Elena kemudian memilih untuk duduk di sofa sambil membaca majalah di atas meja. Terbiasa melayani Vincent dan melakukan semua pekerjaan sendiri, membuatnya merasa bosan.
“Ini teh untuk anda,” kata seorang pelan yang datang menyodorkan secangkir teh. Mendengar itu, Elena pun mengangguk mengerti dan berterima kasih. “Tuan Alvaro belum pernah sama sekali membawa wanita ke rumah ini. Anda tentu wanita spesial untuk Tuan.” Elena menatap pelayan itu bingung. Kata ‘spesial’ mungkin kurang tepat untuk menggambarkan kondisinya saat ini. Karena dirinya di rumah ini hanyalah seorang tawanan Alvaro yang dipersiapkan untuk menjadi pemuas hasrat pria itu. Namun, belum sempat Elena menjawab, seorang pelayan lain tiba-tiba datang dari belakang dan melapor dengan wajah pucat. “Ada masalah di belakang.” “Coba selesaikan sendiri, karena aku harus mengirim teh ini ke ruang kerja Tuan Alvaro.” Jawab pelayan yang berada di depan Elena dengan bingung. Tatapannya lantas tertuju pada nampan dan dapur secara bergantian. Melihat itu, Elena berinisiatif untuk membantu. “Kamu urus saja masalahnya. Masalah teh, biar saya yang mengantarkannya.” Perkataan Elena membuat pelayan itu terkejut. “Jangan, Nyonya! Tuan Alvaro pasti akan sangat marah jika kami membiarkan Nyonya bekerja.” “Tidak apa-apa. Saya akan mengantar teh ini dulu sebelum membantu hal yang lain.” lanjut pelayan itu lagi. “Tidak masalah! Sungguh. Ini bukan bekerja, tapi membantu. Lagipula, masalahnya terlihat mendesak.” jawab Elena lagi, berusaha untuk meyakinkan. “Jika terjadi apa-apa, biar saya yang menjelaskannya pada Tuan Alvaro.” Mendengar itu, kedua pelayan itu saling berpandangan sebelum kemudian menyerahkan nampan berisi teh dan teko itu ke tangan Elena. “Terima kasih, Nyonya. Ruang kerja Tuan ada di lorong sebelah kiri kamar Anda.” Elena mengangguk sambil mengambil nampan dari pelayan itu dan mulai melangkah pergi ke arah yang dituju. Elena berjalan dengan hati-hati dan memastikan kalau dia tak salah masuk ruangan. Sebab, dia tak mau membuat Alvaro marah lagi. Elena menghela napas lega begitu melihat pintu yang dikatakan oleh pelayan tadi. Namun, belum sempat tangannya mengetuk pintu, suara kemarahan Alvaro telah membuatnya berhenti bergerak. “Bunuh saja pembohong itu!” Nampan di tangan Elena bergetar seketika, rasa takut membuatnya mundur dua langkah. Hingga membuat keseimbangannya tak terjaga. PYAR! “Akh!! Kaki Elena bergetar kesakitan saat teko berisi teh panas mendidih itu pecah dan mengenai kakinya. Tubuh Elena semakin bergetar karena tak lama kemudian, dia melihat Alvaro keluar dari ruang kerja dengan wajah dingin dan emosi yang terlihat jelas di wajahnya. Mata elang pria itu langsung membidik tajam ke Elena. “Apa yang kamu lakukan di sini?!” “T-tuan, saya ingin mengantar teh..” Mata Alvaro semakin menajam dan sedetik kemudian, suara bariton pria itu menggema di seluruh ruangan. Memanggil seluruh pelayan yang ada di rumah itu. Kurang dari satu menit, semua pelayan langsung datang dan berbaris di depan mereka sambil menunduk. Di sisi lain, Elena yang melihat adegan itu merasa sangat ketakutan. Apalagi ditambah dengan rasa sakit di kakinya. “Siapa yang membiarkan Elena membawa nampan teh? Apa kalian sudah bosan hidup?!” Alvaro berteriak marah. Melihat itu, tak ada seorang pelayan pun yang menjawab. Alih-alih