Food court di lantai dasar tampak sepi, hanya ada beberapa orang yang nampak sedang menikmati makan siang mereka yang terlambat. Sasha dan Daniel memilih tempat duduk diluar ruangan karena mereka sama-sama perokok. Baik Sasha maupun Daniel sama-sama terlihat agak canggung, tidak seperti tadi saat membahas urusan pekerjaan.
"Sasha, kamu gak kelihatan seperti orang Indonesia pada umumnya, kamu ada turunan luar ya?" Daniel memulai percakapan, berusaha memecah kecanggungan antara mereka.
Sasha mengangguk,
"Indonesia - Rusia sir!" jawab Sasha dengan nada pasukan yang melapor pada komandannya, membuat Daniel tertawa kecil."Ah, tebakan saya benar! I thought you were Ukrainian!" cetus Daniel bangga pada tebakannya.
"Tetap beda Pak, Russian is not Ukrainian!" ujar Sasha sambil mematikan rokoknya yang sudah habis terbakar.
"Well they look the same though hahaa!" Daniel membela diri yang dibantah habis-habisan oleh Sasha.
"And you are?" Sasha balik bertanya sambil menggerakkan keningnya.
"Daniel Park, 33 Tahun, Korean - American Mam!" jawab Daniel dengan gaya militer yang dibuat lucu sama seperti yang tadi Sasha lakukan saat menjawab pertanyaannya.
Sasha yang mendadak tertawa nyaris tersedak asap membuat Daniel ikut tertawa terbahak.
Dari kejauhan di sebuah counter fresh juice tanpa Sasha sadari Raga melihat keakrabannya dengan Daniel dengan perasaan tidak nyaman. Dalam benaknya ia bergumam,
"Bisa ngakak sebegitunya dia sama orang baru kenal..." ada rasa cemburu yang sangat halus menjalar di hati Raga, yang ia tepis dengan segera.Seorang waiter datang membawa pesanan mereka,
"Satu roasted chicken with salad!" Ia meletakan menu tersebut didepan Sasha."Dan satu tuna sandwich!"lalu meletakan menu satunya didepan Daniel.Sasha yang kelaparan melahap roasted chicken favoritnya dengan lahap, melupakan Daniel yang juga sedang makan didepannya. Daniel sedikit ingin tertawa melihat mulut Sasha yang menggembung terisi ayam, kentang dan salad.
Ia menuangkan air mineral di gelas Sasha yang kosong sambil berkata,
"I can't believe you eat like a pig!" yang disambut cengiran lebar oleh Sasha.Hanya membutuhkan waktu 5 menit untuk mereka menghabiskan makan siang mereka masing-masing. Baik piring Sasha ataupun Daniel bersih tak bersisa.
"O my God Sasha! Did you eat the garnish too?" ledek Daniel karena melihat garnish atau sayuran yang digunakan untuk hiasan di piring Sasha lenyap tak bersisa.
Sasha yang sudah melupakan rasa malunya tertawa,
"I'm STARVING Pak!" cetus Sasha yang langsung dibalas tawa oleh Daniel."Pak Dan, kok bisa ngomong bahasa dengan baik? bukannya udah 3 tahun gak kesini?" tiba-tiba Sasha bertanya penasaran.
Daniel menyalakan korek dan menyulut rokok sebelum menjawab,
"Dulu saya kerja cukup lama di salah satu hotel di Indonesia, hampir 5 tahun," jawab Daniel sambil mengingat-ingat.Mulut Sasha membulat membentuk huruf O yang otomatis membuat asap dari mulutnya keluar dengan bentuk O.
Daniel dan Sasha tertawa terbahak sampai hampir menangis melihat asap tersebut.Tidak terasa 45 menit telah berlalu. Mereka dengan segera meminta bill pada kasir. Daniel bersikeras ingin mentraktir Sasha karena merasa bersalah telah membuat Sasha kelaparan. Sasha yang merasa tidak enak langsung menolak tawaran tersebut dan segera meletakan uang cash di atas cover bill dan berlari cepat keluar restoran sebelum Daniel sempat mencegahnya.
