"Gimana Van menurut kamu? Itu yang terbaik yang bisa saya dan Raga lakukan," tukas Sasha setelah menjelaskan semua rencananya pada Evan. Saat itu mereka berada di dalam ruang rawat inap rumah sakit Husada, tempat Sasha sedang menjalani rawat inap. Evan manggut-manggut, "Oke, that's a good idea, saya malah gak kepikiran," sahut Evan seperti biasa dengan nada datarnya. "Well okay, kalau gitu segera kita urus surat kuasanya, begitu Sasha sehat saya dan Sasha akan langsung ke Zurich," tandas Raga tak ingin berlama-lama karena ia ingin Sasha segera beristirahat. "Okay, kita bicarakan di luar aja, kamu istirahat aja Sha. Terimakasih ya," ucap Evan kaku lalu mengulurkan sekotak cokelat pada Sasha. Setelah itu Evan keluar mengikuti Raga yang sudah lebih dahulu melangkah keluar. Sasha tertawa kecil melihat tingkah kaku Evan, dalam hati Sasha bertanya-tanya, bagaimana orang seperti Evan bisa membesarkan seorang putri seperti Allysa. *****Satu minggu kemudian. "Waaaahhh dingin banget!" seru
Empat Bulan Kemudian. Kehamilan Sasha sudah menginjak usia tiga puluh delapan minggu. Berat badannya sudah naik sekitar dua belas kilogram. Sasha mulai sering mengikuti senam kehamilan karena ia sangat berharap bisa melahirkan secara normal kali ini walaupun itu semua rasanya hampir tak mungkin karena sebelumnya ia melahirkan secara Caesar. Gendis sudah lebih dulu melahirkan seorang bayi tampan yang diberi nama Shawn, mereka sempat berkumpul untuk merayakan kelahiran Shawn, bahkan Daniel ikut bergabung secara online melalui video telekonferensi. Sasha dapat melihat Daniel sudah jauh lebih baik saat ini. Sepertinya ia sudah lebih bisa menerima keadaan. Sementara Evan akhirnya bisa memulangkan Allysa dan Ibunya ke Indonesia. Evan juga mengajak Sasha dan Raga bergabung bersamanya membuka bisnis restoran yang akan segera di buka beberapa bulan ke depan. Evan juga membeli rumah di dekat rumah Sasha agar Allysa bisa bermain bersama Katia dan agar Ibu Evan bisa membantu Sasha merawat Kati
Sasha menghela nafas panjang, menatap dengan gusar catatan keuangan pengeluaran keluarga yang baru saja dikirimkan Omanya. Keningnya berkerut menghitung dalam hati total tagihan yang harus dibayarkannya. Emosinya langsung tersulut kala melihat satu garis catatan dengan tulisan,Arisan Mama: Rp. 2.200.000,-Jarinya otomatis menekan tombol hijau di ponselnya dengan gusar, menghubungi Mamanya."Ya Sha?" suara Mama terdengar tidak bersemangat seperti biasanya."Ma, ini dua juta dua ratus arisan apaan?!" tanya Sasha sewot,ia menghentak-hentakan ujung sepatunya dengan cepat, cara yang biasa ia lakukan untuk menenangkan diri di saat gugup atau emosi."Ya biasalah Sha arisan sama temen-temen Mama," Mama Sasha menjawab dengan nada datar, tanpa rasa bersalah.Sasha menjadi semakin gusar,"PENTING YA? Harus banget? Gak usah ikutan dulu deh Ma, aku kan mesti bayar uang pangkal Katia masuk SD! Cicilan