bersuara, mereka menunduk dalam dengan wajah pucat. Setelah beberapa detik, salah seorang pelayan maju ke depan dan berlutut sambil berkata dengan suara gemetar. “Saya, Tuan! Tolong ampuni saya karena telah bersikap lalai!” Mendengar itu, wajah Alvaro semakin menggelap. Tanpa menunggu waktu lama, dia berteriak memanggil nama seseorang yang pernah Elena dengar. “Jose!” Segera setelah itu, seorang pria bertubuh tinggi datang dengan eskpresi tenang. Elena menebaknya sebagai tangan kanan Alvaro, karena hanya pria itu yang berani memandang wajah Alvaro tanpa perlu menunduk ketakutan. “Ada apa, Tuan?” Jose bertanya. Apalagi setelah melihat semua pelayan berbaris rapi dan sosok Elena yang berbaring di atas sofa. “Pecat mereka semua!” Elena merasa terkejut setengah mati. Sebab, dia sama sekali tak menyangka kalau Alvaro akan memecat mereka hanya karena ia menumpahkan seteko teh. Setelah perintah itu diturunkan, hampir semua pelayan di hadapan Alvaro menunjukkan ekspresi tercengang. Beberapa bahkan sudah jatuh terduduk dengan wajah berurai air mata, termasuk pelayan yang membiarkan Elena membawa nampan. Wanita itu sudah duduk lemas dengan mata membelalak. “Tolong jangan pecat mereka, Tuan!” Tanpa sadar, Elena bangun dan menggenggam tangan Alvaro untuk memohon. “Saya lah yang akh–! Menawarkan diri untuk membantu. Pelayan itu sama sekali tak bersalah!” Ringisan itu, Alvaro memicingkan matanya dan kembali melihat ke arah kaki Elena. Sedetik kemudian, di hadapan semua orang tubuh Elena sudah lebih dulu diangkat ala bridal style oleh Alvaro. Pria itu dengan kuat membopongnya ke kasur kamar pria itu dan membaringkannya di sana. Tatapan Alvaro mengeras saat melihat beberapa bagian dari kaki Elena memerah dan mulai melepuh. “Tunggu di sini dan jangan melakukan apa pun!” Pria itu lantas keluar dari ruangan dan kembali dengan sebuah kotak P3K. Kemudian, dengan hati-hati pria itu mengangkat kaki Elena dan melihat lebih rinci bagian-bagian mana saja yang melepuh. “Tahan rasa sakitnya.” Elena mengangguk dan mencengkram bantal sofa lebih kencang. Sebab, sedetik kemudian, Alvaro telah mengoleskan salep khusus luka bakar di kakinya. Seolah sudah biasa, pria itu mengoles dengan lembut dan dalam arah yang sama. Bahkan, mata Alvaro sama sekali tak lepas dari luka-luka Elena hingga membuat wanita itu terpaku. Perilaku ini sangat mengejutkan, terutama bagi Elena yang kenyang mendengar berita tentang betapa kejamnya Alvaro di dunia hitam. Bagaimana bisa, pria yang terkenal bertangan dingin, kejam dan tak kenal ampun itu bersimpuh di depannya untuk mengoles obat untuknya? Tanpa sadar, Elena membandingkan perilaku Alvaro dengan Vincent yang jauh berbeda. Jangankan merawat luka Elena yang terkena air panas, saat tangannya patah pun Vincent tak sekali pun memberi perhatian. Pria itu malah sibuk mengurus bisnis investasinya yang berujung merugi dan menjualnya ke pria lain. Daripada mengobati, selama ini Vincent lebih sering memberi Elena luka, tanpa peduli bagaimana rasa sakitnya, apalagi mengobati luka itu. Sesaat, Elena menatap pria itu dengan perasaan tersentuh. Setelah semua area yang terluka telah diberikan salep, Alvaro kembali meletakkan kaki Elena. Namun, gerakan itu malah menyingkap luka lain yang tercetak di paha Elena. “Luka apa ini?” “Ah! Bukan apa-apa, Tuan.” Elena buru-buru