Elena kemudian memilih untuk duduk di sofa sambil membaca majalah di atas meja. Terbiasa melayani Vincent dan melakukan semua pekerjaan sendiri, membuatnya merasa bosan.
“Ini teh untuk anda,” kata seorang pelan yang datang menyodorkan secangkir teh. Mendengar itu, Elena pun mengangguk mengerti dan berterima kasih. “Tuan Alvaro belum pernah sama sekali membawa wanita ke rumah ini. Anda tentu wanita spesial untuk Tuan.” Elena menatap pelayan itu bingung. Kata ‘spesial’ mungkin kurang tepat untuk menggambarkan kondisinya saat ini. Karena dirinya di rumah ini hanyalah seorang tawanan Alvaro yang dipersiapkan untuk menjadi pemuas hasrat pria itu. Namun, belum sempat Elena menjawab, seorang pelayan lain tiba-tiba datang dari belakang dan melapor dengan wajah pucat. “Ada masalah di belakang.” “Coba selesaikan sendiri, karena aku harus mengirim teh ini ke ruang kerja Tuan Alvaro.” Jawab pelayan yang berada di depan Elena dengan bingung. Tatapannya lantas tertuju pada nampan dan dapur secara bergantian. Melihat itu, Elena berinisiatif untuk membantu. “Kamu urus saja masalahnya. Masalah teh, biar saya yang mengantarkannya.” Perkataan Elena membuat pelayan itu terkejut. “Jangan, Nyonya! Tuan Alvaro pasti akan sangat marah jika kami membiarkan Nyonya bekerja.” “Tidak apa-apa. Saya akan mengantar teh ini dulu sebelum membantu hal yang lain.” lanjut pelayan itu lagi. “Tidak masalah! Sungguh. Ini bukan bekerja, tapi membantu. Lagipula, masalahnya terlihat mendesak.” jawab Elena lagi, berusaha untuk meyakinkan. “Jika terjadi apa-apa, biar saya yang menjelaskannya pada Tuan Alvaro.” Mendengar itu, kedua pelayan itu saling berpandangan sebelum kemudian menyerahkan nampan berisi teh dan teko itu ke tangan Elena. “Terima kasih, Nyonya. Ruang kerja Tuan ada di lorong sebelah kiri kamar Anda.” Elena mengangguk sambil mengambil nampan dari pelayan itu dan mulai melangkah pergi ke arah yang dituju. Elena berjalan dengan hati-hati dan memastikan kalau dia tak salah masuk ruangan. Sebab, dia tak mau membuat Alvaro marah lagi. Elena menghela napas lega begitu melihat pintu yang dikatakan oleh pelayan tadi. Namun, belum sempat tangannya mengetuk pintu, suara kemarahan Alvaro telah membuatnya berhenti bergerak. “Bunuh saja pembohong itu!” Nampan di tangan Elena bergetar seketika, rasa takut membuatnya mundur dua langkah. Hingga membuat keseimbangannya tak terjaga. PYAR! “Akh!! Kaki Elena bergetar kesakitan saat teko berisi teh panas mendidih itu pecah dan mengenai kakinya. Tubuh Elena semakin bergetar karena tak lama kemudian, dia melihat Alvaro keluar dari ruang kerja dengan wajah dingin dan emosi yang terlihat jelas di wajahnya. Mata elang pria itu langsung membidik tajam ke Elena. “Apa yang kamu lakukan di sini?!” “T-tuan, saya ingin mengantar teh..” Mata Alvaro semakin menajam dan sedetik kemudian, suara bariton pria itu menggema di seluruh ruangan. Memanggil seluruh pelayan yang ada di rumah itu. Kurang dari satu menit, semua pelayan langsung datang dan berbaris di depan mereka sambil menunduk. Di sisi lain, Elena yang melihat adegan itu merasa sangat ketakutan. Apalagi ditambah dengan rasa sakit di kakinya. “Siapa yang membiarkan Elena membawa nampan teh? Apa kalian sudah bosan hidup?!” Alvaro