Ku ikuti langkah Mbok Sumi masuk lewat pintu samping rumah hingga sampai di toilet luar rumah.
“Mbak, maaf ya. Alangkah baiknya mandi dulu. Akan saya siapkan baju ganti dan seragam ART seperti Mia dan Ratmi.” Tutur Mbok Sumi pelan.
Mbok Sumi lantas membuka pintu toilet. Aku termangu sesaat menatap kebun belakang toilet luar yang di sulap begitu indah. Gazebo, kolam juga air mancur. Ternyata suamiku sedang duduk di Gazebo sambil menghisap cerutu. Ia terlihat begitu dingin dan arogan. Aku memahami kesedihannya selama beberapa tahun ini. Aku pun terpaksa sembunyi demi bisa menemuinya kembali. Aku begitu rindu padanya juga anak-anakku.
Mbok Sumi memberikan paper bag padaku. Ku tutup pintu toilet perlahan. Selama menempati rumah tak pernah sekalipun aku masuk ke toilet yang biasanya di gunakan bodyguard juga security ini. Tak masalah buatku, bisa kembali ke rumah saja aku sudah bersyukur.
Selama setangah jam aku membersih
Apa hanya suamiku yang sadar kalau aku memang Renata. Ah, kacau. Aku kurang lihai menyamar. Malam itu juga aku masuk ke kamar. Suasana rumah sudah sunyi. Bodyguard masih berjaga di depan juga ada yang patroli jaga. Ku lepaskan kacamataku dan juga tahi lalat palsuku. Ku lepas seragamku. Ah leganya, bisa kembali ke rumah.Sejenak merebahkan tubuhku setelah perjalanan panjang yang begitu melelahkan. Para bodyguard kakek apakah sudah tiba di rumah mereka masing-masing? Aku harap perjalanan mereka lancar.Mata ini semakin berat saja. Ku ambil selimut yang ada di almari kecil berwarna coklat tua itu. Ku jerang selimut tebal itu untuk menutupi tubuhku yang meringkuk.Sayup-sayup ku dengar suara pintu dibuka. Suaranya mirip dengan suara pintu di buka di pagi hari di warung Culinary A& A yang ku tinggalkan beberapa jam lalu.Masa bodoh. Ku dengar helaan nafas, tubuhku rasanya seperti tersengat aliran listrik. Tiba-tiba saja Mas Gavrielle masuk ke kamarku.“Mas?” Tanyaku dengan kaget.Mas Gavri
Gara-gara ide Mas Gavrielle dan sikap ngeyelnya jadi aku kena batunya.“Tari, jangan mentang-mentang wajah kamu mirip dengan Nyonya Renata, kamu bisa memanfaatkan situasi ya.” Sindir Mbok Sumi.Rasanya hatiku tercubit mendengar omelan pedas dari mulut Mbok Sumi. Tapi kalau dipikir-pikir itu artinya Mbok Sumi adalah orang yang loyal pada suamiku juga diriku. Apa Mbok Sumi nggak bisa mengenaliku sama sekali? Padahal aku sangat kangen dengan Simbok. Ingat masa lalu, bagaimana ia memperlakukanku dengan baik meskipun sikap majikannya alias suamiku sangat arogan padaku.“Tuan hanya menjelaskan tugas pada saya Mbok.”Mbok Sumi melengos dan memonyongkan bibirnya. Sungguh, aku sama sekali tidak nyaman dengan sikapnya ini. Meski aku sedang menyamar. Kalau Mbok Sumi tahu semuanya bisa-bisa rencanaku justru runyam malahan.“Ya sudah, kalau begitu naiklah ke lantai dua. Bangunkan Mbak Ansel dan Mas Arsen.” Perintah Mbok Sumi. Aku tak membantah, hanya mengangukkan kepala saja.Hari pertama aku bek
Mungkinkah Papa Syaron tahu kalau aku memang menantu mereka. Aku sama sekali nggak ada niat untuk mengelabuhi mereka yang sudah selama lima tahunan mencariku juga pastinya repot karena harus mengurus anak-anakku. Meskipun mertuaku sudah semakin berumur tapi mereka tetap tampil prima dan modis.Mbok Sumi mengantarkan teh dengan tergopoh-gopoh. Seperti yang ku duga semua jadi heboh. Diantara keriuhan ini justru suamiku yang paling anteng. Karena dia sudah tahu semua yang ku rencanakan.“Tumben kamu tampil rapi hari ini, Vriel? Ada gerangan apa? Bukan karena ART baru ini kan?” Ucap Tante Haruka. Ia benar-benar tak tahu sikon. Mulutnya ternyata benar-benar beracun.Aku benar-benar harus menahan emosiku menghadapi mulut pedas Tante Haruka, kupikir ia wanita yang beradab dan sangat tulus pada keluarga Besar Matsuyama tidak tahunya ia Serigala berbulu Domba.“Ini sudah lima tahun Ma, Renata tidak ditemukan. Tapi aku masih
Pak Khamdan berdiri mematung. Aku yakin beliau masih bingung dengan keadaan ini. Karena aku duduk di sofa paling ujung, jadi aku mendatangi Pak Khamdan.“Alhamdulillah saya masih sehat, Pak. Ayo Bapak duduk dulu.” Pak Khamdan menurut, ia lalu duduk.“Bapak jangan ikutan sedih Pak. Hari ini sudah banyak orang yang menangis di sini.” Bujukku dengan setengah bercanda. Tapi rupanya hal itu tidak mempan juga. Pak Khamdan menangis tanpa suara.“Saya menemukan tas nyonya yang remuk di dekat puing-puing pesawat. Karena itu saya yakin nyonya sudah tiada.” Kata Pak Khamdan pelan.Aku yakin pasti keluarga besar Baskoro mengalami hari-hari yang pahit. Tak beda jauh dengan apa yang ku alami selama lima tahun ini.Pak Khamdan lantas menyeruput teh yang ada di meja. Kami akhirnya ngobrol santai. Mas Gavrielle dengan entengnya menyalakan televisi. Ia memutar iklan yang memperlihatkan produk teh yang ku rac
