“Tentu saja, Don.” Elena tersenyum canggung, tetapi dalam hatinya terasa begitu hangat. Ini kali pertama dia disambut sebagai menantu, meskipun hanya sekadar menantu settingan. Orang tua Vincent bahkan tak pernah menganggapnya sebagai menantu, melainkan lebih seperti pembantu di rumah mereka.“Bagus, aku senang akhirnya ada wanita di meja makan ini,” ujar Don dengan tawa kecil, meskipun suaranya terdengar lemah.Alvaro hanya mengamati percakapan itu dalam diam. Melihat ayahnya tersenyum bahagia membuatnya teringat pada masa lalu, saat ibunya masih ada. Ia ingat bagaimana ibunya selalu menyajikan makanan dengan penuh kasih sayang. Sekarang, hanya tinggal kenangan yang tersisa.Saat makan, Don terlihat kesulitan. Tangan kanannya masih diinfus, membuatnya sulit untuk mengangkat sendok. Alvaro yang melihat hal itu berinisiatif membantu. Ia mengambil sendok, menyendokkan bubur ke dalam mangkuk, lalu mendekatkannya ke mulut Don. Namun, gerakannya terasa kaku dan canggung. Ia tidak terbiasa m
Alvaro menatap layar ponsel dengan ekspresi datar. Nama yang tertera di layar adalah Delisa."Kita harus bertemu," katanya dengan suara dingin.Di seberang telepon, Delisa terdiam sejenak sebelum menjawab dengan nada yang menggoda, "kebetulan aku sedang di hotel. Maukah kau menemuiku di sini?"Alvaro mengangguk kecil meskipun tahu Delisa tak bisa melihatnya. "Kirimkan lokasinya. Aku datang."Tak butuh waktu lama bagi Alvaro untuk tiba di hotel tempat Delisa menginap. Begitu masuk lobi, seorang pelayan langsung mengantarnya ke kamar suite di lantai atas. Saat pintu terbuka, Delisa menyambutnya dengan senyum penuh arti. Dia mengenakan gaun sutra merah yang membalut tubuhnya dengan sempurna."Aku tahu kau pasti datang," ucapnya dengan nada penuh kemenangan.Alvaro tidak merespons. Dia hanya berjalan masuk, matanya mengamati ruangan dengan seksama sebelum akhirnya duduk di sofa.Delisa menuangkan anggur merah ke dalam dua gelas kristal lalu menyerahkannya pada Alvaro. "Untuk menyambut ked
Alvaro melangkah keluar dari kamar Delisa dengan wajah dingin. Rasa jijik masih menguasai dirinya setelah nyaris dijebak oleh wanita itu. Ia merapikan jasnya, menarik napas dalam-dalam, lalu berjalan menuju lobi hotel dengan langkah tegap.Begitu tiba di lobi, matanya tanpa sengaja menangkap sosok yang dia kenal. Alvaro menyipitkan matanya, memastikan penglihatannya tak salah. Pria itu sedang menggandeng mesra seorang wanita, dengan sesekali mencium pipi wanita itu. Rahangnya seketika mengeras. Apakah dia berselingkuh?“Brengsek!” umpat Alvaro.Tetapi kemudian, ponselnya bergetar di saku jasnya. Dengan cepat ia mengeluarkannya dan melihat nama yang tertera di layar. Ternyata Jose yang menghubunginya."Tuan, bukti sudah di tangan, ternyata benar dialah yang memberikan obat perangsang itu," kata suara Jose di seberang telepon.Alvaro yang semula terpaku pada sosok pria itu sedikit mengernyit. "Kau yakin?""Sangat yakin. Aku baru saja mengirimkan videonya. Anda bisa memeriksanya sekarang