berteriak marah. Melihat itu, tak ada seorang pelayan pun yang menjawab. Alih-alih bersuara, mereka menunduk dalam dengan wajah pucat. Setelah beberapa detik, salah seorang pelayan maju ke depan dan berlutut sambil berkata dengan suara gemetar. “Saya, Tuan! Tolong ampuni saya karena telah bersikap lalai!” Mendengar itu, wajah Alvaro semakin menggelap. Tanpa menunggu waktu lama, dia berteriak memanggil nama seseorang yang pernah Elena dengar. “Jose!” Segera setelah itu, seorang pria bertubuh tinggi datang dengan eskpresi tenang. Elena menebaknya sebagai tangan kanan Alvaro, karena hanya pria itu yang berani memandang wajah Alvaro tanpa perlu menunduk ketakutan. “Ada apa, Tuan?” Jose bertanya. Apalagi setelah melihat semua pelayan berbaris rapi dan sosok Elena yang berbaring di atas sofa. “Pecat mereka semua!” Elena merasa terkejut setengah mati. Sebab, dia sama sekali tak menyangka kalau Alvaro akan memecat mereka hanya karena ia menumpahkan seteko teh. Setelah perintah itu diturunkan, hampir semua pelayan di hadapan Alvaro menunjukkan ekspresi tercengang. Beberapa bahkan sudah jatuh terduduk dengan wajah berurai air mata, termasuk pelayan yang membiarkan Elena membawa nampan. Wanita itu sudah duduk lemas dengan mata membelalak. “Tolong jangan pecat mereka, Tuan!” Tanpa sadar, Elena bangun dan menggenggam tangan Alvaro untuk memohon. “Saya lah yang akh–! Menawarkan diri untuk membantu. Pelayan itu sama sekali tak bersalah!” Ringisan itu, Alvaro memicingkan matanya dan kembali melihat ke arah kaki Elena. Sedetik kemudian, di hadapan semua orang tubuh Elena sudah lebih dulu diangkat ala bridal style oleh Alvaro. Pria itu dengan kuat membopongnya ke kasur kamar pria itu dan membaringkannya di sana. Tatapan Alvaro mengeras saat melihat beberapa bagian dari kaki Elena memerah dan mulai melepuh. “Tunggu di sini dan jangan melakukan apa pun!” Pria itu lantas keluar dari ruangan dan kembali dengan sebuah kotak P3K. Kemudian, dengan hati-hati pria itu mengangkat kaki Elena dan melihat lebih rinci bagian-bagian mana saja yang melepuh. “Tahan rasa sakitnya.” Elena mengangguk dan mencengkram bantal sofa lebih kencang. Sebab, sedetik kemudian, Alvaro telah mengoleskan salep khusus luka bakar di kakinya. Seolah sudah biasa, pria itu mengoles dengan lembut dan dalam arah yang sama. Bahkan, mata Alvaro sama sekali tak lepas dari luka-luka Elena hingga membuat wanita itu terpaku. Perilaku ini sangat mengejutkan, terutama bagi Elena yang kenyang mendengar berita tentang betapa kejamnya Alvaro di dunia hitam. Bagaimana bisa, pria yang terkenal bertangan dingin, kejam dan tak kenal ampun itu bersimpuh di depannya untuk mengoles obat untuknya? Tanpa sadar, Elena membandingkan perilaku Alvaro dengan Vincent yang jauh berbeda. Jangankan merawat luka Elena yang terkena air panas, saat tangannya patah pun Vincent tak sekali pun memberi perhatian. Pria itu malah sibuk mengurus bisnis investasinya yang berujung merugi dan menjualnya ke pria lain. Daripada mengobati, selama ini Vincent lebih sering memberi Elena luka, tanpa peduli bagaimana rasa sakitnya, apalagi mengobati luka itu. Sesaat, Elena menatap pria itu dengan perasaan tersentuh. Setelah semua area yang terluka telah diberikan salep, Alvaro