A–aku berhasil mendapatkan tambahan waktu…” Elena mencoba menjelaskan.
"Apa kamu tidak punya otak?! Bodoh!" bentaknya lagi. “Aku menyuruhmu untuk menebus hutang itu secara total! Bukan meminta tambahan waktu!”
“Namun, Vincent! Kita bisa membayar hutang itu tanpa–”
“Aku tidak peduli!! Pokoknya, ikuti apa kata Alvaro dan buat dia menghapus hutangku!”
Elena terdiam. Meski marah, tapi dia tahu, membalas hanya akan memperburuk keadaan. Elena memejamkan mata, menahan air mata yang hampir tumpah.
“Kau dengar, Elena?! Aku ingin hutangku segera lunas!!”
Elena tercekat. “Vincent, aku tidak bisa—”
Tut…Tut…Tut
Suara Elena terputus ketika panggilan dimatikan sepihak oleh suaminya.
Elena menatap kosong ponsel di tangannya dan terduduk lemas. Ia tak mengerti kenapa Vincent berusaha keras untuk menyingkirkannya. Bukankah selama ini hubungan mereka baik-baik saja?
Merasakan kepalanya pusing, Elena berjalan keluar kamar untuk mengambil segelas air.
Namun, ternyata semua lampu telah dimatikan sehingga Elena sama sekali tak bisa melihat apa pun dalam kegelapan.
Sambil meraba dinding, Elena berjalan perlahan karena tak mau membangunkan penghuni rumah ini, apalagi Alvaro.
Saat mata Elena sudah beradaptasi dalam kegelapan, dia berjalan cerah ke arah kiri mansion untuk mengeksplor di mana dapur berada.
Namun, belum sempat Elena menemukan dapur, sebuah suara berat telah membuatnya terhenti.
“Apa yang kamu lakukan di sini?”
Elena berhenti dan berbalik perlahan. Matanya melebar saat mendapati Alvaro telah berdiri di depannya, menatapnya tajam seperti elang mengawasi mangsanya.
“T-tuan?” ucap Elena pelan, mencoba menyembunyikan kegugupannya karena telah bertingkah kurang ajar. “Saya haus..”
“Haus?” ulang Alvaro sambil berjalan mendekat, langkahnya pelan, tapi penuh ancaman.
“Aku penasaran,” kata pria itu lagi. Kali ini dengan tatapan menyelidik.
“Bagian tubuhmu yang mana yang merasa haus, sampai kamu masuk ke kamarku?”
Elena membeku. Pandangannya menyapu ruangan dan menyadari kesalahannya. Dia telah salah masuk.
“Saya tidak tahu ini kamar Anda,” ucapnya terbata-bata. “Saya hanya ingin ke dapur.”
“Benarkah?” Alvaro mendekat, tatapannya semakin menekan.
Elena mundur perlahan, hingga tubuhnya terhenti saat punggungnya jatuh menabrak tempat tidur. Ia bingung, tak tahu harus melawan atau menyerah.
“Maafkan saya!” serunya panik, tangannya menghalangi dada Alvaro yang kini berdiri terlalu dekat.
Dengan gerakan cepat, Alvaro menangkap kedua tangannya dan menahannya di atas kepala. Elena terperangkap. Nafasnya tersengal, tubuhnya gemetar.
“Kau tahu,” bisik Alvaro pelan, suaranya terdengar dingin di telinga Elena. “Aku bisa membantu menghilangkan dahagamu.”
Jarinya menyentuh pipi Elena, menyibak rambutnya yang berantakan. Mata Elena seketika terpejam, jantungnya berdetak semakin keras.
“T-tidak perlu, Tuan!” serunya. “S-saya baik-baik saja!”
Alvaro berhenti, bibirnya melengkung membentuk senyuman samar. Ia melepaskan tangannya, lalu berbalik mengambil sesuatu dari meja di sudut ruangan.
Saat kembali, ia menyodorkan segelas air.
“Apakah kamu yakin tidak membutuhkan ini?” tanyanya.
Elena tertegun. Ia langsung meraih gelas itu dengan tangan gemetar, wajahnya memerah karena malu.
