Mungkin ini namanya sudah jalan takdir agar aku menjadiwanita karir. Tuntutan dari suami agar aku membantunya mencari uang akan akulakukan. Tapi tentu bukan uang untuknya. Uang istri ya punya istri dong. Akankutampar ucapan suami dengan karirku. Ia yang meminta, dengan senang hati akuberi.
Ada rasa sakit bersemayam di hati. Aku seorang istri dimintamelakukan kewajiban yang seharusnya kewajiban penuh seorang suami. Sebenarnyabukan karena aku keberatan bekerja, tapi cara mas Arga yang membuatku merasatertampar. Ucapannya dengan nada merah seolah aku harus wajib mencari uang. Adarasa sesak dan ada rasa bebas.
“Apa Arga tau kamu keluar hari ini, Sar?” tanya ibu mertua.
“Belum tau, Bu. Tapi aku yakin Mas Arga pasti mengizinkankarena ini juga keinginannya,” jawabku sambil melepaskan sepatu. Aku inginmemancing ibu mertua tentang obrolannya dengan mas Arga yang terdengar tadipagi. Tapi tak semudah itu. Ibu mertua pasti lebih percaya putranya ketimbangaku yang hanya menantu. Pemikiran ini timbul setelah melihat beberapa kejadian.Mas Arga sangat dekat dengan ibunya, bahkan lebih dekat daripada ibu mertuadengan Andi.
“Semoga saja kamu senang dengan itu. Ibu berharap kamu tetapdi rumah dan secepatnya hamil.”
Aku diam tanpa menjawab. Ibu mertua sangat menginginkan akuhamil lagi. Tapi semenjak keguguran dua kali, entah kenapa aku tak kunjunghamil. Namun sekarang, justru aku tak ingin hamil. Pekerjaan baru harus lebihfokus agar kinerjaku bagus. Di usiaku sekarang sangat sulit cari kerja.Alhamdulillah aku masih diberi kesemptan.
“Ingat loh, Sar. Semakin bertambah usia semakin sulit punyaanak. Apalagi kamu udah dua kali keguguran.” Lalu ibu berlalu ke teras depan.Biasa, jam segini menunggu Tia pulang sekolah.
“Assalamu’alaikum.”
Tak lama kemudian, terdengar suara Tia mengucapkan salam. Iaselalu tepat waktu pulang sekolah meskipun sekolahnya hanya berjarak tujuhrumah dari sini. Jika aku kerja tak perlu khawatir, ibu mertua bisa menjagaTia. Bahkan sepuluh menit saja Tia belum pulang, ia yang pertama gelisah.Namanya juga cucu satu-satunya.
“Cucu Nenek sudah pulang. Gimana belajarnya? Ada yang nggakngerti?” Suara ibu mertua terdengar senang menyambut putriku. Dan itu sudahbiasa terdengar. Bahkan aku jarang mengisi kuota internet Tia karena ibu mertuasudah membelikannya.
“Ada, Nek. Tapi ntar aja karna laper,” jawab Tia manja.
Aku segera ingin ke dapur setelah mengganti pakaian. Namunsaat melewati meja makan, langkahku terhenti karena ingin melihat isi dalamtudung saji. Dan benar firasatku, ibu mertua sudah masak. Ada rasa tak enaktapi ditepis setelah mengingat ucapan mas Aga.
“Nggak usah repot, Ibu udah masak. Makan yang banyak agarkamu sehat,” tukas ibu sambil berlalu ke dapur.
Kuhela napas panjang. Rasanya ingin berkata jika aku kerjakarena kondisi keuangan. Tepatnya kondisi keuanganku. Sebaiknya kucoba mulaimemancing ibu mertua dengan ucapannya yang terdengar tadi pagi.
“Aku butuh uang, Bu. Lagian nggak enak dengar Mas Argaselalu marah jika aku minta uang.”
Langkah ibu mertua terhenti sebelum melewati pintu dapur.“Makanya berhemat. Lagian anak cuma satu tapi kebutuhanmu kayak punya anak tigaaja.”