kembali meletakkan kaki Elena. Namun, gerakan itu malah menyingkap luka lain yang tercetak di paha Elena. “Luka apa ini?” “Ah! Bukan apa-apa, Tuan.” Elena buru-buru menarik turun gaunnya dan menutupi luka itu kembali. “Terima kasih sudah merawat saya.” Alvaro menatap Elena lama, tetapi kali ini tatapan itu terlihat berbeda. “Lain kali berhati-hatilah.” Melihat Elena mengangguk, Alvaro berdiri dan hendak pergi. Namun, sebelum pria itu benar-benar berdiri, Elena menahan tangan pria itu dan menatap kedua matanya intens. “Tuan..” “Ada apa?” Alvaro menjawab. “Tolong maafkan para pelayan itu. Sayalah yang bersikeras membantu. Jadi, Anda bisa menghukum saya dan saya akan menerimanya,” kata Elena. Tatapan mata penuh tekad itu membuat Alvaro kembali membuat wajahnya sejajar dengan Elena. Lalu, tiba-tiba saja sebuah seringai tersungging di bibir pria itu hingga membuat Elena menyesali perkataannya pada Alvaro. “Apa pun itu?” kata Alvaro dengan penuh penekanan. Alvaro mendekat tanpa memberikan kesempatan Elena untuk menghindar. Dengan cepat tangannya memegang wajahnya, memaksa Elena menatapnya. Sebelum sempat berkata apa-apa, bibir Alvaro menyentuh bibirnya dengan paksa. Ciuman itu sungguh mengejutkan. Elena mencoba melawan dengan mendorong dada Alvaro, tapi pelukan pria itu begitu kuat. Sentuhan itu perlahan berubah, dari kaku menjadi sangat lembut, tetapi tetap mendominasi. Bibir Alvaro bergerak penuh dan memabukkan, membuat Elena kehilangan kendali. Tangannya yang tadi melawan, perlahan terkulai lemas, pasrah. Membuat Alvaro memperdalam ciuman itu, menarik Elena lebih dekat. Hisapan dan tautan dari Alvaro membuat Elena terbuai hingga tanpa sadar berbalik mencengkeram rambut pria itu, menarik kepala Alvaro lebih rendah ke arahnya. Tindakan itu tanpa sadar membangkitkan singa tidur dalam diri Alvaro dan membuat pria itu menggeram. “Kamu yang memancingku, Elena.” Perkataan Alvaro membuat Elena tersentak dan tersadar kalau apa yang dia lakukan salah. Namun, sudah terlambat karena pria itu lebih dulu mengunci pergelangan tangannya dan menindihnya di atas ranjang pria itu. “Tu-tuan!” Elena berteriak dengan panik. Bagaimana bisa dia terbuai dan malah menyerahkan dirinya pada Alvaro?! “Sa-saya tidak bisa melakukannya sekarang! Sedang datang bulan..” “Sebenarnya aku curiga..” Desisan Alvaro membuat tubuh Elena menegang. Belum sempat Elena bertanya lebih lanjut, tubuhnya menggelinjang hebat kala Alvaro telah lebih dulu memegang bokongnya dan menekan bagian intinya. “Kenapa tidak ada yang mengganjal di area ini?”“Kamu tidak menstruasi?” Tatapan Alvaro berubah tidak lagi menatap penuh gairah, tetapi telah berubah menjadi penuh amarah. “Beraninya kamu!!” Dia menarik diri dan menatap langsung ke matanya, memastikan Elena tak punya ruang untuk mengelak. Terlihat jelas bahwa dia sangat membenci kebohongan yang dilakukan wanita di depannya. “T-tuan, saya…” “Diam !” potong Alvaro kencang. “T-tidak, Tuan. Saya hanya…” “Berhenti bicara!” Alvaro meraih kedua bahu Elena dan mencengkeramnya kuat-kuat. “Berani mempermainkanku?” desisnya, setengah mengancam. “Kau lupa siapa aku?!” “Saya tidak berniat mempermainkan Anda, Tuan,” jawab Elena dengan suara gemetar. Namun, Alvaro tidak berhenti. Dalam satu gerakan cepat, ia meraih syal yang tergeletak di kursi. Elena mencoba mundur, tetapi ruangnya terbatas. Sebelum ia sempat bergerak lebih jauh, syal itu sudah melilit pergelangan tangannya. “Tuan, apa yang akan Anda lakukan? lepaskan saya!” jerit Elena, ketakutan.. Dengan satu tar
