Ukraina 1 desember pukul 08:12 menit, 2020.
Kanisa terlihat duduk merenung di lantai, menatap kosong ke luar jendela yang tengah memperlihatkan salju-salju putih yang menumpuk di luar mansion.
Penampilannya terlihat berantakan, rambut kusut, wajah sembab, bibir bengkak dan juga dres abu-abu selutut yang dikenakannya terlihat robek dibagian lengan.
Setetes air mata meluncur jatuh dari kelopak mata indahnya, isakan yang sempat terhenti pun kembali terdengar dari bibirnya.
Kanisa, wanita itu kembali menangis tersedu-sedu dengan nasib buruk yang menimpahnya. Dia melampiaskan segala kekesalan, amarah dan kekecewaan dalam dirinya dengan menangis. Bukan hanya kehidupannya dan pendidikan serta cita-citanya saja yang hancur tapi juga kini dirinya kotor, kehormatan yang sejak dari dulu Kanisa jaga hilang sudah akibat Tendero, si brengsek itu sudah berani merenggut paksa kesuciannya dan menghancurkan harga diri Kanisa hingga ke dasar. Tidak ada lagi yang tersisa dari dirinya, kehormatan, kesucian, dan segalanya telah hilang darinya dalam waktu sekejap tanpa Kanisa duga-duga.
Sungguh, Kanisa benar-benar membenci pria bernama Tendero itu, tidak peduli meski dia adalah bos dari seorang mafia yang sangat ditakuti sekalipun Kanisa tidak takut dan benar-benar sangat membencinya hingga ke dasar. Dan dia berjaji akan membalas pria itu suatu saat nanti.
Kepala pelayan rumah Lecanpon, nyonya Elsa terlihat memasuki kamar yang di tempati oleh Kanisa, membawa nampan berisikan makanan untuk wanita itu karena sudah dua hari berlalu sejak kedatangan Kanisa ke kediaman Lecanpon, Kanisa belum memakan apa pun juga.
Nyonya Elsa yang melihat keadaan Kanisa yang begitu terpuruk merasa kasihan dengan wanita itu. Jika saja dia memiliki keberanian besar, pastilah nyonya Elsa akan membantu Kanisa kabur dari Tendero, namun karena dia tidak seberani itu untuk melawan Tendero nyonya Elsa hanya bisa bungkam. Menutup mata dan telinganya atas Kanisa jika dirinya masih ingin hidup.
“Nona muda, anda sejak dari kemarin belum makan, jadi ayo sarapan dulu,” pinta nyonya Elsa menaruh nampan berisikan sarapan Kanisa di meja yang terletak di tengah kamar.
Kanisa hanya diam saja, tidak merespon atau pun melirik pada nyonya Elsa. Wanita paruh baya, berusia 55 tahun itu mendekati Kanisa dan menyentuh bahunya membuat tangis Kanisa kian menjadi hingga membuat nyonya Elsa turut merasa iba dan kasihan padanya.
“Nona,” panggil nyonya Elsa lagi namun Kanisa lagi-lagi tidak meresponnya.
“Non— ”
“Aku tidak ingin makan! Sebaiknya kau kembalikan saja makanan itu kepada tuan brengsekmu! Aku tidak sudi makan makanan yang di berikan olehnya!” ucap Kanisa lantang memotong perkataan nyonya Elsa.
“Tapi nona, ini perintah tuan. Anda harus ma— ”
“Aku bilang aku tidak ingin makan! Biarkan saja aku mati!” pekik Kanisa membuat nyonya Elsa melangkah mundur, tertegur atas perkataan akhir Kanisa yang memilih ingin mati dari pada makan.
“Tapi jika nona tidak makan anda akan sakit,” bujuk nyonya Elsa dengan lembut.
Kanisa mengusap air matanya, dia bangkit berdiri dan menatap nyalang pada nyonya Elsa.
“Pergi!” usir Kanisa menunjuk keluar pintu.
