Hari itu setelah test food dan berdiskusi panjang dengan Olivia Wangsa, Sasha menyelesaikan banyak meeting dan sosialisasi dengan staf hotel untuk persiapan acara pembukaan. Malamnya ia sangat kelelahan lalu tertidur pulas tanpa sempat memikirkan hal lainnya termasuk urusan Daniel ataupun tagihan hutang Mamanya.
Paginya Sasha terbangun pagi-pagi sekali, ia membangunkan Caroline untuk mengajak sarapan, namun Caroline menolak ia memilih untuk kembali tidur. Sasha juga mencoba menelpon Raga, namun tak kunjung dijawab, karena Raga sedang tertidur pulas.
Karena perutnya kelaparan Sasha memutuskan untuk turun sarapan sendirian. Ia mengenakan dress putih panjang dengan lengan Sabrina dan mengikat rambutnya dengan model bun seperti yang biasa ia lakukan.
Ia turun ke restoran yang nampak masih sepi, karena hotel belum dibuka untuk umum. Satu dua staf hotel menyapa Sasha dengan ramah.
Sasha memilih tempat duduk diluar ruangan supaya ia bisa meroko
Malam itu setelah menyelesaikan semua pekerjaannya, Sasha mengajak Caroline dan Raga untuk hangout diluar. Namun Caroline menolak untuk ikut karena dia lelah. Akhirnya Sasha dan Raga hanya pergi berdua.Sasha dan Raga memutuskan untuk hangout di Beach Club yang cukup terkenal di daerah Canggu. Mereka berangkat dengan mengendarai mobil yang mereka pinjam dari kantor.Malam itu Sasha terlihat santai dengan celana kulot lebar berwarna putih dan kaus crop top berwarna biru muda. Rambut tebalnya seperti biasa hanya ia kucir ke atas membentuk bun yang sempurna. Ia membawa tas sling berwarna putih yang ia isi dengan ponsel, dompet, rokok dan korek api.Raga juga terlihat santai dengan celana pendek chino berwarna biru navy dan kaus oblong berwarna putih.Sesampainya di sana Raga dengan sigap membukakan pintu untuk Sasha, membuat Sasha menahan tawa. Ia selalu ingin tertawa saat Raga memperlakukan nya dengan manis. Seperti bukan Raga yang i
Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu oleh seluruh tim pun pun tiba, setelah beberapa hari belakangan mereka sibuk mempersiapkan acara pembukaan Kencana Hotel Bali.Pagi-pagi sekali Sasha sudah berkeliling memastikan semua persiapan berjalan dengan lancar.Grand Opening akan di adakan seharian penuh dalam tiga acara yang berbeda. Acara pertama di pagi hari pukul 10.00 adalah peresmian dan pemotongan pita di pintu masuk hotel yang akan dilakukan oleh CEO Kencana Hotel Group, Muchtar Hartono.Acara yang kedua adalah Konferensi Pers dan makan siang bersama media nasional dan internasional.Sementara acara puncak adalah Gala Dinner sekaligus malam penghargaan hotel terbaik yang diadakan oleh salah satu media internasional terbaik yang bekerja sama dengan Kencana Hotel Group sebagai tuan rumah.Acara penghargaan tersebut akan dihadiri oleh orang-orang penting termasuk didalamnya Menteri Pariwisata dan banyak tamu konglomerat lainnya.