“Terima kasih,” bisiknya, berusaha menghindari tatapan pria itu. Ia segera berlari keluar kamar, meninggalkan Alvaro yang berdiri dengan senyum misterius.
Keesokan harinya, saat Elena membuka mata, dia terkejut karena melihat seorang pelayan yang sudah berdiri di samping tempat tidurnya dengan beberapa stel baju yang harus Elena pakai.
Beberapa waktu bersiap-siap, Elena sudah duduk di ruang makan bersama dengan Alvaro.
Hari ini, pria itu mengenakan kaos berwarna hitam yang senada dengan celana kainnya sehingga membuat pria itu terlihat lebih santai, tetapi tetap elegan.
Namun, meski pakaian pria itu santai, tapi tatapan pria itu masih tetap sama, tajam, dan mengunci setiap gerak-geriknya.
“Selamat pagi, Tuan.” Panggil Elena, singkat sambil memaksakan diri untuk tersenyum.
Melihat itu, Alvaro menjawab dengan ekspresi datarnya yang biasa. “Duduk dan makan. Beritahu koki apabila tak sesuai dengan seleramu.”
“Tidak, Tuan. Ini sudah lebih dari cukup! Terima kasih,” ucap Elena, sedikit canggung.
Apalagi setelah melihat satu meja penuh dengan makanan yang jarang ia lihat di rumah Vincent.
Di rumah pria itu, Elena selalu mengerjakan semuanya sendiri, sehingga masakan sebanyak ini biasanya hanya ia sajikan saat mengadakan acara keluarga.
Beberapa waktu kemudian, suasana kembali hening dan hanya terdengar suara denting alat makan yang saling beradu.
Hingga kemudian, Alvaro meletakkan alat makannya dan menatap lurus ke arah Elena.
"Selama tinggal di sini, aku ingin kamu memahami posisimu. Jangan berpikir kalau kamu bebas melakukan apapun yang kamu mau."
Elena mengangguk pelan.
"Pertama," ucap Alvaro, sambil mengangkat satu jari telunjuk.
“Jangan coba melarikan diri. Aku punya banyak mata di luar sana, dan aku tidak akan segan mengambil tindakan jika kau mencoba kabur."
Elena bergidik. Ia tahu Alvaro tidak akan main-main dengan ucapannya.
"Kedua, jangan mencampuri urusan pribadiku.”
“Ketiga, jangan banyak bertanya karena aku akan memberitahumu jika aku memutuskan kamu perlu tahu sesuatu."
Nadanya sedikit penuh penekanan saat bicara, Elena kembali mengangguk.
Alvaro lalu mengelap bibirnya dengan sapu tangan sebelum bangkit dan berjalan memutari meja.
Ia berhenti tepat di belakang Elena sebelum tangan Alvaro perlahan menyentuh pundak wanita itu.
"Dan yang terakhir," suara Alvaro menjadi lebih datar lagi.
Sambil mendekatkan wajahnya di telinga Elena, pria itu membisikkan sesuatu yang membuat Elena tersentak. "Jangan pernah berbohong padaku, karena aku benci dipermainkan.”
“Mengerti?” Suara pria itu terdengar lagi, tenang tapi penuh tekanan.
Elena menelan ludah dan cepat-cepat mengangguk. Sebab, kali ini dia tidak lagi punya keberanian untuk melawan atau membantah.
“Bagus.” Alvaro berjalan kembali ke sisi meja. “Aku tidak suka mengulangi ucapanku.”
Setelah itu, Pria itu pergi tanpa berkata apa-apa lagi.
Elena duduk terpaku. Merasa lemas karena sebelum pria itu mengancamnya, Elena sudah lebih dulu berbohong tentang kondisinya yang tak sedang menstruasi.
Apa yang akan terjadi kalau Alvaro tahu dia berbohong?