Hari ini cukup melelahkan bagi Sasha karena jadwal rapat seolah tiada habisnya. Jam sudah menunjukan pukul 6.45 malam, sebagian karyawan di kantor sudah bubar jalan meninggalkan kantor dalam keheningan.
Sasha berdiri menatap pemandangan Kota Jakarta yang tampak dipenuhi lampu-lampu kendaraan yang menjalar dalam kemacetan dari jendela kaca ruang kerjanya yang baru. Ia melirik kolateral marketing di mejanya, setelah berpikir sebentar, ia menekan nomor 142 di pesawat telepon.
"Belum mau balik kan lo?" sergap Sasha segera setelah Raga mengangkat telepon.
"Belom, kenapa?" tanya Raga singkat.
"Ke ruangan gue dong bentar!" jawab Sasha sambil membolak-balik kolateral marketing di tangannya.
"Lo aja deh yang kesini, gue masih ada revisian design nih! Sekalian bawain kopi panas ye, okay? Bye!" Raga mematikan telepon tanpa menunggu jawaban Sasha.
Sasha memonyongkan bibirnya, membawa marketing kolateral dan ponselnya lalu berjalan keluar dari ruang kerjanya yang seluruhnya tertutup kaca menuju ke pantry.
"Hai Mbak Cantik! Mau bikin kopi yah?" sapa Asep salah satu Office Boy yang bekerja untuk Departemen Marketing.
"Iya nih mas Asep, Raga tuh nyuruh-nyuruh!" gerutu Sasha sambil menekan tombol di mesin pembuat kopi otomatis.
Asep tertawa,
"Kenapa gak bilang saya aja Mbak!Mbak Sasha doang nih manager yang bikinin orang kopi!" tukas Asep sambil memasukan cangkir yang baru selesai ia keringkan kedalam lemari penyimpanan."Emang, Raga doang nih yang berani nyuruh-nyuruh! Ya udah Mas Asep saya duluan ya!" pamit Sasha sambil membawa dua kopi ditangannya, sementara handphone dan sampel marketing kolateral ia jepit di ketiak nya.
Di Cubicle nya, Raga tampak sedang sibuk berkutat dengan laptop nya. Meja kerja Raga tampak sedikit berantakan dengan kertas-kertas yang bertebaran. Ada sederet foto terpasang di dinding Cubiclenya. Beberapa foto Raga dan teman-teman satu tim nya saat outing kantor, ada juga foto Raga dengan Sasha saat mereka 'hangout' bersama, dan satu foto Raga dengan pacarnya, Tyas.
Sasha menaruh kopi di atas meja kerja, lalu berdiri disamping Raga mengamati meja kerja Raga.
"Berantakan amat!" tukasnya sambil merapikan kertas yang bertebaran.Raga yang sedari tadi tidak menyadari kehadiran Sasha menoleh terkejut.
"Kalo berantakan berarti kerja beneran, kagak gabut!" sahutnya sembari kembali menatap layar laptopnya."Ngerjain apaan sih?" tanya Sasha ingin tahu. Raga menyodorkan kertas print-out email pada Sasha yang kemudian mangut-mangut.
"Ini kopi mau di minum kagak?! Gue kasih orang aja nih!" Sasha yang merasa di acuhkan mulai mengomel.
Raga meraih paper cup berisi kopi yang dibawa Sasha, lalu menyeruput kopi panas itu perlahan.
"Thanks bro! Lo mau ngapain nyari gue?" tanya Raga sambil memutar kursinya menghadap Sasha.Sasha melemparkan sampel marketing kolateral ditangannya ke atas meja Raga dengan pelan.
"Revisi Bro!" jelasnya yang langsung disambut kerutan dahi oleh Raga."Lah kemaren katanya udah final, udah di lock, udah okay semua! Ngapa di revisi lagi?!" omel Raga gusar.
