Hujan lebat di pagi hari ini menyisakan hawa dingin yang menusuk tulang.
Suara tukang roti keliling terdengar lantang menawarkan dagangannya kepada para penghuni perumahan.Sasha mematut diri di kaca, melihat bayangan yang menatap balik ke arahnya. Terlihat disana gadis cantik tinggi semampai dengan setelan kerja yang modis menyapa. Rambut panjang lurusnya yang sudah ditata rapi ia biarkan tergerai begitu saja membuat aroma wangi shampo dan kondisioner dapat tercium siapapun yang berada di dekatnya.
"Kamu mau sarapan dulu gak Sha?" teriak Oma dari ruang makan.
"Gak Oma, aku sarapan di mobil aja," jawab Sasha sambil berjalan ke ruang makan menghampiri Omanya.Ruang makan tampak sepi, hanya ada Oma yang sedang mengoleskan selai cokelat crunchy di atas roti panggang yang akan dibawa Sasha. Sasha celingak - celinguk mencari penghuni rumah lainnya.
"Pada kemana Oma?" tanyanya penasaran."Jasmine sama Katia udah berangkat, tadi jemputan sekolahnya datang kepagian," jawab Oma sambil menyerahkan kotak bekal yang berisi roti panggang kepada Sasha.
Sasha manggut-manggut, lalu ia bertanya dengan setengah berbisik,
"Mama?"Oma menggerakkan dagunya ke arah kamar Mama Sasha lalu ia mendekat ke arah Sasha dan berkata dengan suara berbisik,
"Gak ngomong sama sekali sejak kamu marah-marah perkara utang Wilhelmina."Beberapa hari yang lalu Sasha bertengkar hebat dengan Mamanya karena Mama Sasha seringkali diam-diam berhutang dan menjadikan Sasha sebagai tamengnya. Kasus Tante Wilhelmina adalah kasus terbaru, sebelumnya sudah lebih dari sepuluh kali Sasha di kejar-kerjar penagih hutang yang dipinjami Mamanya.
Sasha menghela nafas panjang.
Oma mengusap punggung Sasha dan tersenyum memberikan semangat tanpa kata-kata. "Ya udah aku berangkat ya Oma," tukas Sasha seraya mencium pipi Omanya. Saat Sasha berbalik badan Oma menarik tangannya dan bertanya dengan wajah penasaran, "Mobil siapa Sha yang kamu pakai?""Mobil Rian, Oma inget Rian kan? yang dulu sering mampir kesini, temen SMA ku..." terang Sasha.
Oma tampak mengingat-ingat,
"Ooo iya iya Oma ingat. Kok bisa di pinjemin mobil?""Duh panjang deh ceritanya, nanti lagi deh Oma aku udah telat!" kelit Sasha yang sedetik kemudian sudah berjalan cepat menuju mobil Rian yang terparkir di depan rumahnya.
Pukul 08.50 pagi kantor terlihat masih lengang. Sasha memijit nomor 142 di telepon yang terletak di meja kerjanya, menghubungi Raga.
"Gue tunggu di smoking room, jangan lupa bawa kopi panas!" cerocos Sasha begitu Raga mengangkat teleponnya. Ia meletakkan gagang telepon sebelum Raga sempat menyahut.Di Smoking Room tampak beberapa staf sedang menikmati rokok dan kopi pagi mereka. Sasha mengobrol dengan mereka sambil menunggu Raga membawakan kopi untuknya.
"Nanti siang ada Big Meeting kan?" tanya Artha seorang staf akunting senior. Seorang staf purchasing yang merokok disebelahnya mengiyakan.
Sasha mengerutkan kening,
"Kok gue gak tau, apa gue lupa masukin ke jadwal?" gumam Sasha pada dirinya sendiri.Di kantor Sasha, Big Meeting hanya diadakan sesekali saja. Big Meeting melibatkan seluruh karyawan Back Office Hotel yang jumlahnya ratusan. Biasanya diadakannya Big meeting untuk memberikan pengumuman perusahaan yang sifatnya penting dan harus dilakukan dengan tatap muka.
"Nih pesenan lo!" tiba-tiba Raga sudah duduk disebelah Sasha sambil menyodorkan gelas kertas berisi Americano panas.
Sasha tersenyum lebar sambil mengembang kempiskan pucuk hidungnya sebagai pengganti ucapan terimakasih.