"Goodie Bag buat Media aman semua kan Mbak Sha?" suara Vero Staf Marketing Communication mengagetkan Sasha yang sedang sibuk memeriksa kesiapan Konferensi Pers di Ballroom Hotel Kencana Dharmawangsa yang baru saja diresmikan. "Aman, anak-anak gue udah cek semua satu persatu," jawab Sasha sambil mengintip kedalam salah satu goodie bag yang tertata rapi di atas meja penerima tamu. Anak-anak yang dimaksud oleh Sasha adalah tiga staf Public Relation yang bekerja dibawahnya langsung, ada Gita, Stevi dan si ceroboh Lala. "Mbak Sha, udah denger gosip terbaru belum?" tanya Vero sambil sedikit terkekeh.Sasha menggeleng,"Gossip apaan?" tanyanya sambil lalu. Vero mendekat ke arah Sasha, lalu menjawab dengan suara agak berbisik "Bu mirza mendadak resign!" Sasha terkejut, Bu Mirza adalah General Manager Marketing Communication yang membawahi seluruh marketing team termasuk didalamnya Public Relation. "Menurut lo siapa yang bakal gantiin posisi bu Mirza Ver?" tiba-tiba Gita staf Public Relat
Hujan lebat di pagi hari ini menyisakan hawa dingin yang menusuk tulang.Suara tukang roti keliling terdengar lantang menawarkan dagangannya kepada para penghuni perumahan.Sasha mematut diri di kaca, melihat bayangan yang menatap balik ke arahnya. Terlihat disana gadis cantik tinggi semampai dengan setelan kerja yang modis menyapa. Rambut panjang lurusnya yang sudah ditata rapi ia biarkan tergerai begitu saja membuat aroma wangi shampo dan kondisioner dapat tercium siapapun yang berada di dekatnya."Kamu mau sarapan dulu gak Sha?" teriak Oma dari ruang makan."Gak Oma, aku sarapan di mobil aja," jawab Sasha sambil berjalan ke ruang makan menghampiri Omanya.Ruang makan tampak sepi, hanya ada Oma yang sedang mengoleskan selai cokelat crunchy di atas roti panggang yang akan dibawa Sasha. Sasha celingak - celinguk mencari penghuni rumah lainnya."Pada kemana Oma?" tanyanya penasaran."Jasmine sama Katia udah berangkat, tadi jemput
Jakarta yang selalu macet dan semrawut di pagi hari bertambah kacau karena hujan yang tak kunjung reda. Beberapa pengendara motor tampak meneduh dibawah jembatan penyeberangan untuk mengenakan jas hujan yang baru dikeluarkan dari bagasi motor mereka.Sasha menguap dibalik kemudinya, membunyikan klakson berkali-kali agar mobil di depannya maju walau selangkah. Dengan gelisah ia melihat jam digital di ponselnya yang sudah menunjukan pukul 09.02 pagi.Hari ini tepat satu bulan sejak Sasha dipromosikan menjadi Manager Public Relation di kantornya. Ia dijadwalkan untuk menghadiri rapat internal rutin pada pukul 9.30 pagi ini. Rapat tersebut akan dihadiri oleh seluruh manager dan direktur Kencana Hotel Group termasuk Sasha.Dengan tergesa Sasha berlari ke lift segera setelah mobil pinjamannya terparkir di parking area. Ia membuka ponselnya dan mengirim pesan singkat ke Caroline Manager Marcom untuk menyampaikan keterlambatannya.Hari ini
Food court di lantai dasar tampak sepi, hanya ada beberapa orang yang nampak sedang menikmati makan siang mereka yang terlambat. Sasha dan Daniel memilih tempat duduk diluar ruangan karena mereka sama-sama perokok. Baik Sasha maupun Daniel sama-sama terlihat agak canggung, tidak seperti tadi saat membahas urusan pekerjaan."Sasha, kamu gak kelihatan seperti orang Indonesia pada umumnya, kamu ada turunan luar ya?" Daniel memulai percakapan, berusaha memecah kecanggungan antara mereka.Sasha mengangguk,"Indonesia - Rusia sir!" jawab Sasha dengan nada pasukan yang melapor pada komandannya, membuat Daniel tertawa kecil."Ah, tebakan saya benar! I thought you were Ukrainian!" cetus Daniel bangga pada tebakannya."Tetap beda Pak, Russian is not Ukrainian!" ujar Sasha sambil mematikan rokoknya yang sudah habis terbakar."Well they look the same though hahaa!" Daniel membela diri yang dibantah habis-habisan oleh Sasha.
