Alvaro terdiam, menatap Raisa tajam. Matanya menyelidik, seolah ingin memastikan setiap kata yang keluar dari mulut wanita itu bukan kebohongan. Ruangan menjadi hening.
"Baik," akhirnya, suara rendah penuh peringatan. "Tapi ingat, jangan pernah coba main-main denganku." Raisa mengangguk cepat. Meski tubuhnya gemetar, dia berusaha tegar. Dia tidak ingin terlihat lemah di depan pria itu. "Aku beri waktu satu minggu," lanjut Alvaro dingin. “Lima belas hari!” potong Raisa tiba-tiba, nyalinya muncul entah dari mana. Alvaro berhenti, menatapnya dengan alis terangkat. "Lima belas hari? Kau bercanda?" Suaranya mulai meninggi. Raisa menelan ludah, tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. "Saya…butuh waktu lebih lama, Tuan. Periode saya berbeda dari wanita lain," ucapnya, suaranya pelan. “Baik,” katanya akhirnya. Alvaro menghela nafas panjang, terlihat jelas dia sedang menahan diri. "Hari ke-15. Aku akan menunggumu, kau ingat itu!" Suara pria itu datar dan tajam. Telunjuknya menunjuk lurus ke arahnya sebelum dia berbalik dan keluar dari ruangan tanpa menoleh lagi. Raisa menghembuskan napas panjang, tubuhnya nyaris ambruk. Lega. Setidaknya, dia mendapat waktu tambahan. Lima belas hari, mungkin bukan waktu yang lama, tapi lebih baik daripada tidak sama sekali. Raisa melihat sekelilingnya, terpaksa dia harus tinggal di rumah ini. Rumah ini, mungkin tidak akan memberinya ketenangan, tetapi paling tidak, dia akan aman dari hasrat pria itu dan tekanan dari Reza. Yang terpenting lagi, nyawa ibunya juga aman. Seorang pelayan datang mendekat, membungkukkan badan dengan hormat. “Permisi Nyonya, Tuan meminta saya mengantar Anda ke kamar,” ucap pelayan itu. Raisa mengangguk, dan mengikuti langkah pelayan itu. Tanpa banyak bicara, Raisa mengikuti pelayan itu. Ketika pintu kamar terbuka, dia tertegun. Kamar itu besar, mewah, jauh dari bayangannya. Tempat tidur besar dengan seprai sutra, lemari pakaian penuh gaun mahal, dan jendela kaca lebar menghadap ke Taman. “Ini kamar saya?” tanya Raisa, tak percaya. Pelayan itu mengangguk, dengan senyum ramah. Dia kira, Alvaro akan memberinya kamar sempit tanpa makanan dan minuman, memperlakukannya bak seorang tawanan. Ternyata dia salah, pria ini tidak seburuk yang dia pikir. Pelayan itu kemudian pergi, setelah memastikan tak ada lagi yang dirinya butuhkan. Begitu pelayan pergi, Raisa melangkah masuk. Dia duduk di sofa, memandang sekeliling dengan perasaan campur aduk. Rasa cemas hinggap di pikiran. Bagaimanapun, dia telah melakukan sebuah kebohongan. Jika Alvaro tahu, entah apa yang akan dia lakukan padanya. Belum selesai dengan ketakutannya, ponsel di sakunya berbunyi. Nama Reza terpampang di layar. Dengan berat hati, Raisa mengangkat panggilan itu. "Brengsek! Apa yang kau lakukan?!" suara Reza langsung meledak, begitu dia bersuara. “Aku... aku berhasil mendapatkan tambahan waktu…” Raisa mencoba menjelaskan. "Lima belas hari?! Kau pikir itu cukup?! Bodoh!" bentaknya lagi. “Reza, aku sudah berusaha,” ucap Raisa, suaranya bergetar. “Berusaha?! Kau tidak melakukan apa-apa! Kau hanya menambah masalahku!” “Aku tidak peduli, Raisa. Kau harus membuat dia menghapus hutangku!” Raisa terdiam. Meski marah, tapi dia tahu, membalas hanya akan memperburuk keadaan. “Apalagi yang harus aku lakukan?” tanyanya akhirnya, hampir putus asa. “Pikirkan sendiri! Bila perlu lempar tubuhmu ke dia! Aku tidak peduli!” Kata-kata Reza kejam, begitu tak punya perasaan. “Kau dengar? Yang penting hutangku lunas!” Raisa memejamkan mata, menahan air mata yang hampir tumpah. “Ingat ini, Raisa,” suara Reza terdengar seperti bisikan iblis di telinganya. “Jika Alvaro membunuhku, sebelum