Sasha mematut dirinya sekali lagi didepan cermin besar dikamar hotelnya. Ia nampak sedikit takjub dengan perubahan yang terjadi pada dirinya hanya dalam sekejap mata.Sejak jauh hari, Sasha sudah memesan Make Up Artist dan Hair Do yang sangat hits di Bali untuk merias wajahnya. Ia juga sudah meminjam gaun malam dari sahabat SMA nya yang kebetulan tinggal di sana."Gila sha!" Raga menatap Sasha takjub saat Sasha membuka pintu kamarnya. Sasha berdiri di sana dengan gaun dior hitam tanpa lengan yang bagian punggungnya terbuka. Rambutnya ia tata ke atas membentuk messy bun yang memukau."I know....! Cantik kan gueeee!" pekik Sasha ceria sambil berputar di atas high heels Alexander McQueen nya.Raga hanya tertawa melihat Sasha yang sama sekali tidak kehilangan kekonyolannya."Lo beneran gak mau jadi pacar gue nih!" canda Raga yang sebenarnya sedikit serius.Sasha menyelipkan tangannya di lengan Raga yang sudah me
Hari ini Sasha bangun pukul 9.00 pagi. Cukup siang untuk ukuran seorang Sasha yang setiap hari selalu memulai hari pada pukul 5.00 pagi. Ia sedang bermalas-malasan di tempat tidurnya sambil menunggu Caroline keluar dari kamar mandi. Saat tiba-tiba satu pesan masuk di ponsel yang sedang dimainkannya, 'Don't forget tonight, 7.00 pm at Gustoso Italian Kitchen' Satu pesan dari Daniel cukup membuat perut Sasha seperti mencelos. Setengah dari dirinya senang tapi setengahnya lagi bimbang. Ada rasa aneh di hati Sasha setiap kali ia bersama Daniel. Perasaan yang membuat perutnya seperti jungkir balik dan perasaan yang membuat jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Ia takut jika ia benar-benar jatuh cinta pada Daniel, maka ia harus merelakan obsesinya untuk menjadi Direktur Utama.Yang pertama karena ia tak ingin melukai orang yang dicintainya dan kedua ia harus menghentikan obsesinya karena Daniel mau tidak mau suka tidak suka mungkin akan menikah dengan Olivia. Jika Sasha benar
Sasha terbangun pukul 5.00 pagi dengan kepala sedikit pusing, ia terkejut saat melihat Daniel yang tertidur pulas sambil memeluknya. "Astaga! What Did we do?" Sasha memekik dalam hati. Dengan perlahan ia melepaskan tangan Daniel yang melingkari tubuhnya, lalu ia duduk sebentar untuk mengumpulkan nyawa dan bangun dari tempat tidur. Ia melihat ke sekeliling ruangan. President Suite yang Daniel tempati memang sangat luas dan mewah. Sasha yang merupakan seorang PR di Kencana Hotel Group tahu betul tata letak dan seluk beluk setiap sudut ruangan ini. Karena memang ia yang mempromosikannya. Ada ruang tamu yang dihiasi sofa super mahal, ruang meeting dengan 10 kursi dan LCD TV 100 inci, ruang makan besar yang bergabung dengan kitchen bar, tempat gym pribadi, bahkan lift pribadi.Sasha merapikan dirinya yang tampak agak berantakan. Ia mengingat-ingat apa yang ia dan Daniel lakukan tadi malam. Lalu tersenyum malu-malu saat teringat semuanya. Tadi malam benar-benar malam yang sangat luar
Hampir seluruh staf di Departemen Marketing Kencana Hotel Group terlihat serius dan sibuk bekerja. Minggu ini adalah penilaian terakhir sebelum posisi General Manager Marketing di umumkan. Sasha jangan ditanya, ia bekerja lebih keras dari yang lainnya. Sepulang dari Bali ia hampir selalu meninggalkan kantor di atas pukul sembilan malam. Ia mengerjakan semua pekerjaannya dengan baik dan memastikan hasilnya melebihi ekspektasi perusahaan. Semua kembali normal. Hari ini tepat dua minggu setelah kejadian tenggelam di Bali yang sangat memalukan bagi Sasha. Bahkan Raga yang sangat marah hampir satu minggu tidak bertegur sapa dengannya. Sementara Daniel beberapa kali meminta maaf pada Sasha karena telah membuat Sasha terpaksa melakukan diving yang menyebabkannya nyaris mati tenggelam di Tanjung Benoa.Sasha dengan keras menyanggah perkataan Daniel, ia dengan sungguh-sungguh menyatakan bahwa ia sama sekali tidak berniat untuk menarik perhatian Daniel saat ia memutuskan untuk melakukan divi
Sasha dan Daniel terkejut setengah mati saat mendapati Olivia Wangsa berdiri anggun tepat di depan lift pribadi Penthouse. Ia tampak tersenyum manis dengan makna tersembunyi dibalik senyumnya. Lift pribadi Daniel terletak diluar pintu masuk utama unit Penthouse miliknya. Tapi untuk masuk ke dalam lift diperlukan kode rahasia yang hanya diketahui oleh Daniel saja. "How can you get in?" tanya Daniel sambil menatap Olivia curiga. Sasha hanya berdiri terdiam tidak tahu harus mengatakan apa. Olivia mengibaskan tangannya, "I told you, gak peduli seberapa sering kamu menghindar dari aku, kita bakal tetep ketemu juga." "Saya tanya, GIMANA KAMU BISA MASUK?!" kali ini Daniel benar-benar marah. "Lupa gedung Penthouse ini punya siapa?" jawab Olivia dengan nada suara angkuh yang ia sengajakan. "I bought this Penthouse with my own money! Just because your dad owned this, doesn't mean kamu bisa masuk kesini sesuka hati kamu. Saya akan tuntut orang yang kasih kamu password lift pribadi saya!"