menarik turun gaunnya dan menutupi luka itu kembali. “Terima kasih sudah merawat saya.” Alvaro menatap Elena lama, tetapi kali ini tatapan itu terlihat berbeda. “Lain kali berhati-hatilah.” Melihat Elena mengangguk, Alvaro berdiri dan hendak pergi. Namun, sebelum pria itu benar-benar berdiri, Elena menahan tangan pria itu dan menatap kedua matanya intens. “Tuan..” “Ada apa?” Alvaro menjawab. “Tolong maafkan para pelayan itu. Sayalah yang bersikeras membantu. Jadi, Anda bisa menghukum saya dan saya akan menerimanya,” kata Elena. Tatapan mata penuh tekad itu membuat Alvaro kembali membuat wajahnya sejajar dengan Elena. Lalu, tiba-tiba saja sebuah seringai tersungging di bibir pria itu hingga membuat Elena menyesali perkataannya pada Alvaro. “Apa pun itu?” kata Alvaro dengan penuh penekanan. Alvaro mendekat tanpa memberikan kesempatan Elena untuk menghindar. Dengan cepat tangannya memegang wajahnya, memaksa Elena menatapnya. Sebelum sempat berkata apa-apa, bibir Alvaro menyentuh bibirnya dengan paksa. Ciuman itu sungguh mengejutkan. Elena mencoba melawan dengan mendorong dada Alvaro, tapi pelukan pria itu begitu kuat. Sentuhan itu perlahan berubah, dari kaku menjadi sangat lembut, tetapi tetap mendominasi. Bibir Alvaro bergerak penuh dan memabukkan, membuat Elena kehilangan kendali. Tangannya yang tadi melawan, perlahan terkulai lemas, pasrah. Membuat Alvaro memperdalam ciuman itu, menarik Elena lebih dekat. Hisapan dan tautan dari Alvaro membuat Elena terbuai hingga tanpa sadar berbalik mencengkeram rambut pria itu, menarik kepala Alvaro lebih rendah ke arahnya. Tindakan itu tanpa sadar membangkitkan singa tidur dalam diri Alvaro dan membuat pria itu menggeram. “Kamu yang memancingku, Elena.” Perkataan Alvaro membuat Elena tersentak dan tersadar kalau apa yang dia lakukan salah. Namun, sudah terlambat karena pria itu lebih dulu mengunci pergelangan tangannya dan menindihnya di atas ranjang pria itu. “Tu-tuan!” Elena berteriak dengan panik. Bagaimana bisa dia terbuai dan malah menyerahkan dirinya pada Alvaro?! “Sa-saya tidak bisa melakukannya sekarang! Sedang datang bulan..” “Sebenarnya aku curiga..” Desisan Alvaro membuat tubuh Elena menegang. Belum sempat Elena bertanya lebih lanjut, tubuhnya menggelinjang hebat kala Alvaro telah lebih dulu memegang bokongnya dan menekan bagian intinya. “Kenapa tidak ada yang mengganjal di area ini?”“Kamu tidak menstruasi?” Tatapan Alvaro berubah tidak lagi menatap penuh gairah, tetapi telah berubah menjadi penuh amarah. “Beraninya kamu!!” Dia menarik diri dan menatap langsung ke matanya, memastikan Elena tak punya ruang untuk mengelak. Terlihat jelas bahwa dia sangat membenci kebohongan yang dilakukan wanita di depannya. “T-tuan, saya…” “Diam !” potong Alvaro kencang. “T-tidak, Tuan. Saya hanya…” “Berhenti bicara!” Alvaro meraih kedua bahu Elena dan mencengkeramnya kuat-kuat. “Berani mempermainkanku?” desisnya, setengah mengancam. “Kau lupa siapa aku?!” “Saya tidak berniat mempermainkan Anda, Tuan,” jawab Elena dengan suara gemetar. Namun, Alvaro tidak berhenti. Dalam satu gerakan cepat, ia meraih syal yang tergeletak di kursi. Elena mencoba mundur, tetapi ruangnya terbatas. Sebelum ia sempat bergerak lebih jauh, syal itu sudah melilit pergelangan tangannya. “Tuan, apa yang akan Anda lakukan? lepaskan saya!” jerit Elena, ketakutan.. Dengan satu tar