itu terjadi, aku akan membawa ibumu ke neraka.” Raisa tercekat. Ancaman Reza, membuat nafasnya terasa berat. Tubuhnya mulai gemetar. “Reza, kau tidak bisa—” Suaranya terputus ketika panggilan tiba-tiba terputus. Raisa menatap kosong ponsel di tangannya. Obrolannya dengan Reza membuat tenggorokannya terasa kering. Raisa keluar kamar, rasa haus mendorong kakinya melangkah mencari dapur rumah ini berada. Gelap, mencekam, sambil meraba-raba wanita itu melangkah. Senyum wanita itu tersungging, begitu melihat apa yang dicarinya. Dia mempercepat langkahnya, tetapi tiba-tiba lampu menyala, membuatnya diam mematung. “Raisa, apa yang kamu lakukan di sini?”Bab 5 Jangan Pernah BerbohongRaisa berhenti seketika, berbalik perlahan. Matanya melebar saat mendapati Alvaro telah berdiri di depannya, menatapnya tajam seperti elang mengawasi mangsanya.“Aku... haus,” ucap Raisa pelan, mencoba menyembunyikan kegugupannya.“Haus?” ulang Alvaro, nada suaranya penuh keraguan.Ia berjalan mendekat, langkahnya pelan, namun penuh ancaman.“Aku penasaran,” katanya lagi, matanya menyelidik.“Bagian tubuhmu yang mana yang merasa haus, sampai kamu masuk ke kamarku?”Raisa membeku. Pandangannya menyapu ruangan dan menyadari kesalahannya. Dia telah salah masuk.“Saya tidak tahu ini kamar Anda,” ucapnya terbata-bata. “Saya hanya ingin ke dapur.”“Benarkah?” Alvaro mendekat, tatapannya semakin menekan.Raisa mundur perlahan, hingga tubuhnya terhenti saat punggungnya menabrak tempat tidur. Ia bingung, tak tahu harus melawan atau menyerah.“Maafkan saya!” serunya panik, tangannya menghalangi dada Alvaro yang kini berdiri terlalu dekat.Dengan gerakan cepat, Alva
‘Apakah dia tahu kebohonganku?’ pikir Raisa. Tubuhnya bergetar, karena rasa takut yang berlebihan. Keringat dingin muncul di pelipisnya. “Apakah kamu mengerti?” Suara pria itu terdengar lagi, tenang namun penuh tekanan. Raisa menelan ludah. Ia tidak punya keberanian untuk melawan atau membantah. Dengan cepat, ia mengangguk. “Bagus.” Alvaro berjalan kembali ke sisi meja. “Aku tidak suka mengulangi ucapanku.” Setelah itu, Pria itu pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Raisa duduk terpaku, merasa lemas. Nafsu makannya sirna sudah. ‘Dia belum tahu tentang kebohonganku, jika tahu, mungkin dia akan berbuat lebih buruk dari sekarang.’ *** Merasa tak lagi berselera makan, Raisa bangkit dari kursinya. Ia merasa tak nyaman hanya duduk diam tanpa melakukan apa-apa. Dengan hati-hati, ia kumpulkan piring dan peralatan makan di meja. Saat tangannya meraih piring Alvaro, suara asisten rumah tangga menghentikannya. “Nyonya, Anda tidak perlu melakukan itu.” Raisa menoleh. Seorang wanita paru
“Pelayan!” suara bariton pria itu menggema di seluruh ruangan. Membuat semua pelayan yang ada di rumah itu langsung datang dan berbaris di depannya sekarang. Tangan Alvaro segera menarik tangan Raisa yang terlihat memerah akibat cairan panas dari teh tadi. Takut dan merasa tidak enak, kini dirasakan Raisa saat melihat pelayan yang tadi meminta tolong padanya. “Maaf Tuan, ada apa?” tanya pelayan itu. Sepertinya, dia adalah kepala pelayan di rumah ini. Wajahnya terlihat gugup, dengan pandangan mata sesekali ke arah Raisa. “Siapa yang membiarkan tamuku, membawa nampan teh? Apakah kalian sudah bosan kerja denganku!” “Jo! teriak Alvaro lagi. Asisten Alvaro yang selalu terlihat bersamanya, entah dari mana datang ter gupuh-gupuh. “Ada apa Tuan,” tanyanya, bingung. “Pecat mereka semua, sebelum itu, hukum mereka!” Raisa terkejut, dia tak menyangka jika masalah ini akan berdampak sebesar ini. Kini dia tahu, kenapa pelayan sangat takut dan begitu keras menolak, saat dia ingin membantu.