Elena duduk di tepi tempat tidur, hatinya terasa seperti dihantam gelombang kekecewaan yang begitu besar. Ucapan Alvaro tadi masih menggema di kepalanya. Begitu mudahnya pria itu mengingatkan bahwa dia hanya sebatas jaminan hutang, seakan-akan dirinya tak lebih dari barang yang bisa ditukar. Dia terlalu berharap bahwa Alvaro akan melihatnya sebagai seorang wanita, tetapi dirinya salah.Di dalam kamar mandi, Alvaro bersandar pada dinding dengan air mengalir deras membasahi tubuhnya. Dia merutuki dirinya sendiri. Dia tahu bahwa kata-katanya telah menyakiti Elena. Tatapan terpukul wanita itu sebelum dia masuk ke kamar mandi terus menghantui pikirannya. Namun, dia tak bisa menunjukkan kelemahannya. Dia tak rela jika Elena kembali ke Vincent, pria yang begitu sering menyakitinya. Alvaro menggertakkan giginya, perasaan tak nyaman mulai merayapi hatinya. Sejak kapan dia peduli pada Elena? Dia tidak tahu. Tapi satu hal yang pasti, dia ingin menjauhkan wanita itu dari Vincent, dengan cara apa
“Tidak!” tolak Elena. “Kenapa?” tanya Alvaro. Elena tak mungkin mengiyakan ucapan Alvaro padanya barusan, itu artinya, dia tak akan bebas dari pria itu. Sedangkan dia ingin hidupnya kembali. Sudah cukup dia dipandang sebelah mata. Selama tinggal dengan Alvaro, Elena sadar bahwa selama ini dia melakukan kebodohan yang membuat dirinya dikendalikan oleh Vincent dan dirinya tak punya daya untuk melawan. Karena itu dia tak ingin mengulang kesalahan yang sama. Dia ingin mencintai seseorang tanpa harus memiliki kesepakatan apapun. Karena itu dia ingin mengakhiri semuanya. “Katakan padaku, kenapa aku harus memilihmu?” Alvaro mundur satu langkah, tetapi tatapan matanya masih tertuju pada Elena. Pria itu diam, dia mengalihkan pandangannya ke arah lain beberapa saat lalu kembali menatap Elena. “Kau akan tahu nanti,” kata Alvaro. Alvaro kembali memakai jurus intimidasinya, untuk menyembunyikan kebingungannya. Pria itu masih belum yakin dengan perasaan yang dia rasakan. Apakah itu cinta
Alvaro menuangkan minuman ke dalam gelasnya dengan gerakan kasar, lalu menenggaknya sekaligus. Cairan alkohol yang membakar tenggorokannya terasa tak sebanding dengan api yang membakar hatinya.Sial.Semua yang dia lakukan, semua cara yang dia tempuh untuk membuat Elena berpaling darinya, tetap tidak mengubah kenyataan bahwa wanita itu masih memilih Vincent.Tangannya meremas gelas kosong itu dengan geram.Ia merogoh ponselnya, lalu menekan kontak Jose."Di mana kau?" tanyanya, suaranya berat oleh alkohol dan frustasi.“Aku sedang di rumah, bos. Ada apa?”"Datanglah ke klub. Aku butuh teman."Tanpa menunggu jawaban Jose, Alvaro menutup teleponnya dan kembali menuang minuman ke dalam gelasnya.Pikirannya saat ini, benar-benar berantakan karena Elena. Jose akhirnya tiba, dia melihat Alvaro yang sudah dalam kondisi mabuk. Dia duduk di sebelah pria itu, menatap gelas-gelas kosong yang berserakan di meja. Dokumen yang akan diserahkan ke Alvaro pun tak jadi dia berikan. "Bos, kau sudah te
Elena membuka matanya perlahan, tubuhnya masih terasa lelah setelah semalam sibuk menjaga Alvaro. Dia bangkit dari tempat tidur, dan melihat ke arah sofa.Alvaro masih tertidur di sana. Wajahnya terlihat lebih tenang dibanding semalam, meski kantung mata di bawah kelopak matanya menunjukkan betapa lelahnya pria itu. Kemejanya kusut, dan satu lengannya terjuntai di sisi sofa.Elena menghela napas. Dia masih bisa mendengar suara Alvaro dari semalam."Kenapa bukan aku?""Kenapa Vincent?""Aku tak rela..."Dia menggelengkan kepala, mencoba mengusir suara itu dari pikirannya. Semua itu hanya omong kosong pria mabuk, bukan? Alvaro hanya terbawa emosi.Namun, kenapa hatinya terasa sesak?Tiba-tiba, suara erangan pelan terdengar. Alvaro menggeliat di tempatnya, lalu mengerang sambil menekan pelipisnya."Sial... kepalaku..." gumamnya serak.Elena buru-buru mengambil segelas air putih yang sudah disiapkan Jose di meja. "Minumlah," katanya sambil menyodorkan gelas itu.Alvaro membuka matanya, me