"Ga, lo tau nanti ada Big Meeting?" tanya Sasha sambil melirik Raga. Raga mengangguk, "Kata si Vero sih Perkenalan Direktur Utama baru."Sasha manggut-manggut mengingat-ingat barangkali ia lupa memasukan jadwal Big Meeting di Kalender Kerjanya.Sasha sedang sibuk membahas content website dengan vendor dan tim graphic design termasuk Raga, disaat seluruh karyawan lain berkumpul untuk melakukan Big Meeting di Aula Utama."Iya udah oke semua kok, paling aku minta layout yang di home page nya diganti ya, selebihnya bungkus!" ujar Sasha menutup pertemuan. Disaat bersamaan ponsel Sasha berdering, panggilan masuk dari Gita.
"Mbak Sha, kalau udah kelar langsung ke Aula, HRD minta semuanya hadir," cerocos Gita begitu Sasha menerima panggilannya, Sasha mengiyakan dengan cepat.
Beberapa menit kemudian.
Aula sudah dipenuhi para karyawan yang duduk teratur menghadap panggung utama. Sasha, Raga dan tim graphic design yang terlambat, masuk diam-diam dengan kepala menunduk tanpa suara.
Tiba-tiba Sasha dikejutkan dengan suara yang terasa tidak asing di telinganya, suara itu berasal dari pengeras suara yang ada di dekat panggung utama. Saat berbalik badan dan melihat ke arah panggung utama, ia menjadi sangat terkejut.
"What the heck!" gumamnya lebih keras dari yang ia maksudkan. Gita yang duduk disebelahnya tersenyum lebar, "I know Mbak Sha, ganteng banget kan? Ya Tuhan!" ujar Gita seraya memegang kedua pipinya sendiri.
Sasha tidak menyahut, bukan 'ketampanan' si pembicara yang mengganggu Sasha, tapi wajahnya yang tidak asing. Wajah yang Sasha lihat malam kemarin di Bandara Soekarno Hatta. Penumpangnya!
"So guys, please don't hesitate to knock on my door if you have any questions, anything!
I speak Bahasa too actually, I've been in Indonesia before, so please speak in whatever language that comfort you, I'm really looking forward to working together with you guys, and yeah thank you so much!"Orang asing tampan yang berdiri di panggung utama tampak selesai memberikan sambutan. Semua karyawan bertepuk tangan khususnya para karyawan wanita yang tampak terlalu bersemangat.
"Telat sih lo Mbak Sha!" ujar Gita sambil masih tetap bertepuk tangan.
"Namanya Daniel Park Mbak, orang Amerika - Korea! Direktur Utama baru kita!
Oh My Oh My ganteng banget ya Tuhan ga kuaaaat!" Gita seperti cacing kepanasan yang terus menerus bergerak tak beraturan sambil memegangi kedua pipinya.Sasha masih mengerutkan keningnya kebingungan.
"Lha Pak Andreas Wijaya apa kabar?" Sasha menanyakan Direktur Utama mereka yang lama. Gita yang masih mengagumi wajah tampan Daniel Park menjawab tanpa menatap Sasha, "Pensiun dini Mbak Shaaa, kemana aja sih lo Mbak, gak tau info terbaru!"Sasha mangut-mangut setengah melamun sambil beringsut meninggalkan kursi tempatnya duduk tadi. Sampai satu panggilan menghentikannya.
"Sasha!"
Sasha menoleh dan mendapati Caroline Manager Marcom berdiri dibelakangnya.
"Mau kemana? kita ada briefing dulu disitu! Semua divisi Marketing ya!" tukas Caroline lugas sambil menunjuk kursi-kursi di sebelah panggung yang sudah terisi staf divisi marketing termasuk tim Sasha.
"Buru-buru aja sih lo! Kelaperan nih pasti!" goda Raga saat Sasha datang bergabung. Sasha hanya memonyongkan bibirnya tanpa menyahut.
"Mbak Sha, bedak gue cemong gak sih?" tanya Gita sambil menepuk-nepuk wajahnya pelan.