"Siapa kamu? Ini urusan kami! Kamu tidak punya hak untuk ikut campur!" Suara lantang ibu mertua Raisa menggema, membuat Raisa menegang. Dia menatap Alvaro, berharap pria itu tidak kehilangan kesabaran.Alvaro tetap berdiri dengan tenang, tetapi kilatan amarah jelas terlihat di matanya. Dengan gerakan tegas, dia melepaskan cengkeramannya dari tangan ibu mertua Raisa, membuat wanita itu sedikit terhuyung ke belakang.“Sebaiknya Anda pergi sekarang, sebelum ada yang mengusir Anda.”Suara Alvaro terdengar rendah tetapi penuh tekanan, Raisa tahu bahwa dia tak akan main-main dengan ucapannya. Tetapi bukan pergi, Ibu mertua Raisa malah semakin marah."Kurang ajar! Siapa kamu? Berani mengusirku. Aku pelanggan VIP di sini!" umpat ibu mertua Raisa tidak terima. Wajahnya memerah karena emosi.Raisa, yang berdiri di antara keduanya, merasa bingung. Kekhawatiran bercampur ketakutan menguasainya. Apa jadinya jika Alvaro benar-benar mengatakan yang sebenarnya? Tentang hutang Reza dan posisinya saat
"Apakah tidak ada keringanan?! Aku pasti akan segera melunasinya!" “Halo?! Fuck! Damn it!!”BRAK!!Teriakan Reza dan suara keramik pecah membuat Raisa berdiri dengan gelisah di depan pintu ruang kerja suaminya. Di tangannya ada nampan berisi secangkir teh yang masih mengepul, tapi dia ragu-ragu untuk masuk.Sebab, setelah beberapa kali dipanggil, pria itu tak kunjung memperbolehkannya masuk ataupun membukakan pintu. ‘Apa terjadi sesuatu?’ pikir Raisa. Belakangan waktu ini, suaminya memang terlihat menyimpan masalah besar karena sikapnya yang tidak tenang. Raisa tak tahu kenapa, karena Reza sama sekali tak pernah mengajaknya berdiskusi. Tepatnya, semenjak menikah dengan pria itu, Reza sama sekali tak pernah mengajaknya bicara.Pria itu hanya menemuinya saat hasrat sudah diujung tanduk.Ketika suara lemparan kursi terdengar, Raisa menggigit bibirnya pelan. "Reza?" panggil wanita itu lagi. Namun, lagi-lagi tidak ada jawaban dari Reza. Oleh karena itu, Raisa pun memberanikan diri untu
“Apa kamu yakin aku harus memakai gaun ini?” Raisa menggigit bibirnya, merasa tidak nyaman dengan pakaian yang dikenakan. “Bukankah ini terlalu…seksi?” Tangannya menarik ujung gaun, mencoba menutupi lututnya. Satu tangan menutup bagian atas yang terlalu terbuka. “Tentu saja,” kata Reza, tersenyum penuh arti. “Kamu harus terlihat menggoda, agar Alvaro tertarik padamu.” Matanya melihat dari kepala hingga kaki, seperti memastikan penampilannya layak untuk dijual. Raisa membuang muka, menahan rasa marah yang tak bisa terucap. Saat ia hendak melangkah keluar, tangan Reza mencengkram pundaknya. “Jangan pulang tanpa hasil!” bisik Reza, mengancam. Dadanya sesak, tapi tak ada gunanya membantah. Dia hanya mengangguk pelan, sebelum akhirnya berjalan keluar. *** Mobil berhenti di depan sebuah rumah besar dengan gerbang yang tinggi. Tak ada suara, hanya hembusan angin yang membuat bulu kuduk Raisa berdiri. Seorang pria berbadan besar berdiri di depan gerbang, membuka mobil da