"Kak Sha! Banguuuuuun! Alarm nya bunyi melulu tuh berisik!!!"Katia menepuk-nepuk pipi Sasha dan menggoyangkan tubuh Sasha yang tertidur pulas dengan mulut setengah terbuka.Sasha membuka mata dengan enggan, tangannya meraba-raba kasur mencari ponsel yang masih meneriakkan alarm bangun paginya."Lagian hari Sabtu gini mau kemana sih Kak? udah nyalain alarm pagi aja! Kakak mau kerja?" Katia dengan cerewet menginterogasi Sasha.Cahaya matahari pagi menelusup masuk lewat jendela kamar Sasha yang sudah dibuka lebar oleh Katia si gadis kecil 6 tahun dengan rambut kriwil yang cerewet minta ampun. Katia yang perkataannya selalu lebih dewasa dari usianya. Katia si adik bungsu kesayangan Sasha, yang setiap Sasha pulang kerja selalu minta oleh-oleh dari Sasha. Walau kadang oleh-olehnya hanya berupa permen kaki yang murah harganya."Bawel banget sih kriwil!" Sasha mencubit pipi Katia yang belakangan mulai berkurang bobot badannya karena mulai padat
Empat Bulan Kemudian. Kehamilan Sasha sudah menginjak usia tiga puluh delapan minggu. Berat badannya sudah naik sekitar dua belas kilogram. Sasha mulai sering mengikuti senam kehamilan karena ia sangat berharap bisa melahirkan secara normal kali ini walaupun itu semua rasanya hampir tak mungkin karena sebelumnya ia melahirkan secara Caesar. Gendis sudah lebih dulu melahirkan seorang bayi tampan yang diberi nama Shawn, mereka sempat berkumpul untuk merayakan kelahiran Shawn, bahkan Daniel ikut bergabung secara online melalui video telekonferensi. Sasha dapat melihat Daniel sudah jauh lebih baik saat ini. Sepertinya ia sudah lebih bisa menerima keadaan. Sementara Evan akhirnya bisa memulangkan Allysa dan Ibunya ke Indonesia. Evan juga mengajak Sasha dan Raga bergabung bersamanya membuka bisnis restoran yang akan segera di buka beberapa bulan ke depan. Evan juga membeli rumah di dekat rumah Sasha agar Allysa bisa bermain bersama Katia dan agar Ibu Evan bisa membantu Sasha merawat Kati
"Gimana Van menurut kamu? Itu yang terbaik yang bisa saya dan Raga lakukan," tukas Sasha setelah menjelaskan semua rencananya pada Evan. Saat itu mereka berada di dalam ruang rawat inap rumah sakit Husada, tempat Sasha sedang menjalani rawat inap. Evan manggut-manggut, "Oke, that's a good idea, saya malah gak kepikiran," sahut Evan seperti biasa dengan nada datarnya. "Well okay, kalau gitu segera kita urus surat kuasanya, begitu Sasha sehat saya dan Sasha akan langsung ke Zurich," tandas Raga tak ingin berlama-lama karena ia ingin Sasha segera beristirahat. "Okay, kita bicarakan di luar aja, kamu istirahat aja Sha. Terimakasih ya," ucap Evan kaku lalu mengulurkan sekotak cokelat pada Sasha. Setelah itu Evan keluar mengikuti Raga yang sudah lebih dahulu melangkah keluar. Sasha tertawa kecil melihat tingkah kaku Evan, dalam hati Sasha bertanya-tanya, bagaimana orang seperti Evan bisa membesarkan seorang putri seperti Allysa. *****Satu minggu kemudian. "Waaaahhh dingin banget!" seru