Elena duduk di tepi ranjangnya, memandang kosong ke arah kaca besar di kamar yang menghadap taman. Bayangan Alvaro dan apa yang telah dia lakukan tadi terus berputar di pikirannya. Tubuhnya menggigil, karena rasa jijik dan takut. Dia selalu menjaga kesuciannya, tetapi pria itu menginjak-injak harga dirinya. Mungkin kedatangannya memang sebagai pelunas hutang, tetapi dia tak berhak bersikap kasar seperti yang dilakukannya tadi. Dia pun sadar jika dirinya salah telah berbohong, tetapi itu kan karena dia terus mengancam kesuciannya. Hingga terpaksa dia harus berbohong. “Aku tidak akan membiarkan ini terus terjadi,” bisiknya dengan penuh tekad. Selama ini Elena sudah terjebak dalam pernikahan tanpa cinta dengan Vincent, yang tak segan menyerahkan dirinya ke pria seperti Alvaro. Jika dia terus terjebak di sini, entah apa yang bisa dilakukan pria itu kepadanya. Mengingat pria itu sangat berkuasa. Elena bergidik. Elena berdiri dan melangkah ke kaca besar itu. Dia memperhatikan pan
Keesokan harinya, Elena terbangun karena suara berisik dari jendela kamarnya. “Sudah bangun?” kata Alvaro yang sudah duduk di samping tempat tidurnya. Elena terkejut, dia langsung menutup tubuhnya dan bergeser menjauh dari pria itu. Alvaro melirik wanita itu, senyum tipis terbit di bibirnya. “Bisakan Anda tidak keluar masuk ke kamarku seenaknya?” protes Elena. Matanya mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi, suara benda dipukul masih terdengar begitu jelas. “Ini rumahku! Ingat?” Suaranya pelan, dengan penekanan di setiap katanya. Seolah ingin mengingatkan posisinya di Mansion ini. Elena beringsut turun dari tempat tidur dan melihat ke arah jendela. Dia melihat beberapa pelayan sedang memasang palang di jendela kamarnya. Elena berusaha membuka jendela itu, tetapi tidak bisa. “Kenapa Anda melakukan ini? Apakah Anda mencoba mengurungku disini?” teriak Elena. Tetapi Alvaro hanya diam, pria itu dengan tenang menyesap cangkir berisi kopi kesukaannya. “Tuan Alvaro,
Netra Elena terbelalak, begitu melihat siapa yang kini berdiri di depannya. Viviana, ibu mertuanya kini menatapnya dengan jijik seolah dirinya barang kotor yang tak seharusnya ada di tempat ini. “Kenapa kamu di sini? Oh aku tahu, kamu pasti sedang menghabiskan uang anakku ya?” “Tidak Bu, aku…” Elena bingung, dia tak tahu harus menjawab apa di depan ibu mertuanya itu. Dia tak mungkin mengatakan jika dia menemani Alvaro. Pasti Viviana akan berpikir macam-macam mengingat temperamennya yang buruk. “Dasar menantu tak tahu diri. Hidup di atas belas kasihan anakku, tapi tidak pernah tahu cara berterima kasih!” Dengan cepat Viviana sudah menjambak rambut Elena, “Pergi dari sini! Pulang!” “Aduh sakit Bu! Lepaskan!” kata Elena, sambil menghentak tangan ibu mertuanya. Elena menggosok rambutnya yang terasa sakit karena jambakan ibu mertuanya. “Beraninya kamu melawan aku! Aku akan bilang ke Vincent, untuk menceraikanmu!” Elena muak sekali dengan ucapan Viviana, Ibu mertuanya