Elena duduk di tepi ranjangnya, memandang kosong ke arah kaca besar di kamar yang menghadap taman. Bayangan Alvaro dan apa yang telah dia lakukan tadi terus berputar di pikirannya. Tubuhnya menggigil, karena rasa jijik dan takut. Dia selalu menjaga kesuciannya, tetapi pria itu menginjak-injak harga dirinya. Mungkin kedatangannya memang sebagai pelunas hutang, tetapi dia tak berhak bersikap kasar seperti yang dilakukannya tadi. Dia pun sadar jika dirinya salah telah berbohong, tetapi itu kan karena dia terus mengancam kesuciannya. Hingga terpaksa dia harus berbohong. “Aku tidak akan membiarkan ini terus terjadi,” bisiknya dengan penuh tekad. Selama ini Elena sudah terjebak dalam pernikahan tanpa cinta dengan Vincent, yang tak segan menyerahkan dirinya ke pria seperti Alvaro. Jika dia terus terjebak di sini, entah apa yang bisa dilakukan pria itu kepadanya. Mengingat pria itu sangat berkuasa. Elena bergidik. Elena berdiri dan melangkah ke kaca besar itu. Dia memperhatikan pan
Keesokan harinya, Elena terbangun karena suara berisik dari jendela kamarnya. “Sudah bangun?” kata Alvaro yang sudah duduk di samping tempat tidurnya. Elena terkejut, dia langsung menutup tubuhnya dan bergeser menjauh dari pria itu. Alvaro melirik wanita itu, senyum tipis terbit di bibirnya. “Bisakan Anda tidak keluar masuk ke kamarku seenaknya?” protes Elena. Matanya mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi, suara benda dipukul masih terdengar begitu jelas. “Ini rumahku! Ingat?” Suaranya pelan, dengan penekanan di setiap katanya. Seolah ingin mengingatkan posisinya di Mansion ini. Elena beringsut turun dari tempat tidur dan melihat ke arah jendela. Dia melihat beberapa pelayan sedang memasang palang di jendela kamarnya. Elena berusaha membuka jendela itu, tetapi tidak bisa. “Kenapa Anda melakukan ini? Apakah Anda mencoba mengurungku disini?” teriak Elena. Tetapi Alvaro hanya diam, pria itu dengan tenang menyesap cangkir berisi kopi kesukaannya. “Tuan Alvaro,
Netra Elena terbelalak, begitu melihat siapa yang kini berdiri di depannya. Viviana, ibu mertuanya kini menatapnya dengan jijik seolah dirinya barang kotor yang tak seharusnya ada di tempat ini. “Kenapa kamu di sini? Oh aku tahu, kamu pasti sedang menghabiskan uang anakku ya?” “Tidak Bu, aku…” Elena bingung, dia tak tahu harus menjawab apa di depan ibu mertuanya itu. Dia tak mungkin mengatakan jika dia menemani Alvaro. Pasti Viviana akan berpikir macam-macam mengingat temperamennya yang buruk. “Dasar menantu tak tahu diri. Hidup di atas belas kasihan anakku, tapi tidak pernah tahu cara berterima kasih!” Dengan cepat Viviana sudah menjambak rambut Elena, “Pergi dari sini! Pulang!” “Aduh sakit Bu! Lepaskan!” kata Elena, sambil menghentak tangan ibu mertuanya. Elena menggosok rambutnya yang terasa sakit karena jambakan ibu mertuanya. “Beraninya kamu melawan aku! Aku akan bilang ke Vincent, untuk menceraikanmu!” Elena muak sekali dengan ucapan Viviana, Ibu mertuanya
