"Apakah tidak ada keringanan?! Aku pasti akan segera melunasinya!"
“Halo?! Fuck! Damn it!!” BRAK!! Teriakan Vincent dan suara keramik pecah membuat Elena berdiri dengan gelisah di depan pintu ruang kerja suaminya. Di tangannya ada nampan berisi secangkir teh yang masih mengepul, tapi dia ragu-ragu untuk masuk. Sebab, setelah beberapa kali dipanggil, pria itu tak kunjung memperbolehkannya masuk ataupun membukakan pintu. ‘Apa terjadi sesuatu?’ pikir Elena. Belakangan waktu ini, suaminya memang terlihat menyimpan masalah besar karena sikapnya yang tidak tenang. Elena tak tahu kenapa, karena Vincent sama sekali tak pernah mengajaknya berdiskusi. Tepatnya, semenjak menikah dengan pria itu, Vincent sama sekali tak pernah mengajaknya bicara lebih dari beberapa kata. Kali ini suara lemparan kursi terdengar hingga membuat Elena menggigit bibirnya pelan. "Vincent?" panggil wanita itu lagi. Lagi-lagi tidak ada jawaban dari Vincent. Oleh karena itu, Elena pun memberanikan diri untuk membuka pintu dan menyembulkan wajahnya ke dalam ruangan. Mata Elena membelalak karena kini ruangan yang biasanya rapi dan berdesain aristokrat itu kini tak ubahnya seperti kapal pecah. Tanpa berpikir panjang, Elena berlari masuk untuk menghampiri Vincent yang kini berdiri di depan jendela dengan tangan mengeluarkan darah. “Vincent?! Apa yang terjadi?!!” Sebelum Elena sempat masuk lebih jauh, Vincent sudah lebih dulu berbalik dan menatapnya dengan penuh amarah. “Siapa yang mengizinkan kamu masuk, sialan?!” Elena berhenti berjalan. "Maaf… Aku hanya ingin memberikanmu teh...” Vincent melirik sekilas ke arah teh itu sebelum menghujani Elena dengan tatapan membunuh. "Apa gunanya tehmu itu kalau tidak bisa menyelesaikan masalahku, hah?!" Elena terkejut, tapi kemudian dia memberanikan diri untuk menyodorkan teh itu kepada Vincent. "I–ini teh Chamomile. Seharusnya bisa membuatmu berpikir lebih jernih, karena kamu- AKH!!" Belum sempat Elena menyelesaikan ucapannya, Vincent telah lebih dulu menepis kasar tangan wanita itu hingga tersiram teh panas. “Aku tidak butuh!!” Rasa perih yang diterima oleh Elena membuat air mata mulai menuruni pipi, terlebih ketika perlahan kaki putihnya memerah dan mulai menunjukkan reaksi terbakar. Meski begitu, Elena buru-buru menghapus air mata itu dan berbalik. “Kalau begitu aku akan membuatkanmu kopi–” “Diam di situ!” Langkah Elena berhenti. Saat kembali menghadap Vincent, Elena melihat pria itu yang kini tengah memandang ponselnya dengan seringai lebar. Vincent lantas menarik tangan Elena mendekat dan memindai tubuh wanita itu dari atas ke bawah secara berulang. “Daripada kopi, akan sangat menyenangkan kalau kamu bisa melakukan sesuatu untukku, Elena.” Elena terdiam dan perasaannya mendadak merasa tidak enak. “Apa maksudmu?” “Gunakan tubuhmu dan puaskan Alvaro, karena pria itu menginginkanmu. Dengan begitu hutangku akan lunas.” Elena tertohok dan kini air mata kembali meluncur turun dari pipinya. Dia tak menyangka jika Vincent akan tega menjual dirinya. “Kamu gila!!” Elena mundur dua langkah. “Gila?” Vincent terkekeh sinis. “Tidak tahu diri. Bukankah sejak awal kamu dan keluargamu sudah menghisap banyak uangku?” Jawaban Vincent membuat Elena terdiam di tempat. “Lalu, apa kamu lupa kalau ibumu yang sekarat itu sedang bergantung pada kerendahan hatiku?” lanjut