Ia sudah bolak-balik mengerjakan revisi design marketing kolateral itu agar disetujui oleh semua pihak. Baru saja kemarin Sasha, Caroline dan Mas Indro sudah setuju dengan design akhir yang Raga buat, namun tiba-tiba hari ini ada revisi lagi, tidak heran jika Raga mendadak gusar."Bukan gueeeee!" Sasha membela diri. Raga mengangkat alisnya menunggu Sasha melanjutkan.
"Daniel Park!" tukas Sasha sambil mengangkat bahu.Raga mendengus pelan, lalu bertanya pada Sasha bagian mana saja yang perlu direvisi. Raga mencoret-coret kertas kosong di mejanya menulis penjelasan Sasha. Setelah selesai ia menyeruput lagi kopinya yang sudah agak dingin.
"Lo gak jemput Tyas?" tanya Sasha sambil melirik foto Raga dan Tyas yang terlihat sedang tersenyum ke arah kamera.
Raga mengangkat bahu,
"Enggak, lagi ribut," jawab Raga singkat. Sasha yang enggan ikut campur hanya berkata 'oh' singkat.Padahal kemarin malam Raga dan Tyas bertengkar hebat gara-gara Sasha. Tyas merasa cemburu dan tersisih karena Raga selalu lebih mementingkan Sasha.
Setiap hari selalu ada alasan, "Nemenin Sasha lembur!""Lagi nemenin Sasha ngerokok!""Lagi nemenin Sasha ngopi!""Lagi nganterin Sasha Balik!"Atau juga karena sambungan telepon Raga yang seringkali sibuk saat Tyas meneleponnya. Alasannya seringkali,
"Lagi telpon Sasha, dia belom balik jam segini!"Tyas yang merasa kedekatan Raga dengan Sasha sudah tidak wajar mulai marah-marah dan meminta Raga untuk memilih. Raga yang merasa hubungan pertemanan nya dengan Sasha normal-normal saja malah balik marah dan mengatakan Tyas terlalu berlebihan. Akhirnya Raga dan Tyas memutuskan untuk 'break' sementara dan saling intropeksi diri.
Sementara di lain pihak Sasha yang merasa tidak ada yang aneh antara ia dan Raga hanya menjadi orang yang tidak tahu apa-apa. Raga enggan bercerita pada Sasha karena khawatir Sasha menjadi merasa bersalah dan menjauhinya. Setelah Sasha dan Raga selesai membahas file revisi marketing kolateral, Sasha mengambil paper cup bekas kopi dan membuangnya ke tempat sampah.
Ia sudah bersiap kembali ke ruangannya saat tiba-tiba Raga bertanya,
"Tadi siang lo makan sama si Korea?"Sasha menggerakkan kedua alisnya cepat,
"Iya, abisan kelamaan meeting gak sempet makan siang, lo ngeliat gue?" Sasha balik bertanya. "Iya," jawab Raga agak kurang bersemangat.Sasha menunggu barangkali Raga mau mengatakan sesuatu, tapi Raga hanya diam saja dan kembali menatap layar laptopnya.
"Ya udah gue cabut ya, mau narik angkot!" ujar Sasha sambil berlalu. Beberapa detik kemudian Raga menghentikan gerakan jarinya di mouse lalu mengambil ponsel dan mengirim pesan pada Sasha.
'Hati-hati Lo nariknya, ga usah kemaleman baliknya!'
Sasha hanya membalas dengan emoticon peluk seperti yang biasa ia lakukan. Namun kali ini emoticon peluk dari Sasha membuat sensasi yang berbeda di hati Raga.
"Damn, what's wrong with me!" gerutu Raga sambil mengusap-usap wajahnya kencang.