"Sha! Sha!" lamat-lamat suara Raga terdengar di telinga Sasha. Sasha membuka matanya perlahan, aroma Lavender menyeruak masuk ke indera penciumannya. Biasanya aroma tersebut akan memenangkannya, tapi kali ini aroma Lavender kesukaan Sasha sama sekali tidak dapat menenangkan hatinya. "Sha, kamu udah sadar?" ujar Raga dengan nada khawatir. Sasha dapat melihat Raga yang berdiri di sebelah kanannya dan Reina yang berdiri di sebelah kirinya, Sasha sampai bingung akan mengalihkan pandangan kemana, karena Sasha sedang tak ingin melihat keduanya. "Sha? Kamu bisa denger aku kan?" tanya Raga yang bingung karena bahkan setelah sadar Sasha tidak mengatakan apa-apa. Sasha mengangguk pelan, masih enggan membuka mulut. "Sasha, tadi kamu pingsan, tekanan darah kamu rendah sekali, HB kamu juga rendah, sepertinya kamu perlu dirawat paling tidak sampai HB kamu normal," tukas Reina dengan nada profesional. Sasha hanya diam saja, ia memilih untuk memejamkan mata karena tak ingin menatap Raga ataupun Re
"Sayang, jangan lupa hari ini kita check up lho!" seru Sasha sebelum Raga berangkat ke kantor. Raga mengerlingkan sebelah matanya tanda mengiyakan. Setelah Raga berangkat kerja, Sasha melakukan rutinitas yang setiap hari ia lakukan secara berulang-ulang. Membereskan piring sisa sarapan, menyedot debu, membereskan semua kamar dan membereskan baju yang akan dibawa ke laundry.Ponsel Sasha berdering saat Sasha sedang bersantai sambil menikmati secangkir cokelat panas.Sebuah nomor yang tak dikenal. "Halo?" sapa Sasha santai. "Sasha, this is Evan," sebuah suara yang sangat Sasha kenal menyapa. Sasha langsung meletakkan cangkirnya, "Evan? Oh Hai! Jadi gimana?" tanya Sasha antusias, ia sangat ingin membantu Evan, karena Sasha tak tega melihat kehidupan Evan yang terlihat sangat kesulitan sekarang ini."Can I talk with your husband too, sebenarnya saya merasa kurang nyaman kalau kita harus berkomunikasi tanpa ijin dengan suami kamu," tukas Evan datar. Wajah Sasha memerah, bukankah seharusnya
Tiga bulan kemudian.Kehamilan Sasha mulai menginjak usia lima bulan. Berat badannya sudah bertambah sekitar empat kilogram membuat Sasha merasa sangat tidak nyaman karena bajunya mulai banyak yang tidak muat. “Kenapa sih Sha marah-marah terus?” tanya Raga yang melihat Sasha sedang berdecak kesal karena bahkan celana longgar yang biasa ia kenakan tidak muat juga. “Sebel! Celana yang ini juga gak muat!” seru Sasha seraya membuka kembali celana yang sudah dipakainya sampai ke paha. Raga tertawa, “Kan aku udah bilang, belanja baju baru gih! Kamu alasannya saying uang terus,” ledek Raga sambil mengancingkan kemejanya.Sasha menekuk wajahnya,”Ya kan aku gak tau kalau berat badan aku bakal naik secepat ini,” ujar Sasha sebal. “Ya udah belanja gih, ajak Gendis aja! Berangkatnya sekalian sama aku,” tukas Raga seraya menoleh menatap Sasha yang masih menggerutu. “Beneran?” tanya Sasha, semenjak ia memutuskan untuk stay at home dan tidak bekerja, ia selalu bersalah jika harus mengeluarkan uang u
Sasha berdiri di lobby Penthouse sambil melamun menatap pilar besar. Ia teringat perpisahan terakhirnya dengan Daniel tadi, tiba-tiba dadanya menjadi agak sesak. Tapi paling tidak hanya kenangan indah yang tersisa, ia berharap Daniel akan mendapatkan kebahagiaan seperti dirinya. "Cantik!" panggil Raga dari balik kemudian saat mobilnya sampai di lobby Penthouse. Sasha langsung tersadar dari lamunannya dan tersenyum pada Raga, suaminya, tempatnya pulang. "Gimana kabar Daniel?" tanya Raga sambil mengemudi. Sasha menghela nafas panjang, "Dia keliatan jauh lebih baik, lebih sehat, kayaknya Olin ngejalanin tugasnya dengan baik!" sahut Sasha santai. Ia tak ingin terlalu menunjukkan jika ia masih sangat peduli dengan Daniel. "Wah bagus dong, semoga dia cepet balik kayak dulu ya, kayaknya Luke udah keteteran pegang LPC karena dia mesti urus perusahaan dia yang di Bali," tukas Raga. Sasha terdiam, menatap mobil yang melaju di depannya. "Daniel mau pindah ke Oslo, dia gak akan urus LPC lagi,"