Tuh kan, aku serba salah berucap. Tetap saja aku yangdisalahkan. Di sini serba mahal. Tidak sama di kampungku jika masak sayurtinggal ambil di kebun. Haruskah kujabarkan semuanya? Lagian ia pasti tahu kok.
“Lagian Mas Arga minta aku kerja, Bu,” lirihku.
“Itu karena kamu selalu boros hingga pengeluaran banyak.coba kamu pandai mengatur keuangan, nggak bakalan Arga nyuruh cari kerja.”
Uuuh! Capek berdebat. Entah apa yang diucapkan mas Argahingga ibu mertua memandang negatif padaku. Lama-lama aku capek tinggal disini. Semua posisiku serba salah.
“Ma, besok aku terima rapor pertengahan semester. Yangjemput harus orang tua,” kata Tia sambil menuangkan dasi ke piring.
“Jangan katakan uang LKS dan uang seragam Tia terpakai, Sar.Pendidikan itu penting.”
Astaga, sejak kapan aku memakai uang keperluan sekolah Tiabuat hal yang tak penting. Justru selama ini aku berusaha menghemat agar bisamenyisihkan uang. Namun tetap saja tak bisa. Mas Arga selalu menuntut jika dimeja makan harus tersedia ayam goreng. Saat aku tak sanggup beli ayam, ialangsung marah hingga akhirnya ia makan di luar.
Aku putuskan diam lalu berlalu masuk ke kamar.
***
Sudah sore. Aku tak perlu menunggu mas Arga pulang danmenyiapkan secangkir kopi. Katanya malam ini pulang larut hingga tak perlumenunggu. Sambil minum teh hangat, aku duduk di sofa depan televisi.
“Mbak Sarah tadi ke mana? Aku lihat Mbak di tepi jalanmenyetop angkot,” tanya Andi dengan suara lembut.
“Tes kerja,” jawabku.
“Ooh, baguslah biar bisa cari duit sendiri. Kasihan Mas Argaselalu ngemis karena tuntutan Mbak Sarah.”
“Hah?” Tentu aku terkejut dengan ucapan Andi.
“Ngemis? Maksudmu apa, Ndi?”
“Udah deh, jangan sok nggak tau. Tapi nggak apa-apalah,lagian Mbak Sarah kakak iparku.”
“Aku nggak ngerti maksudmu, Ndi. Kenapa Mas Arga ngemis?”
“Bukan ngemis di lampu merah, Mbak. Itu loh, minjam uangtapi nggak pernah diganti. Lagian apa aja sih pengeluaran Mbak? Heran deh,setiap hari nggak ada yang berubah. Iya kalo ke salon keluarin biaya, tapi ininggak kayaknya.”
“Mas Arga pinjam uang kamu buat apa? Kapan?” Rasapenasaranku makin menjadi.
“Kemaren, katanya buat Ibu Mbak di kampung. Aku sih nggakmasalah bantu Ibu Mbak di kampung, yaaa, anggap aja sedekah.”
Deg! Rasanya darahku naik ke ubun-ubun. Ucapan Andi menusuk.Lagian sejak kapan ibuku minta bantuan mas Arga? Apa lagi yang tidak kuketahui.Aku yakin tak mungkin ibu minta uang. Terus uang itu buat apa oleh mas Arga?Aku harus menyelidiki. Entah kenapa firasatku mengatakan jika Andi jujur.
Mata tak mau dipejam. Perkataan ibu mertua dan Andi terniangtentang masalah uang. Aku ingin menayakan langsung ke mas Arga. Bermain denganpikiran sendiri sepertinya tak menjawab pertanyaanku.
***
“Loh? Kok belum tidur, Sar? Udah larut begini. Kan udahkubilang jangan nungguin aku.” Mas Arga membuka kemejanya. Ia baru pulang danlangsung melihatku duduk di ranjang.
“Mas, buat apa minjam uang ke Andi? Nggak mungkin Ibukuminta bantuanmu.” Tak tahan lagi. Aku langsung bertanya ke intinya.
“Jangan percaya Andi. Ia pasti boong agar kita bertengkar.Kamu kan tau sendiri ia sudah diminta nikah ma Ibu. Makanya ia cari masalahagar Ibu fokus ke kita,” jawab mas Arga lancar.