Elena kemudian memilih untuk duduk di sofa sambil membaca majalah di atas meja. Terbiasa melayani Vincent dan melakukan semua pekerjaan sendiri, membuatnya merasa bosan. “Ini teh untuk anda,” kata seorang pelan yang datang menyodorkan secangkir teh. Mendengar itu, Elena pun mengangguk mengerti dan berterima kasih. “Tuan Alvaro belum pernah sama sekali membawa wanita ke rumah ini. Anda tentu wanita spesial untuk Tuan.” Elena menatap pelayan itu bingung. Kata ‘spesial’ mungkin kurang tepat untuk menggambarkan kondisinya saat ini. Karena dirinya di rumah ini hanyalah seorang tawanan Alvaro yang dipersiapkan untuk menjadi pemuas hasrat pria itu. Namun, belum sempat Elena menjawab, seorang pelayan lain tiba-tiba datang dari belakang dan melapor dengan wajah pucat. “Ada masalah di belakang.” “Coba selesaikan sendiri, karena aku harus mengirim teh ini ke ruang kerja Tuan Alvaro.” Jawab pelayan yang berada di depan Elena dengan bingung. Tatapannya lantas tertuju pada nampan dan
“Kamu tidak menstruasi?” Tatapan Alvaro berubah tidak lagi menatap penuh gairah, tetapi telah berubah menjadi penuh amarah. “Beraninya kamu!!” Dia menarik diri dan menatap langsung ke matanya, memastikan Elena tak punya ruang untuk mengelak. Terlihat jelas bahwa dia sangat membenci kebohongan yang dilakukan wanita di depannya. “T-tuan, saya…” “Diam !” potong Alvaro kencang. “T-tidak, Tuan. Saya hanya…” “Berhenti bicara!” Alvaro meraih kedua bahu Elena dan mencengkeramnya kuat-kuat. “Berani mempermainkanku?” desisnya, setengah mengancam. “Kau lupa siapa aku?!” “Saya tidak berniat mempermainkan Anda, Tuan,” jawab Elena dengan suara gemetar. Namun, Alvaro tidak berhenti. Dalam satu gerakan cepat, ia meraih syal yang tergeletak di kursi. Elena mencoba mundur, tetapi ruangnya terbatas. Sebelum ia sempat bergerak lebih jauh, syal itu sudah melilit pergelangan tangannya. “Tuan, apa yang akan Anda lakukan? lepaskan saya!” jerit Elena, ketakutan.. Dengan satu tar
Elena duduk di tepi ranjangnya, memandang kosong ke arah kaca besar di kamar yang menghadap taman. Bayangan Alvaro dan apa yang telah dia lakukan tadi terus berputar di pikirannya. Tubuhnya menggigil, karena rasa jijik dan takut. Dia selalu menjaga kesuciannya, tetapi pria itu menginjak-injak harga dirinya. Mungkin kedatangannya memang sebagai pelunas hutang, tetapi dia tak berhak bersikap kasar seperti yang dilakukannya tadi. Dia pun sadar jika dirinya salah telah berbohong, tetapi itu kan karena dia terus mengancam kesuciannya. Hingga terpaksa dia harus berbohong. “Aku tidak akan membiarkan ini terus terjadi,” bisiknya dengan penuh tekad. Selama ini Elena sudah terjebak dalam pernikahan tanpa cinta dengan Vincent, yang tak segan menyerahkan dirinya ke pria seperti Alvaro. Jika dia terus terjebak di sini, entah apa yang bisa dilakukan pria itu kepadanya. Mengingat pria itu sangat berkuasa. Elena bergidik. Elena berdiri dan melangkah ke kaca besar itu. Dia memperhatikan pan