“Tapi... ”
“Aku bilang pergi dari sini!” bentak Kanisa.
Mengangguk patuh, nyonya Elsa pun akhirnya memutuskan untuk pegi keluar dari kamar tersebut dan menutup pintu kamarnya. Seperginya nyonya Elsa, Kanisa kembali menangis. Dia menatap marah pada makanan yang tersaji dihadapannya lalu dengan murka membuang makanan dan susu yang dibuatkan untuknya ke lantai bertepatan dengan pintu kamar yang terbuka, menampilkan Tendero yang kini tengah menatap datar pada Kanisa.
Sesenggukan dengan wajah memerah menahan amarahnya. Kanisa menatap Tendero penuh kebencian.
Setelah melirik sebentar makanan yang berserakan di lantai, Tendero melangkah cepat dan mencengkram kuat rahang Kanisa hingga membuatnya mendongak menatap Tendero tepat di kedua matanya.
“Kenapa kau membuang makananya hem,” ucap Tendero tenang namun terdengar dingin dan mengancam.
Kanisa hanya diam, menutup rapat-rapat bibirnya dan tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan Tendero padanya.
“Aku bertanya kepadamu, kenapa kau tidak memakan sarapan yang aku berikan padamu, jawab Kanisa!” bentak Tendero akhirnya membuat air mata Kanisa kian mengalir banyak.
“Jawab!” bentak Tendero lagi— menghempaskan rahang Kanisa dengan kasar dan beralih memegang kedua bahu wanita itu dengan kuat sampai membuat Kanisa meringis kesakitan.
“Kenapa kau diam saja, kau tidak punya mulut untuk menjawabku hah!”
“Aku tidak sudi memakan makanan darimu, bajingan brengsek!” bentak Kanisa penuh kemarahan, menatap Tendero kian nyalang.
Bukannya merasa takut, Tendero justru malah tersenyum miring. Dia mencondongkan wajahnya, mendekati Kanisa yang kian ketakutan.
“Kau bilang apa barusan, aku bajingan brengsek,” tekan Tendero langsung mendorong Kanisa membuat tubuh kurus wanita itu terhempas ke atas ranjang di belakangnya.
“Jika begitu akan aku tunjukan bagaimana si bajingan brengsek ini akan kembali menikmati dirimu,” ucap Tendero terdengar mutlak dan tidak main-main membuat sisi trauma Kanisa mengenai kejadian kemarin malam kembali terlintas dibenaknya.
Kanisa menggeleng, dia berusaha keras melarikan diri namun dengan mudahnya Tendero berhasil menangkapnya dan menutup rapat-rapat pintu kamarnya. Pria itu kembali menghempaskan Kanisa ke atas ranjang kemudian Tendero cepat-cepat menindih tubuh mungil tidak berdaya Kanisa dan mulai menjamahnya, lagi.
Dengan tubuh gemetar, Kanisa berusaha mendorong Tendero dari atasnya, namun semuanya sia-sia saja karena tenaga pria itu cukup kuat berbanding terbalik dengan dirinya yang lemah.
“Jangan!” teriak Kanisa menahan tangan Tendero yang ingin masuk ke dalam bajunya. Dengan mudah pria itu menepis tangan Kanisa dan tetap memasukan tangannya ke balik baju Kanisa dan meremas miliknya membuat Kanisa seketika menangis kencang. Nafasnya terlihat menderu dengan tubuh yang kian gemetar dan terasa panas.
Tanpa memperdulikan bagaimana Kanisa yang terus berteriak dan menangis histeris Tendero tetap meneruskan kegiatannya dia bahkan menulikan telinganya saat Kanisa memohon agar dirinya berhenti. Wanita itu sudah berani membangkang padanya bahkan menghinanya dengan terang-terangan jadi Tendero tidak akan melepaskannya begitu saja dengan muda, Tendero pasti akan menghukum Kanisa sampai wanita itu merasa jera dan tidak akan lagi membangkang kepadanya.
