Dengan langkah ogah-ogahan Kanisa menuruni setiap anak tangga yang di laluinya bersama dengan Tendero yang setia berada di sisinya. Pria itu benar-benar tidak mau melepaskan rangkulannya pada pinggang Kanisa, padahal Kanisa sudah berulang kali mencoba menyingkirkan tangan pria itu, bukannya menyingkir pria itu justru malah semakin mempererat rengkuhannya sampai tidak ada lagi jarak di antara mereka. Kanisa mendelik kesal pada Tendero yang tampak biasa-biasa saja bahkan dia terkesan santai tanpa merasa terganggu dengan mood Kanisa yang buruk.
Kedatangan Tendero dan Kanisa mengundang banyak pasang mata menatap ke arah pasangan yang terlihat tampak serasi itu dengan pandangan mengagumi sekaligus penasaran. Tanpa melepaskan rangkulannya pada pinggang Kanisa, Tendero melempar senyum ramahnya pada para tamunya yang sudah menghadiri pesta yang dia adakan.
Tak sedikit pula banyak tamu yang mulai silih berbisik tanpa melepaskan tatapannya dari sosok Tendero terutama dari Kanisa yang merasa asing di mata mereka. Bagaimana wanita itu bisa bersanding dengan Tendero dan apa status Kanisa dikehidupan Tendero menjadi pertanyaan yang banyak diajukan oleh para tamu yang hadir di sana, tapi sayangnya mereka hanya bisa mengajukan pertanyaan itu dikepala mereka masing-masing karena tidak berani untuk mengungkapkannya secara langsung.
Melihat raut wajah Kanisa yang semakin murung membuat Tendero semakin menarik wanita itu dekat padanya lantas berbisik pelan, “Jangan membuatku kesal dengan wajah murung yang kau tunjukan itu Kanisa. Tersenyumnya, setidaknya kau harus tahu sopan santun terlebih ini di depan banyak tamu.”
Bagi orang-orang yang melihat adegan itu tampak terlihat romantis bahkan banyak dari para tamu dibuat gemas dengan cara interaksi kedua pasangan itu meski kenyataan yang sesungguhnya tidaklah seperti yang mereka duga.
“Tersenyum Kanisa,” peringat Tendero dengan suara pelannya dia kemudian tersenyum dan berbincang hangat dengan beberapa partner kerjanya yang sudah bersedia datang ke acara pesta Tendero.
Awalnya Kanisa tidak ingin mengindahkan perkataan Tendero kepadanya beberapa menit yang lalu namun setelah dipikir lagi ternyata Kanisa tidak mudah untuk mengacuhkan sekitarnya. Pasalnya banyak dari tamu-tamu pria itu yang mendekatinya secara terang-terangan, mengajaknya berkenalan bahkan mengobrol untuk beberapa saat sebelum berganti mengobrol dengan yang lainnya.
Sepanjang acara itu Kanisa juga harus terus mengembangkan senyum ramahnya lebih tepatnya dia berpura-pura tersenyum. Padahal kenyataanya Kanisa benar-benar sangat enggan berada di tengah-tengah pesta itu yang menurutnya sangat tidak cocok bagi Kanisa. Kanisa tidak terbiasa berada di tengah-tengah pesta megah macam bangsawan. Belum lagi dengan banyaknya orang yang memerhatikan dirinya dan banyak juga dari mereka sok ingin kenal dekat dengannya padahal Kanisa tahu betul bahwa mereka hanya penasaran saja terhadapnya karena kedekatannya bersama Tendero. Jika saja sekarang Kanisa tidak bersama pria itu mereka semua mana mau bersusah payah mengakrabkan diri kepada Kanisa, menyapa bahkan terkesan perduli kepadanya. Bagi Kanisa orang-orang semacam mereka itu tidak lebih dari pencitraan saja karena Kanisa hapal betul tingkah orang-orang semacam itu.
Kanisa bergerak risih karena terus direngkuh oleh Tendero, sekalipun pria itu tidak juga melepaskan dirinya seolah Tendero takut kalau Kanisa akan kabur darinya, padahal itu memang kenyataan. Sejak dari tadi Kanisa terus memutar otaknya, memikirkan cara kabur dari pria itu. Di antara pesta itu Kanisa berencana untuk kabur tapi Kanisa harus pandai-pandai memilih waktu agar dia bisa kabur sempurna dari Tendero.