"T-tidak mungkin," bisiknya, suaranya serak hampir tak terdengar. "Saya tidak bisa melakukan itu."Raisa berusaha mendorong tubuh Alvaro. Tetapi pelukan pria di tubuhnya begitu erat, tak memberinya kesempatan untuk bebas sedikitpun.Alvaro terkekeh, tatapannya dingin, dengan tangan tetap melingkar di pinggangnya."Tidak bisa?" ulangnya perlahan, suara berat dan merendahkan. "Bukankah kamu datang kesini, untuk membuatku senang?” Tatapan pria itu seperti menelanjanginya, seolah-olah dirinya adalah pelacur yang sedang menjajakan diri.Raisa menggigit bibir, berusaha menahan tangis yang sudah hampir meledak. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, seolah tak bisa terbendung lagi."Tuan Alvaro, saya mohon... pasti ada cara lain. Tolong, beri saya waktu tanpa harus..." suaranya tercekat, tak sanggup melanjutkan. "Apakah kamu sedang memohon kepadaku?" katanya tajam.Tangan pria itu mencengkram dagu Raisa. Lalu dengan mendekatkan wajahnya di telinga Raisa. Pria itu mulai berbicara pe
"Siapa kamu? Ini urusan kami! Kamu tidak punya hak untuk ikut campur!" Suara lantang ibu mertua Raisa menggema, membuat Raisa menegang. Dia menatap Alvaro, berharap pria itu tidak kehilangan kesabaran.Alvaro tetap berdiri dengan tenang, tetapi kilatan amarah jelas terlihat di matanya. Dengan gerakan tegas, dia melepaskan cengkeramannya dari tangan ibu mertua Raisa, membuat wanita itu sedikit terhuyung ke belakang.“Sebaiknya Anda pergi sekarang, sebelum ada yang mengusir Anda.”Suara Alvaro terdengar rendah tetapi penuh tekanan, Raisa tahu bahwa dia tak akan main-main dengan ucapannya. Tetapi bukan pergi, Ibu mertua Raisa malah semakin marah."Kurang ajar! Siapa kamu? Berani mengusirku. Aku pelanggan VIP di sini!" umpat ibu mertua Raisa tidak terima. Wajahnya memerah karena emosi.Raisa, yang berdiri di antara keduanya, merasa bingung. Kekhawatiran bercampur ketakutan menguasainya. Apa jadinya jika Alvaro benar-benar mengatakan yang sebenarnya? Tentang hutang Reza dan posisinya saat
“Pelayan!” suara bariton pria itu menggema di seluruh ruangan. Membuat semua pelayan yang ada di rumah itu langsung datang dan berbaris di depannya sekarang. Tangan Alvaro segera menarik tangan Raisa yang terlihat memerah akibat cairan panas dari teh tadi. Takut dan merasa tidak enak, kini dirasakan Raisa saat melihat pelayan yang tadi meminta tolong padanya. “Maaf Tuan, ada apa?” tanya pelayan itu. Sepertinya, dia adalah kepala pelayan di rumah ini. Wajahnya terlihat gugup, dengan pandangan mata sesekali ke arah Raisa. “Siapa yang membiarkan tamuku, membawa nampan teh? Apakah kalian sudah bosan kerja denganku!” “Jo! teriak Alvaro lagi. Asisten Alvaro yang selalu terlihat bersamanya, entah dari mana datang ter gupuh-gupuh. “Ada apa Tuan,” tanyanya, bingung. “Pecat mereka semua, sebelum itu, hukum mereka!” Raisa terkejut, dia tak menyangka jika masalah ini akan berdampak sebesar ini. Kini dia tahu, kenapa pelayan sangat takut dan begitu keras menolak, saat dia ingin membantu.