Tendero menghentikan kegiatannya sejenak, memandang Kanisa yang terengah. Pria itu lantas mencium kedua kelopak mata Kanisa yang terus mengalirkan air mata. Lalu tanpa aba-aba Tendero merobek dres yang di pakai Kanisa dan membuangnya ke lantai membuat tangis Kanisa kian kencang.
Kanisa terus memberontak dia bahkan tidak segan-segan memukul dan mencakar tubuh pria itu tapi Tendero tetap tidak bergeming sama sekali dengan cepat dia menanggalkan pakaian mereka semua.
“Hentikan!” jerit Kanisa tetap meronta.
Dengan rahang mengetat, Tendero memegang kedua tangan Kanisa hanya dengan satu tangan dan membawanya ke atas kepala wanita itu. Matanya menatap Kanisa lekat-lekat dengan sorot tajam dan menggelap oleh gairah yang bangkit sepenuhnya.
Kanisa menggeleng kuat saat Tendero memulai aksinya kembali, menjamah setiap inci tubuhnya tanpa ada yang tersisa hingga Kanisa merasa dirinya tambah kian kotor saat pria itu mulai memasukinya dalam sekali sentakan. Kanisa merasakan sakit yang luar biasa pada miliknya, dia merasa tubuhnya mengejang untuk beberapa saat sebelum akhirnya dia mulai merasakan kehangatan yang mengalir pada dirinya, kenikmatan yang tengah dirasakan Kanisa saat ini justru membuatnya merasa kian marah dan membenci Tendero. Kanisa juga membenci dirinya sendiri yang tidak bisa melawan pria yang brengsek yang menghancurkannya itu.
Pagi itu dengan disaksikan butiran salju yang turun dari bumi— untuk kedua kalinya harga diri Kanisa kembali lenyap oleh pria yang sama. Tanpa ampun Tendero terus menghukumnya hingga rasanya Kanisa tidak sanggup lagi menangis atau pun berteriak selain menatap kosong langit-langit kamar di atasnya hingga perlahan kedua kelopak mata indahnya itu tertutup rapat.
Tidak perduli meski Kanisa sudah tidak sadarkan diri. Tendero terus saja menyelesaikan aktifitasnya, rasanya begitu nikmat dan sangat bergairah. Sebelumnya, Tendero belum pernah menikmati perasaan yang begitu menyenangkan seperti saat ini pada wanita-wanita lain, sangat berbeda dengan Kanisa.
Merasakan dirinya mengeras, Tendero semakin mempercepat temponya hingga tubuh Kanisa pun ikut tersentak-sentak akibat ulahnya itu sampai akhirnya dia merasakan miliknya meledak setelah cairan kental miliknya menyembur dalam rahim Kanisa.
Melepaskan diri dari Kanisa. Tendero lantas menjatuhkan dirinya di sisi tubuh Kanisa, tangannya bergerak menarik selimut untuk menutup tubuh polos mereka berdua dan mengecup pipi lembut Kanisa sekilas.
“Maafkan aku,” bisik Tendero kemudian memeluk erat tubuh Kanisa dan ikut terlelap akibat kelelahan setelah menyesaikan permainanya.