“Bisa kau lepaskan aku, aku risih,” bisik Kanisa pada Tendero lantas tersenyum kecil saat matanya tanpa sengaja berpapasan dengan wanita yang berjalan melewati Kanisa dan Tendero.
“Kenapa aku harus melakukannya,” balas Tendero santai tanpa memperdulikan raut wajah kesal yang diperlihatkan wanita itu kepadanya.
“Aku ingin ke kamar mandi,” ucap Kanisa dengan nada lembutnya, dia berusaha membuat pria itu mempercayainya.
“Kau pikir aku akan percaya, kau ingin kabur dariku Kanisa.”
“Tidak, aku tidak akan kabur darimu. Aku benar-benar ingin ke kamar mandi, aku sudah tidak tahan. Please, ijinkan aku pergi hanya sebentara saja.” Kanisa memperlihat wajah memelasnya kepada Tendero.
Tendero menatap wajah wanita itu lekat-lekat sebelum akhirnya menganggukan kepalanya membuat Kanisa langsung bersorak girang di dalam hatinya, dia bahagia namun tidak memperlihatkan itu kepada Tendero, Kanisa berusaha keras menutupi kebohongannya kepada pria itu agar Tendero tidak mencurigainya kalau Kanisa berniat akan kabur dengan alibi pergi ke toilet. Kalau Tendero sampai mengetahui rencananya itu bisa gawat.
“Jangan lama-lama, aku menunggu. Dan jangan coba-coba kabur atau kamu akan tahu akibatnya,” bisik Tendero tepat ditelinga Kanisa. Pria itu bahkan menyempatkan diri menggigit kecil telinga Kanisa mebuat Kanisa menahan diri untuk tidak memukul pria itu yang seenaknya berbuat mesum di tengah-tengah keramaian pesta.
“Dasar bajiangan mesum!” batin Kanisa, dia melempar senyum tipisnya kepada Tendero kemudian Kanisa pun pergi dari hadapan pria itu begitu Tendero akhirnya melepaskan rengkuhannya.
Kanisa berjalan cepat menuju toilet, tanpa perlu menoleh kebelakang pun dia sudah sangat tahu bahwa mata tajam pria itu terus tertuju kepadanya. Sampai Kanisa merasakan panas pada punggungnya karena Tendero tidak berhenti menatapnya dengan jenis tatapannya yang mampu membunuhnya detik itu juga.
Kanisa menetralkan nafasnya yang berderu cepat serta detak jantungnya yang berdetak hebat. Pengaruh Tendero benar-benar membuat Kanisa merasa tertekan dan juga takut di saat yang bersamaan meski rasa marah juga tidak kalah mendominasi Kanisa terhadap Tendero mengingat pria itu sudah menghancurkan masa depannya dan melecehkannya.
“Baiklah Kanisa, ini bukan saatnya kau memikirkan soal pria itu. Ini adalah kesempatanmu untuk kabur darinya,” batin Kanisa.
Kanisa melirik kebelakangnnya dengan gerakan pelan dan takdir sepertinya sedang berpihak kepadanya. Kanisa melihat Tendero tampak sibuk dengan beberapa tamu prianya, tubuh pria itu bahkan tidak terlihat karena orang-orang yang mengelilingi Tendero tampak tinggi-tinggi sehingga Tendero tenggelam di antara mereka.
Selain memiliki tubuh yang tinggi-tinggi mereka juga memilik paras yang lumayan sempurna, tegas, berwibawah tapi juga menyeramkan di saat yang bersamaan. Meski pembawaan dan aura yang dipancarkan Tendero juga tidak jauh berbeda seperti pria-pria itu tapi mereka justru terlihat jauh lebih berbahaya dari Tendero Kanisa bisa merasakannya meski jarak mereka terpaut cukup jauh terutama pria yang memiliki rambut berwarna merah menyala.
Tatapan tajam dan wajah yang tegas semakin menguarkan aura leadernya yang begitu mendominasi, tegas, kejam dan cool di saat yang bersamaan. Kanisa sampai berigidik melihatnya meski itu hanya untuk sesaat, tidak kebayang jika Kanisa berada di dekat pria itu dalam jarak sangat dekat mungkin Kanisa akan mati saat itu juga.