"Enggaaak, lagian ngapain sih lo tumben banget touch up mulu?" sahut Sasha heran.Gita memutar kedua bola matanya,
"Please deh Mbak Sha, kita mau meeting perdana nih sama Pak Dan! Fix banget sih harus kece badaiiiii!"Sasha mencibir, menganggap Gita terlalu berlebihan. Gita menggerutu dan mengatakan Sasha bisa berkata begitu karena dia tidak perlu berusaha keras untuk terlihat cantik menawan. Adu argumen mereka baru berakhir ketika terdengar suara dehaman yang cukup keras.
Daniel Park,
berdiri disana dengan setelan suit hitam tanpa dasinya. Terlihat begitu menonjol diantara pria-pria yang ada disana, karena ia begitu tinggi menjulang. Bahkan Raga, pria tertinggi di kantor terlihat lebih pendek darinya.Suara para staf wanita di divisi marketing terdengar berdengung seperti lebah. Mereka sibuk berdebat dan berpendapat Daniel Park mirip aktor Korea A, B, dan C yang seperti tiada selesainya.
"Attention Please," suara tegas Daniel Park menghentikan obrolan seluruh staf marketing dalam sekejap.
Daniel membuka dengan sedikit sambutan kecil mengenai pentingnya komunikasi antar tim, kerjasama antar divisi dan lain lain. Lalu ia sampai di satu topik yang menjadi inti briefing hari ini.
"So guys as we know posisi General Manager Marcom saat ini sedang kosong," tukas Daniel menggantung.
Terdengar lagi suara dengungan karyawan yang mulai berbisik-bisik.
Daniel mengangkat tangannya meminta mereka diam.
"Saya selaku Direktur Utama yang baru, membuka posisi ini untuk siapa saja yang layak. Dari Marcom, Public Relation, Graphic Design semua boleh mengajukan diri. Tidak terbatas untuk kalangan manager, kalangan supervisor dan staf biasa pun boleh mengajukan diri."
Belum selesai Daniel berbicara, tepuk tangan dan sorak sorai sudah memenuhi aula. Raga termasuk yang paling semangat. Sasha yang tidak terlalu terlihat berminat sebenarnya dalam hati cukup bersemangat untuk berkompetisi mendapatkan posisi ini.
"So guys, selama tiga bulan ini saya akan menilai semua kinerja kalian dari segala aspek untuk saya pertimbangkan.
Kesempatan ini mungkin tidak akan datang dua kali! So please do your best!" tutup Daniel yang disambut tepuk tangan dari para karyawan.Semua orang di divisi marketing tampak sumringah dan bersemangat. Mereka sangat berharap dapat menjadi the next General Manager Marketing menggantikan posisi Ibu Mirza.
Namun ternyata kejutan belum selesai sampai disitu.
Setelah Daniel selesai memberikan sambutan, Pak Jimmy Direktur HRD turut memberikan pengumuman.Ia membuka pidato dengan kalimat panjang mengenai etos kerja dan kedisiplinan diri. Membuat semua staf menguap menahan kantuk. Setelah nyaris 15 menit berbicara dengan topik yang membosankan, Pak Jimmy mulai menyerempet ke topik yang lain.
"Seperti kita tahu, sudah hampir 3 bulan Tim Public Relation tidak mempunyai Manager dan mengandalkan Ibu Sasha selaku Supervisor untuk meng-cover semua tanggung jawab Manager," Pak Jimmy menarik nafas dan memandang sekeliling sebelum melanjutkan.
"Setelah melalui pembicaraan dan pertimbangan internal manajemen yang cukup intens, kami memutuskan untuk mempromosikan Ibu Adilla Vanesha untuk menjadi manager Public Relation yang baru dengan masa percobaan 3 bulan. Promosi ini juga tidak membatasi Ibu Adilla Vanesha untuk berkompetisi dengan yang lainnya untuk mendapatkan posisi GM seperti yang tadi disampaikan oleh Bapak Daniel Park. So, mari bertepuk tangan dan kita ucapkan selamat kepada Ibu Adilla Vanesha!"
Pak Jimmy menyelesaikan pidatonya dan meminta Sasha yang masih terkejut untuk memberikan sambutan.
Sasha yang digoda habis-habisan oleh rekan-rekannya tampak berdiri kikuk ditempatnya duduk tadi.
Dari sudut lain, Daniel mengamati Sasha dengan seksama. Merasa pernah melihat sepasang mata cokelat dengan alis tebal seperti milik Sasha. Tapi ia tidak menemukan ingatan dimana ia pernah melihat Sasha, ia mengibaskan tangannya menepis pemikiran konyolnya itu. Ia baru saja landing di Indonesia kemarin malam setelah hampir 3 tahun tidak berkunjung. Bagaimana mungkin dia pernah bertemu Sasha!