Alvaro turun dari mobil sport-nya dengan langkah santai, begitu membuka pintu rumah besar bergaya klasik itu, suara berat penuh amarah langsung menyambutnya.“Alvaro! Sampai kapan kamu mau jadi bujang lapuk?! Apa kamu menunggu aku mati dulu baru bawa calon istrimu?!”Ayahnya, Don Moretti, berdiri di tengah ruang tamu dengan tangan berkacak pinggang. Wajahnya merah padam.“Ayah, tenanglah, Kau mau memberitahu semua orang?”Pria tua itu berjalan tertatih dengan tongkatnya, disampingnya kepala pelayan setia mendampingi.“Aku bisa sendiri,” katanya pada kepala pelayan, saat ingin membantunya duduk. Kepala pelayan terlihat membungkuk dan kembali ke sudut ruangan. “Tanpa kuberitahu, semua orang sudah tahu! Apa gunanya uangmu itu, jika menikah saja tidak! Apa kamu mau mempermalukan keluarga Moretti? Hah?!” lanjut Tuan Moretti, suaranya menggema seluruh ruangan. Alvaro menghela nafas panjang, berusaha menahan diri. “Ayah, tenang dulu. Aku hanya tidak mau asal pilih wanita. Ini soal masa de
Elena terbangun dari pingsan, dia mengerjapkan mata sesaat sembari mengingat apa yang telah terjadi padanya. Dia mengedarkan pandangan, mendapati dirinya berada di ruangan yang asing, dia bertanya-tanya. “Di mana aku?” tanyanya. Tetapi tak ada seorang pun bersamanya saat ini. Sehingga dia mengubah posisinya. “Au! Sakit,” keluh Elena, sambil memegang bagian belakang kepalanya. Dia melihat sisi kanan dan kirinya. Dia melihat kalender di atas nakas di sampingnya. Netra Elena membulat, saat membaca nama rumah sakit di kalender itu. “Ibu!” serunya. Sejak menjadi tawanan di Mansion Alvaro, dia belum pernah menjenguk ibunya sama sekali. Dia kembali melihat sekitar dengan cemas. Pria itu tak ada disini. Perlahan dia menurunkan kakinya ke lantai. Lalu berjalan ke arah pintu untuk melihat situasi. “Ini kesempatan,” gumamnya. Sebuah senyum terukir di bibirnya. Elena pun membuka pintu dan pergi. Di ruangan lain, Alvaro sedang menemui Dokter yang bertanggung jawab merawat Elena. “T
“Jangan permainkan aku! Jika tidak membantu, kembalikan ponselku.”"Berapa biayanya?" tanya Alvaro tiba-tiba, suaranya tenang namun penuh intimidasi.Elena menatapnya ragu, bibirnya sedikit bergetar. "500 juta," jawabnya lirih, hampir tak terdengar."Aku bisa bantu," katanya santai.Mata Elena membulat. Sesaat dia punya harapan, tapi itu segera hilang saat melihat tatapan pria itu yang penuh arti. Dia tahu, Alvaro tidak mungkin membantu tanpa imbalan."Apa maumu?" tanya Elena, suaranya gemetar namun berusaha tegar.Alvaro menatapnya dengan tajam, lalu berjalan memutar. Dia menghentikan langkah tepat di belakang Elena. "Berhenti melawanku,” bisik pria itu di telinga Elena. “Turuti perintahku, tanpa kecuali!" lanjutnya.Netra Elena bergetar. Menurut pada pria ini, itu berarti menyerahkan dirinya secara sukarela. “Tidak!” jawab Elena, tegas. “Berikan ponsel saya!” Elena menengadahkan tangannya, di depan Alvaro. Alvaro tersenyum sinis lalu kembali ke kursi kebesarannya. Dia membuka laci