“Trus kenapa uang sejuta dari Ibu hanya delapan ratus akuterima?”
“Oooh, jadi kamu nguping? Sebenarnya kamu kenapa sih? Akubaru pulang sudah cari masalah aja.”
“Aku bukan cari masalah. Tapi kebenaran. Aku capekdisalahkan terus dengan sesuatu yang tidak aku lakukan.” Suaraku sedikitlantang karena susah menahan hati.
“Saraaah, Ibu sudah tua. Memorinya agak lemot. Kadangmatanya juga nggak fokus. Sebenarnya uang itu hanya delapan ratus ribu. Ibu ajayang salah hitung,” jawab mas Arga terdengar baik.
"Mmm, oke deh, silahkan kalian semua dengan praduga masing-masing. Bahkan aku tak tau mana yang benar dan bohong. Namun, satu hal yang aku rasakan. Aku tersudutkan dan tersangka. Jika kalian seenak hati kalian, maka aku pun juga seenak hatiku," bathinku, dengan tetap berusaha tenang. Karena ini sulit, yang kuhadapi bukan orang lain, tapi suami dan keluarganya.
Bersambung ....
“Percayalah, nggak mungkin aku bohong. Lah kamu istriku yangudah kasih aku seorang putri cantik. Lagian nggak mungkin aku menjelekkan Ibukusendiri.”Kuperhatikan ekspresi mas Arga. Ia tak terlihat sedangberbohong. Tapi bukan berarti aku percaya begitu saja. Mungkin lebih baikmencari cara lain membuktikannya. Ya, akan kupertemukan mereka dan bertanyalangsung.Mungkin sebagian orang masalah ini tak perlu diurus, tapi bagiku inisebuah tuduhan yang tidak kulakukan. Rasanya sesak dan menyakitkan. Jika akutetap ingin mencari kebenaran, itu karena ingin membersihkan namaku meskipunresikonya mas Arga marah besar.“Oke, nanti kita bahas lagi depan Ibu dan Andi. Biar semuajelas dan aku tak jadi tersangka. Kamu kira enak dituduh melakukan sesuatu yangtidak dilakukan, Mas? Rasanya sakit.&rd
Dengan rasa kesal aku perangkat kerja tanpa menghiraukanpanggilan mas Arga. Entah apa yang mereka bertiga ucapkan setelah kepergianku, akutak peduli! Toh selama ini mereka juga sering membicarakan aku dibelakang.Mungkin berusaha ‘masa bodoh’ akan membuat lebih kebal dalam menyikapi rasasedih.***Seperti dulu, aku punya ruangan sendiri. Bahkan kantor ini lebihbagus dari kantorku yang lama. Selesai acara perkenalan meskipun aku sudahbanyak yang kenal mereka, baru aku bisa duduk. Baru saja duduk, aku sudahdisuguhi tumpukan file bermacam proyek. Baik proyek yang sedang berjalan maupunyang akan dikerjakan. Aku harus profesional. Untuk masalah di rumah harusdikesampingkan dulu. Kepercayaan pak Ismail memberiku jabatan ini akan selaludijaga.“Bu Sarah, ini daftar nama para pekerja lapangan
Mendengar obrolan mas Arga dengan teman-temannya, membuataku ingin giat kerja agar bisa mandiri. Akan kubeli mobil atas nama Ibu ataubapakku agar tidak dipandang rendah. Insya Allah ....“Berapa, Mbak!” sahutku sambil berdiri. Sengaja suaradikeraskan agar Mas Arga mendengar. Seketika suara tak jauh di belakangkuterdiam. Entah bagaimana ekspresi wajah Mas Arga. Aku sih santai saja. Lagianaku dalam situasi kerja. Ya anggap saja berusaha profesional.“Lima ribu, Bu,” jawab mbak warung.Setelah membayar, aku membalikan badan ingin menuju pintukeluar. Dengan santainya aku melangkah seperti tak melihat Mas Arga. Tepatnyapura-pura tak kenal. Namun ia terlihat mangap, pasti terkejut. Aku sih cuekbebek.“Hey, Ga! Kok malah lihatin wanita itu?&rd