Alvaro turun dari mobil sport-nya dengan langkah santai, begitu membuka pintu rumah besar bergaya klasik itu, suara berat penuh amarah langsung menyambutnya.“Alvaro! Sampai kapan kamu mau jadi bujang lapuk?! Apa kamu menunggu aku mati dulu baru bawa calon istrimu?!”Ayahnya, Don Moretti, berdiri di tengah ruang tamu dengan tangan berkacak pinggang. Wajahnya merah padam.“Ayah, tenanglah, Kau mau memberitahu semua orang?”Pria tua itu berjalan tertatih dengan tongkatnya, disampingnya kepala pelayan setia mendampingi.“Aku bisa sendiri,” katanya pada kepala pelayan, saat ingin membantunya duduk. Kepala pelayan terlihat membungkuk dan kembali ke sudut ruangan. “Tanpa kuberitahu, semua orang sudah tahu! Apa gunanya uangmu itu, jika menikah saja tidak! Apa kamu mau mempermalukan keluarga Moretti? Hah?!” lanjut Tuan Moretti, suaranya menggema seluruh ruangan. Alvaro menghela nafas panjang, berusaha menahan diri. “Ayah, tenang dulu. Aku hanya tidak mau asal pilih wanita. Ini soal masa de
Elena terbangun dari pingsan, dia mengerjapkan mata sesaat sembari mengingat apa yang telah terjadi padanya. Dia mengedarkan pandangan, mendapati dirinya berada di ruangan yang asing, dia bertanya-tanya. “Di mana aku?” tanyanya. Tetapi tak ada seorang pun bersamanya saat ini. Sehingga dia mengubah posisinya. “Au! Sakit,” keluh Elena, sambil memegang bagian belakang kepalanya. Dia melihat sisi kanan dan kirinya. Dia melihat kalender di atas nakas di sampingnya. Netra Elena membulat, saat membaca nama rumah sakit di kalender itu. “Ibu!” serunya. Sejak menjadi tawanan di Mansion Alvaro, dia belum pernah menjenguk ibunya sama sekali. Dia kembali melihat sekitar dengan cemas. Pria itu tak ada disini. Perlahan dia menurunkan kakinya ke lantai. Lalu berjalan ke arah pintu untuk melihat situasi. “Ini kesempatan,” gumamnya. Sebuah senyum terukir di bibirnya. Elena pun membuka pintu dan pergi. Di ruangan lain, Alvaro sedang menemui Dokter yang bertanggung jawab merawat Elena. “T
“Jangan permainkan aku! Jika tidak membantu, kembalikan ponselku.”"Berapa biayanya?" tanya Alvaro tiba-tiba, suaranya tenang namun penuh intimidasi.Elena menatapnya ragu, bibirnya sedikit bergetar. "500 juta," jawabnya lirih, hampir tak terdengar."Aku bisa bantu," katanya santai.Mata Elena membulat. Sesaat dia punya harapan, tapi itu segera hilang saat melihat tatapan pria itu yang penuh arti. Dia tahu, Alvaro tidak mungkin membantu tanpa imbalan."Apa maumu?" tanya Elena, suaranya gemetar namun berusaha tegar.Alvaro menatapnya dengan tajam, lalu berjalan memutar. Dia menghentikan langkah tepat di belakang Elena. "Berhenti melawanku,” bisik pria itu di telinga Elena. “Turuti perintahku, tanpa kecuali!" lanjutnya.Netra Elena bergetar. Menurut pada pria ini, itu berarti menyerahkan dirinya secara sukarela. “Tidak!” jawab Elena, tegas. “Berikan ponsel saya!” Elena menengadahkan tangannya, di depan Alvaro. Alvaro tersenyum sinis lalu kembali ke kursi kebesarannya. Dia membuka laci
Elena berdiri terpaku di tengah ruangan, tangannya gemetar saat meraih resleting gaun yang berada di punggungnya. Tubuhnya kaku, keringat dingin membasahi pelipisnya.Malu, takut, tapi Ini demi nyawa ibunya.Perlahan, dia menurunkan resleting gaunnya. Udara dingin segera menyentuh kulit punggungnya, membuatnya bergidik. Gaun itu mulai melorot dari bahunya, hingga akhirnya jatuh ke lantai, menumpuk di kakinya. Kini tubuhnya hanya tertutup pakaian dalam.Dia pejamkan matanya rapat-rapat, tak sanggup menatap pria yang kini berjalan mendekatinya. Nafasnya terdengar berat, hatinya berdebar kencang. Setiap langkah pria itu terdengar jelas.Dia tahu pria itu sudah berdiri di depannya, hanya berjarak beberapa inci darinya. Tangan Alvaro yang besar dan kuat terulur perlahan, menyentuh pipinya dengan lembut. Elena terkejut, namun tak berani membuka matanya. Dia hanya bisa berdiri di sana, dengan tubuh gemetar karena rasa takut menanti apa yang akan dilakukan Alvaro padanya.Jari-jari Alvaro ya