Langit Jakarta yang semula cerah mendadak menjadi mendung. Sasha berjalan di depan gedung Penthouse tempat tinggal Daniel menuju ke stasiun MRT terdekat. Ia ingin memesan taxi online tapi uang di dompet nya pas-pasan. Gajinya bulan ini sudah terkuras habis untuk membeli blazer baru yang ia kenakan di acara grand opening Kencana Hotel Bali beberapa minggu kemarin dan untuk memenuhi kebutuhan semua keluarganya. Sasha benar-benar harus berhemat, karena bulan depan ia sudah harus membayar cicilan pertama pinjaman satu milyar nya ke Bank. Bank hanya menyetujui pinjaman Sasha untuk tenor 5 tahun dengan cicilan perbulannya sebesar 20 juta rupiah. Jumlah nya bahkan nyaris menyamai gaji Sasha sebagai Manager PR yang hanya 25 juta rupiah. Guntur dan petir mulai menampakan diri, pertanda hujan sebentar lagi turun. Sasha masih berjarak sekitar 150m dari stasiun MRT. Ia berjalan agak cepat sambil tetap berpikir memutar otak. Jika ia memutuskan untuk menyerah merayu Daniel, jabatan itu mungkin
Empat Bulan Kemudian. Kehamilan Sasha sudah menginjak usia tiga puluh delapan minggu. Berat badannya sudah naik sekitar dua belas kilogram. Sasha mulai sering mengikuti senam kehamilan karena ia sangat berharap bisa melahirkan secara normal kali ini walaupun itu semua rasanya hampir tak mungkin karena sebelumnya ia melahirkan secara Caesar. Gendis sudah lebih dulu melahirkan seorang bayi tampan yang diberi nama Shawn, mereka sempat berkumpul untuk merayakan kelahiran Shawn, bahkan Daniel ikut bergabung secara online melalui video telekonferensi. Sasha dapat melihat Daniel sudah jauh lebih baik saat ini. Sepertinya ia sudah lebih bisa menerima keadaan. Sementara Evan akhirnya bisa memulangkan Allysa dan Ibunya ke Indonesia. Evan juga mengajak Sasha dan Raga bergabung bersamanya membuka bisnis restoran yang akan segera di buka beberapa bulan ke depan. Evan juga membeli rumah di dekat rumah Sasha agar Allysa bisa bermain bersama Katia dan agar Ibu Evan bisa membantu Sasha merawat Kati
"Gimana Van menurut kamu? Itu yang terbaik yang bisa saya dan Raga lakukan," tukas Sasha setelah menjelaskan semua rencananya pada Evan. Saat itu mereka berada di dalam ruang rawat inap rumah sakit Husada, tempat Sasha sedang menjalani rawat inap. Evan manggut-manggut, "Oke, that's a good idea, saya malah gak kepikiran," sahut Evan seperti biasa dengan nada datarnya. "Well okay, kalau gitu segera kita urus surat kuasanya, begitu Sasha sehat saya dan Sasha akan langsung ke Zurich," tandas Raga tak ingin berlama-lama karena ia ingin Sasha segera beristirahat. "Okay, kita bicarakan di luar aja, kamu istirahat aja Sha. Terimakasih ya," ucap Evan kaku lalu mengulurkan sekotak cokelat pada Sasha. Setelah itu Evan keluar mengikuti Raga yang sudah lebih dahulu melangkah keluar. Sasha tertawa kecil melihat tingkah kaku Evan, dalam hati Sasha bertanya-tanya, bagaimana orang seperti Evan bisa membesarkan seorang putri seperti Allysa. *****Satu minggu kemudian. "Waaaahhh dingin banget!" seru