Sasha berdehem kecil sebelum memulai sambutannya,
"Actually I'm lost of words, I don't know what to say but thank you so much to everyone, khususnya tim public relation atas dukungan dan kepercayaannya. So let's make Kencana Hotel Group great again!" tutup Sasha yang di iringi dengan sorak sorai rekan-rekannya yang heboh dan berisik.
Saat kembali duduk secara tidak sengaja Sasha dan Daniel beradu pandang, mereka sama-sama terkejut dan segera mengalihkan pandangan setelah mengangguk sopan satu sama lain.
Hari itu Sasha merayakan kenaikan pangkatnya dengan mentraktir rekan satu tim nya makan pizza di cafe dekat kantor. Ia memutuskan untuk istirahat sejenak dari pekerjaan paruh waktunya karena hatinya sedang berbunga-bunga sekali. Kenaikan pangkat berarti kenaikan gaji. Untuk pertama kalinya dalam seminggu terakhir Sasha dapat makan dengan lahap sekali...
*****
Jakarta yang selalu macet dan semrawut di pagi hari bertambah kacau karena hujan yang tak kunjung reda. Beberapa pengendara motor tampak meneduh dibawah jembatan penyeberangan untuk mengenakan jas hujan yang baru dikeluarkan dari bagasi motor mereka.Sasha menguap dibalik kemudinya, membunyikan klakson berkali-kali agar mobil di depannya maju walau selangkah. Dengan gelisah ia melihat jam digital di ponselnya yang sudah menunjukan pukul 09.02 pagi.Hari ini tepat satu bulan sejak Sasha dipromosikan menjadi Manager Public Relation di kantornya. Ia dijadwalkan untuk menghadiri rapat internal rutin pada pukul 9.30 pagi ini. Rapat tersebut akan dihadiri oleh seluruh manager dan direktur Kencana Hotel Group termasuk Sasha.Dengan tergesa Sasha berlari ke lift segera setelah mobil pinjamannya terparkir di parking area. Ia membuka ponselnya dan mengirim pesan singkat ke Caroline Manager Marcom untuk menyampaikan keterlambatannya.Hari ini
Food court di lantai dasar tampak sepi, hanya ada beberapa orang yang nampak sedang menikmati makan siang mereka yang terlambat. Sasha dan Daniel memilih tempat duduk diluar ruangan karena mereka sama-sama perokok. Baik Sasha maupun Daniel sama-sama terlihat agak canggung, tidak seperti tadi saat membahas urusan pekerjaan."Sasha, kamu gak kelihatan seperti orang Indonesia pada umumnya, kamu ada turunan luar ya?" Daniel memulai percakapan, berusaha memecah kecanggungan antara mereka.Sasha mengangguk,"Indonesia - Rusia sir!" jawab Sasha dengan nada pasukan yang melapor pada komandannya, membuat Daniel tertawa kecil."Ah, tebakan saya benar! I thought you were Ukrainian!" cetus Daniel bangga pada tebakannya."Tetap beda Pak, Russian is not Ukrainian!" ujar Sasha sambil mematikan rokoknya yang sudah habis terbakar."Well they look the same though hahaa!" Daniel membela diri yang dibantah habis-habisan oleh Sasha.