Mataku semakin pedas saja dan rasanya aku semakin ingin menangis. Ternyata sambal yang ku makan pedas sekali. Aku meraih tempat air yang di bawa Mas Gavrielle lalu menuang air ke gelas.“Huh, pedesss.” Mas Gavrielle memberiku tissue makan.“Kenapa kamu nggak ngomong sejak dulu, Sen?” Protes Mas Gavrielle di sertai tatapan tajam.Nyali Arsen pasti ciut. Ia jadi menundukkan pandangannya. Tak berani menatap aku maupun Mas Gavrielle.“Sudah dong Mas, jangan marahi Arsen. Yang penting kita sudah kumpul lagi.”Mas Gavrielle lantas berjalan ke wastafel untuk mencuci tangan. Ia kembali setelah mencuci wajahnya.“Maafin Papa, Cen. Bukan maksud Papa begitu.” Mas Gavrielle mengacak rambut Arsen lalu ia duduk kembali.Aku nggak menyangka sama sekali kalau putraku ternyata adalah sosok yang sudah memberi modal secara tidak langsung pada usahaku. Dulu aku merintis usaha itu dari nol. Kal
“Yogyakarta, duh liputan? Ini tugas bisa nggak di canceled.” Sintia menepuk pundakku dari belakang membuatku melompat kaget dari kursi tempatku duduk. “Awwwww.” Rintihku. "Kakiku masih belum kempes bengkaknya." Sintia pasti mendengar gerutuanku yang keras tadi. “Sorry Mbak, sorry…nggak sengaja. Habis dari tadi melamun terus sih!” Sintia mengambil kursi dari meja kerjanya. Ia duduk di sebelah kubikelku. “Kamu ini gimana to Sin! Apa nggak bilang sama bos besar kalau kakiku bermasalah!” Rasanya ingin ku cubit keras pipi Sintia, biar dia kapok sudah mengumpankan aku di proyek mangkraknya.”Maksutmu apa Sin?Aku jadi penananggung jawab lapangan, liputan proyek acara di Yogyakarta?” Sinta gelagapan melihatku ngomel-ngomel tidak jelas. “Ngomong aja kalau kamu jealouse sama aku Sin! Nggak usah make acara nikung gini!” Rasanya otakku benar-benar mendidih. Mana kaki masih saja perih, dikasih tugas berat pula. “Kita dah di tunggu di bawah sama crew lain, Mbak Ren! Semua perlengkapan and crew
Kaca jendela sebelah kanan pintu mobil masih saja di ketuk berulang kali. ”Buka pintunya Pak Sartono!” Perintah bos galak itu. Pak Sartono panik melihat sosok di depannya. Ia terlihat semakin kalut. Kalau ia tidak membuka pintu, kemungkinan besar nasibnya mencari sesuap nasi di depan kantor bakalan tidak jelas ke depannya. Bos galak itu bisa memecatnya. Derita kacung korporat. Mau tidak mau kami harus menuruti petinggi yang kantongnya tebal. Assetnya ada di mana-mana, tidak hanya di nusantara mungkin juga ia menyimpan dollar di bank Singapura atau Swiss. “Maaf Mbak Renata.” Kata Pak Sartono dengan wajah menunduk. Daripada satu mobil dengan bos gila itu, lebih baik aku kabur saja. Pokoknya aku tidak mau melihat lagi wajahnya.”Buka saja Pak!” Aku memaklumi keputusan Pak Sartono, karena kalau aku di posisinya mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama. Pak Sartono pun akhirnya membuka pintu sisi kiri bagian depan mobil. Bos gila itu masuk. Ku tarik handle pintu mobil di sisi kan
“Kita sudah menikah secara sah di mata hukum dan agama. Sudah enam bulan dan kamu belum memberikan hakku sebagai suamimu. Kurang sabar apa ku Ren?” Tanya Gavrielle. Ia memeluk tubuhku dari belakang. Ia merapikan rambutku, lalu mengambil ikat rambut dan menguncir rambutku tinggi. “Tapi kamu nggak harus memarahiku di kantor seperti tadi pagi! Bukan Pak Syaron sugar dady-ku tapi dirimu.” Gavrielle terbahak.”Aku bukan sugar daddy-mu, sejak kapan coba? Apa ada posisi seperti itu sejak kita kenal. Yang akan terjadi adalah aku daddy dari calon baby-mu, iya kan?” Tanyanya menyudutkanku. Gavrielle merangsek memeluk tubuhku. Padahal awalnya aku ingin dia pergi. Ternyata aku masih saja kalah kalau menyangkut urusan strategi darinya. Menyebalkan! ”Ini sudah enam bulan, aku ingin hakku malam ini.” Ia merajuk. Aku sadar apa yang di katakan oleh suamiku adalah benar. Semuanya ucapannya, fakta. “Aku tidak bisa menunda lagi.” Ucap suamiku pelan. Bersyukur kakiku tetap ia perhatikan, sehingga aku