Setelah memastikan Tendero tengah sibuk dengan tamu-tamunya yang telihat paling penting di antara tamu lainnya itu, Kanisa pun segera mengambil kesempatan itu dengan diam-diam membelot ke arah lain sambil menatap sekelilingnya dengan seksama, perasaan Kanisa sekarang terasa begitu was-was dan takut.
Adrenalinya benar-benar berpacu cepat saat Kanisa berjalan keluar dari pintu belakang mansion, pelan Kanisa menatap tajam sekelilingnya untuk memastikan apakah ada penjaga yang berjaga dan memang ada beberapa penjaga yang berjaga di belakang mansion Tendero. Tapi Kanisa juga tidak bodoh, dengan menggunakan otak cerdiknya Kanisa diam-diam melangkah pergi dari mansion itu melewati gerbang belakang mansion di saat para penjaga lengah terhadapnya entah itu karena mereka terlalu bodoh atau karena mereka sibuk dengan urusan masing-masing tapi Kanisa cukup merasa lega karena akhirnya dia bisa terbebas juga dari Tendero semoga saja setelah ini Kanisa tidak berurusan lagi dengan pria kejam dan brengsek itu.
“Aku harus pergi sejauh mungkin darinya, jangan sampai dia menangkapku kembali,” gerutu Kanisa sambil terus berlari menjauh dari kediaman Tendero tanpa Kanisa ketahui bahwa kepergiannya itu berhasil ketahuan oleh seseorang. Orang itu tampak tersenyum miring lantas dengan langkah riangnya dia masuk ke dalam rumah Tendero.
“Hey bro, selamat atas bertambahnya usiamu,” ucap pria itu menepuk bahu Tendero sambil tersenyum lebar.
Tendero ikut tersenyum dan memeluk pria yang baru saja memeluknya itu dengan gaya khas seorang pria.
“Terima kasih, aku pikir kau tidak akan datang ke acara yang aku adakan ini,” ucap Tendero menatap pria itu dengan pandangan tidak percaya, maklum saja, pria itu terlalu sibuk sehingga jarang berkumpul dengan Tendero dan teman-temannya yang lain.
“Kebetulan aku sedang tidak sibuk jadi kenapa aku tidak datang saja ke pesta ultahmu ini, toh kita juga sudah lama tidak berjumpa,” ucapnya terdengar santai.
“Tapi kenapa kau memilih datang melalui pintu belakang, kenapa tidak lewat depan?” tanya Tendero.
“Malas saja. Lewat depan terlalu di sorot. Jadi aku datang lewat pintu belakang.”
“Quan Xi ge memang tidak pernah berubah. Selalu seperti itu, tidak ingin menjadi pusat perhatian tapi gayamu justru membuatmu banyak orang untuk memerhatikanmu,” sahut Candelo Zhong mencibir pria itu.
Pria yang disebut Quan Xi itu terkekeh mendengarkan penuturan laki-laki seputih susu dengan rambut pirang dihadapannya itu.
“Tapi dengan datang dari belakang aku jadi melihat sesuatu yang menarik loh,” ucap Quan Xi lantas tersenyum misterius membuat teman-temannya yang tidak lain adalah sekumpulan bos mafia dari berbagai belahan dunia itu langsung menatap penasaran pada Quan Xi terutama Tendero.
“Memangnya hal apa yang kau lihat di belakang mansionku?” tanya Tendero semakin melebarkan senyum dibibirnya.
“Sesuatu yang akan memancing emosimu.”
“Apa ada penyusup?” tebak Xavinje Nolan.
Quan Xi menggeleng, “Bukan. Tapi aku melihat seorang gadis cantik kabur dari mansionmu secara diam-diam. Ciri-cirinya mirip sekali dengan wanita yang menjadi tawanan barumu,” ucap Qian Xi membuat Tendero yang mendengar itu langsung menggertakan gigi-giginya, kedua tangannya mengepal keras.
Tendero terlihat berang, perubahan emosi pria itu tampaknya bisa terbaca sempurna oleh teman-temannya lantas tanpa pikir panjang lagi Tendero langsung pergi dari kumpulan teman-temannya itu.
“Kanisa, aku sudah memperingatimu dari awal. Rupanya kau ingin bermain-main denganku,” guman Tendero. Dia mengambil langkah besar-besar keluar dari mansionya lewat pintu belakang untuk memburu Kanisa dan menyeretnya kembali ke mansionnya.