"Kak Sha! Banguuuuuun! Alarm nya bunyi melulu tuh berisik!!!"Katia menepuk-nepuk pipi Sasha dan menggoyangkan tubuh Sasha yang tertidur pulas dengan mulut setengah terbuka.Sasha membuka mata dengan enggan, tangannya meraba-raba kasur mencari ponsel yang masih meneriakkan alarm bangun paginya."Lagian hari Sabtu gini mau kemana sih Kak? udah nyalain alarm pagi aja! Kakak mau kerja?" Katia dengan cerewet menginterogasi Sasha.Cahaya matahari pagi menelusup masuk lewat jendela kamar Sasha yang sudah dibuka lebar oleh Katia si gadis kecil 6 tahun dengan rambut kriwil yang cerewet minta ampun. Katia yang perkataannya selalu lebih dewasa dari usianya. Katia si adik bungsu kesayangan Sasha, yang setiap Sasha pulang kerja selalu minta oleh-oleh dari Sasha. Walau kadang oleh-olehnya hanya berupa permen kaki yang murah harganya."Bawel banget sih kriwil!" Sasha mencubit pipi Katia yang belakangan mulai berkurang bobot badannya karena mulai padat
Puncak bogor di malam minggu pukul 01.00 pagi terlihat masih agak ramai. Raga menepikan mobilnya, mencari tempat yang strategis untuk melihat pemandangan lampu-lampu yang terlihat indah dari Puncak Pass.Ia menoleh dan mendapati Sasha masih tertidur pulas dengan mulut setengah terbuka, nampak begitu kelelahan. Raga enggan membangunkan Sasha dan memilih untuk keluar dari mobil. Ia menghirup nafas dalam-dalam, merasakan hawa segar pegunungan memenuhi dadanya yang belakangan sering sesak tanpa sebab.Sesak bukan karena penyakit dalam, namun sesak karena seorang Sasha. Entah sejak kapan rasa dihatinya berubah, tapi semenjak Raga menyadari rasa itu ada, dadanya jadi sering sesak saat memikirkan perasaannya pada Sasha. Mungkin sesak karena dia sadar rasanya tak akan berbalas rasa yang sama. Karena Raga terlalu mengenal Sasha, lebih dari siapapun di dunia.Raga menghembuskan nafasnya keras-keras melepas rasa sesak aneh yang tidak ia pahami.
Gedung Kencana Hotel Group terletak di kawasan perkantoran Jl. Jend Sudirman Jakarta Pusat. Gedung setinggi 56 lantai itu dilantai bagian bawahnya difungsikan untuk ballroom, restaurant dan coffee shop, sementara seluruh lantai sisanya digunakan untuk kegiatan perkantoran Kencana Hotel.Lantai paling tinggi, yaitu lantai 56 ditempati oleh CEO, komisaris dan Direktur Utama. Sementara Departemen Marketing tempat Sasha bekerja berada di lantai 45.CEO Kencana Hotel yang bernama Muchtar Hartono adalah seorang pria keturunan tionghoa yang sudah berusia 61 tahun. Ia adalah seorang pria yang rendah hati dan sering menyapa para karyawannya walaupun ia seringkali tidak dapat mengingat nama karyawan yang ia sapa.Daniel Park, Direktur Utama yang baru saja bergabung di perusahaan Kencana Hotel Group dirumorkan memiliki hubungan yang sangat baik dengan CEO Kencana Hotel Group Muchtar Hartono. Rumor mengatakan bahwa Daniel Park merupakan anak angkat dari Muchtar Hartono, bah