Sore itu Kanisa terbangun dengan tubuh lemas dan terasa remuk. Wajahnya terlihat pucat dengan bibir ranumnya yang kian terasa sakit dan bengkak. Bahkan bukan hanya bibirnya saja, miliknya yang di bawah pun kembali sakit setelah sebelumnya rasa sakit itu sempat hilang. Tapi karena ulah pria bajingan itu, rasa sakitnya kembali terasa bahkan berkali-kali lipat dari sebelumnya.Kanisa mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar yang sepi. Bahkan pria bajingan yang sudah menyentuhnya kembali itu pun sudah tidak ada lagi di sampingnya.Setelah menyetubuhinya pria itu pergi begitu saja bahkan tanpa membereskan kekacauan yang dia buat dengan tubuh Kanisa yang dibiarkan dalam keadaan masih polos. Kanisa mengepalkan tangannya, benar-benar marah pada Tendero.Benar-benar pria bajingan!Menarik selimutnya, Kanisa menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut tersebut sebelum akhirnya bergerak turun dari ranjang da
Sejak awal menginjakan kaki di mansion mewah yang super megah itu untuk pertama kalinya Kanisa langsung disambut baik dan sangat diperlakukan hormat oleh para pelayan dan para penjaga yang bekerja di mansion tersebut.Sikap lembut dan ramah dari setiap orang di dapatkannya dalam sekejap. Tidak, bukannya Kanisa tidak ingin diperlakukan layaknya ratu, tentu saja setiap orang menginginkan posisi itu termasuk dirinya. Hanya saja itu membuatnya sangat bingung. Pasalnya, Kanisa tahu betul semenjak sang bos Mafia meminta dirinya menjadi jaminan pelunas hutan keluargannya, mulai sejak itu juga dia adalah pelayan sang bos besar itu.Di mansion itu dirinya tidak lebih dari seorang pelayan atau lebih tepatnya budak pribadi Tendero yang harus melayani sang tua disaat pria itu menginginkannya.Baginya menjadi pelayan mansion biasa yang pekerjaan hanya mengurus mansion dan memasak adalah hal yang derajatnya jauh lebih tinggi jika diba
Pesta yang digelar Tendero dikediamannya sendiri luar biasa mewahnya. Sangat elegan dan juga menawan. Setiap mata yang melihat langsung dibuat takjub dan tidak henti-hentinya berdecak iri.Bukan hanya mansion saja yang disulap menjadi sangat begitu meriah dan mewah, taman depan bahkan sampai ujung gerbang pun disulapnya menjadi begitu indah.Pesta yang benar-benar sangat indah dan mewah itu tentunya juga banyak menghabiskan biaya. Tapi bagi Tendero biaya sebesar apa pun tidaklah masalah selama dia mampu.Sementara itu di kamar Kanisa. Wanita itu terlihat duduk merajuk pada pelayan pribadinya, Netra. Sejak dari tadi Kanisa terus disuruh untuk berganti pakaian dengan yang sudah dibelikan Tendero untuknya tapi Kanisa tidak juga menurut. Dia terus saja menolak dan memberikan banyak alasan.Netra yang kehabisan cara untuk membujuknya pun tidak tahu harus bagaimana lagi agar nonanya itu segera berg
Dengan langkah ogah-ogahan Kanisa menuruni setiap anak tangga yang di laluinya bersama dengan Tendero yang setia berada di sisinya. Pria itu benar-benar tidak mau melepaskan rangkulannya pada pinggang Kanisa, padahal Kanisa sudah berulang kali mencoba menyingkirkan tangan pria itu, bukannya menyingkir pria itu justru malah semakin mempererat rengkuhannya sampai tidak ada lagi jarak di antara mereka. Kanisa mendelik kesal pada Tendero yang tampak biasa-biasa saja bahkan dia terkesan santai tanpa merasa terganggu dengan mood Kanisa yang buruk.Kedatangan Tendero dan Kanisa mengundang banyak pasang mata menatap ke arah pasangan yang terlihat tampak serasi itu dengan pandangan mengagumi sekaligus penasaran. Tanpa melepaskan rangkulannya pada pinggang Kanisa, Tendero melempar senyum ramahnya pada para tamunya yang sudah menghadiri pesta yang dia adakan.Tak sedikit pula banyak tamu yang mulai silih berbisik tanpa melepaskan tatapannya dari sosok Tendero