Keesokan harinya, Elena terbangun karena suara berisik dari jendela kamarnya. “Sudah bangun?” kata Alvaro yang sudah duduk di samping tempat tidurnya. Elena terkejut, dia langsung menutup tubuhnya dan bergeser menjauh dari pria itu. Alvaro melirik wanita itu, senyum tipis terbit di bibirnya. “Bisakan Anda tidak keluar masuk ke kamarku seenaknya?” protes Elena. Matanya mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi, suara benda dipukul masih terdengar begitu jelas. “Ini rumahku! Ingat?” Suaranya pelan, dengan penekanan di setiap katanya. Seolah ingin mengingatkan posisinya di Mansion ini. Elena beringsut turun dari tempat tidur dan melihat ke arah jendela. Dia melihat beberapa pelayan sedang memasang palang di jendela kamarnya. Elena berusaha membuka jendela itu, tetapi tidak bisa. “Kenapa Anda melakukan ini? Apakah Anda mencoba mengurungku disini?” teriak Elena. Tetapi Alvaro hanya diam, pria itu dengan tenang menyesap cangkir berisi kopi kesukaannya. “Tuan Alvaro,
Netra Elena terbelalak, begitu melihat siapa yang kini berdiri di depannya. Viviana, ibu mertuanya kini menatapnya dengan jijik seolah dirinya barang kotor yang tak seharusnya ada di tempat ini. “Kenapa kamu di sini? Oh aku tahu, kamu pasti sedang menghabiskan uang anakku ya?” “Tidak Bu, aku…” Elena bingung, dia tak tahu harus menjawab apa di depan ibu mertuanya itu. Dia tak mungkin mengatakan jika dia menemani Alvaro. Pasti Viviana akan berpikir macam-macam mengingat temperamennya yang buruk. “Dasar menantu tak tahu diri. Hidup di atas belas kasihan anakku, tapi tidak pernah tahu cara berterima kasih!” Dengan cepat Viviana sudah menjambak rambut Elena, “Pergi dari sini! Pulang!” “Aduh sakit Bu! Lepaskan!” kata Elena, sambil menghentak tangan ibu mertuanya. Elena menggosok rambutnya yang terasa sakit karena jambakan ibu mertuanya. “Beraninya kamu melawan aku! Aku akan bilang ke Vincent, untuk menceraikanmu!” Elena muak sekali dengan ucapan Viviana, Ibu mertuanya
Alvaro turun dari mobil sport-nya dengan langkah santai, begitu membuka pintu rumah besar bergaya klasik itu, suara berat penuh amarah langsung menyambutnya.“Alvaro! Sampai kapan kamu mau jadi bujang lapuk?! Apa kamu menunggu aku mati dulu baru bawa calon istrimu?!”Ayahnya, Don Moretti, berdiri di tengah ruang tamu dengan tangan berkacak pinggang. Wajahnya merah padam.“Ayah, tenanglah, Kau mau memberitahu semua orang?”Pria tua itu berjalan tertatih dengan tongkatnya, disampingnya kepala pelayan setia mendampingi.“Aku bisa sendiri,” katanya pada kepala pelayan, saat ingin membantunya duduk. Kepala pelayan terlihat membungkuk dan kembali ke sudut ruangan. “Tanpa kuberitahu, semua orang sudah tahu! Apa gunanya uangmu itu, jika menikah saja tidak! Apa kamu mau mempermalukan keluarga Moretti? Hah?!” lanjut Tuan Moretti, suaranya menggema seluruh ruangan. Alvaro menghela nafas panjang, berusaha menahan diri. “Ayah, tenang dulu. Aku hanya tidak mau asal pilih wanita. Ini soal masa de
Elena terbangun dari pingsan, dia mengerjapkan mata sesaat sembari mengingat apa yang telah terjadi padanya. Dia mengedarkan pandangan, mendapati dirinya berada di ruangan yang asing, dia bertanya-tanya. “Di mana aku?” tanyanya. Tetapi tak ada seorang pun bersamanya saat ini. Sehingga dia mengubah posisinya. “Au! Sakit,” keluh Elena, sambil memegang bagian belakang kepalanya. Dia melihat sisi kanan dan kirinya. Dia melihat kalender di atas nakas di sampingnya. Netra Elena membulat, saat membaca nama rumah sakit di kalender itu. “Ibu!” serunya. Sejak menjadi tawanan di Mansion Alvaro, dia belum pernah menjenguk ibunya sama sekali. Dia kembali melihat sekitar dengan cemas. Pria itu tak ada disini. Perlahan dia menurunkan kakinya ke lantai. Lalu berjalan ke arah pintu untuk melihat situasi. “Ini kesempatan,” gumamnya. Sebuah senyum terukir di bibirnya. Elena pun membuka pintu dan pergi. Di ruangan lain, Alvaro sedang menemui Dokter yang bertanggung jawab merawat Elena. “T