Hujan deras masih mengguyur Jakarta, angin bertiup kencang menggoyangkan pohon-pohon yang tertata rapi di tepi jalan. Sasha meringis merasakan kesakitan di kakinya. Daniel meraba jok belakang mengambilkan handuk kecil lalu menyodorkannya pada Sasha membiarkan dirinya sendiri kebasahan."Kaki kamu gimana Sha?" tanyanya khawatir sambil melirik kaki Sasha."Agak sakit sedikit pak, cuma keseleo kayaknya," jawab Sasha sambil mengeringkan rambutnya yang basah."Saya antar kamu pulang ya," tukas Daniel tanpa menoleh pada Sasha. Ia juga tidak bertanya kenapa Sasha berada di trotoar dan tidak mengendarai mobilnya. Membuat Sasha jadi malu sendiri karena telah berbohong."Saya turun di stasiun MRT depan aja pak," ujar Sasha sambil menunjuk stasiun yang terlihat tidak jauh dari mereka."No way, pertama kaki kamu sakit, kedua kamu basah kuyup, there's no way kamu pulang naik MRT with that condition!" Daniel menggelengkan kepalanya sa
Pagi yang mendung, langit tampak gelap dengan yang angin dingin berhembus kencang. Sasha meringkuk dibalik selimutnya, merasakan keinginan kuat untuk kembali memejamkan mata. Suara ketukan diluar membuatnya terjaga."Sha... Shaa.." panggil Oma sambil mengetuk pintu kamar Sasha.Sasha membuka selimutnya, nampak Oma yang masih mengenakan daster tidur berdiri di pintu kamarnya."Hai Oma!" Sapa Sasha sambil mengucek matanya. Ia duduk bersandar pada dipan mencoba untuk mengumpulkan nyawa. Oma masuk kedalam lalu duduk di ranjang tempat tidur Sasha."Oma mau ngomong," tukas Oma sambil memegang tangan Sasha. Sasha menatap Omanya penasaran."Sha, kemarin sore ada yang dateng..." terang Oma, ia berhenti sebentar sebelum melanjutkan."Cari mama mu..." lanjut Oma.Sasha yang sudah mengerti arah pembicaraan Oma menghela nafas. Ia menegakkan tubuhnya segera, "Pasti tukang tagih deh!" serunya kesal.
Sasha menyeret koper kecilnya dan berjalan timpang di terminal 3 keberangkatan. Ia hanya mengenakan celana jeans dan hoodie over size berwarna putih, warna kesukaannya. Wajahnya ia biarkan polos tanpa make up. Sisa tangisan masih tampak di hidungnya yang terlihat merah muda.Di deretan bangku ruang tunggu bandara tampak Daniel, Raga dan Carolina sedang berdikusi sambil menunjuk sesuatu di laptop yang dipegang oleh Caroline.Daniel dan Raga yang memang sejak tadi menunggu Sasha langsung menoleh saat mendengar suara tapak kaki mendekat."Sha! Astaga lo kenapa!" ujar Raga setengah berteriak melihat kaki Sasha yang dibalut perban, dan wajah Sasha yang kusut.Daniel turut mendekat dan memandang tangan Sasha yang luka dan memar."Tangan kamu kemarin gak pa pa kan Sasha? Ini luka baru? Kamu jatuh lagi?" tanya Daniel yang secara tidak sadar mengangkat tangan kanan Sasha yang memar.Raga menoleh ke Daniel dengan waja
Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali tampak ramai dengan turis domestik dan internasional. Kebanyakan orang terlihat santai mengenakan baju dengan tema tropical.Sasha, Daniel, Raga dan Caroline berkumpul di lobby kedatangan menunggu jemputan dari Kencana Hotel Nusa Dua Bali datang. Mereka tampak sibuk dengan ponsel mereka masing-masing. Tak lama kemudian Pak Ketut supir yang bertugas untuk menjemput mereka datang."Selamat siang Bapak-bapak dan Ibu-ibu, Selamat Datang di Bali!" sapa Pak Ketut dengan ceria.Setelah berbasa-basi sebentar, Pak Ketut segera memasukan koper Sasha dan Caroline. Sementara Daniel dan Raga sigap memasukan koper mereka sendiri.Mobil SUV Hitam yang mereka kendarai menembus lalu lintas Denpasar dengan kecepatan sedang.Sasha mengangkat ponselnya yang berdering nyaring,"Sasha Speaking!" tukasnya lugas"Oh sudah disana ya? Okay okay tolong di servis dengan baik ya, nanti sore saya temui. Okay okay, Th