"Sha! Sha!" lamat-lamat suara Raga terdengar di telinga Sasha. Sasha membuka matanya perlahan, aroma Lavender menyeruak masuk ke indera penciumannya. Biasanya aroma tersebut akan memenangkannya, tapi kali ini aroma Lavender kesukaan Sasha sama sekali tidak dapat menenangkan hatinya. "Sha, kamu udah sadar?" ujar Raga dengan nada khawatir. Sasha dapat melihat Raga yang berdiri di sebelah kanannya dan Reina yang berdiri di sebelah kirinya, Sasha sampai bingung akan mengalihkan pandangan kemana, karena Sasha sedang tak ingin melihat keduanya. "Sha? Kamu bisa denger aku kan?" tanya Raga yang bingung karena bahkan setelah sadar Sasha tidak mengatakan apa-apa. Sasha mengangguk pelan, masih enggan membuka mulut. "Sasha, tadi kamu pingsan, tekanan darah kamu rendah sekali, HB kamu juga rendah, sepertinya kamu perlu dirawat paling tidak sampai HB kamu normal," tukas Reina dengan nada profesional. Sasha hanya diam saja, ia memilih untuk memejamkan mata karena tak ingin menatap Raga ataupun Re
"Sayang, jangan lupa hari ini kita check up lho!" seru Sasha sebelum Raga berangkat ke kantor. Raga mengerlingkan sebelah matanya tanda mengiyakan. Setelah Raga berangkat kerja, Sasha melakukan rutinitas yang setiap hari ia lakukan secara berulang-ulang. Membereskan piring sisa sarapan, menyedot debu, membereskan semua kamar dan membereskan baju yang akan dibawa ke laundry.Ponsel Sasha berdering saat Sasha sedang bersantai sambil menikmati secangkir cokelat panas.Sebuah nomor yang tak dikenal. "Halo?" sapa Sasha santai. "Sasha, this is Evan," sebuah suara yang sangat Sasha kenal menyapa. Sasha langsung meletakkan cangkirnya, "Evan? Oh Hai! Jadi gimana?" tanya Sasha antusias, ia sangat ingin membantu Evan, karena Sasha tak tega melihat kehidupan Evan yang terlihat sangat kesulitan sekarang ini."Can I talk with your husband too, sebenarnya saya merasa kurang nyaman kalau kita harus berkomunikasi tanpa ijin dengan suami kamu," tukas Evan datar. Wajah Sasha memerah, bukankah seharusnya
Tiga bulan kemudian.Kehamilan Sasha mulai menginjak usia lima bulan. Berat badannya sudah bertambah sekitar empat kilogram membuat Sasha merasa sangat tidak nyaman karena bajunya mulai banyak yang tidak muat. “Kenapa sih Sha marah-marah terus?” tanya Raga yang melihat Sasha sedang berdecak kesal karena bahkan celana longgar yang biasa ia kenakan tidak muat juga. “Sebel! Celana yang ini juga gak muat!” seru Sasha seraya membuka kembali celana yang sudah dipakainya sampai ke paha. Raga tertawa, “Kan aku udah bilang, belanja baju baru gih! Kamu alasannya saying uang terus,” ledek Raga sambil mengancingkan kemejanya.Sasha menekuk wajahnya,”Ya kan aku gak tau kalau berat badan aku bakal naik secepat ini,” ujar Sasha sebal. “Ya udah belanja gih, ajak Gendis aja! Berangkatnya sekalian sama aku,” tukas Raga seraya menoleh menatap Sasha yang masih menggerutu. “Beneran?” tanya Sasha, semenjak ia memutuskan untuk stay at home dan tidak bekerja, ia selalu bersalah jika harus mengeluarkan uang u
Sasha berdiri di lobby Penthouse sambil melamun menatap pilar besar. Ia teringat perpisahan terakhirnya dengan Daniel tadi, tiba-tiba dadanya menjadi agak sesak. Tapi paling tidak hanya kenangan indah yang tersisa, ia berharap Daniel akan mendapatkan kebahagiaan seperti dirinya. "Cantik!" panggil Raga dari balik kemudian saat mobilnya sampai di lobby Penthouse. Sasha langsung tersadar dari lamunannya dan tersenyum pada Raga, suaminya, tempatnya pulang. "Gimana kabar Daniel?" tanya Raga sambil mengemudi. Sasha menghela nafas panjang, "Dia keliatan jauh lebih baik, lebih sehat, kayaknya Olin ngejalanin tugasnya dengan baik!" sahut Sasha santai. Ia tak ingin terlalu menunjukkan jika ia masih sangat peduli dengan Daniel. "Wah bagus dong, semoga dia cepet balik kayak dulu ya, kayaknya Luke udah keteteran pegang LPC karena dia mesti urus perusahaan dia yang di Bali," tukas Raga. Sasha terdiam, menatap mobil yang melaju di depannya. "Daniel mau pindah ke Oslo, dia gak akan urus LPC lagi,"