“Jangan permainkan aku! Jika tidak membantu, kembalikan ponselku.”"Berapa biayanya?" tanya Alvaro tiba-tiba, suaranya tenang namun penuh intimidasi.Elena menatapnya ragu, bibirnya sedikit bergetar. "500 juta," jawabnya lirih, hampir tak terdengar."Aku bisa bantu," katanya santai.Mata Elena membulat. Sesaat dia punya harapan, tapi itu segera hilang saat melihat tatapan pria itu yang penuh arti. Dia tahu, Alvaro tidak mungkin membantu tanpa imbalan."Apa maumu?" tanya Elena, suaranya gemetar namun berusaha tegar.Alvaro menatapnya dengan tajam, lalu berjalan memutar. Dia menghentikan langkah tepat di belakang Elena. "Berhenti melawanku,” bisik pria itu di telinga Elena. “Turuti perintahku, tanpa kecuali!" lanjutnya.Netra Elena bergetar. Menurut pada pria ini, itu berarti menyerahkan dirinya secara sukarela. “Tidak!” jawab Elena, tegas. “Berikan ponsel saya!” Elena menengadahkan tangannya, di depan Alvaro. Alvaro tersenyum sinis lalu kembali ke kursi kebesarannya. Dia membuka laci
“Kamu yakin? Tidak takut?”“Aku sudah lama membiarkannya, ini saatnya menunjukkan bahwa tidak semua orang bisa dia injak seenaknya.”Alvaro hanya tersenyum tipis mendengar kalimat yang keluar dari bibir wanita di sampingnya itu. Begitu mobil berhenti di depan gedung perusahaan, Alvaro segera keluar lebih dulu. Dengan langkah tenang, ia membuka pintu untuk Elena, membuat wanita itu menatapnya sesaat.“Keluar,” ucap Alvaro singkat.Elena menghela napas, lalu turun dari mobil. Saat mereka melangkah masuk, Jose dan beberapa pengawal berjalan di belakang mereka.Begitu sampai di lantai tertinggi gedung ini. Sebelum masuk ke ruangan Alvaro. “Jose.”“Ya, Tuan?”“Ajari dia pekerjaanmu.”Jose menatap Elena sekilas sebelum kembali menatap Alvaro, memastikan ia tidak salah dengar. “Maksud Tuan, saya harus mengajarkan pekerjaan saya kepada Nyonya?”Alvaro mengangguk tanpa ragu. “Ya.”Elena mengernyit. “Tunggu, maksudmu aku bekerja dengan Jose?”Alvaro yang semula hendak melangkah ke ruangannya,
Keesokan paginya, Elena terbangun dalam pelukan Alvaro. Pria itu mendekapnya. Karena masih kesal semalam, Elena perlahan beringsut mengubah posisi menjadi membelakangi. Namun, tak disangka Alvaro menyadari gerakannya. Sehingga saat dia berhasil mengubah posisi. Alvaro kembali mendekapnya dari belakang. “Masih marah?” Bisiknya pelan. Elena diam, tak ingin bicara. Alvaro semakin mendekatkan tubuh Elena dalam pelukannya. “Sudah pagi, aku harus pergi.”“Kemana pagi-pagi?”“Bekerja, aku sadar aku cuma wanita simpanan yang bisa kamu buang kapan saja.”Elena hendak bangun, tetapi tubuhnya ditarik kembali oleh Alvaro. “Kita pergi bersama.”“Tidak perlu,” ucap Elena, ketus.Akhirnya Alvaro menyerah, dan membiarkan Elena pergi dari pelukannya. Berdebat dengan wanita itu saat marah tak akan bisa menang. Karena itu, dia memberikan Elena waktu untuk meredakan kemarahannya. Saat melihat Elena masuk ke dalam kamar mandi, Alvaro mengambil ponselnya di atas nakas. “Bagaimana?”“Kami sudah dapat