"Kak Sha! Banguuuuuun! Alarm nya bunyi melulu tuh berisik!!!"Katia menepuk-nepuk pipi Sasha dan menggoyangkan tubuh Sasha yang tertidur pulas dengan mulut setengah terbuka.Sasha membuka mata dengan enggan, tangannya meraba-raba kasur mencari ponsel yang masih meneriakkan alarm bangun paginya."Lagian hari Sabtu gini mau kemana sih Kak? udah nyalain alarm pagi aja! Kakak mau kerja?" Katia dengan cerewet menginterogasi Sasha.Cahaya matahari pagi menelusup masuk lewat jendela kamar Sasha yang sudah dibuka lebar oleh Katia si gadis kecil 6 tahun dengan rambut kriwil yang cerewet minta ampun. Katia yang perkataannya selalu lebih dewasa dari usianya. Katia si adik bungsu kesayangan Sasha, yang setiap Sasha pulang kerja selalu minta oleh-oleh dari Sasha. Walau kadang oleh-olehnya hanya berupa permen kaki yang murah harganya."Bawel banget sih kriwil!" Sasha mencubit pipi Katia yang belakangan mulai berkurang bobot badannya karena mulai padat
Puncak bogor di malam minggu pukul 01.00 pagi terlihat masih agak ramai. Raga menepikan mobilnya, mencari tempat yang strategis untuk melihat pemandangan lampu-lampu yang terlihat indah dari Puncak Pass.Ia menoleh dan mendapati Sasha masih tertidur pulas dengan mulut setengah terbuka, nampak begitu kelelahan. Raga enggan membangunkan Sasha dan memilih untuk keluar dari mobil. Ia menghirup nafas dalam-dalam, merasakan hawa segar pegunungan memenuhi dadanya yang belakangan sering sesak tanpa sebab.Sesak bukan karena penyakit dalam, namun sesak karena seorang Sasha. Entah sejak kapan rasa dihatinya berubah, tapi semenjak Raga menyadari rasa itu ada, dadanya jadi sering sesak saat memikirkan perasaannya pada Sasha. Mungkin sesak karena dia sadar rasanya tak akan berbalas rasa yang sama. Karena Raga terlalu mengenal Sasha, lebih dari siapapun di dunia.Raga menghembuskan nafasnya keras-keras melepas rasa sesak aneh yang tidak ia pahami.
Gedung Kencana Hotel Group terletak di kawasan perkantoran Jl. Jend Sudirman Jakarta Pusat. Gedung setinggi 56 lantai itu dilantai bagian bawahnya difungsikan untuk ballroom, restaurant dan coffee shop, sementara seluruh lantai sisanya digunakan untuk kegiatan perkantoran Kencana Hotel.Lantai paling tinggi, yaitu lantai 56 ditempati oleh CEO, komisaris dan Direktur Utama. Sementara Departemen Marketing tempat Sasha bekerja berada di lantai 45.CEO Kencana Hotel yang bernama Muchtar Hartono adalah seorang pria keturunan tionghoa yang sudah berusia 61 tahun. Ia adalah seorang pria yang rendah hati dan sering menyapa para karyawannya walaupun ia seringkali tidak dapat mengingat nama karyawan yang ia sapa.Daniel Park, Direktur Utama yang baru saja bergabung di perusahaan Kencana Hotel Group dirumorkan memiliki hubungan yang sangat baik dengan CEO Kencana Hotel Group Muchtar Hartono. Rumor mengatakan bahwa Daniel Park merupakan anak angkat dari Muchtar Hartono, bah
Hujan deras masih mengguyur Jakarta, angin bertiup kencang menggoyangkan pohon-pohon yang tertata rapi di tepi jalan. Sasha meringis merasakan kesakitan di kakinya. Daniel meraba jok belakang mengambilkan handuk kecil lalu menyodorkannya pada Sasha membiarkan dirinya sendiri kebasahan."Kaki kamu gimana Sha?" tanyanya khawatir sambil melirik kaki Sasha."Agak sakit sedikit pak, cuma keseleo kayaknya," jawab Sasha sambil mengeringkan rambutnya yang basah."Saya antar kamu pulang ya," tukas Daniel tanpa menoleh pada Sasha. Ia juga tidak bertanya kenapa Sasha berada di trotoar dan tidak mengendarai mobilnya. Membuat Sasha jadi malu sendiri karena telah berbohong."Saya turun di stasiun MRT depan aja pak," ujar Sasha sambil menunjuk stasiun yang terlihat tidak jauh dari mereka."No way, pertama kaki kamu sakit, kedua kamu basah kuyup, there's no way kamu pulang naik MRT with that condition!" Daniel menggelengkan kepalanya sa
Pagi yang mendung, langit tampak gelap dengan yang angin dingin berhembus kencang. Sasha meringkuk dibalik selimutnya, merasakan keinginan kuat untuk kembali memejamkan mata. Suara ketukan diluar membuatnya terjaga."Sha... Shaa.." panggil Oma sambil mengetuk pintu kamar Sasha.Sasha membuka selimutnya, nampak Oma yang masih mengenakan daster tidur berdiri di pintu kamarnya."Hai Oma!" Sapa Sasha sambil mengucek matanya. Ia duduk bersandar pada dipan mencoba untuk mengumpulkan nyawa. Oma masuk kedalam lalu duduk di ranjang tempat tidur Sasha."Oma mau ngomong," tukas Oma sambil memegang tangan Sasha. Sasha menatap Omanya penasaran."Sha, kemarin sore ada yang dateng..." terang Oma, ia berhenti sebentar sebelum melanjutkan."Cari mama mu..." lanjut Oma.Sasha yang sudah mengerti arah pembicaraan Oma menghela nafas. Ia menegakkan tubuhnya segera, "Pasti tukang tagih deh!" serunya kesal.