Vincent lagi yang berhasil membuat Elena tersengal. Sosok ibunya yang kini terbaring dengan berbagai macam alat kehidupan membuat Elena jatuh terduduk. Pria itu benar. Nyawa ibunya memang berada di tangan Vincent. Kini Elena merasa dirinya semakin terjebak dan perasaannya semakin sesak sementara dirinya sama sekali tak punya kuasa untuk melepaskan diri. “T-tapi, aku ini istrimu, Vincent!" Elena berseru dengan lirih. “Kumohon jangan perlakukan aku seperti ini..” “Jangan tidak tahu diri, Elena!! Sejak awal, kamu hanya istri di atas kertas.” Vincent langsung menjawab dengan dingin sembari bersiap untuk berjalan pergi. “Ingat. Pernikahan kita hanya sandiwara dan aku tak pernah mencintaimu. Oleh karena itu, bergunalah sedikit dan layani Alvaro!!” Mendengar itu, Elena terisak semakin kencang. Sejak awal, pernikahan mereka memang hanyalah sebuah sandiwara yang pria itu ciptakan demi mendapatkan warisan dari orang tuanya. Sebagai timbal balik, Elena akan mendapat perawatan intensif untuk ibunya. Tapi bodohnya, selama ini dia pikir Vincent akan berubah dan menganggapnya sebagai seorang istri sejalan waktu. Ternyata dia salah… Pria itu sama sekali tak pernah peduli padanya, apalagi mencintainya. Sebelum pergi, Vincent mengambil ponsel dan menelepon sekretarisnya. “Ya, carikan aku pakaian yang seksi. Ukuran M. Ya, aku tunggu dalam satu jam.” Setelah telepon itu terputus, Vincent berkata lagi kepada Elena. “Saat Jose datang, pakai apa pun yang dia berikan padamu. Aku tak mau mendengar adanya penolakan.” Satu jam kemudian, Elena sudah berdiri di hadapan Vincent dengan mengenakan gaun backless bertali spageti yang mengekspos bagian punggung, belahan dada, dan pundaknya. Gaun hitam itu terlihat menantang karena jika tali yang diikatkan pada pundak Elena ditarik, maka akan langsung jatuh tanpa ada hambatan. “Apa kita bisa menggantinya dengan gaun lain?” Elena berkata dengan perasaan tidak nyaman. “Aku merasa ini terlalu…seksi..” Tangan gadis itu lantas menarik bagian depan untuk mencoba menutupi dadanya, sedangkan satu tangannya lain berusaha untuk menutup bagian pundaknya yang terbuka. “Apa maksudmu?” jawab Vincent sambil mendelik tak suka. “Gaun itu sudah bagus. Sebagai penebus hutang, kamu memang harus terlihat menggoda, Elena.” Vincent kemudian menatap Elena dari kepala hingga kaki, seperti hendak memastikan bahwa penampilannya layak untuk dijual. “Baru dengan begitu, Alvaro bisa tertarik padamu.” Tindakan suaminya itu membuat Elena membuang muka, merasa terhina. Namun, ia hanya bisa menelan emosinya bulat-bulat karena tak sedang berada di posisi yang bisa menolak atau membantah. “Tuan, anak buah Alvaro sudah datang menjemput Nyonya Elena.” “Kami akan segera keluar.” Vincent menjawab. Setelah langkah kaki pelayan itu pergi, Vincent kembali menghadap ke arah Elena dan berkata pelan. “Ingat, Elena. Kalau kamu tidak mau melakukannya dan tau berbuat macam-macam, jangan salahkan aku kalau kamu akan segera menerima berita kematian ibumu. Paham?” “Ya.” Elena membalas perkataan Vincent dengan nada suara yang gemetar. “Tidak perlu kamu ingatkan lagi.”Saat mobil jemputan itu mulai berjalan, dada Elena terasa sesak. Perasaan ini membuatnya merasa seperti sapi yang hendak dibawa untuk disembelih. Menuju ke akhir hidupnya sendiri. Diam-diam, Elena tersenyum miris memikirkan