Pyar!Botol bir di tangannya dihantamkan ke meja kaca, pecahannya berhamburan ke lantai. Wanita-wanita di samping pria itu menjerit kecil dan mundur, sementara para pengawal langsung menodongkan pistol ke arahnya.Alvaro tetap berdiri tegak, menatap pria tua itu dengan mata dingin.Tidak ada yang berani menarik pelatuk lebih dulu.Mereka tahu siapa Alvaro.Pria yang berdiri di depan mereka bukan sekadar seorang pengusaha muda yang sedang naik daun. Dia adalah sosok yang namanya bergema di dunia bisnis. Orang yang tidak akan ragu mengotori tangannya jika diperlukan.Pria tua itu menghela napas panjang, lalu memberikan isyarat dengan satu gerakan tangan. Seketika, para pengawalnya menurunkan pistol mereka, meskipun tatapan mereka masih penuh kewaspadaan."Jadi benar, kau lemah karena wanita itu?"Alvaro mencengkeram kerahnya dan menariknya mendekat."Omong kosong!" suaranya rendah, penuh ancaman. "Aku tak butuh bisnismu."Pria itu mengangkat kedua tangannya ke atas, seolah memberi isya
Delisa menatap layar ponselnya dengan sorot mata penuh kebencian. Foto-foto Alvaro dan Elena dari informan yang disewanya terpampang di atas meja.“Seharusnya aku yang ada di sana… Seharusnya aku yang dia tatap seperti itu…” gumamnya dengan suara bergetar.Tangannya mengepal erat. Sudah cukup lama menahan diri, berharap Alvaro akhirnya melihatnya, memilihnya. Tapi yang terjadi justru sebaliknya—Elena muncul dan merebut tempat yang seharusnya menjadi miliknya.Tidak lagi.Jika Alvaro tidak bisa menjadi miliknya, maka Elena juga tidak boleh memilikinya.Delisa tahu bahwa Alvaro bukan pria yang mudah dipermainkan. Dia tidak bisa langsung menyerang Elena secara fisik, itu terlalu berisiko. Jadi, ia memutuskan untuk menyerang dari sisi lain, yaitu kepercayaan Alvaro.“Dasar wanita jalang, kita lihat apakah Alvaro masih mau denganmu.”Malam itu juga, Delisa menghubungi seorang. “Aku punya pekerjaan untukmu,” katanya dengan nada dingin.Pria di seberang telepon tertawa kecil.“Baik.”***Ha
Elena memutar bola matanya, berusaha mengabaikan cara Alvaro menatapnya. Ia tahu pria itu sedang mencoba menggodanya lagi, dan ia tidak akan membiarkan dirinya terjebak begitu saja.Elena mengernyit. “Al, pinggangku hampir patah karena ulahmu. Tidak lagi, lagi pula lukamu belum sembuh benar. Kamu ingin aku mengganti perbanmu lagi?”Alvaro menarik napas pelan, lalu dengan satu tarikan lembut, ia membuat Elena kembali terduduk di tepi ranjang, tepat di sampingnya. Tatapan matanya yang intens membuat Elena sulit untuk berpaling."Ini salahmu.""Salahku? Bagaimana bisa?"Alvaro mulai meraba bibir Elena lembut, “kamu membuatku candu."Elena menelan ludah, jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Ia ingin marah tetapi entah kenapa dia merasa tersanjung dengan pujian pria itu. Melihat Elena hanya diam, Alvaro tersenyum tipis, lalu mengangkat tangannya untuk menyelipkan helai rambut yang jatuh di wajahnya. “Aku tahu kamu khawatir.”Elena mendesah, akhirnya memalingkan wajahnya. “Kamu
Alvaro menatap Elena dengan intens, seolah mencoba membaca pikirannya. Tatapannya tajam, penuh rasa ingin tahu, tetapi Elena tetap berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang. “Iya, dia mengkhawatirkanmu,” ucapnya santai. “Dia bertanya tentang keadaanmu dan memintaku untuk menjagamu.” “Hanya itu?” tanyanya kembali. Seolah-olah dia tak puas dengan jawaban yang diberikan Elena barusan. Alvaro terdiam sesaat, menatapnya tanpa ekspresi yang jelas. Suasana di antara mereka sedikit canggung, seakan ada sesuatu yang menggantung di udara, tetapi Elena berusaha mengabaikannya. “Beristirahatlah,” katanya akhirnya, bangkit dari tempat tidur. “Aku akan menyiapkan makanan untuk kita.” Namun, sebelum ia bisa melangkah pergi, Alvaro tiba-tiba meraih pergelangan tangannya dan menariknya kembali ke tempat tidur dengan gerakan cepat. Elena tersentak saat mendapati dirinya terduduk di pangkuannya, wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. Hawa panas tubuh Alvaro begitu dekat, membuat jantungnya ber