‘Apakah dia tahu kebohonganku?’ pikir Raisa. Tubuhnya bergetar, karena rasa takut yang berlebihan. Keringat dingin muncul di pelipisnya. “Apakah kamu mengerti?” Suara pria itu terdengar lagi, tenang namun penuh tekanan. Raisa menelan ludah. Ia tidak punya keberanian untuk melawan atau membantah. Dengan cepat, ia mengangguk. “Bagus.” Alvaro berjalan kembali ke sisi meja. “Aku tidak suka mengulangi ucapanku.” Setelah itu, Pria itu pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Raisa duduk terpaku, merasa lemas. Nafsu makannya sirna sudah. ‘Dia belum tahu tentang kebohonganku, jika tahu, mungkin dia akan berbuat lebih buruk dari sekarang.’ *** Merasa tak lagi berselera makan, Raisa bangkit dari kursinya. Ia merasa tak nyaman hanya duduk diam tanpa melakukan apa-apa. Dengan hati-hati, ia kumpulkan piring dan peralatan makan di meja. Saat tangannya meraih piring Alvaro, suara asisten rumah tangga menghentikannya. “Nyonya, Anda tidak perlu melakukan itu.” Raisa menoleh. Seorang wanita paru
Bab 5 Jangan Pernah BerbohongRaisa berhenti seketika, berbalik perlahan. Matanya melebar saat mendapati Alvaro telah berdiri di depannya, menatapnya tajam seperti elang mengawasi mangsanya.“Aku... haus,” ucap Raisa pelan, mencoba menyembunyikan kegugupannya.“Haus?” ulang Alvaro, nada suaranya penuh keraguan.Ia berjalan mendekat, langkahnya pelan, namun penuh ancaman.“Aku penasaran,” katanya lagi, matanya menyelidik.“Bagian tubuhmu yang mana yang merasa haus, sampai kamu masuk ke kamarku?”Raisa membeku. Pandangannya menyapu ruangan dan menyadari kesalahannya. Dia telah salah masuk.“Saya tidak tahu ini kamar Anda,” ucapnya terbata-bata. “Saya hanya ingin ke dapur.”“Benarkah?” Alvaro mendekat, tatapannya semakin menekan.Raisa mundur perlahan, hingga tubuhnya terhenti saat punggungnya menabrak tempat tidur. Ia bingung, tak tahu harus melawan atau menyerah.“Maafkan saya!” serunya panik, tangannya menghalangi dada Alvaro yang kini berdiri terlalu dekat.Dengan gerakan cepat, Alva
Alvaro terdiam, menatap Raisa tajam. Matanya menyelidik, seolah ingin memastikan setiap kata yang keluar dari mulut wanita itu bukan kebohongan. Ruangan menjadi hening."Baik," akhirnya, suara rendah penuh peringatan. "Tapi ingat, jangan pernah coba main-main denganku."Raisa mengangguk cepat. Meski tubuhnya gemetar, dia berusaha tegar. Dia tidak ingin terlihat lemah di depan pria itu."Aku beri waktu satu minggu," lanjut Alvaro dingin.“Lima belas hari!” potong Raisa tiba-tiba, nyalinya muncul entah dari mana.Alvaro berhenti, menatapnya dengan alis terangkat. "Lima belas hari? Kau bercanda?" Suaranya mulai meninggi.Raisa menelan ludah, tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. "Saya…butuh waktu lebih lama, Tuan. Periode saya berbeda dari wanita lain," ucapnya, suaranya pelan.“Baik,” katanya akhirnya.Alvaro menghela nafas panjang, terlihat jelas dia sedang menahan diri. "Hari ke-15. Aku akan menunggumu, kau ingat itu!" Suara pria itu datar dan tajam. Telunjuknya menunjuk lurus