“Tunggu!” kata Don. Langkah Alvaro pun terhenti, saat mendengar seruan ayahnya itu. Dia sedikit berbalik, menatap ayahnya itu. “Baik, aku tak akan ikut campur lagi. Tapi, kau harus berhati-hati. Kau tahu konsekuensinya jika berani menyinggung Morgan.” Alvaro tersenyum tipis, seolah tak ada apapun yang dia takuti. “Aku bisa jaga diri,” jawabnya enteng. Sambil berlalu begitu saja dari kamar ayahnya. Tetapi teriakan ayahnya masih terdengar, “Kau mungkin bisa, bagaimana dengan Elena.” Setelah itu, kepala pelayan masuk dan sibuk menenangkan Don, agar tidak terbawa emosi yang akan membuat sakitnya semakin parah. Alvaro bukan tidak mendengar peringatan ayahnya itu, tetapi dia sudah memperhitungkan semuanya. Ayahnya sudah menyukai Elena, dan itu caranya melindungi wanita itu. Yaitu dengan menjauhkan wanita itu darinya. Seperti yang dia lakukan pada ibunya. Pria itu sangat mencintai ibunya, terbukti dari semenjak ibunya pergi, Don tak pernah lagi dekat dengan wanita manapun. Ibunya adal
Keesokan harinya, di dalam ruangan rapat direksi.Suasana ruang rapat terasa begitu menegangkan. Para petinggi duduk berderet dengan wajah penuh tanya. Sebagian berbisik pelan, sebagian lagi hanya sibuk melirik jam.Pukul delapan tepat, Alvaro masuk dengan langkah tegap, wajahnya terlihat serius. Di belakangnya, Jose membawa laptop dan map. Suasana hening seketika.Alvaro langsung memberikan isyarat kepada Jose. Jose pun mengangguk dan mulai berbicara. “Terima kasih sudah hadir dalam rapat hari ini,” suara Jose tegas. Ia berdiri di depan meja rapat, sedang Alvaro duduk dengan tatapan tak lepas ke arah Elena yang duduk di kursi paling ujung.“Menindaklanjuti kasus Elena kemarin, ada satu hal penting yang harus kalian lihat.” Jose bergerak cepat. Ia menyalakan proyektor dan menghubungkan laptopnya. Tak butuh waktu lama, layar besar di depan ruangan menampilkan serangkaian bukti.“Beberapa minggu terakhir, akun milik Elena digunakan untuk mengakses sistem keuangan perusahaan dari peran
Alvaro menatap layar ponselnya lama. Pesan singkat dari Elena membuatnya semakin gelisah.“Shit!”Ia menghubungi Jose lagi. "Percepat penyelidikannya!”"Saya mendapat sesuatu Tuan. Ada satu ha yang menurut saya sangatl mencurigakan. Saya sudah mengecek log IT minggu lalu. dan saya menemukan ada aktivitas login dari perangkat berbeda, menggunakan VPN, ke akun Elena. Di luar jam kerja."“Siapa?”Wajah Alvaro menegang. “Masih kami telusuri. Tapi… ada satu nama yang muncul beberapa kali di sistem audit internal. Asisten Delisa—Rani. Aku rasa dia tahu sesuatu.”“Cari dia! buat bicara!”“Baik.”Alvaro mematikan panggilan. Dia menatap lurus ke depan dengan tajam. Tangannya menggenggam setir kemudi dengan erat.***Di salah satu ruangan kecil yang biasa digunakan untuk istirahat staf, Rani duduk gelisah. Ia memainkan flashdisk kecil di tangannya. Berkali-kali ia menoleh ke pintu. Wajahnya cemas.Sejak kejadian siang tadi, ia tak bisa berhenti merasa bersalah. Ia memang tidak tahu apa-apa d