Hari itu setelah test food dan berdiskusi panjang dengan Olivia Wangsa, Sasha menyelesaikan banyak meeting dan sosialisasi dengan staf hotel untuk persiapan acara pembukaan. Malamnya ia sangat kelelahan lalu tertidur pulas tanpa sempat memikirkan hal lainnya termasuk urusan Daniel ataupun tagihan hutang Mamanya.Paginya Sasha terbangun pagi-pagi sekali, ia membangunkan Caroline untuk mengajak sarapan, namun Caroline menolak ia memilih untuk kembali tidur. Sasha juga mencoba menelpon Raga, namun tak kunjung dijawab, karena Raga sedang tertidur pulas.Karena perutnya kelaparan Sasha memutuskan untuk turun sarapan sendirian. Ia mengenakan dress putih panjang dengan lengan Sabrina dan mengikat rambutnya dengan model bun seperti yang biasa ia lakukan.Ia turun ke restoran yang nampak masih sepi, karena hotel belum dibuka untuk umum. Satu dua staf hotel menyapa Sasha dengan ramah.Sasha memilih tempat duduk diluar ruangan supaya ia bisa meroko
Empat Bulan Kemudian. Kehamilan Sasha sudah menginjak usia tiga puluh delapan minggu. Berat badannya sudah naik sekitar dua belas kilogram. Sasha mulai sering mengikuti senam kehamilan karena ia sangat berharap bisa melahirkan secara normal kali ini walaupun itu semua rasanya hampir tak mungkin karena sebelumnya ia melahirkan secara Caesar. Gendis sudah lebih dulu melahirkan seorang bayi tampan yang diberi nama Shawn, mereka sempat berkumpul untuk merayakan kelahiran Shawn, bahkan Daniel ikut bergabung secara online melalui video telekonferensi. Sasha dapat melihat Daniel sudah jauh lebih baik saat ini. Sepertinya ia sudah lebih bisa menerima keadaan. Sementara Evan akhirnya bisa memulangkan Allysa dan Ibunya ke Indonesia. Evan juga mengajak Sasha dan Raga bergabung bersamanya membuka bisnis restoran yang akan segera di buka beberapa bulan ke depan. Evan juga membeli rumah di dekat rumah Sasha agar Allysa bisa bermain bersama Katia dan agar Ibu Evan bisa membantu Sasha merawat Kati
"Gimana Van menurut kamu? Itu yang terbaik yang bisa saya dan Raga lakukan," tukas Sasha setelah menjelaskan semua rencananya pada Evan. Saat itu mereka berada di dalam ruang rawat inap rumah sakit Husada, tempat Sasha sedang menjalani rawat inap. Evan manggut-manggut, "Oke, that's a good idea, saya malah gak kepikiran," sahut Evan seperti biasa dengan nada datarnya. "Well okay, kalau gitu segera kita urus surat kuasanya, begitu Sasha sehat saya dan Sasha akan langsung ke Zurich," tandas Raga tak ingin berlama-lama karena ia ingin Sasha segera beristirahat. "Okay, kita bicarakan di luar aja, kamu istirahat aja Sha. Terimakasih ya," ucap Evan kaku lalu mengulurkan sekotak cokelat pada Sasha. Setelah itu Evan keluar mengikuti Raga yang sudah lebih dahulu melangkah keluar. Sasha tertawa kecil melihat tingkah kaku Evan, dalam hati Sasha bertanya-tanya, bagaimana orang seperti Evan bisa membesarkan seorang putri seperti Allysa. *****Satu minggu kemudian. "Waaaahhh dingin banget!" seru