Kanisa terus saja berlari tanpa henti sambil sesekali melirik kebelakangnya. Berharap Tendero mau pun anak buahnya tidak mengejarnya, semoga saja pelariannya kali ini sukses.Merasa nafasnya mulai pendek Kanisa mulai sedikit memelankan laju larinya toh dia juga sudah berada cukup jauh dari mansion bos mafia itu.Kanisa mengelap keringat dikeningnya. Dia meneliti sekitarnya yang terasa begitu asing, tidak ada perumahan. Di kiri dan kananya hanya ada hutan yang membentang. Kanisa menelan salivannya, dia merasa bingung juga takut tapi itu tidak lantas membuatnya berhenti melangkah.Suara deru mesin mobil di belakangnya membuat Kanisa merasa langsung panik. Tanpa melihat ke belakang Kanisa langsung berlari masuk ke hutan sebelah kiri. Dia terus berlari tanpa memperdulikan ranting-ranting yang menggores tubuhnya sampai terluka.Udara terasa semakin dingin begitu Kanisa semakin masuk ke dalam hutan ditambah lagi dengan la
Kanisa terbangun di malam hari dengan sekujur tubuh yang terasa remuk, meski rasa sakitnya tidak sesakit saat pertama kali dia melakukannya dengan Tendero tetap saja pegal-pegal di tubuhnya serta miliknya yang terasa berdenyut membuat Kanisa merasa tidak enak, benar-benar tidak nyaman belum lagi dengan kepalanya yang terasa pening karena Kanisa terlalu lama menangis tapi untungnya Tendero sempat mengompres kedua matanya sehingga Kanisa tidak perlu merasa cemas dengan matanya yang akan bengkam. Dia juga sudah berpakaian lengkap, memakai satu setel pajama berwarna biru laut dan itu semua dipakaikan oleh Tendero begitu mereka selesai bercinta, bahkan tanpa ragu Tendero juga memandikan Kanisa membuat wanita itu tidak bisa berkutit dengan keinginan Tendero yang keras kepala dan tidak ingin dibantah.Kanisa menyenderkan punggungnya ke bantal dia lantas mengucek matanya lalu menguap. Perutnya mendadak bersuara nyaring tanda kalau dia tengah lapar hal itu membuat Kanisa men
“Aku ingin pulang dan bertemu keluargaku.” Kanisa memegang tangan Tendero saat pria itu hendak pergi dari rumah. Tendero pun spontan menghentikan langkahnya dan berbalik memandang Kanisa.“Aku mohon, biarkan aku bertemu keluargaku. Aku merindukan mereka dan ingin melihat keadaan mereka,” mohon Kanisa dengan wajah memelasnya.Tendero meraih tangan Kanisa dan membawa wanita itu ke dalam pelukannya, dia lantas mencium puncak kepala Kanisa sejenak lalu memandang wajah Kanisa yang terlihat muram. Sepertinya Kanisa memang sangat merindukan keluarganya.“Tidak sekarang,” ucap Tendero membuat Kanisa yang mendengarnya langsung melepaskan diri dari pelukan pria itu dan mendorong Tendero menjauh darinya.Kanisa menatap kesal pada Tendero.“Kau sudah mengucapkan itu beberapa waktu lalu, aku ingin sekarang bukan nanti!” balas Kanisa dengan nada yang agak meninggi.Tendero tetap terlihat santai t
Andrew menepikan mobilnya dipinggir jalan, sebuah rumah tua dipesisir pantai tampak terlihat tidak jauh di sebelah kanan.Tendero menurunkan kaca mobilnya. Menyipitkan matanya, melihat rumah tua namun terlihat elegan itu.“Kau yakin tempatnya di sini?” tanya Tendero kepada Andrew.“Iya bos, sesuai dengan alamat yang dia kirimkan,” jawab Andrew.Tendero pun turun dari mobilnya. Di susul oleh Andrew.“Kau sudah siapkan barangnya?” Tendero melirik Andrew yang berdiri disebelahnya.Andrew mengangguk, “Sudah bos.”“Kalau begitu cepat ambil. Kenapa diam saja,” omel Tendero.Andrew nyengir lantas bergegas mengambil barang pesanan si calon pembeli yang dia taruh di bagasi mobil. Setelah mengambil barangnya yang ada di dalam koper. Mereka pun pergi menuju rumah itu dengan Tendero yang memimpin.Suasana yang begitu hening dan menenangkan deng