“Apa? Tidak mungkin!” sanggah Alvaro. Dalam beberapa bulan terakhir ini, hanya Elena wanita yang dia sentuh. Bagaimana bisa Delisa hamil. Alvaro memejamkan mata, mencoba mengingat siapa saja wanita yang dekat dengannya. Tetapi tak ada dalam ingatannya dia pernah menyentuh Delisa sekalipun. Yang ada, wanita itu yang agresif mendekatinya tetapi selalu berhasil dia gagalkan. “Jangan berkelit lagi, nikahi Delisa.” Alvaro tertawa sinis, “sampai kapanpun, tidak!” Alvaro masih teguh dengan pendiriannya. Terlebih lagi dia tidak pernah merasa menyentuh Delisa. Jelas ada sesuatu yang tidak beres. Wanita itu pasti ingin menjebaknya. “Beraninya dia,” gumamnya. “Kepala pelayan, tunjukkan video itu.” Kepala pelayan mengambil sebuah ponsel di atas meja dan kemudian mendekat ke Alvaro. Lalu dia memberikan ponsel itu pada Alvaro. Garis bibir Alvaro tertarik ke dalam. Sekarang dia benar-benar merasa yakin bahwa ini salah satu akal bulus Delisa untuk menjebaknya. “Video ini sudah di edit.” “Apakah
“Apa isi dokumen itu?” kata Kakek. Pria tua itu berdiri, dan menarik dokumen dari tangan Vincent. Elena sendiri hanya bisa menatap kedua orang yang sedang saling berebut dokumen itu. Sesaat wanita itu melirik Alvaro yang sedang menahan senyum di sampingnya. “Kira-kira apa isi dokumen itu?” batin Elena.“Lepaskan Vincent!” teriak Kakek. Tangannya menarik paksa dokumen dari tangan Vincent, terlihat jelas bahwa Vincent sangat tidak ingin Kakek mengetahui isi dokumen itu. Begitu Kakek melihat dokumen yang ada di map itu, dia seperti terpukul. Dia mundur satu langkah, dan terduduk lemas. “Vincent beraninya kau! Kau membohongiku selama ini?” Wajah Kakek sudah merah karena amarah. “Ampun Kek, ini semua bohong. Ini hanya rekayasa bajingan ini.”Vincent masih saja berkelit, dan tidak mengakui kesalahannya. “Maaf Kek, bisa saya lihat dokumen itu?” tanya Elena, penasaran. Bagaimanapun juga ini berhubungan dengan hidupnya. Dia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Kau tidak tahu tent
Keesokan paginya, Elena sudah di dapur. Dia memang sengaja bangun lebih dulu karena dia ingin menyiapkan sarapan untuk dirinya dan Alvaro. Berbeda dengan di Mansion, di Penthouse ini tidak ada satu pun pelayan. Tetapi, entah kenapa Elena merasa senang di sini. Di Mansion dia merasa seperti tahanan. Elena memasak dengan sesekali bergumam lagu kesukaannya. Sampai kemudian…“Ah!” pekik Elena, kaget. Saat Alvaro memeluknya dari belakang. Kepalanya menyusup di leher Elena. “Kau membuatku kaget, untung aku tidak memukulmu pakai ini.”Elena mengangkat alat untuk menggoreng ke atas. Tetapi sepertinya ucapannya tak berpengaruh pada pria ini. Alvaro memutar tubuh Elena menghadapnya, lalu menatapnya dengan kedua tangan mengukung tubuh wanita itu. “Kenapa tak membangunkanku?” tanya Alvaro, wajahnya menunjukkan rasa tidak suka. Alvaro mengubah posisi kepalanya yang semula miring ke kiri jadi ke kanan. Seolah menuntut penjelasan atas pertanyaannya itu. Tetapi tatapannya masih intens ke Elena.