Malam harinya saat Sasha kembali ke rumah, Raga terlihat tertidur di sofa ruang TV. Sementara di karpet, Jasmine dan Katia terlihat sedang menonton film. "Ssssttt," Jasmine meletakkan ibu jari di mulutnya saat Sasha nyaris membuka mulut. "Baru tidur tuh Kak Raga, kecapean kayaknya," tukas Jasmine sambil mengambil paper bag yang dibawa Sasha. "Wah cheese cake! Kakak dari mana?" tanya Jasmine sambil mengeluarkan cheese cake dari papar bag. "Abis ngobrol sama Kak Gendis, kalian udah makan?" tanya Sasha seraya meletakkan tas tangannya ke atas sofa. "Udah! Tadi Kak Raga bikin nasi goreng!" jawab Katia riang. "Oh ya? Enak gak?" tanya Sasha. "Banget!" sahut Jasmine dan Katia bersamaan, membuat Sasha mau tak mau tersenyum. Ia berjongkok di depan Raga, lalu meniup-niup wajah Raga pelan. Raga membuka matanya perlahan, "Eh, udah pulang sayang?" ujar Raga dengan wajah terkejut. Raga meregangkan tubuhnya lalu bangkit dari tidurnya. "Capek ya?" tanya Sasha seraya duduk di sebelah Raga. "Lumayan,
Dua Bulan Kemudian. Tubuh Sasha masih saja ramping walaupun kehamilannya sudah menginjak usia kandungan delapan minggu. Hari ini adalah jadwal kontrol rutin bulanan Sasha ke dokter Reina. Bulan lalu ia tidak kontrol karena merasa belum perlu, namun karena belakangan Sasha mulai sering merasa pusing dan blackout ia memutuskan untuk check up segera ke klinik dokter Reina. Dengan ditemani oleh Raga, Sasha berangkat menuju klinik dokter Reina. Hari adalah hari kerja sehingga pasien dokter Reina tidak begitu banyak. Sasha sudah hampir melupakan pesan yang ia duga dikirimkan oleh dokter Reina. Karena Raga tidak merespon pesan romantis itu, Sasha memutuskan untuk melupakannya saja. Walaupun demikian Sasha tetap merasa perlu tampil cantik dan menarik di depan dokter Reina agar ia tidak diremehkan. Ia ingin mempertegas bahwa Raga adalah miliknya, suaminya, ayah dari janin dalam kandungannya! "Sha, kamu gak pa pa? Kok kayak lagi mikir gitu sih?" tanya Raga yang melihat Sasha sedang melamun
Malam ini Sasha memutuskan untuk pulang ke rumah, ia sempat berpamitan dengan Daniel, namun Daniel hanya memunggunginya dan Raga tanpa mengucapkan sepatah katapun. "Olin, saya titip Pak Daniel ya, kalau ada apa-apa do let me know, kamu udah save nomor saya kan?" tanya Sasha yang dijawab angguka sopan oleh Olin. Langkah Sasha terasa berat saat meninggalkan Penthouse. Meninggalkan Daniel dalam keadaan terpuruk seperti sekarang tentu saja tidak mudah bagi Sasha. Namun berada di dekat Daniel hanya akan membuat semuanya menjadi bertambah rumit. Sasha sama sekali tak ingin tahu lagi alasan mengapa Daniel mencampakkannya waktu itu. Ia benar-benar akan mengubur semua rasa ingin tahu itu jauh-jauh. Pernikahannya dengan Raga adalah hal yang jauh lebih penting. Raga selalu tampak sabar di depan Sasha walaupun Sasha tahu sebenarnya Raga cukup cemburu dengan Daniel. "Kita mampir ke Gandy's ya, aku mau beliin steak buat Jasmine dan Katia," tukas Raga sambil mengemudi. Hati Sasha dialiri rasa han