Sasha menyeret koper kecilnya dan berjalan timpang di terminal 3 keberangkatan. Ia hanya mengenakan celana jeans dan hoodie over size berwarna putih, warna kesukaannya. Wajahnya ia biarkan polos tanpa make up. Sisa tangisan masih tampak di hidungnya yang terlihat merah muda.Di deretan bangku ruang tunggu bandara tampak Daniel, Raga dan Carolina sedang berdikusi sambil menunjuk sesuatu di laptop yang dipegang oleh Caroline.Daniel dan Raga yang memang sejak tadi menunggu Sasha langsung menoleh saat mendengar suara tapak kaki mendekat."Sha! Astaga lo kenapa!" ujar Raga setengah berteriak melihat kaki Sasha yang dibalut perban, dan wajah Sasha yang kusut.Daniel turut mendekat dan memandang tangan Sasha yang luka dan memar."Tangan kamu kemarin gak pa pa kan Sasha? Ini luka baru? Kamu jatuh lagi?" tanya Daniel yang secara tidak sadar mengangkat tangan kanan Sasha yang memar.Raga menoleh ke Daniel dengan waja
Empat Bulan Kemudian. Kehamilan Sasha sudah menginjak usia tiga puluh delapan minggu. Berat badannya sudah naik sekitar dua belas kilogram. Sasha mulai sering mengikuti senam kehamilan karena ia sangat berharap bisa melahirkan secara normal kali ini walaupun itu semua rasanya hampir tak mungkin karena sebelumnya ia melahirkan secara Caesar. Gendis sudah lebih dulu melahirkan seorang bayi tampan yang diberi nama Shawn, mereka sempat berkumpul untuk merayakan kelahiran Shawn, bahkan Daniel ikut bergabung secara online melalui video telekonferensi. Sasha dapat melihat Daniel sudah jauh lebih baik saat ini. Sepertinya ia sudah lebih bisa menerima keadaan. Sementara Evan akhirnya bisa memulangkan Allysa dan Ibunya ke Indonesia. Evan juga mengajak Sasha dan Raga bergabung bersamanya membuka bisnis restoran yang akan segera di buka beberapa bulan ke depan. Evan juga membeli rumah di dekat rumah Sasha agar Allysa bisa bermain bersama Katia dan agar Ibu Evan bisa membantu Sasha merawat Kati
"Gimana Van menurut kamu? Itu yang terbaik yang bisa saya dan Raga lakukan," tukas Sasha setelah menjelaskan semua rencananya pada Evan. Saat itu mereka berada di dalam ruang rawat inap rumah sakit Husada, tempat Sasha sedang menjalani rawat inap. Evan manggut-manggut, "Oke, that's a good idea, saya malah gak kepikiran," sahut Evan seperti biasa dengan nada datarnya. "Well okay, kalau gitu segera kita urus surat kuasanya, begitu Sasha sehat saya dan Sasha akan langsung ke Zurich," tandas Raga tak ingin berlama-lama karena ia ingin Sasha segera beristirahat. "Okay, kita bicarakan di luar aja, kamu istirahat aja Sha. Terimakasih ya," ucap Evan kaku lalu mengulurkan sekotak cokelat pada Sasha. Setelah itu Evan keluar mengikuti Raga yang sudah lebih dahulu melangkah keluar. Sasha tertawa kecil melihat tingkah kaku Evan, dalam hati Sasha bertanya-tanya, bagaimana orang seperti Evan bisa membesarkan seorang putri seperti Allysa. *****Satu minggu kemudian. "Waaaahhh dingin banget!" seru