"Sha! Sha!" lamat-lamat suara Raga terdengar di telinga Sasha. Sasha membuka matanya perlahan, aroma Lavender menyeruak masuk ke indera penciumannya. Biasanya aroma tersebut akan memenangkannya, tapi kali ini aroma Lavender kesukaan Sasha sama sekali tidak dapat menenangkan hatinya. "Sha, kamu udah sadar?" ujar Raga dengan nada khawatir. Sasha dapat melihat Raga yang berdiri di sebelah kanannya dan Reina yang berdiri di sebelah kirinya, Sasha sampai bingung akan mengalihkan pandangan kemana, karena Sasha sedang tak ingin melihat keduanya. "Sha? Kamu bisa denger aku kan?" tanya Raga yang bingung karena bahkan setelah sadar Sasha tidak mengatakan apa-apa. Sasha mengangguk pelan, masih enggan membuka mulut. "Sasha, tadi kamu pingsan, tekanan darah kamu rendah sekali, HB kamu juga rendah, sepertinya kamu perlu dirawat paling tidak sampai HB kamu normal," tukas Reina dengan nada profesional. Sasha hanya diam saja, ia memilih untuk memejamkan mata karena tak ingin menatap Raga ataupun Re
"Sayang, jangan lupa hari ini kita check up lho!" seru Sasha sebelum Raga berangkat ke kantor. Raga mengerlingkan sebelah matanya tanda mengiyakan. Setelah Raga berangkat kerja, Sasha melakukan rutinitas yang setiap hari ia lakukan secara berulang-ulang. Membereskan piring sisa sarapan, menyedot debu, membereskan semua kamar dan membereskan baju yang akan dibawa ke laundry.Ponsel Sasha berdering saat Sasha sedang bersantai sambil menikmati secangkir cokelat panas.Sebuah nomor yang tak dikenal. "Halo?" sapa Sasha santai. "Sasha, this is Evan," sebuah suara yang sangat Sasha kenal menyapa. Sasha langsung meletakkan cangkirnya, "Evan? Oh Hai! Jadi gimana?" tanya Sasha antusias, ia sangat ingin membantu Evan, karena Sasha tak tega melihat kehidupan Evan yang terlihat sangat kesulitan sekarang ini."Can I talk with your husband too, sebenarnya saya merasa kurang nyaman kalau kita harus berkomunikasi tanpa ijin dengan suami kamu," tukas Evan datar. Wajah Sasha memerah, bukankah seharusnya
Tiga bulan kemudian.Kehamilan Sasha mulai menginjak usia lima bulan. Berat badannya sudah bertambah sekitar empat kilogram membuat Sasha merasa sangat tidak nyaman karena bajunya mulai banyak yang tidak muat. “Kenapa sih Sha marah-marah terus?” tanya Raga yang melihat Sasha sedang berdecak kesal karena bahkan celana longgar yang biasa ia kenakan tidak muat juga. “Sebel! Celana yang ini juga gak muat!” seru Sasha seraya membuka kembali celana yang sudah dipakainya sampai ke paha. Raga tertawa, “Kan aku udah bilang, belanja baju baru gih! Kamu alasannya saying uang terus,” ledek Raga sambil mengancingkan kemejanya.Sasha menekuk wajahnya,”Ya kan aku gak tau kalau berat badan aku bakal naik secepat ini,” ujar Sasha sebal. “Ya udah belanja gih, ajak Gendis aja! Berangkatnya sekalian sama aku,” tukas Raga seraya menoleh menatap Sasha yang masih menggerutu. “Beneran?” tanya Sasha, semenjak ia memutuskan untuk stay at home dan tidak bekerja, ia selalu bersalah jika harus mengeluarkan uang u
Sasha berdiri di lobby Penthouse sambil melamun menatap pilar besar. Ia teringat perpisahan terakhirnya dengan Daniel tadi, tiba-tiba dadanya menjadi agak sesak. Tapi paling tidak hanya kenangan indah yang tersisa, ia berharap Daniel akan mendapatkan kebahagiaan seperti dirinya. "Cantik!" panggil Raga dari balik kemudian saat mobilnya sampai di lobby Penthouse. Sasha langsung tersadar dari lamunannya dan tersenyum pada Raga, suaminya, tempatnya pulang. "Gimana kabar Daniel?" tanya Raga sambil mengemudi. Sasha menghela nafas panjang, "Dia keliatan jauh lebih baik, lebih sehat, kayaknya Olin ngejalanin tugasnya dengan baik!" sahut Sasha santai. Ia tak ingin terlalu menunjukkan jika ia masih sangat peduli dengan Daniel. "Wah bagus dong, semoga dia cepet balik kayak dulu ya, kayaknya Luke udah keteteran pegang LPC karena dia mesti urus perusahaan dia yang di Bali," tukas Raga. Sasha terdiam, menatap mobil yang melaju di depannya. "Daniel mau pindah ke Oslo, dia gak akan urus LPC lagi,"