setiap detail hidupnya yang tak pernah berjalan dengan baik. Sejak ayahnya pergi bersama wanita lain, ibunya harus berjuang keras untuk menghidupi hidup mereka. Oleh karena itu, Elena harus memohon pada Vincent untuk membantunya. Namun, siapa sangka kalau di masa depan dia akan dijual demi menebus hutang pria itu?! Mobil itu terus berjalan dan baru berhenti saat tiba di mansion milik Moretti yang bergerbang tinggi dan dikelilingi oleh pagar berduri. Rumah itu sangat besar dan bergaya arsitektur Eropa yang mewah, tapi elegan. Namun, entah kenapa rumah ini terasa begitu dingin seakan tak berkehidupan. Membuat Elena merasa tak nyaman. Elena melangkah ragu, mengikuti arahan yang diberikan oleh pria itu untuk menuju ke ruang tamu. Sesampainya di s
Air mata Elena akhirnya jatuh juga. “Jangan menangis, karena air matamu tidak akan mengubah apapun.” tangan pria itu terulur mengusap bulir air mata yang turun di pipinya. Elena terdiam sedangkan tubuhnya gemetar menahan isakan. Ucapan Alvaro membuat Elena teringat akan posisinya yang serba salah. Ancaman Vincent membawa ibunya, sedangkan perbuatan Alvaro melecehkannya. Setelah ini, apakah dia masih punya kesempatan untuk menyelamatkan harga dirinya? Melihat Elena yang tak lagi membantah, Alvaro tersenyum tipis. “Bagus! Sekarang jadilah wanita yang baik.” Alvaro kembali mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dari Elena. Tatapannya tajam, tapi ada senyum kecil di sudut bibirnya yang membuat Elena semakin tegang. Dia mengulurkan tangannya, menyentuh dagu Elena dengan lembut, lalu memiringkan wajahnya sehingga mata mereka bertemu. Elena menelan ludah, tubuhnya terasa kaku. Ia ingin mundur, tapi langkahnya tertahan. Ketika Alvaro mulai mengecup leher dan pundaknya sebel
A–aku berhasil mendapatkan tambahan waktu…” Elena mencoba menjelaskan."Apa kamu tidak punya otak?! Bodoh!" bentaknya lagi. “Aku menyuruhmu untuk menebus hutang itu secara total! Bukan meminta tambahan waktu!”“Namun, Vincent! Kita bisa membayar hutang itu tanpa–”“Aku tidak peduli!! Pokoknya, ikuti apa kata Alvaro dan buat dia menghapus hutangku!”Elena terdiam. Meski marah, tapi dia tahu, membalas hanya akan memperburuk keadaan. Elena memejamkan mata, menahan air mata yang hampir tumpah.“Kau dengar, Elena?! Aku ingin hutangku segera lunas!!” Elena tercekat. “Vincent, aku tidak bisa—” Tut…Tut…TutSuara Elena terputus ketika panggilan dimatikan sepihak oleh suaminya. Elena menatap kosong ponsel di tangannya dan terduduk lemas. Ia tak mengerti kenapa Vincent berusaha keras untuk menyingkirkannya. Bukankah selama ini hubungan mereka baik-baik saja?Merasakan kepalanya pusing, Elena berjalan keluar kamar untuk mengambil segelas air.Namun, ternyata semua lampu telah dimatikan sehingg
Elena kemudian memilih untuk duduk di sofa sambil membaca majalah di atas meja. Terbiasa melayani Vincent dan melakukan semua pekerjaan sendiri, membuatnya merasa bosan. “Ini teh untuk anda,” kata seorang pelan yang datang menyodorkan secangkir teh. Mendengar itu, Elena pun mengangguk mengerti dan berterima kasih. “Tuan Alvaro belum pernah sama sekali membawa wanita ke rumah ini. Anda tentu wanita spesial untuk Tuan.” Elena menatap pelayan itu bingung. Kata ‘spesial’ mungkin kurang tepat untuk menggambarkan kondisinya saat ini. Karena dirinya di rumah ini hanyalah seorang tawanan Alvaro yang dipersiapkan untuk menjadi pemuas hasrat pria itu. Namun, belum sempat Elena menjawab, seorang pelayan lain tiba-tiba datang dari belakang dan melapor dengan wajah pucat. “Ada masalah di belakang.” “Coba selesaikan sendiri, karena aku harus mengirim teh ini ke ruang kerja Tuan Alvaro.” Jawab pelayan yang berada di depan Elena dengan bingung. Tatapannya lantas tertuju pada nampan dan