Bug! Pukulan demi pukulan diberikan Alvaro pada Vincent. Hingga pria itu tak sempat berdiri. Pria itu terlihat begitu marah. Kini Alvaro sudah diatas tubuh Vincent, bersiap untuk memberikan bogem mentah kembali. Vincent sudah terkapar tak berdaya di lantai, wajahnya babak belur.Elena berusaha bangkit, meskipun dia sangat membenci Vincent, dia tak mau melihat siapapun mati karenanya. Elena menahan tangan Alvaro.“Hentikan,” kata Elena, sembari menggelengkan kepalanya.Alvaro menoleh, melihat Elena yang terlihat lemas. Dia berdiri, lalu menatap Elena dengan cemas.“Bagaimana keadaanmu?” tanya Alvaro. Kedua tangannya dan netranya melihat seluruh tubuh Elena. Seolah memastikan bahwa wanita itu baik-baik saja.Elena mengangguk. “Aku ingin pulang,” kata Elena, suaranya lemah. “Jose bereskan sisanya.”“Baik Tuan.”Alvaro segera mengangkat tubuh Elena ala bridal style dan membawanya ke mobil. Dia perlahan menurunkan Elena ke jok penumpang. Lalu duduk di sebelahnya. Dia mengambil kotak obat
Tetapi Elena memikirkan ancaman Vincent, meskipun sekarang ibunya dalam penjagaan anak buah Alvaro. Tetapi, Vincent orang yang licik. Dia bisa saja melakukan apapun untuk menyakiti ibunya. Tangan Elena terkepal. “Aku harus menemuinya, dan mengetahui apa maunya.”Elena melihat sekitarnya, Alvaro sudah pergi beberapa saat yang lalu. Bagaimana jika Vincent memaksanya ikut dengannya. Elena segera bangkit. Dia menuju dapur, dia mencari sesuatu yang bisa digunakan sebagai pelindung. “Sepertinya ini cukup,” kata Elena, tangannya menggenggam pisau dapur kecil. Lalu dia kembali ke kamar dan menyimpan pisau itu di tasnya. Dia membawa tas itu bersamanya, dan pergi keluar untuk menemui Vincent. Tidak perlu waktu lama, Elena sudah sampai di alamat yang diberikan Vincent padanya. Di depannya sebuah rumah makan mewah yang tidak jauh dari kawasan Penthouse Alvaro. Elena tetap waspada, dia kenal betul watak suaminya itu. Elena masuk ke rumah makan itu, dia melihat sekitar. Hanya ada beberapa tam
“Aku harus berpisah dulu, untuk itu,” batin Elena. Tetapi dia tak ingin memprovokasi pria disebelahnya. Karena itu, dia memilih diam. Selain itu, bayangan wajah Don yang terlihat sangat marah terus menghantui benaknya. Pria tua itu jelas kecewa setelah Alvaro menolak permintaannya untuk menikahi Delisa. Sejak meninggalkan rumah Don, Elena tak banyak bicara, bahkan setelah mereka sampai di gedung penthouse Alvaro. Alvaro, yang sejak tadi memperhatikan Elena, akhirnya tak tahan untuk bertanya. "Ada yang mengganggumu?" suaranya dalam, penuh ketertarikan. Elena tersentak saat merasakan sentuhan hangat di pundaknya. Dia menoleh, menatap pria itu dengan ragu. "Aku hanya kepikiran dengan ayahmu... apakah sikap kita tadi tidak membuatnya semakin sakit?" Alvaro menarik sudut bibirnya ke dalam, lalu memegang kedua pundak Elena dengan lembut. "Tenanglah, dia pasti baik-baik saja," katanya, seolah ingin menghapus keraguan dari mata Elena. "Syukurlah kalau begitu," gumam Elena pelan. Mereka