Langkah Elena terasa berat saat ia berjalan menuju ruang rapat direksi. Nafasnya memburu, telapak tangannya dingin. Suasana kantor yang biasanya ramai dan sibuk kini sunyi. Tatapan semua orang menyudutkan. Elena merasa yakin, ada sesuatu yang tidak beres. Sesampainya di depan pintu ruang rapat, Elena menarik napas panjang, lalu mengetuk pelan.“Masuk,” suara berat dari dalam menyambutnya.Dengan perlahan, Elena membuka pintu. Di dalam, sudah duduk tujuh orang petinggi perusahaan, termasuk kepala keuangan, kepala divisi hukum, dan yang membuat dadanya berdegup lebih keras, Alvaro sudah duduk kursi paling ujung. Mata elangnya langsung menangkap ke arahnya.Deg! jantung Elena langsung berdetak dua kali lebih cepat. Mata Delisa langsung bergerak ke samping Alvaro, di sana sudah duduk Delisa dengan ekspresi datar.“Silakan duduk.” ucap salah satu anggota dewan.Elena menurut. Ia duduk di kursi yang tampaknya memang telah disediakan khusus untuknya.“Bisa jelaskan kenapa namamu muncul dal
Elena baru saja sampai ketika seorang staf menghampirinya dan berkata bahwa Delisa—putri dari salah satu pemegang saham besar di perusahaan—memanggilnya ke ruangannya. Elena sempat ragu. Sejak insiden dengan Lucas, ia selalu waspada. Tapi tetap saja, ia tidak memiliki alasan menolak. Apalagi saat ini dia berada di perusahaan. Sesampainya di sana, Delisa menyambutnya dengan senyum lebar, seolah tak pernah terjadi apa pun. "Elena! Duduk, aku mau bicara sebentar," ucap Delisa lembut sambil menyilakan Elena duduk di sofa mewah yang tersedia di ruangannya. Elena sedikit kaku, tapi tetap duduk. “Aku dengar kamu jadi asisten Alvaro dengan Jose. Melihat karakter Alvaro, aku yakin kamu tidak belajar apapun dengannya, karena dia pasti tidak akan memberimu pekerjaan berat. Benar?” Elena hanya mengangguk kecil. Delisa tersenyum kecil, “kalau begitu, aku punya tawaran menarik untukmu.“” Elena semakin waspada, tetapi sebisa mungkin dia tak menampakkan kegelisahannya itu di depan Delisa. “
BRAK!Sebuah vas bunga mahal jatuh dan pecah di lantai. Air dan kelopak bunga mawar putih berceceran, menyatu dengan pecahan kaca yang berserakan di atas karpet. Nafas Delisa memburu. Wajahnya merah karena marah, dan tatapannya penuh api.Di depannya, seorang pria muda dengan setelan jas hanya bisa berdiri kaku, menunduk, takut bicara lebih jauh.“Apa maksudmu Lucas gagal?!” bentak Delisa. Suaranya menggema di ruangan besar bergaya modern itu. “Lucas bahkan nggak menyentuh Elena?!”Pria itu menelan ludah. “Iya, Bu… Dia bilang, eh… dia nggak bisa melakukan itu. Katanya… Elena baik banget. Bahkan dia terlihat kayak orang jatuh cinta…”Delisa langsung membalikkan badan, menatap tajam ke arah pria itu. “Jatuh cinta?! Astaga!” serunya, melotot. “Aku nyuruh dia jebak Elena, bukan malah main perasaan! Apa otaknya udah benar-benar rusak?!”Ia berjalan mondar-mandir, tangan terkepal di sisi tubuhnya. Setiap langkahnya terdengar keras di lantai marmer.“Lucas itu udah kubayar mahal. Semua udah k
Elena melihat sekelilingnya, tak ada seoran pun di rumah ini selain dirinya dan Lucas. Melawan pria ini, tak akan menguntungkan. Karena itu, dia harus mengulur waktu sembari menunggu kesempatan atau pertolongan. Meskipun tak yakin akan ada pertolongan.“Lucas…aku ingatkan padamu. Kamu pasti tahu siapa Alvaro kan?” Elena mencoba terlihat tenang. Dia berjalan perlahan menuju sofa. Lucas tertawa pelan, nada suaranya seperti mengejek. Dia berjalan mendekat.“Tentu saja aku tahu siapa dia. Semua orang takut padanya.” Tatapannya membara, ada obsesi di sana.Elena mundur perlahan, menjaga jarak. Dia tahu jika dia panik, pria ini bisa makin tak terkendali. Jadi dia menenangkan napasnya, menatap Lucas dengan tenang meski tubuhnya mulai gemetar.“Kamu pikir Alvaro akan diam kalau tahu aku ada disini?” Suara Elena terdengar dingin dan tajam.Lucas menyeringai. “Itu sebabnya aku harus cepat. Sebelum dia datang.” Elena merasakan detak jantungnya melonjak. Tapi wajahnya tetap datar. Dia berpiki