“Kamu tidak menstruasi?” Tatapan Alvaro berubah tidak lagi menatap penuh gairah, tetapi telah berubah menjadi penuh amarah. “Beraninya kamu!!” Dia menarik diri dan menatap langsung ke matanya, memastikan Elena tak punya ruang untuk mengelak. Terlihat jelas bahwa dia sangat membenci kebohongan yang dilakukan wanita di depannya. “T-tuan, saya…” “Diam !” potong Alvaro kencang. “T-tidak, Tuan. Saya hanya…” “Berhenti bicara!” Alvaro meraih kedua bahu Elena dan mencengkeramnya kuat-kuat. “Berani mempermainkanku?” desisnya, setengah mengancam. “Kau lupa siapa aku?!” “Saya tidak berniat mempermainkan Anda, Tuan,” jawab Elena dengan suara gemetar. Namun, Alvaro tidak berhenti. Dalam satu gerakan cepat, ia meraih syal yang tergeletak di kursi. Elena mencoba mundur, tetapi ruangnya terbatas. Sebelum ia sempat bergerak lebih jauh, syal itu sudah melilit pergelangan tangannya. “Tuan, apa yang akan Anda lakukan? lepaskan saya!” jerit Elena, ketakutan.. Dengan satu tar
Elena duduk di tepi ranjangnya, memandang kosong ke arah kaca besar di kamar yang menghadap taman. Bayangan Alvaro dan apa yang telah dia lakukan tadi terus berputar di pikirannya. Tubuhnya menggigil, karena rasa jijik dan takut. Dia selalu menjaga kesuciannya, tetapi pria itu menginjak-injak harga dirinya. Mungkin kedatangannya memang sebagai pelunas hutang, tetapi dia tak berhak bersikap kasar seperti yang dilakukannya tadi. Dia pun sadar jika dirinya salah telah berbohong, tetapi itu kan karena dia terus mengancam kesuciannya. Hingga terpaksa dia harus berbohong. “Aku tidak akan membiarkan ini terus terjadi,” bisiknya dengan penuh tekad. Selama ini Elena sudah terjebak dalam pernikahan tanpa cinta dengan Vincent, yang tak segan menyerahkan dirinya ke pria seperti Alvaro. Jika dia terus terjebak di sini, entah apa yang bisa dilakukan pria itu kepadanya. Mengingat pria itu sangat berkuasa. Elena bergidik. Elena berdiri dan melangkah ke kaca besar itu. Dia memperhatikan pan
Keesokan harinya, Elena terbangun karena suara berisik dari jendela kamarnya. “Sudah bangun?” kata Alvaro yang sudah duduk di samping tempat tidurnya. Elena terkejut, dia langsung menutup tubuhnya dan bergeser menjauh dari pria itu. Alvaro melirik wanita itu, senyum tipis terbit di bibirnya. “Bisakan Anda tidak keluar masuk ke kamarku seenaknya?” protes Elena. Matanya mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi, suara benda dipukul masih terdengar begitu jelas. “Ini rumahku! Ingat?” Suaranya pelan, dengan penekanan di setiap katanya. Seolah ingin mengingatkan posisinya di Mansion ini. Elena beringsut turun dari tempat tidur dan melihat ke arah jendela. Dia melihat beberapa pelayan sedang memasang palang di jendela kamarnya. Elena berusaha membuka jendela itu, tetapi tidak bisa. “Kenapa Anda melakukan ini? Apakah Anda mencoba mengurungku disini?” teriak Elena. Tetapi Alvaro hanya diam, pria itu dengan tenang menyesap cangkir berisi kopi kesukaannya. “Tuan Alvaro,
