jendral Jiao Yu, meski awalnya tidak setuju namun Jendral menerima dan membiarkan Ming Hao mendampinginya sampai saat ini. Setelah merapikan tempat tidur dan menghidangkan minuman hangat. Pria berkulit putih itu tersenyum membayangkan pujian Jiao Yu padanya. Suara gaduh dari arah tengah membuat Ming Hao penasaran, apa Gong Min menginterogasi pengacau festival lampion? suara teriakan terdengar keras. Meski sangat tegas Gong Min tidak pernah melewati batas. Penciumannya menangkap bau benda terbak
Ming Hao menekuk wajah melihat senyum kemenangan di wajah Arumi. Gadis itu terlalu cantik, sangat berbahaya. "Nona-""Panggil aku Arumi. Itu namaku," jawab Arumi masih menahan senyum. "Baik Nona Arumi, dimana tepatnya anda bertemu hantu yang Nona maksud," tanya Jiao Yu sambil menyodorkan segelas air, Dia ingin mendengarkan keseluruhan kisah gadis dihadapannya. Hal itu rupanya dipandang sengit oleh Zhan An dan Ming Hao. "Di mana, Kai? Aku tidak tahu namanya." Gadis itu menyikut lengan Zhan An. "Di hutan barat, pesisir desa Nahuy. Tapi sepertinya dia sudah menghilang dari tempat itu.""Kau pergi ke gua itu lagi? Kapan kau melakukannya? Bukankah kau terluka parah dan tertidur seharian?" cecar Arumi heboh, dia merasa tidak pernah melihat Zhan An beranjak dari pembaringan."Kau tidak perlu tahu. Kau terlalu sibuk mencari ayam," sahutnya dingin. "Apa kau bilang? Aku mencari ayam untuk memberimu makan. Bagaimana kalau dia menyerangmu lagi, kau mau mati?" Semprot gadis itu kesal. "Jadi
Mata gadis itu terbelalak melihat kodok yang berterbangan dari buku yg dilemparnya. Siapa sangka buku yang didapatnya dari Jia Li adalah buku ajaib. Dia mengambil buku itu karena butuh waktu lama untuk menyiapkan busur dan anak panah. Sementara pria itu sudah hampir menggeledah Lien Hua. Katak itu menyerang tanpa ampun. Meski terlihat normal namun ketika dia membuka mulut terlihat gigi besar dan tajam layaknya seekor monster dengan mulut yang sangat lebar. Satu persatu pria berbaju hitam itu terjatuh saat tergigit kodok, tubuh mereka seakan luruh begitu saja, nyaris tanpa tulang. "Ap-apa maksudnya Lien Hua," jawab gadis itu terbata saat Lien Hua bertanya. Apa karena pasukan kodok itu menatapnya sebelum masuk ke dalam buku. Setengah ketakutan dan penasaran dia berjalan mendekati buku yang tertutup begitu pasukan kodok itu masuk ke dalamnya.Sementara Lien Hua mengikat para pria berbaju hitam dengan sprei dan tirai jendela yang dia tarik begitu saja. "Begitu banyak keanehan yang t