“Terima kasih,” ucap Elena pada Alvaro.“Sudah selesai?” tanya Alvaro.Elena melihat komputer sekilas lalu mengangguk. Pria itu melihat jam tangannya sesaat. Saat akan bicara, Jose datang membisikkan sesuatu. “Aku ada rapat,” kata Alvaro. “Tidak apa, aku bisa pulang sendiri.”“Kabari setelah di rumah.”Elena mengangguk. Setelah itu, Alvaro pergi bersama Jose entah kemana. Elena meregangkan tangannya, setelah seharian berkutat dengan angka yang sangat membosankan. Dia menyimpan hasil kerjanya dan mematikan komputernya. Meskipun dia merasa lebih nyaman memasak tetapi dia harus bertahan beberapa bulan di pekerjaan ini. Karena dia ingin membuka sebuah toko kue, dari hasil pekerjaannya di sini. “Semangat Elena, kamu bisa!”Dia menuliskan sebuah pesan ke Alvaro sambil berjalan keluar kantor. Karena tidak melihat jalanan, dia tak tahu ada sebuah mobil yang berjalan begitu cepat ke arahnya. “Awas!” teriak seseorang.Suara itu membuat Elena terkejut, hingga menoleh ke sumber suara dan mo
“Kamu yakin? Tidak takut?”“Aku sudah lama membiarkannya, ini saatnya menunjukkan bahwa tidak semua orang bisa dia injak seenaknya.”Alvaro hanya tersenyum tipis mendengar kalimat yang keluar dari bibir wanita di sampingnya itu. Begitu mobil berhenti di depan gedung perusahaan, Alvaro segera keluar lebih dulu. Dengan langkah tenang, ia membuka pintu untuk Elena, membuat wanita itu menatapnya sesaat.“Keluar,” ucap Alvaro singkat.Elena menghela napas, lalu turun dari mobil. Saat mereka melangkah masuk, Jose dan beberapa pengawal berjalan di belakang mereka.Begitu sampai di lantai tertinggi gedung ini. Sebelum masuk ke ruangan Alvaro. “Jose.”“Ya, Tuan?”“Ajari dia pekerjaanmu.”Jose menatap Elena sekilas sebelum kembali menatap Alvaro, memastikan ia tidak salah dengar. “Maksud Tuan, saya harus mengajarkan pekerjaan saya kepada Nyonya?”Alvaro mengangguk tanpa ragu. “Ya.”Elena mengernyit. “Tunggu, maksudmu aku bekerja dengan Jose?”Alvaro yang semula hendak melangkah ke ruangannya,
Keesokan paginya, Elena terbangun dalam pelukan Alvaro. Pria itu mendekapnya. Karena masih kesal semalam, Elena perlahan beringsut mengubah posisi menjadi membelakangi. Namun, tak disangka Alvaro menyadari gerakannya. Sehingga saat dia berhasil mengubah posisi. Alvaro kembali mendekapnya dari belakang. “Masih marah?” Bisiknya pelan. Elena diam, tak ingin bicara. Alvaro semakin mendekatkan tubuh Elena dalam pelukannya. “Sudah pagi, aku harus pergi.”“Kemana pagi-pagi?”“Bekerja, aku sadar aku cuma wanita simpanan yang bisa kamu buang kapan saja.”Elena hendak bangun, tetapi tubuhnya ditarik kembali oleh Alvaro. “Kita pergi bersama.”“Tidak perlu,” ucap Elena, ketus.Akhirnya Alvaro menyerah, dan membiarkan Elena pergi dari pelukannya. Berdebat dengan wanita itu saat marah tak akan bisa menang. Karena itu, dia memberikan Elena waktu untuk meredakan kemarahannya. Saat melihat Elena masuk ke dalam kamar mandi, Alvaro mengambil ponselnya di atas nakas. “Bagaimana?”“Kami sudah dapat