Dengan cepat Kanisa menyusul Tendero.“Kau tidak berhak mengaturku terus. Biarkan aku bebas,” ucap Kanisa dengan lantang membuat Tendero langsung berhenti berjalan.Kanisa menatap tajam punggung Tendero hingga kemudian pria itu pun berbalik menatap Kanisa tajam.“Apa kau sudah lupa. Kau adalah jaminan pelunas utang keluargamu,” balas Tendero dengan suara dinginnya.“Aku akan melunasi utang-utang itu. aku akan membayarnya. Tapi aku mohon bebaskan aku, aku tidak ingin terus hidup bersamamu.”Tendero terkekeh kemudian dia tersenyum sinis. Dia lantas berjalan cepat menghampiri Kanisa dan mencengkram kasar kedua pipi wanita itu.“Memangnya kau mampu melunasi utang-utang itu huh.”Kanisa menepis kasar tangan Tendero yang mencengkram pipinya kasar kemudian menatap sinis pada pria itu.“Tentu saja. Aku akan berkerja keras lalu mengumpulkan uangnya untuk mel
Kanisa yang sedang terlelap dalam tidurnya merasa terusik karena ada pergerakan disekitarnya. Kedua matanya pun mengerjap sebelum kemudian terbuka, dia terkejut saat melihat Tendero sudah berada di atasnya, menghimpit badanya belum lagi dengan bau alkohol yang begitu menyengat tercium dari pria itu membuat Kanisa semakin kesal dan tidak nyaman.“Apa yang kau lakukan, lepaskan aku!” berontak Kanisa berusaha mendorong tubuh berat Tendero dari atas tubuhnya tapi sayangnya tubuh pria itu benar-benar berat.Tendero yang sudah tidak berpikir jernih lagi karena pengaruh alkohol yang cukup banyak dia tegak langsung menyerang Kanisa dan tidak membiarkan wanita itu lepas begitu saja. Setiap inci tubuh wanita itu kembali di jamah paksa oleh Tendero.Tendero benar-benar tidak terkendali hingga dia melampiaskan nafsu juga amarahnya yang menjadi satu kepada Kanisa tidak perduli meski Tendero melakukannya dengan kasar hingga membuat Kanisa menangi
Menutup pintu di belakangnya Tendero melangkah mendekati Kanisa lalu memeluk wanita itu dari belakang, menatap wajah Kanisa yang terlihat begitu murung dengan tatapan yang kosong. Itu membuat Tendero semakin terpukul, apa sebegitu tidak bahagiannya Kanisa tinggal bersamanya?“Kenapa kau tidak cepat mengeringkan rambutmu, nanti kau bisa sakit,” ucap Tendero tapi Kanisa tidak menggubrisnya sama sekali, wanita itu tetap pada posisinya.Tendero menghela nafas, tanpa berkata apa pun lagi dia pun berinsiatif mengeringkan rambut Kanisa secara manual dengan menggunakan handuk kecil yang baru saja Tendero ambil dari dalam lemari.Dengan gerakan lembut dan penuh ke hati-hatian Tendero mengambil rambut Kanisa lalu menggosoknya pelan dengan handuk hingga rambut-rambut itu mengering. Sesekali Tendero menatap wajah Kanisa melalui pantulan cermin dihadapannya. Wanita itu masih betah bungkam meski Kanisa sesekali juga mencur
Tendero membawa Kanisa menuju restauran yang tidak jauh dari hotel yang mereka tinggali.Tidak terlalu banyak makanan yang mereka pesan malam ini, hanya dua jenis makanan ditambah dua gelas minuman saja.Kanisa terlihat makan dengan lahap. Lebih tepatnya dia makan dengan cepat karena sengaja. Kanisa sudah tidak sabar ingin segera bertemu keluarganya. Rasa rindu terhadap keluarganya tidak mampu ditahan lagi olehnya.Sementara Tendero yang melihat bagaimana cara Kanisa makan dengan begitu cepat membuat dia mendengus dan beberapa kali menegurnya tapi Kanisa tidak mendengarkan perkataan Tendero hal itu pun tentu membuat Tendero kesal hingga pria itu mengancam Kanisa.“Makan dengan pelan Kanisa atau aku tidak akan jadi membawamu ke rumah keluargamu,” ancamnya sambil menatap Kanisa dengan tajam.Kanisa yang mendapat ancaman itu langsung mencebik sebal namun dia tidak membantah sama sekali. Akh