Security yang patroli di areal parkir mengangukkan kepala begitu suamiku membuka kaca mobil.
“Silahkan, Sir.” Security membukakan pintu samping kanan.
Mas Gavrielle lalu turun.”Biar saya saja yang membukakan pintu untuk istri saya.”
Security itu tersenyum lalu menunggu Mas Gavrielle membukakan pintu. Setelah kami keluar, security itu berjalan di belakang kami.
“Mr. Tony sudah mempersiapkan sarapan. Tapi……”
“Tapi apa?” Tanya suamiku.
“Mr. Hiromi datang bersama Nyonya Haruka.” Kata security dengan berbisik.”Sebaiknya sarapan dulu, Nyonya. Mari saya tunjukkan tempatnya.”
Security itu ternyata di minta oleh Tony untuk menjemput kami. Kami bukan melewati lobi tapi lewat pintu samping. Aku jadi ingat ruang transit di Baskoro TV. Tempat bersejarah aku dan suamiku beradu argumen sam
“Apa ada yang keberatan dengan penunjukkan cucuku sebagai CEO perusahaan ini?” Tanya eyang putri.Semua anggota dewan di reksi bungkam.“Aku yang keberatan, Nyonya Kinarsih.” Kata Paman Hiromi dengan lantang. Keadaan pun kembali gaduh.“Tahu apa Renata tentang perusahaan ini? Tau apa kamu tentang investasi dan racikan teh? Kamu hanya pembawa berita yang memiliki keberuntungan dijadikan menantu Syaron Baskoro!"Tangan Mas Gavrielle mengepal. Wajahnya sudah memerah. Ku pegang tangan kanannya, dan ku usap pundaknya.“Saya memegang resep racikan teh warisan Hirata Matsuyama.”Ku katakan itu dengan lantang dan keras. Paman Hiromi begitu meremehkanku. Aku tak masalah kalau ia menganggap rendah diriku. Tapi ia sudah menyeret nama papa mertuaku juga suamiku, aku tidak terima.“Jangan membawa nama papa mertua saya—Syaron Baskoro ke dalam pusaran masalah ini. Anda tahu siapa pa
Ku tutup meeting dengan dewan direksi. Saat kami hendak keluar, Paman Hiromi mendekati suamiku.“Kamu pikir ruangan ini tidak memiliki CCTV yang bisa ku pantau, huh?”Paman Hiromi murka sekali pastinya. Bukan namanya yang muncul sebagai pemegang saham 10% dari Kakek, tapi nama Neil. Apa nilai saham itu yang di ributkan oleh Tante Haruka?“Sebegitunya Paman membenci Renata?” Tanya Mas Gavrielle dengan lantang.Anggota dewan direksi satu per satu meninggalkan ruangan. Tiba-tiba saja Paman Hiromi mengikuti Tuan Agusto yang berjalan keluar bersama dengan asistennya.“Agusto.” Paman Hiromi menarik tangan Tuan Agusto untuk masuk ke lift.Dari ruangan meeting, tak terlihat lagi mereka. Tante Haruka dan Neil mendatangi suamiku.“Kurasa, ke depannya Hiromi akan terus mengganggu Renata.”Kata Tante Haruka sembari mengucapkan selamat pada suamiku. Aku yang jad
Ku tekan tombol emergency yang ada. Dari luar Mas Gavrielle langsung masuk menerobos. Kupikir Neil yang masuk ternyata suamiku. Dokter Kenichiro langsung masuk memeriksa kakekku.“Kenzo, sudah ku bilang jangan terlalu stress dan banyak pikiran.” Keluh dokter Kenichiro. “Kalian keluarlah dulu.”Oksigen kakek di pasang kembali. Tadinya kakek sudah bisa bicara dengan normal hanya selang infus yang terpasang. Monitor jantungnya juga terbaca sudah normal. Aku dan Mas Gavrielle terpaksa keluar dari ruang rawat.“Pasti Kakek banyak bicara.”Mas Gavrielle mengajakku duduk di kursi tunggu di luar ruangan. Aku benar-benar tidak melihat keberadaan Neil. Apa Mas Gavrielle tahu apa yang di katakan Neil? Atau hanya aku saja yang di beritahunya? Tidak mungkin Tante Haruka atau kakekku tidak tahu.Mengapa dia harus mengatakan hal ini dalam keadaan genting seperti ini. Egois sekali. Kalaupun dulu aku adalah
Kepala restauran menyerahkan buket bunga ternyata.“Silahkan Tuan. Teriamakasih atas kunjungannya. Kami akan senang hati bekerjasama untuk mempromosikan produk perusahaan Tuan.”Kapan Mas Gavrielle negosiasi dengan orang di depan kami? Suamiku kenal dengan manajer restauran ini?“Tolong sampaikan pada Tuan Agusto, saya dengan senang hati akan berinvestasi.”Mulutku menganga tak percaya. Aku hanya asal tunjuk restauran. Benar-benar tak tahu kalau restauran ini milik Tuan Agusto.“Tentu saja, Tuan. Silahkan menikmati.”Mas Gavrielle menyerahkan buket bunga itu padaku. Salah satu bunga kesukaanku, Mawar warna putih.“Aku menghargai kejujuranmu, Ren. Meskipun jengkel juga. Di belahan bumi manapun ada saja laki-laki yang naksir kamu. Apa kamu pakai masker dan topeng aja ya biar nggak ada yang lihat wajahmu.”Kurang kerjaan itu namanya. Di tengah ide brilliant yang sudah d