Elena berdiri terpaku di tengah ruangan, tangannya gemetar saat meraih resleting gaun yang berada di punggungnya. Tubuhnya kaku, keringat dingin membasahi pelipisnya.Malu, takut, tapi Ini demi nyawa ibunya.Perlahan, dia menurunkan resleting gaunnya. Udara dingin segera menyentuh kulit punggungnya, membuatnya bergidik. Gaun itu mulai melorot dari bahunya, hingga akhirnya jatuh ke lantai, menumpuk di kakinya. Kini tubuhnya hanya tertutup pakaian dalam.Dia pejamkan matanya rapat-rapat, tak sanggup menatap pria yang kini berjalan mendekatinya. Nafasnya terdengar berat, hatinya berdebar kencang. Setiap langkah pria itu terdengar jelas.Dia tahu pria itu sudah berdiri di depannya, hanya berjarak beberapa inci darinya. Tangan Alvaro yang besar dan kuat terulur perlahan, menyentuh pipinya dengan lembut. Elena terkejut, namun tak berani membuka matanya. Dia hanya bisa berdiri di sana, dengan tubuh gemetar karena rasa takut menanti apa yang akan dilakukan Alvaro padanya.Jari-jari Alvaro ya
“Kamu yakin? Tidak takut?”“Aku sudah lama membiarkannya, ini saatnya menunjukkan bahwa tidak semua orang bisa dia injak seenaknya.”Alvaro hanya tersenyum tipis mendengar kalimat yang keluar dari bibir wanita di sampingnya itu. Begitu mobil berhenti di depan gedung perusahaan, Alvaro segera keluar lebih dulu. Dengan langkah tenang, ia membuka pintu untuk Elena, membuat wanita itu menatapnya sesaat.“Keluar,” ucap Alvaro singkat.Elena menghela napas, lalu turun dari mobil. Saat mereka melangkah masuk, Jose dan beberapa pengawal berjalan di belakang mereka.Begitu sampai di lantai tertinggi gedung ini. Sebelum masuk ke ruangan Alvaro. “Jose.”“Ya, Tuan?”“Ajari dia pekerjaanmu.”Jose menatap Elena sekilas sebelum kembali menatap Alvaro, memastikan ia tidak salah dengar. “Maksud Tuan, saya harus mengajarkan pekerjaan saya kepada Nyonya?”Alvaro mengangguk tanpa ragu. “Ya.”Elena mengernyit. “Tunggu, maksudmu aku bekerja dengan Jose?”Alvaro yang semula hendak melangkah ke ruangannya,
Keesokan paginya, Elena terbangun dalam pelukan Alvaro. Pria itu mendekapnya. Karena masih kesal semalam, Elena perlahan beringsut mengubah posisi menjadi membelakangi. Namun, tak disangka Alvaro menyadari gerakannya. Sehingga saat dia berhasil mengubah posisi. Alvaro kembali mendekapnya dari belakang. “Masih marah?” Bisiknya pelan. Elena diam, tak ingin bicara. Alvaro semakin mendekatkan tubuh Elena dalam pelukannya. “Sudah pagi, aku harus pergi.”“Kemana pagi-pagi?”“Bekerja, aku sadar aku cuma wanita simpanan yang bisa kamu buang kapan saja.”Elena hendak bangun, tetapi tubuhnya ditarik kembali oleh Alvaro. “Kita pergi bersama.”“Tidak perlu,” ucap Elena, ketus.Akhirnya Alvaro menyerah, dan membiarkan Elena pergi dari pelukannya. Berdebat dengan wanita itu saat marah tak akan bisa menang. Karena itu, dia memberikan Elena waktu untuk meredakan kemarahannya. Saat melihat Elena masuk ke dalam kamar mandi, Alvaro mengambil ponselnya di atas nakas. “Bagaimana?”“Kami sudah dapat
Pyar!Botol bir di tangannya dihantamkan ke meja kaca, pecahannya berhamburan ke lantai. Wanita-wanita di samping pria itu menjerit kecil dan mundur, sementara para pengawal langsung menodongkan pistol ke arahnya.Alvaro tetap berdiri tegak, menatap pria tua itu dengan mata dingin.Tidak ada yang berani menarik pelatuk lebih dulu.Mereka tahu siapa Alvaro.Pria yang berdiri di depan mereka bukan sekadar seorang pengusaha muda yang sedang naik daun. Dia adalah sosok yang namanya bergema di dunia bisnis. Orang yang tidak akan ragu mengotori tangannya jika diperlukan.Pria tua itu menghela napas panjang, lalu memberikan isyarat dengan satu gerakan tangan. Seketika, para pengawalnya menurunkan pistol mereka, meskipun tatapan mereka masih penuh kewaspadaan."Jadi benar, kau lemah karena wanita itu?"Alvaro mencengkeram kerahnya dan menariknya mendekat."Omong kosong!" suaranya rendah, penuh ancaman. "Aku tak butuh bisnismu."Pria itu mengangkat kedua tangannya ke atas, seolah memberi isya