Elena melihat kontrak perjanjian yang ditawarkan Alvaro saat di Penthouse tadi. Tetapi hatinya masih sedikit ragu, dia mungkin akan bisa lepas dari genggaman Vincent tapi hidupnya akan terikat dengan pria di depannya sekarang entah sampai kapan. “Tanda tangani, dia tak akan mengganggumu lagi.” Nada bicara Alvaro terdengar memaksa, tetapi juga sangat serius. “Tapi…haruskah aku?” Elena mencoba mengatakan sesuatu tetapi sebelum dia menyelesaikan bicaranya, Alvaro berbicara. “Menikah denganku, sebagai imbalannya.” Kepala Alvaro mengangguk, seolah mengerti apa yang akan dia bicarakan. Elena terdiam, menatap kontrak di tangannya. Dia memikirkan segala yang mungkin bisa terjadi. Alvaro terlihat menghela napas, lalu berkata dengan nada dingin. “Aku pilihan terbaikmu.” Elena mengangkat wajahnya, menatap pria itu. “Kenapa kau begitu yakin?” Alvaro mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, menatap Elena tanpa ragu. “Aku bisa melindungimu dari Vincent.” Elena terdiam, merem
Elena menegang saat melihat layar ponselnya. Video call dari Vincent membuat nafasnya tercekat, tetapi yang benar-benar membuat darahnya membeku adalah pemandangan di balik layar. Vincent berdiri di kamar rumah sakit ibunya, jari-jarinya dengan santai menyentuh alat bantu pernapasan yang menopang hidup wanita itu. “Apa yang kau lakukan?!” suara Elena bergetar, panik. Vincent hanya menyeringai. "Kau tahu, Elena, aku bisa membuat semuanya berakhir sekarang juga," katanya santai, sementara jemarinya melayang di atas alat bantu itu, seolah siap mencabutnya kapan saja. Elena hendak berteriak, tetapi panggilan itu tiba-tiba terputus. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Ia melompat dari tempat duduknya dengan napas terengah-engah. "Aku harus pergi!" Alvaro yang duduk di sofa, menatapnya tajam. "Ada apa?" “Vincent—dia—dia mengancam akan membunuh ibuku sekarang!” suara Elena nyaris putus asa. "Aku harus ke rumah sakit!" Tanpa banyak bertanya lagi, Alvaro berdiri. "Aku antar." Mereka be
Siapa yang tidak kenal dengan kawasan elite di pusat kota ini. Kawasan bisnis di jantung kota yang letaknya sangat strategis, dekat dengan rumah sakit, perusahaan besar dan hunian prestige yang mewah. Dulu Elena ingin sekali tinggal di salah satu apartemen kawasan ini, karena dia tidak perlu jauh dari ibunya yang sedang dirawat di rumah sakit. Tetapi Vincent selalu menolak, bukan dengan alasan harga apartemen yang mahal. Tetapi lebih karena Vincent menganggap Elena tak pantas tinggal di sana. Tetapi hari ini dia bahkan menginjakkan kakinya di penthouse termahal di gedung ini karena Alvaro. Hal ini membuat Elena semakin menyadari kebodohannya selama ini. Karena selalu tulis melayani Vincent dengan harapan pria itu akan menganggapnya sebagai seorang istri. Tetapi ternyata, bagi Vincent, dia tak lebih dari barang dagangan yang bisa dilempar kesana kemari. Karena itu, tekadnya semakin bulat untuk berpisah dengan bajingan itu. “Silakan Nyonya Elena,” kata Jose. Elena tersadar dari lam