"T-tidak mungkin," bisiknya, suaranya serak hampir tak terdengar. "Saya tidak bisa melakukan itu."Raisa berusaha mendorong tubuh Alvaro. Tetapi pelukan pria di tubuhnya begitu erat, tak memberinya kesempatan untuk bebas sedikitpun.Alvaro terkekeh, tatapannya dingin, dengan tangan tetap melingkar di pinggangnya."Tidak bisa?" ulangnya perlahan, suara berat dan merendahkan. "Bukankah kamu datang kesini, untuk membuatku senang?” Tatapan pria itu seperti menelanjanginya, seolah-olah dirinya adalah pelacur yang sedang menjajakan diri.Raisa menggigit bibir, berusaha menahan tangis yang sudah hampir meledak. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, seolah tak bisa terbendung lagi."Tuan Alvaro, saya mohon... pasti ada cara lain. Tolong, beri saya waktu tanpa harus..." suaranya tercekat, tak sanggup melanjutkan. "Apakah kamu sedang memohon kepadaku?" katanya tajam.Tangan pria itu mencengkram dagu Raisa. Lalu dengan mendekatkan wajahnya di telinga Raisa. Pria itu mulai berbicara pe
“Apa kamu yakin aku harus memakai gaun ini?” Raisa menggigit bibirnya, merasa tidak nyaman dengan pakaian yang dikenakan. “Bukankah ini terlalu…seksi?” Tangannya menarik ujung gaun, mencoba menutupi lututnya. Satu tangan menutup bagian atas yang terlalu terbuka. “Tentu saja,” kata Reza, tersenyum penuh arti. “Kamu harus terlihat menggoda, agar Alvaro tertarik padamu.” Matanya melihat dari kepala hingga kaki, seperti memastikan penampilannya layak untuk dijual. Raisa membuang muka, menahan rasa marah yang tak bisa terucap. Saat ia hendak melangkah keluar, tangan Reza mencengkram pundaknya. “Jangan pulang tanpa hasil!” bisik Reza, mengancam. Dadanya sesak, tapi tak ada gunanya membantah. Dia hanya mengangguk pelan, sebelum akhirnya berjalan keluar. *** Mobil berhenti di depan sebuah rumah besar dengan gerbang yang tinggi. Tak ada suara, hanya hembusan angin yang membuat bulu kuduk Raisa berdiri. Seorang pria berbadan besar berdiri di depan gerbang, membuka mobil da
"Apakah tidak ada keringanan?! Aku pasti akan segera melunasinya!" “Halo?! Fuck! Damn it!!”BRAK!!Teriakan Reza dan suara keramik pecah membuat Raisa berdiri dengan gelisah di depan pintu ruang kerja suaminya. Di tangannya ada nampan berisi secangkir teh yang masih mengepul, tapi dia ragu-ragu untuk masuk.Sebab, setelah beberapa kali dipanggil, pria itu tak kunjung memperbolehkannya masuk ataupun membukakan pintu. ‘Apa terjadi sesuatu?’ pikir Raisa. Belakangan waktu ini, suaminya memang terlihat menyimpan masalah besar karena sikapnya yang tidak tenang. Raisa tak tahu kenapa, karena Reza sama sekali tak pernah mengajaknya berdiskusi. Tepatnya, semenjak menikah dengan pria itu, Reza sama sekali tak pernah mengajaknya bicara.Pria itu hanya menemuinya saat hasrat sudah diujung tanduk.Ketika suara lemparan kursi terdengar, Raisa menggigit bibirnya pelan. "Reza?" panggil wanita itu lagi. Namun, lagi-lagi tidak ada jawaban dari Reza. Oleh karena itu, Raisa pun memberanikan diri untu