Netra Elena terbelalak, begitu melihat siapa yang kini berdiri di depannya. Viviana, ibu mertuanya kini menatapnya dengan jijik seolah dirinya barang kotor yang tak seharusnya ada di tempat ini. “Kenapa kamu di sini? Oh aku tahu, kamu pasti sedang menghabiskan uang anakku ya?” “Tidak Bu, aku…” Elena bingung, dia tak tahu harus menjawab apa di depan ibu mertuanya itu. Dia tak mungkin mengatakan jika dia menemani Alvaro. Pasti Viviana akan berpikir macam-macam mengingat temperamennya yang buruk. “Dasar menantu tak tahu diri. Hidup di atas belas kasihan anakku, tapi tidak pernah tahu cara berterima kasih!” Dengan cepat Viviana sudah menjambak rambut Elena, “Pergi dari sini! Pulang!” “Aduh sakit Bu! Lepaskan!” kata Elena, sambil menghentak tangan ibu mertuanya. Elena menggosok rambutnya yang terasa sakit karena jambakan ibu mertuanya. “Beraninya kamu melawan aku! Aku akan bilang ke Vincent, untuk menceraikanmu!” Elena muak sekali dengan ucapan Viviana, Ibu mertuanya
Alvaro menatap layar ponselnya lama. Pesan singkat dari Elena membuatnya semakin gelisah.“Shit!”Ia menghubungi Jose lagi. "Percepat penyelidikannya!”"Saya mendapat sesuatu Tuan. Ada satu ha yang menurut saya sangatl mencurigakan. Saya sudah mengecek log IT minggu lalu. dan saya menemukan ada aktivitas login dari perangkat berbeda, menggunakan VPN, ke akun Elena. Di luar jam kerja."“Siapa?”Wajah Alvaro menegang. “Masih kami telusuri. Tapi… ada satu nama yang muncul beberapa kali di sistem audit internal. Asisten Delisa—Rani. Aku rasa dia tahu sesuatu.”“Cari dia! buat bicara!”“Baik.”Alvaro mematikan panggilan. Dia menatap lurus ke depan dengan tajam. Tangannya menggenggam setir kemudi dengan erat.***Di salah satu ruangan kecil yang biasa digunakan untuk istirahat staf, Rani duduk gelisah. Ia memainkan flashdisk kecil di tangannya. Berkali-kali ia menoleh ke pintu. Wajahnya cemas.Sejak kejadian siang tadi, ia tak bisa berhenti merasa bersalah. Ia memang tidak tahu apa-apa d
Langkah Elena terasa berat saat ia berjalan menuju ruang rapat direksi. Nafasnya memburu, telapak tangannya dingin. Suasana kantor yang biasanya ramai dan sibuk kini sunyi. Tatapan semua orang menyudutkan. Elena merasa yakin, ada sesuatu yang tidak beres. Sesampainya di depan pintu ruang rapat, Elena menarik napas panjang, lalu mengetuk pelan.“Masuk,” suara berat dari dalam menyambutnya.Dengan perlahan, Elena membuka pintu. Di dalam, sudah duduk tujuh orang petinggi perusahaan, termasuk kepala keuangan, kepala divisi hukum, dan yang membuat dadanya berdegup lebih keras, Alvaro sudah duduk kursi paling ujung. Mata elangnya langsung menangkap ke arahnya.Deg! jantung Elena langsung berdetak dua kali lebih cepat. Mata Delisa langsung bergerak ke samping Alvaro, di sana sudah duduk Delisa dengan ekspresi datar.“Silakan duduk.” ucap salah satu anggota dewan.Elena menurut. Ia duduk di kursi yang tampaknya memang telah disediakan khusus untuknya.“Bisa jelaskan kenapa namamu muncul dal