Malam harinya saat Sasha kembali ke rumah, Raga terlihat tertidur di sofa ruang TV. Sementara di karpet, Jasmine dan Katia terlihat sedang menonton film. "Ssssttt," Jasmine meletakkan ibu jari di mulutnya saat Sasha nyaris membuka mulut. "Baru tidur tuh Kak Raga, kecapean kayaknya," tukas Jasmine sambil mengambil paper bag yang dibawa Sasha. "Wah cheese cake! Kakak dari mana?" tanya Jasmine sambil mengeluarkan cheese cake dari papar bag. "Abis ngobrol sama Kak Gendis, kalian udah makan?" tanya Sasha seraya meletakkan tas tangannya ke atas sofa. "Udah! Tadi Kak Raga bikin nasi goreng!" jawab Katia riang. "Oh ya? Enak gak?" tanya Sasha. "Banget!" sahut Jasmine dan Katia bersamaan, membuat Sasha mau tak mau tersenyum. Ia berjongkok di depan Raga, lalu meniup-niup wajah Raga pelan. Raga membuka matanya perlahan, "Eh, udah pulang sayang?" ujar Raga dengan wajah terkejut. Raga meregangkan tubuhnya lalu bangkit dari tidurnya. "Capek ya?" tanya Sasha seraya duduk di sebelah Raga. "Lumayan,
Dua Bulan Kemudian. Tubuh Sasha masih saja ramping walaupun kehamilannya sudah menginjak usia kandungan delapan minggu. Hari ini adalah jadwal kontrol rutin bulanan Sasha ke dokter Reina. Bulan lalu ia tidak kontrol karena merasa belum perlu, namun karena belakangan Sasha mulai sering merasa pusing dan blackout ia memutuskan untuk check up segera ke klinik dokter Reina. Dengan ditemani oleh Raga, Sasha berangkat menuju klinik dokter Reina. Hari adalah hari kerja sehingga pasien dokter Reina tidak begitu banyak. Sasha sudah hampir melupakan pesan yang ia duga dikirimkan oleh dokter Reina. Karena Raga tidak merespon pesan romantis itu, Sasha memutuskan untuk melupakannya saja. Walaupun demikian Sasha tetap merasa perlu tampil cantik dan menarik di depan dokter Reina agar ia tidak diremehkan. Ia ingin mempertegas bahwa Raga adalah miliknya, suaminya, ayah dari janin dalam kandungannya! "Sha, kamu gak pa pa? Kok kayak lagi mikir gitu sih?" tanya Raga yang melihat Sasha sedang melamun
Malam ini Sasha memutuskan untuk pulang ke rumah, ia sempat berpamitan dengan Daniel, namun Daniel hanya memunggunginya dan Raga tanpa mengucapkan sepatah katapun. "Olin, saya titip Pak Daniel ya, kalau ada apa-apa do let me know, kamu udah save nomor saya kan?" tanya Sasha yang dijawab angguka sopan oleh Olin. Langkah Sasha terasa berat saat meninggalkan Penthouse. Meninggalkan Daniel dalam keadaan terpuruk seperti sekarang tentu saja tidak mudah bagi Sasha. Namun berada di dekat Daniel hanya akan membuat semuanya menjadi bertambah rumit. Sasha sama sekali tak ingin tahu lagi alasan mengapa Daniel mencampakkannya waktu itu. Ia benar-benar akan mengubur semua rasa ingin tahu itu jauh-jauh. Pernikahannya dengan Raga adalah hal yang jauh lebih penting. Raga selalu tampak sabar di depan Sasha walaupun Sasha tahu sebenarnya Raga cukup cemburu dengan Daniel. "Kita mampir ke Gandy's ya, aku mau beliin steak buat Jasmine dan Katia," tukas Raga sambil mengemudi. Hati Sasha dialiri rasa han