Suamiku tak membalas saat Tuan Agusto hendak menonjok kembali lengannya. Ia hanya menghindar. Mas Gavrielle lalu menarik tangan Tuan Agusto lalu memeluknya ala-ala pria.“Aku janji akan membantu sebisaku, Agusto. Catat, sebisaku!” Kata Mas Gavrielle.”Aku ingin segera pulang. Aku sampai berjauhan dengan anakku gara-gara perusahaan yang sekarat ini.”Ucapan Mas Gavrielle menyentil hati. Apa Mas Gavrielle tidak iklas membantu? Atau ia terlampau rindu sama anak-anak. Kalau di tanya besar mana rasa sayangnya antara aku dan suamiku ke anak-anakku? Tentu saja kami sama-sama sayang. Tapi memang anak-anakku lebih sering nemplok pada suamiku. Ia memang benar-benar memberi treatment yang terbaik untuk anakku.“Agusto, aku tahu bagaimana rasanya terpisah dengan anak juga belahan jiwa kita. Bersabarlah Agusto semoga semua ada waktunya.”Mas Gavrielle menjabat tangan Tuan Agusto lalu kami keluar dari r
Ku raih ponselku. Semalam aku lupa mengaktifkan pada mode pesawat gara-gara terlalu penasaran pada cerita Mas Gavrielle.“Hallo, ada apa Tony. Kakek baik-baik saja kan?” Jantungku ekstra dag dig dug. Mas Gavrielle mematikan ponselnya, benar saja telfon penting masuk ke ponselku.[Tuan Syaron dan Tuan Arsen menelfon ke nomor Tuan Gavrielle tidak bisa jadi mereka minta tolong saya menghubungkan.]Aku bisa bernafas lega. Ku pikir ada masalah urgen. Padahal semalam aku berencana menelfon mereka ternyata lupa karena panik. Adzan subuh belum lama berkumandang di ponselku. Mas Gavrielle bergegas mengaktifkan ponselnya lalu beranjak turun dari ranjang. Ia berlari ke kamar mandi untuk mandi lalu sembahyang Subuh.Aku mlipir ke sofa untuk menelfon papa. Aku akan menelfon sebentar saja, nanti akan ku lanjutkan setelah sembahyang Subuh. Belum ku tekan nomor ponsel papa. Ternyata nomorku sudah lebih dulu di hubungi.[Assalamu alaikum] Sapa papa di video call. Entah mengapa perasaanku jadi kurang
Kami meninggalkan daerah hutan rimbun itu. Suara dentuman kebakaran pesawat masih terdengar dengan nyaring. Aku bahkan tak bisa menatap lagi dengan jelas pesawat yang sudah jadi puing-puing itu.Tak ada suara diantara bodyguard kami, pilot dan co pilot ku selamat meski pilot pesawat kakinya terluka. Anakku, bagaimana keadaannya. Aku ingin pulang untuk menemui Ansel, tapi keadaan kacau seperti ini.“Matikan ponsel kalian jangan tinggalkan jejak apapun.” Kata pilot pesawat.“Kapten, mengapa baru sekarang memberitahu kami. Harusnya sejak awal Anda memberi kami kode kalau ada bom di pesawat!” Protes salah satu bodyguard kakek bernama Sandy.“Kapten Luis, Anda melanggar protocol keselamatan yang sudah di tetapkan Tuan Matsuyama.” Lagi-lagi Sandy memprotes. Urat lehernya sampai terlihat karena ia ngotot bicara.“Kamu pikir mudah berada dalam posisiku, hah?” Kapten Luis berte
Betul ternyata Tuan Sagef sempat mendekat ke arah kami, ia melihat wajahku dengan seksama. Bersyukurnya Sandy yang sadar dengan hal itu langsung memintaku untuk masuk ke belakang.“Madam, tadi Chef Luisa memanggil Anda!”Luisa? Kutajamkan pendengaranku, ternyata memang benar. Sandy memanggil nama Kapten Luis dengan sebutan Luisa.Aku hanya mengangguk kemudian melengang masuk ke dapur tempat kami memasak. Setelah masuk ke dapur aku mengintip dari celah pintu kalau ternyata Mr. Sagef ngobrol lama dengan Sandy.Tak lama setelah mereka selesai makan, mereka pun meninggalkan tempat. Lega sekali rasanya.“Madam.” Panggil Chef Luis. Ia sedang menumis bumbu untuk Kepiting.Aromanya menusuk hidungku. Aku teringat kembali pada anak-anakku. Sudah sebesar apa meerka sekarang. Tak ada satu medsos pun yang bisa kami akses untuk mencari berita tentang anak-anakku. Yang ada hanya berita keluarga Baskoro Group itu pun ha