Elena baru saja sampai ketika seorang staf menghampirinya dan berkata bahwa Delisa—putri dari salah satu pemegang saham besar di perusahaan—memanggilnya ke ruangannya. Elena sempat ragu. Sejak insiden dengan Lucas, ia selalu waspada. Tapi tetap saja, ia tidak memiliki alasan menolak. Apalagi saat ini dia berada di perusahaan. Sesampainya di sana, Delisa menyambutnya dengan senyum lebar, seolah tak pernah terjadi apa pun. "Elena! Duduk, aku mau bicara sebentar," ucap Delisa lembut sambil menyilakan Elena duduk di sofa mewah yang tersedia di ruangannya. Elena sedikit kaku, tapi tetap duduk. “Aku dengar kamu jadi asisten Alvaro dengan Jose. Melihat karakter Alvaro, aku yakin kamu tidak belajar apapun dengannya, karena dia pasti tidak akan memberimu pekerjaan berat. Benar?” Elena hanya mengangguk kecil. Delisa tersenyum kecil, “kalau begitu, aku punya tawaran menarik untukmu.“” Elena semakin waspada, tetapi sebisa mungkin dia tak menampakkan kegelisahannya itu di depan Delisa. “
BRAK!Sebuah vas bunga mahal jatuh dan pecah di lantai. Air dan kelopak bunga mawar putih berceceran, menyatu dengan pecahan kaca yang berserakan di atas karpet. Nafas Delisa memburu. Wajahnya merah karena marah, dan tatapannya penuh api.Di depannya, seorang pria muda dengan setelan jas hanya bisa berdiri kaku, menunduk, takut bicara lebih jauh.“Apa maksudmu Lucas gagal?!” bentak Delisa. Suaranya menggema di ruangan besar bergaya modern itu. “Lucas bahkan nggak menyentuh Elena?!”Pria itu menelan ludah. “Iya, Bu… Dia bilang, eh… dia nggak bisa melakukan itu. Katanya… Elena baik banget. Bahkan dia terlihat kayak orang jatuh cinta…”Delisa langsung membalikkan badan, menatap tajam ke arah pria itu. “Jatuh cinta?! Astaga!” serunya, melotot. “Aku nyuruh dia jebak Elena, bukan malah main perasaan! Apa otaknya udah benar-benar rusak?!”Ia berjalan mondar-mandir, tangan terkepal di sisi tubuhnya. Setiap langkahnya terdengar keras di lantai marmer.“Lucas itu udah kubayar mahal. Semua udah k
Elena melihat sekelilingnya, tak ada seoran pun di rumah ini selain dirinya dan Lucas. Melawan pria ini, tak akan menguntungkan. Karena itu, dia harus mengulur waktu sembari menunggu kesempatan atau pertolongan. Meskipun tak yakin akan ada pertolongan.“Lucas…aku ingatkan padamu. Kamu pasti tahu siapa Alvaro kan?” Elena mencoba terlihat tenang. Dia berjalan perlahan menuju sofa. Lucas tertawa pelan, nada suaranya seperti mengejek. Dia berjalan mendekat.“Tentu saja aku tahu siapa dia. Semua orang takut padanya.” Tatapannya membara, ada obsesi di sana.Elena mundur perlahan, menjaga jarak. Dia tahu jika dia panik, pria ini bisa makin tak terkendali. Jadi dia menenangkan napasnya, menatap Lucas dengan tenang meski tubuhnya mulai gemetar.“Kamu pikir Alvaro akan diam kalau tahu aku ada disini?” Suara Elena terdengar dingin dan tajam.Lucas menyeringai. “Itu sebabnya aku harus cepat. Sebelum dia datang.” Elena merasakan detak jantungnya melonjak. Tapi wajahnya tetap datar. Dia berpiki
“Terima kasih,” ucap Elena pada Alvaro.“Sudah selesai?” tanya Alvaro.Elena melihat komputer sekilas lalu mengangguk. Pria itu melihat jam tangannya sesaat. Saat akan bicara, Jose datang membisikkan sesuatu. “Aku ada rapat,” kata Alvaro. “Tidak apa, aku bisa pulang sendiri.”“Kabari setelah di rumah.”Elena mengangguk. Setelah itu, Alvaro pergi bersama Jose entah kemana. Elena meregangkan tangannya, setelah seharian berkutat dengan angka yang sangat membosankan. Dia menyimpan hasil kerjanya dan mematikan komputernya. Meskipun dia merasa lebih nyaman memasak tetapi dia harus bertahan beberapa bulan di pekerjaan ini. Karena dia ingin membuka sebuah toko kue, dari hasil pekerjaannya di sini. “Semangat Elena, kamu bisa!”Dia menuliskan sebuah pesan ke Alvaro sambil berjalan keluar kantor. Karena tidak melihat jalanan, dia tak tahu ada sebuah mobil yang berjalan begitu cepat ke arahnya. “Awas!” teriak seseorang.Suara itu membuat Elena terkejut, hingga menoleh ke sumber suara dan mo