Malam harinya saat Sasha kembali ke rumah, Raga terlihat tertidur di sofa ruang TV. Sementara di karpet, Jasmine dan Katia terlihat sedang menonton film. "Ssssttt," Jasmine meletakkan ibu jari di mulutnya saat Sasha nyaris membuka mulut. "Baru tidur tuh Kak Raga, kecapean kayaknya," tukas Jasmine sambil mengambil paper bag yang dibawa Sasha. "Wah cheese cake! Kakak dari mana?" tanya Jasmine sambil mengeluarkan cheese cake dari papar bag. "Abis ngobrol sama Kak Gendis, kalian udah makan?" tanya Sasha seraya meletakkan tas tangannya ke atas sofa. "Udah! Tadi Kak Raga bikin nasi goreng!" jawab Katia riang. "Oh ya? Enak gak?" tanya Sasha. "Banget!" sahut Jasmine dan Katia bersamaan, membuat Sasha mau tak mau tersenyum. Ia berjongkok di depan Raga, lalu meniup-niup wajah Raga pelan. Raga membuka matanya perlahan, "Eh, udah pulang sayang?" ujar Raga dengan wajah terkejut. Raga meregangkan tubuhnya lalu bangkit dari tidurnya. "Capek ya?" tanya Sasha seraya duduk di sebelah Raga. "Lumayan,
Dua Bulan Kemudian. Tubuh Sasha masih saja ramping walaupun kehamilannya sudah menginjak usia kandungan delapan minggu. Hari ini adalah jadwal kontrol rutin bulanan Sasha ke dokter Reina. Bulan lalu ia tidak kontrol karena merasa belum perlu, namun karena belakangan Sasha mulai sering merasa pusing dan blackout ia memutuskan untuk check up segera ke klinik dokter Reina. Dengan ditemani oleh Raga, Sasha berangkat menuju klinik dokter Reina. Hari adalah hari kerja sehingga pasien dokter Reina tidak begitu banyak. Sasha sudah hampir melupakan pesan yang ia duga dikirimkan oleh dokter Reina. Karena Raga tidak merespon pesan romantis itu, Sasha memutuskan untuk melupakannya saja. Walaupun demikian Sasha tetap merasa perlu tampil cantik dan menarik di depan dokter Reina agar ia tidak diremehkan. Ia ingin mempertegas bahwa Raga adalah miliknya, suaminya, ayah dari janin dalam kandungannya! "Sha, kamu gak pa pa? Kok kayak lagi mikir gitu sih?" tanya Raga yang melihat Sasha sedang melamun
Malam ini Sasha memutuskan untuk pulang ke rumah, ia sempat berpamitan dengan Daniel, namun Daniel hanya memunggunginya dan Raga tanpa mengucapkan sepatah katapun. "Olin, saya titip Pak Daniel ya, kalau ada apa-apa do let me know, kamu udah save nomor saya kan?" tanya Sasha yang dijawab angguka sopan oleh Olin. Langkah Sasha terasa berat saat meninggalkan Penthouse. Meninggalkan Daniel dalam keadaan terpuruk seperti sekarang tentu saja tidak mudah bagi Sasha. Namun berada di dekat Daniel hanya akan membuat semuanya menjadi bertambah rumit. Sasha sama sekali tak ingin tahu lagi alasan mengapa Daniel mencampakkannya waktu itu. Ia benar-benar akan mengubur semua rasa ingin tahu itu jauh-jauh. Pernikahannya dengan Raga adalah hal yang jauh lebih penting. Raga selalu tampak sabar di depan Sasha walaupun Sasha tahu sebenarnya Raga cukup cemburu dengan Daniel. "Kita mampir ke Gandy's ya, aku mau beliin steak buat Jasmine dan Katia," tukas Raga sambil mengemudi. Hati Sasha dialiri rasa han