Delisa menatap layar ponselnya dengan sorot mata penuh kebencian. Foto-foto Alvaro dan Elena dari informan yang disewanya terpampang di atas meja.“Seharusnya aku yang ada di sana… Seharusnya aku yang dia tatap seperti itu…” gumamnya dengan suara bergetar.Tangannya mengepal erat. Sudah cukup lama menahan diri, berharap Alvaro akhirnya melihatnya, memilihnya. Tapi yang terjadi justru sebaliknya—Elena muncul dan merebut tempat yang seharusnya menjadi miliknya.Tidak lagi.Jika Alvaro tidak bisa menjadi miliknya, maka Elena juga tidak boleh memilikinya.Delisa tahu bahwa Alvaro bukan pria yang mudah dipermainkan. Dia tidak bisa langsung menyerang Elena secara fisik, itu terlalu berisiko. Jadi, ia memutuskan untuk menyerang dari sisi lain, yaitu kepercayaan Alvaro.“Dasar wanita jalang, kita lihat apakah Alvaro masih mau denganmu.”Malam itu juga, Delisa menghubungi seorang. “Aku punya pekerjaan untukmu,” katanya dengan nada dingin.Pria di seberang telepon tertawa kecil.“Baik.”***Ha
Elena memutar bola matanya, berusaha mengabaikan cara Alvaro menatapnya. Ia tahu pria itu sedang mencoba menggodanya lagi, dan ia tidak akan membiarkan dirinya terjebak begitu saja.Elena mengernyit. “Al, pinggangku hampir patah karena ulahmu. Tidak lagi, lagi pula lukamu belum sembuh benar. Kamu ingin aku mengganti perbanmu lagi?”Alvaro menarik napas pelan, lalu dengan satu tarikan lembut, ia membuat Elena kembali terduduk di tepi ranjang, tepat di sampingnya. Tatapan matanya yang intens membuat Elena sulit untuk berpaling."Ini salahmu.""Salahku? Bagaimana bisa?"Alvaro mulai meraba bibir Elena lembut, “kamu membuatku candu."Elena menelan ludah, jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Ia ingin marah tetapi entah kenapa dia merasa tersanjung dengan pujian pria itu. Melihat Elena hanya diam, Alvaro tersenyum tipis, lalu mengangkat tangannya untuk menyelipkan helai rambut yang jatuh di wajahnya. “Aku tahu kamu khawatir.”Elena mendesah, akhirnya memalingkan wajahnya. “Kamu
Alvaro menatap Elena dengan intens, seolah mencoba membaca pikirannya. Tatapannya tajam, penuh rasa ingin tahu, tetapi Elena tetap berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang. “Iya, dia mengkhawatirkanmu,” ucapnya santai. “Dia bertanya tentang keadaanmu dan memintaku untuk menjagamu.” “Hanya itu?” tanyanya kembali. Seolah-olah dia tak puas dengan jawaban yang diberikan Elena barusan. Alvaro terdiam sesaat, menatapnya tanpa ekspresi yang jelas. Suasana di antara mereka sedikit canggung, seakan ada sesuatu yang menggantung di udara, tetapi Elena berusaha mengabaikannya. “Beristirahatlah,” katanya akhirnya, bangkit dari tempat tidur. “Aku akan menyiapkan makanan untuk kita.” Namun, sebelum ia bisa melangkah pergi, Alvaro tiba-tiba meraih pergelangan tangannya dan menariknya kembali ke tempat tidur dengan gerakan cepat. Elena tersentak saat mendapati dirinya terduduk di pangkuannya, wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. Hawa panas tubuh Alvaro begitu dekat, membuat jantungnya ber