"Sha! Sha!" lamat-lamat suara Raga terdengar di telinga Sasha. Sasha membuka matanya perlahan, aroma Lavender menyeruak masuk ke indera penciumannya. Biasanya aroma tersebut akan memenangkannya, tapi kali ini aroma Lavender kesukaan Sasha sama sekali tidak dapat menenangkan hatinya. "Sha, kamu udah sadar?" ujar Raga dengan nada khawatir. Sasha dapat melihat Raga yang berdiri di sebelah kanannya dan Reina yang berdiri di sebelah kirinya, Sasha sampai bingung akan mengalihkan pandangan kemana, karena Sasha sedang tak ingin melihat keduanya. "Sha? Kamu bisa denger aku kan?" tanya Raga yang bingung karena bahkan setelah sadar Sasha tidak mengatakan apa-apa. Sasha mengangguk pelan, masih enggan membuka mulut. "Sasha, tadi kamu pingsan, tekanan darah kamu rendah sekali, HB kamu juga rendah, sepertinya kamu perlu dirawat paling tidak sampai HB kamu normal," tukas Reina dengan nada profesional. Sasha hanya diam saja, ia memilih untuk memejamkan mata karena tak ingin menatap Raga ataupun Re
"Sayang, jangan lupa hari ini kita check up lho!" seru Sasha sebelum Raga berangkat ke kantor. Raga mengerlingkan sebelah matanya tanda mengiyakan. Setelah Raga berangkat kerja, Sasha melakukan rutinitas yang setiap hari ia lakukan secara berulang-ulang. Membereskan piring sisa sarapan, menyedot debu, membereskan semua kamar dan membereskan baju yang akan dibawa ke laundry.Ponsel Sasha berdering saat Sasha sedang bersantai sambil menikmati secangkir cokelat panas.Sebuah nomor yang tak dikenal. "Halo?" sapa Sasha santai. "Sasha, this is Evan," sebuah suara yang sangat Sasha kenal menyapa. Sasha langsung meletakkan cangkirnya, "Evan? Oh Hai! Jadi gimana?" tanya Sasha antusias, ia sangat ingin membantu Evan, karena Sasha tak tega melihat kehidupan Evan yang terlihat sangat kesulitan sekarang ini."Can I talk with your husband too, sebenarnya saya merasa kurang nyaman kalau kita harus berkomunikasi tanpa ijin dengan suami kamu," tukas Evan datar. Wajah Sasha memerah, bukankah seharusnya
Tiga bulan kemudian.Kehamilan Sasha mulai menginjak usia lima bulan. Berat badannya sudah bertambah sekitar empat kilogram membuat Sasha merasa sangat tidak nyaman karena bajunya mulai banyak yang tidak muat. “Kenapa sih Sha marah-marah terus?” tanya Raga yang melihat Sasha sedang berdecak kesal karena bahkan celana longgar yang biasa ia kenakan tidak muat juga. “Sebel! Celana yang ini juga gak muat!” seru Sasha seraya membuka kembali celana yang sudah dipakainya sampai ke paha. Raga tertawa, “Kan aku udah bilang, belanja baju baru gih! Kamu alasannya saying uang terus,” ledek Raga sambil mengancingkan kemejanya.Sasha menekuk wajahnya,”Ya kan aku gak tau kalau berat badan aku bakal naik secepat ini,” ujar Sasha sebal. “Ya udah belanja gih, ajak Gendis aja! Berangkatnya sekalian sama aku,” tukas Raga seraya menoleh menatap Sasha yang masih menggerutu. “Beneran?” tanya Sasha, semenjak ia memutuskan untuk stay at home dan tidak bekerja, ia selalu bersalah jika harus mengeluarkan uang u
Sasha berdiri di lobby Penthouse sambil melamun menatap pilar besar. Ia teringat perpisahan terakhirnya dengan Daniel tadi, tiba-tiba dadanya menjadi agak sesak. Tapi paling tidak hanya kenangan indah yang tersisa, ia berharap Daniel akan mendapatkan kebahagiaan seperti dirinya. "Cantik!" panggil Raga dari balik kemudian saat mobilnya sampai di lobby Penthouse. Sasha langsung tersadar dari lamunannya dan tersenyum pada Raga, suaminya, tempatnya pulang. "Gimana kabar Daniel?" tanya Raga sambil mengemudi. Sasha menghela nafas panjang, "Dia keliatan jauh lebih baik, lebih sehat, kayaknya Olin ngejalanin tugasnya dengan baik!" sahut Sasha santai. Ia tak ingin terlalu menunjukkan jika ia masih sangat peduli dengan Daniel. "Wah bagus dong, semoga dia cepet balik kayak dulu ya, kayaknya Luke udah keteteran pegang LPC karena dia mesti urus perusahaan dia yang di Bali," tukas Raga. Sasha terdiam, menatap mobil yang melaju di depannya. "Daniel mau pindah ke Oslo, dia gak akan urus LPC lagi,"