Kanisa terus saja berlari tanpa henti sambil sesekali melirik kebelakangnya. Berharap Tendero mau pun anak buahnya tidak mengejarnya, semoga saja pelariannya kali ini sukses.Merasa nafasnya mulai pendek Kanisa mulai sedikit memelankan laju larinya toh dia juga sudah berada cukup jauh dari mansion bos mafia itu.Kanisa mengelap keringat dikeningnya. Dia meneliti sekitarnya yang terasa begitu asing, tidak ada perumahan. Di kiri dan kananya hanya ada hutan yang membentang. Kanisa menelan salivannya, dia merasa bingung juga takut tapi itu tidak lantas membuatnya berhenti melangkah.Suara deru mesin mobil di belakangnya membuat Kanisa merasa langsung panik. Tanpa melihat ke belakang Kanisa langsung berlari masuk ke hutan sebelah kiri. Dia terus berlari tanpa memperdulikan ranting-ranting yang menggores tubuhnya sampai terluka.Udara terasa semakin dingin begitu Kanisa semakin masuk ke dalam hutan ditambah lagi dengan la
Kanisa terbangun di malam hari dengan sekujur tubuh yang terasa remuk, meski rasa sakitnya tidak sesakit saat pertama kali dia melakukannya dengan Tendero tetap saja pegal-pegal di tubuhnya serta miliknya yang terasa berdenyut membuat Kanisa merasa tidak enak, benar-benar tidak nyaman belum lagi dengan kepalanya yang terasa pening karena Kanisa terlalu lama menangis tapi untungnya Tendero sempat mengompres kedua matanya sehingga Kanisa tidak perlu merasa cemas dengan matanya yang akan bengkam. Dia juga sudah berpakaian lengkap, memakai satu setel pajama berwarna biru laut dan itu semua dipakaikan oleh Tendero begitu mereka selesai bercinta, bahkan tanpa ragu Tendero juga memandikan Kanisa membuat wanita itu tidak bisa berkutit dengan keinginan Tendero yang keras kepala dan tidak ingin dibantah.Kanisa menyenderkan punggungnya ke bantal dia lantas mengucek matanya lalu menguap. Perutnya mendadak bersuara nyaring tanda kalau dia tengah lapar hal itu membuat Kanisa men
“Aku ingin pulang dan bertemu keluargaku.” Kanisa memegang tangan Tendero saat pria itu hendak pergi dari rumah. Tendero pun spontan menghentikan langkahnya dan berbalik memandang Kanisa.“Aku mohon, biarkan aku bertemu keluargaku. Aku merindukan mereka dan ingin melihat keadaan mereka,” mohon Kanisa dengan wajah memelasnya.Tendero meraih tangan Kanisa dan membawa wanita itu ke dalam pelukannya, dia lantas mencium puncak kepala Kanisa sejenak lalu memandang wajah Kanisa yang terlihat muram. Sepertinya Kanisa memang sangat merindukan keluarganya.“Tidak sekarang,” ucap Tendero membuat Kanisa yang mendengarnya langsung melepaskan diri dari pelukan pria itu dan mendorong Tendero menjauh darinya.Kanisa menatap kesal pada Tendero.“Kau sudah mengucapkan itu beberapa waktu lalu, aku ingin sekarang bukan nanti!” balas Kanisa dengan nada yang agak meninggi.Tendero tetap terlihat santai t
Andrew menepikan mobilnya dipinggir jalan, sebuah rumah tua dipesisir pantai tampak terlihat tidak jauh di sebelah kanan.Tendero menurunkan kaca mobilnya. Menyipitkan matanya, melihat rumah tua namun terlihat elegan itu.“Kau yakin tempatnya di sini?” tanya Tendero kepada Andrew.“Iya bos, sesuai dengan alamat yang dia kirimkan,” jawab Andrew.Tendero pun turun dari mobilnya. Di susul oleh Andrew.“Kau sudah siapkan barangnya?” Tendero melirik Andrew yang berdiri disebelahnya.Andrew mengangguk, “Sudah bos.”“Kalau begitu cepat ambil. Kenapa diam saja,” omel Tendero.Andrew nyengir lantas bergegas mengambil barang pesanan si calon pembeli yang dia taruh di bagasi mobil. Setelah mengambil barangnya yang ada di dalam koper. Mereka pun pergi menuju rumah itu dengan Tendero yang memimpin.Suasana yang begitu hening dan menenangkan deng