Sebenarnya komunikasi itu penting dalam hubungan suami istri. Bukan masalah anak atau keluarga saja, tapi juga tentang dunia kerja suami atau sebaliknya. Tapi yang aku alami tidak seperti itu. Bahkan hari pertamaku kerja, Mas Arga tak tahu posisiku. Yang ada dipikirannya bisa kredit mobil dari gajiku.Terus, ini masalah menghargai. Pak Rudi seperti kurang menghargaiku setelah tahu aku istri Mas Arga. Apa karena Mas Arga bawahannya? Tapi ini hanya perusahaan swasta. Toh belum tentu bekerja lama. Bisa jadi dunia berputar, dan yang dulu bawahan bisa jadi atasan. Kecuali perusahasn itu milik sendiri. Jika status hanya pegawai, tidak usah berlagak sok. Bukan berarti tidak tegas. Asal sesuai SOP perusahaan."Jangan bercanda, Sar. Ini posisi buat pria loh." Bahkan setelah aku jujur, Mas Arga tidak juga percaya."Bentar, aku telpon Pak Ismail dulu. Nggak
TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MASPart 7 ( Memberitahu Ibu Mertua )Mas Arga terpana dengan muka merah setelah aku berucapdengan nada cemooh. Entah kenapa bibir ini tiba-tiba berucap membalasperkataanya saat di warung kopi tadi. Bahkan setiap kata dan caranya bicaramasih terniang. Dengan bangganya mengatakan jika ia sesak melihatku karenaselalu minta uang.“Itu, itu hanya bercanda, Sarah.” Suara Mas Arga terdengarpelan. “Oh ya? Termasuk uang lima juta gajimu yang sudah akuhabiskan, Mas?”Bahkan saat aku menatap matanya, ia beralih pandang seakantak mau membalas tatapanku. Tumben tak berkutik. Biasanya aku bicara satu, iamalah malah sepuluh. Dan mulutnya hampir sama seperti Andi adiknya. BedanyaAndi lelaki kemayu sementara Mas Arga tam
TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MASPART 8 ( Mencoba )Ibu hanya diam saja. Bahkan tak ada sepatah kata pun terucapmenanggapi. Entah apa yang ia pikirkan, aku hanya berusaha membuka sikapputranya yang selama ini menjadikankutertuduh. Iya, Mas Arga suamiku. Tapi apa begitu sikap seorang suami yang baik?Dan rasa lelah hati mulai mendekap.Aku berdiam di kamar. Rasanya sesak jika terus melihatkesedihan Ibu Mertua. Permintaanya hanya satu, yaitu aku hamil lagi. Bahkanaset warisan dari Bapak Mertua, rela diserahkan padaku asalkan berhenti kerja.Hanya saja, kenapa Ibu Mertua tidak menyerahkannya pada Mas Arga? Inginbertanya tapi aku rasa itu sudah tak penting.“Ibu kenapa sih? Aku baru pulang udah marah-marah. Aku udahbanyak masalah di tempat kerja, Ibu malah ngomel terus.” Terdengar suara MasArga
TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MASPart 9 ( Kwitansi )Wanita itu terlihat marah-marah sambil menunjuk Mas Arga. Namun Mas Arga memalingkan wajah kesal dengan diam sambil mengeluarkan ponsel dari sakunya, dan mulai bicara di ponsel. Melihat itu semua, aku memakir mobil di tepi jalan dan ingin menghampiri mereka. Siapa wanita memakai jilbab merah itu?Akan tetapi baru saja beberapa langkah dari mobil, tiba-tiba datang seorang berkendara motor. Ialu parkir tepat depan wanita itu. Aku mempercepat langkah hingga kini sudah berada di belakang Mas arga.“Mas Arga.”Mas Arga memalingkan wajah ke belakang. “Sa-Sarah?” Matanya membulat sempurna. Aku yakin ia terkejut karena tiba-tiba aku berada di belakangnya. Ponselnya langsung dimasukan ke saku celana.“Kamu ngapain sih? Ma
TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MASPart 10 ( Kejanggalan )Lima juta uang yang banyak bagi aku. Tiap bulan saja hanyadiberi dua juta. Ini lima juta buat kontrakkan siapa? Setiap hari Mas Argapulang meskipun pergi lagi dan pulang larut. Atau jangan-jangan ia bayarkontrakkan buat wanita lain?Kwitansi itu aku masukan ke saku. Biar nanti di rumah MasArga menjelaskan tentang ini. Sebaiknya aku lanjut pergi ke kantor dankosentrasi bekerja. Selalu berusaha mensugesti diri agar urusan rumah jangansampai dibawa ke kantor. Sulit, tapi harus.***“Bu Sarah pake motor sport? Apa nggak takut jatuh?” Susimenyambutku dengan melongo saat kami sama-sama baru sampai di parkiran kantor.“Alhamdulillah selamat, Sus,” jawabku di se
TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MASPART 119 [Aku sudah menceraikan Ririn, Mamiku sudah meninggal.Sekarang aku sendirian, Sarah. Hanya berharap di sisa hidupku yang sepi, bisamelihat anakku tumbuh besar dan memanggilku ’papa’. Semoga kamu berbaik hatimembiarkan aku memenuhi kewajiban pada anak kita][Aku tidak akan memaksamu menerimaku lagi, meskipun sangatberharap. Aku sadar salah dengan lari dari tanggung jawab sebagai suami hinggasurat cerai kita keluar. Aku salah mempermainkanmu dan justru akulah yang kinidipermainkan nasib dengan kehilangan Mami, ulah dari wanita pilihan Mami.Mungkin ini karma bagi kami yang menyakitimu. Untuk minta maaf lagi rasanyamalu dan aku tak pantas mendapatkan itu]Dua pesan dari Mas Ismail masuk ke ponsel kala aku sedangmenyusui anak. Nama putraku adalah ‘Muhamad Abqari’. Melihat ia sedangmenikmati air susu, ada rasa bersalah kalau menjauhkannya dari Mas Ismail. Aku sangategois jika melakukan itu.[Aku tak akan memisahkanmu dari anakmu, Mas. Lakukanlah
TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MASPart 118 (Ditalak di Penjara)Pov Ismail“Loh, kenapa ditolak, Tia? Oma memberikan karena Tia sudahmenjadi seorang kakak.”“Papa Ismail, aku nggak mau mencoreng maaf yang tulus dengansebuah bayaran. Jika aku menerima warisan itu berarti aku menjual ucapan maaf.Bukankah saling memaafkan harus ikhlas?”Di sini aku merasa malu. Anak yang masih berusia belia saja,bisa mengucapkan hal yang tak terpikirkan olehku. Malu ini karena kalah daripemikirannya. Entah bagaimana Sarah mendidiknya hingga ia seperti manusia yangtidak silau dengan harta.“Tia bisa gunakan uang itu buat kuliah keluar negeri atau....”“Maaf, Pa. Jika aku mengandalkan uang itu buat pendidikandan memenuhi semua kebutuhanku, aku akan jadi malas di usia muda karena sudahmerasa punya. Aku takut terlena dan lupa belajar.”Tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ini benar-benar langka.Jarang anak seusia Tia berpikir seperti ini.Aku menoleh ke Sarah. “Sarah, tolong bujuk Tia,” pintaku.“Maaf, Mas. Ak
TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MASPART 117 (Lebih Baik Begini)Ini yang membuatku sulit, Tia berpendapat yang belum tentu bisa aku lakukan. Ada sifat dari Mas Ismail yang membuatku tak bisa menjalani rumah tangga dengannya. Aku akui ia berbakti pada orang tuanya. Ia lelaki yang setia dengan istri hingga dalam rumah tangga tak pernah terdengar selingkuh. Tetapi, satu sikap yang membuat semua itu tak berarti. Yaitu, tidak punya pendirian, dan tidak bisa mengambil sikap tegas memutuskan dalam sebuah masalah. Padahal ia seorang pemimpin rumah tangga. Yang lebih parahnya, ia bersikap tanpa memperdulikan efek dari apa yang dilakukan hingga penyesalan itu datang kala semua sudah terjadi.“Nak, Mama yang tau semuanya. Jika kamu berpendapat seperti itu, Mama hargai dan ini juga membuka hati Mama agar tidak memisahkan antar anak dan Bapak.”“Mama nggak mau menerima Papa Ismail lagi?”“Tidak semudah itu. Ada hal yang belum bisa Mama ceritakan.”“Tia ngerti, Ma. Tia hanya melihat di luar aja hi
TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MASPart 116 (Ucapan Tia Yang Tak Terduga)“Sarah, menurutmu gimana dengan Bobi?”Aku sedang menyusui tiba-tiba mengalihkan pandangan ke Emak.“Maksud Emak apa?”“Masa nggak ngerti maksud Emak? Kamu pasti tau lah arah pembicaraanini.”Emak bicara langsung-langsung saja. Bahkan ini agakterdengar sensitif untuk dibahas.“Kok malah diam? Kamu tu bukan anak kecil lagi pakai malusegala.” Emak menatapku. Waduh, Emak tahu saja apa yang aku rasakan.Menghela napas panjang, sejenak berpikir lagi dengan jawabanyang akan dilontarkan. Aku tak mau gegabah memutuskan karena sudah dua kaligagal dalam rumah tangga. Ditambah sekarang sudah punya dua orang anak. Kalaumenikah lagi, belum tentu suamiku nanti menerima wanita janda yang sudah punyaanak dua. Lagian anakku masih bayi dan butuh biaya besar.“Kalau kamu nggak yakin nggak masalah. Emak ngerti yang kamupikirkan. Hanya aja, jangan jadikan gagal berumah tangga dua kali itu ketakutanbuat maju menjalani jika ada yang
TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MASPart 115 (Sial!)Pov Siska / Kakaknya RirinSebenarnya aku sangat jijik masuk dan duduk di rumah ini. Lantainyasaja lebih bagusan kandang anjingku di rumah. Tikar ini juga sangat jelek danpasti banyak yang duduk dengan kaki kotor. Iiih! Geli sekali duduk di sini. Kalaubukan demi Ririn, ogah menginjakan kaki di sini. Huh! Sial!“Tolong bujuk Ismail agar mencabut tuntutan. Ririn hanyakorban sama sepertimu, Sarah.” Dengan muka sedih, aku memohon ke Sarah. Namun,sialan, itu nenek lampir kenapa dari tadi membuat aku kesal saja. Ia selalumenjawab dan lebih cepat berucap daripada anaknya.“Maaf, sepertinya salah alamat. Aku dan Mas Ismail sudahtidak ada hubungan lagi hingga ingin membujuknya.”“Iya, aku tau itu. Tapi hanya kamu yang bisa didengar Ismailsekarang ini. Ia masih mengharapkanmu dan pasti mau kalau kamu yang minta.Tolonglah, Sarah ..., hanya kamu yang bisa menolong adikku saat ini.”“Hey! Apa kamu udah gila? Adikmu hampir saja menembak Sarahdan
TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MASPart 114 (Kedatangan Kakaknya Ririn)“Mbak yakin kita segera meninggalkan rumah sakit ini?” tanyapak Bobi setelah kami turun ke lantai satu rumah sakit.“Ya, Pak. Aku harus ngapain lagi di sini?”“Bukan begitu, Pak Ismail sepertinya ....” Ucapan Pak Bobitidak dilanjut. Terlihat ada keraguan.“Ia hanya mantan suami dalam pernikahan kilat, Pak,” ujarkumenjelaskan. Aku tahu ia merasa tidak enak karena mengira aku akan kembali padaMas Ismail.“Pernikahan kilat?” Pak Bobi menatapku dengan alis bertaut.“Hanya suami yang beberapa malam saja.”Tidak ada yang perlu disembunyikan. Jika aku mencoba membukahati dengan Pak Bobi, ia harus tahu semua kisah hidupku agar tak ada dusta diantara kami. Jika sekarang aku memutuskan membuka hati, agar berita tidakmenyudutkan aku seolah seperti penghancur rumah tangga Mas Ismail dan Ririn.Berita yang tersebar bermacam-macam, ada yang mengatakan kalau aku bukanpelakor dan sebaliknya.“Bu Sarah, apakah kami bisa wawancara
TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MASPart 113 (Di Rumah Sakit)“Bu Sarah datang ke rumah sakit buat membesuk korban?” tanyasalah seorang wartawan.“Mmm ....”Terdiam dalam bingung, para wartawan mengerumuni untukdiwawancara. Di luar dugaan, tak menyangka kedatangan ke sini ingin berobat,justru bertemu dengan beberapa wartan. Apa yang harus dijawab?Akan tetapi, siapa korban penembakan yang dimaksud? Saatkejadian tadi, hanya atap rumah yang tertembak. Masa ada korban? Ataujangan-jangan ..., oh iya, tadi Ririn pernah berkata kalau ia telahmenyingkirkan seseorang. Ya Tuhan, apakah Mas Ismail?“Bu Sarah, benarkah cinta segi tiga ini membuat Dokter Ririnmenjadi stres? Apakah Pak Ismail telah menceraikan Dokter Ririn demi bisabersama Bu Sarah?”“Apa?”Ini sudah keterlaluan. Nama baikku tercemar ulah konflikrumah tangga mantan suami kedua.“Maaf, sepertinya ini salah paham, saya tidak tahu denganinsiden penembakan, dan siapa yang ditembak?”“Loh, bukankah ibu dari Pak Ismail tertembak dan sek
TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MASPart 112 (Surat Dari Mas Arga)“Arga sudah meninggal, Sarah ....” Ibu mantan mertuaterdengar terisak di ponsel.Innalillahiwainnalilahirojiuun ..., berita ini berhasilmembuatku meneteskan air mata. Kenangan akan bersama dia dulunya terbayang.Tidak dipungkiri dulu pernah mencintainya. Bahkan ia lelaki yang pertamaberhasil meluluhkan hati ini dengan rasa bahagia kala dilamar. Aku merasawanita beruntung, namun ....“Bu, apa sakit Mas Arga selama ini?” tanyaku dengan suaraserat.“HIV, tapi kamu jangan khawatir, ia minta tinggal di salahsatu kontrakan samping rumah agar kami tidak tertular. Ia sangat menjaga jarak,Sarah.”“Datanglah ke sini, ada titipan dari Arga.”***Tidak banyak yang hadir di acara pemakaman Mas Arga. Paratetangga hanya singgah sebentar lalu pergi. Kabar Mas Arga sakit karenapenyimpangan sexsual, seolah membuat mereka takut tertular. Wajar para tetanggabegitu karena video Mas Arga sudah beberapa kali viral.“Ini titipan Arga, Sarah.”
TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MASPart 111 (Perlawanan)Tok tok tok!“Buka pintunya, Sarah!”Emak masih berteriak sambil mengetuk pintu karena pintubelum dibukakan. Ririn tampak tegang sambil menoleh ke pintu lalu ke arahkubergantian. Bisa dilihat ia mulai panik.“Awas Kalian teriak?” ancamnya tetap menodongkan pistol.“Kamu mau apa dengan semua ini?” Aku berusaha mengajak Ririnkomunikasi agar ia lengah hingga aku bisa bertindak.Tiba-tiba bayiku menangis hingga pandangannya tertuju kekamar. Lalu Ririn mencoba mendekati pintu kamar.“Jangan sakiti anakku, Rin! Kalau kamu marah denganku,tembak aku.”Ririn menghentikan langkahnya. “Tentu aku akan menembakmu.Tapi sebelum itu akan kumusnahkan buah cinta kalian biar aku menang.”Astaga, ia tampak stres dengan ambisi berusaha memenangkansebuah pertandingan. Bukankah ia seorang dokter hingga lebih tahu obat penyakitmental apalagi fisik. Sepertinya ilmu tidak berguna hingga ia terlihat sangatmemprihatinkan.“Ma, ia mau tembak dedek,” bisik