Malam harinya saat Sasha kembali ke rumah, Raga terlihat tertidur di sofa ruang TV. Sementara di karpet, Jasmine dan Katia terlihat sedang menonton film. "Ssssttt," Jasmine meletakkan ibu jari di mulutnya saat Sasha nyaris membuka mulut. "Baru tidur tuh Kak Raga, kecapean kayaknya," tukas Jasmine sambil mengambil paper bag yang dibawa Sasha. "Wah cheese cake! Kakak dari mana?" tanya Jasmine sambil mengeluarkan cheese cake dari papar bag. "Abis ngobrol sama Kak Gendis, kalian udah makan?" tanya Sasha seraya meletakkan tas tangannya ke atas sofa. "Udah! Tadi Kak Raga bikin nasi goreng!" jawab Katia riang. "Oh ya? Enak gak?" tanya Sasha. "Banget!" sahut Jasmine dan Katia bersamaan, membuat Sasha mau tak mau tersenyum. Ia berjongkok di depan Raga, lalu meniup-niup wajah Raga pelan. Raga membuka matanya perlahan, "Eh, udah pulang sayang?" ujar Raga dengan wajah terkejut. Raga meregangkan tubuhnya lalu bangkit dari tidurnya. "Capek ya?" tanya Sasha seraya duduk di sebelah Raga. "Lumayan,
Dua Bulan Kemudian. Tubuh Sasha masih saja ramping walaupun kehamilannya sudah menginjak usia kandungan delapan minggu. Hari ini adalah jadwal kontrol rutin bulanan Sasha ke dokter Reina. Bulan lalu ia tidak kontrol karena merasa belum perlu, namun karena belakangan Sasha mulai sering merasa pusing dan blackout ia memutuskan untuk check up segera ke klinik dokter Reina. Dengan ditemani oleh Raga, Sasha berangkat menuju klinik dokter Reina. Hari adalah hari kerja sehingga pasien dokter Reina tidak begitu banyak. Sasha sudah hampir melupakan pesan yang ia duga dikirimkan oleh dokter Reina. Karena Raga tidak merespon pesan romantis itu, Sasha memutuskan untuk melupakannya saja. Walaupun demikian Sasha tetap merasa perlu tampil cantik dan menarik di depan dokter Reina agar ia tidak diremehkan. Ia ingin mempertegas bahwa Raga adalah miliknya, suaminya, ayah dari janin dalam kandungannya! "Sha, kamu gak pa pa? Kok kayak lagi mikir gitu sih?" tanya Raga yang melihat Sasha sedang melamun
Malam ini Sasha memutuskan untuk pulang ke rumah, ia sempat berpamitan dengan Daniel, namun Daniel hanya memunggunginya dan Raga tanpa mengucapkan sepatah katapun. "Olin, saya titip Pak Daniel ya, kalau ada apa-apa do let me know, kamu udah save nomor saya kan?" tanya Sasha yang dijawab angguka sopan oleh Olin. Langkah Sasha terasa berat saat meninggalkan Penthouse. Meninggalkan Daniel dalam keadaan terpuruk seperti sekarang tentu saja tidak mudah bagi Sasha. Namun berada di dekat Daniel hanya akan membuat semuanya menjadi bertambah rumit. Sasha sama sekali tak ingin tahu lagi alasan mengapa Daniel mencampakkannya waktu itu. Ia benar-benar akan mengubur semua rasa ingin tahu itu jauh-jauh. Pernikahannya dengan Raga adalah hal yang jauh lebih penting. Raga selalu tampak sabar di depan Sasha walaupun Sasha tahu sebenarnya Raga cukup cemburu dengan Daniel. "Kita mampir ke Gandy's ya, aku mau beliin steak buat Jasmine dan Katia," tukas Raga sambil mengemudi. Hati Sasha dialiri rasa han