“Kamu yakin? Tidak takut?”“Aku sudah lama membiarkannya, ini saatnya menunjukkan bahwa tidak semua orang bisa dia injak seenaknya.”Alvaro hanya tersenyum tipis mendengar kalimat yang keluar dari bibir wanita di sampingnya itu. Begitu mobil berhenti di depan gedung perusahaan, Alvaro segera keluar lebih dulu. Dengan langkah tenang, ia membuka pintu untuk Elena, membuat wanita itu menatapnya sesaat.“Keluar,” ucap Alvaro singkat.Elena menghela napas, lalu turun dari mobil. Saat mereka melangkah masuk, Jose dan beberapa pengawal berjalan di belakang mereka.Begitu sampai di lantai tertinggi gedung ini. Sebelum masuk ke ruangan Alvaro. “Jose.”“Ya, Tuan?”“Ajari dia pekerjaanmu.”Jose menatap Elena sekilas sebelum kembali menatap Alvaro, memastikan ia tidak salah dengar. “Maksud Tuan, saya harus mengajarkan pekerjaan saya kepada Nyonya?”Alvaro mengangguk tanpa ragu. “Ya.”Elena mengernyit. “Tunggu, maksudmu aku bekerja dengan Jose?”Alvaro yang semula hendak melangkah ke ruangannya,
Keesokan paginya, Elena terbangun dalam pelukan Alvaro. Pria itu mendekapnya. Karena masih kesal semalam, Elena perlahan beringsut mengubah posisi menjadi membelakangi. Namun, tak disangka Alvaro menyadari gerakannya. Sehingga saat dia berhasil mengubah posisi. Alvaro kembali mendekapnya dari belakang. “Masih marah?” Bisiknya pelan. Elena diam, tak ingin bicara. Alvaro semakin mendekatkan tubuh Elena dalam pelukannya. “Sudah pagi, aku harus pergi.”“Kemana pagi-pagi?”“Bekerja, aku sadar aku cuma wanita simpanan yang bisa kamu buang kapan saja.”Elena hendak bangun, tetapi tubuhnya ditarik kembali oleh Alvaro. “Kita pergi bersama.”“Tidak perlu,” ucap Elena, ketus.Akhirnya Alvaro menyerah, dan membiarkan Elena pergi dari pelukannya. Berdebat dengan wanita itu saat marah tak akan bisa menang. Karena itu, dia memberikan Elena waktu untuk meredakan kemarahannya. Saat melihat Elena masuk ke dalam kamar mandi, Alvaro mengambil ponselnya di atas nakas. “Bagaimana?”“Kami sudah dapat
Pyar!Botol bir di tangannya dihantamkan ke meja kaca, pecahannya berhamburan ke lantai. Wanita-wanita di samping pria itu menjerit kecil dan mundur, sementara para pengawal langsung menodongkan pistol ke arahnya.Alvaro tetap berdiri tegak, menatap pria tua itu dengan mata dingin.Tidak ada yang berani menarik pelatuk lebih dulu.Mereka tahu siapa Alvaro.Pria yang berdiri di depan mereka bukan sekadar seorang pengusaha muda yang sedang naik daun. Dia adalah sosok yang namanya bergema di dunia bisnis. Orang yang tidak akan ragu mengotori tangannya jika diperlukan.Pria tua itu menghela napas panjang, lalu memberikan isyarat dengan satu gerakan tangan. Seketika, para pengawalnya menurunkan pistol mereka, meskipun tatapan mereka masih penuh kewaspadaan."Jadi benar, kau lemah karena wanita itu?"Alvaro mencengkeram kerahnya dan menariknya mendekat."Omong kosong!" suaranya rendah, penuh ancaman. "Aku tak butuh bisnismu."Pria itu mengangkat kedua tangannya ke atas, seolah memberi isya