Alvaro menatap Elena dengan lembut, sesuatu yang jarang terlihat darinya. Walau tubuhnya masih lemah, bibirnya melengkung dalam senyuman tipis.Pria itu menatapnya tanpa berkata-kata. Hening menyelimuti ruangan, hanya suara mesin medis yang berbunyi pelan.Lalu, tiba-tiba, Alvaro mengulurkan tangannya yang lemah ke arah Elena. Jangan pergi dariku."Elena terdiam. Kata-kata Don kembali terngiang di benaknya. "Jika kau benar-benar mencintainya, tinggalkan dia."Tapi, saat menatap Alvaro yang masih menunggunya dengan tatapan serius, dia tahu… dia tidak bisa melakukannya.Perlahan, Elena menggenggam erat tangan Alvaro."Aku…tidak akan pergi," bisiknya.Dia menghela napas panjang sebelum akhirnya berdiri. "Aku akan keluar sebentar," katanya.Alvaro menatapnya sebentar, seolah enggan membiarkannya pergi, tapi akhirnya mengangguk. "Jangan lama-lama."Elena hanya tersenyum kecil sebelum melangkah keluar dari ruangan, menutup pintu di belakangnya dengan pelan.Begitu Elena pergi, Jose masuk ke
Elena membeku di tempat. Jantungnya seakan berhenti berdetak saat matanya bertemu dengan sosok yang berdiri di depan pintu—seorang pria paruh baya dengan tatapan tajam, penuh wibawa.Don.Ayah Alvaro.“Mari kita bicara,” suara Don terdengar dalam dan penuh otoritas.Elena menelan ludah, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Di dalam ruangan, Alvaro masih terbaring lemah. Dia tidak ingin pergi jauh, tapi tatapan Don memberinya isyarat bahwa dia tidak punya pilihan.“Baik,” jawabnya pelan.Don berbalik, melangkah dengan tenang menuju lorong rumah sakit. Elena ragu sejenak sebelum akhirnya mengikuti di belakangnya.Ketika mereka sampai di area yang lebih sepi, Don berhenti dan berbalik menatapnya.“Apa kamu mencintainya?” tanyanya langsung, tanpa basa-basi.Elena mengerjap. Dia bisa merasakan ketegangan yang begitu kuat dari cara pria itu menatapnya."Aku..." Dia menarik napas, mencoba mengumpulkan keberanian.“Jika iya, tinggalkan dia.”Mata Elena terbelalak, hatinya seolah berhenti berd
Bab 68 - Elena tersentak, dia mendengar perintah Alvaro dengan jelas. Tetapi tubuhnya membeku di tempat. Semua terjadi begitu cepat, pria bersenjata lain langsung mengangkat pistol mereka.DOR!Tembakan pertama melesat, nyaris mengenai Alvaro yang dengan cekatan menjadikan tubuh pria yang tadi diserangnya sebagai perisai. Darah muncrat saat peluru menghantam dada pria itu, membuatnya limbung sebelum jatuh tak bernyawa.“Lari!” Alvaro mengulang perintahnya lebih keras, tapi Elena masih terpaku.Salah satu pria menodongkan pistol ke arahnya.DOR!Elena menjerit dan memejamkan mata, namun tubuhnya tetap utuh. Saat membuka mata, yang dilihatnya justru Alvaro—berdiri di depannya, dadanya tertembus peluru.Tubuh Alvaro tersentak ke belakang, nafasnya tercekat. Darah dengan cepat merembes dari luka di dada kirinya, mengalir membasahi kemeja yang dikenakannya.Elena menjerit, “ALVARO!”Tatapannya nanar saat melihat tubuh pria itu melemah. Alvaro masih berdiri, tapi lututnya tampak goyah. Tan