Alvaro menatap Elena dengan lembut, sesuatu yang jarang terlihat darinya. Walau tubuhnya masih lemah, bibirnya melengkung dalam senyuman tipis.Pria itu menatapnya tanpa berkata-kata. Hening menyelimuti ruangan, hanya suara mesin medis yang berbunyi pelan.Lalu, tiba-tiba, Alvaro mengulurkan tangannya yang lemah ke arah Elena. Jangan pergi dariku."Elena terdiam. Kata-kata Don kembali terngiang di benaknya. "Jika kau benar-benar mencintainya, tinggalkan dia."Tapi, saat menatap Alvaro yang masih menunggunya dengan tatapan serius, dia tahu… dia tidak bisa melakukannya.Perlahan, Elena menggenggam erat tangan Alvaro."Aku…tidak akan pergi," bisiknya.Dia menghela napas panjang sebelum akhirnya berdiri. "Aku akan keluar sebentar," katanya.Alvaro menatapnya sebentar, seolah enggan membiarkannya pergi, tapi akhirnya mengangguk. "Jangan lama-lama."Elena hanya tersenyum kecil sebelum melangkah keluar dari ruangan, menutup pintu di belakangnya dengan pelan.Begitu Elena pergi, Jose masuk ke
Elena membeku di tempat. Jantungnya seakan berhenti berdetak saat matanya bertemu dengan sosok yang berdiri di depan pintu—seorang pria paruh baya dengan tatapan tajam, penuh wibawa.Don.Ayah Alvaro.“Mari kita bicara,” suara Don terdengar dalam dan penuh otoritas.Elena menelan ludah, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Di dalam ruangan, Alvaro masih terbaring lemah. Dia tidak ingin pergi jauh, tapi tatapan Don memberinya isyarat bahwa dia tidak punya pilihan.“Baik,” jawabnya pelan.Don berbalik, melangkah dengan tenang menuju lorong rumah sakit. Elena ragu sejenak sebelum akhirnya mengikuti di belakangnya.Ketika mereka sampai di area yang lebih sepi, Don berhenti dan berbalik menatapnya.“Apa kamu mencintainya?” tanyanya langsung, tanpa basa-basi.Elena mengerjap. Dia bisa merasakan ketegangan yang begitu kuat dari cara pria itu menatapnya."Aku..." Dia menarik napas, mencoba mengumpulkan keberanian.“Jika iya, tinggalkan dia.”Mata Elena terbelalak, hatinya seolah berhenti berd
Bab 68 - Elena tersentak, dia mendengar perintah Alvaro dengan jelas. Tetapi tubuhnya membeku di tempat. Semua terjadi begitu cepat, pria bersenjata lain langsung mengangkat pistol mereka.DOR!Tembakan pertama melesat, nyaris mengenai Alvaro yang dengan cekatan menjadikan tubuh pria yang tadi diserangnya sebagai perisai. Darah muncrat saat peluru menghantam dada pria itu, membuatnya limbung sebelum jatuh tak bernyawa.“Lari!” Alvaro mengulang perintahnya lebih keras, tapi Elena masih terpaku.Salah satu pria menodongkan pistol ke arahnya.DOR!Elena menjerit dan memejamkan mata, namun tubuhnya tetap utuh. Saat membuka mata, yang dilihatnya justru Alvaro—berdiri di depannya, dadanya tertembus peluru.Tubuh Alvaro tersentak ke belakang, nafasnya tercekat. Darah dengan cepat merembes dari luka di dada kirinya, mengalir membasahi kemeja yang dikenakannya.Elena menjerit, “ALVARO!”Tatapannya nanar saat melihat tubuh pria itu melemah. Alvaro masih berdiri, tapi lututnya tampak goyah. Tan