Pesta yang digelar Tendero dikediamannya sendiri luar biasa mewahnya. Sangat elegan dan juga menawan. Setiap mata yang melihat langsung dibuat takjub dan tidak henti-hentinya berdecak iri.
Bukan hanya mansion saja yang disulap menjadi sangat begitu meriah dan mewah, taman depan bahkan sampai ujung gerbang pun disulapnya menjadi begitu indah.
Pesta yang benar-benar sangat indah dan mewah itu tentunya juga banyak menghabiskan biaya. Tapi bagi Tendero biaya sebesar apa pun tidaklah masalah selama dia mampu.
Sementara itu di kamar Kanisa. Wanita itu terlihat duduk merajuk pada pelayan pribadinya, Netra. Sejak dari tadi Kanisa terus disuruh untuk berganti pakaian dengan yang sudah dibelikan Tendero untuknya tapi Kanisa tidak juga menurut. Dia terus saja menolak dan memberikan banyak alasan.
Netra yang kehabisan cara untuk membujuknya pun tidak tahu harus bagaimana lagi agar nonanya itu segera berganti pakaian dan berdandan untuk acara pesta yang sebentar lagi akan di gelar.
Jika dia tidak berhasil membujuknya maka Tendero pasti akan memarahinya habis-habisan dan yang lebih parahnya lagi, pria itu bisa saja menghukumnya karena tidak becus menjalankan tugas sekecil ini.
Iya, tugasnya memanglah sangat kecil dan sederhana namun Kanisa mempersulit segalanya.
“Nona, cepat pakai ini. Jika tidak tuan bisa memarahiku, bukan hanya itu saja jika aku tidak bisa membujukmu untuk segera memakai pakaian ini dan segera berdandan aku bisa di hukum cambuk oleh tuan,” mohon Netra untuk kesekian kalinya. Matanya terlihat memelas.
Kanisa melengos enggan menatap Netra. Netra yang melihatnya merasa sedih tapi tidak lama kemudian senyumnya menggembang saat melihat Kanisa mengambil dres biru selutut dari tangannya.
“Kau pergi saja. Aku akan bersiap-siap sendiri,” ucap Kanisa tanpa melirik Netra.
Netra diam sejenak, terlihat ragu tapi kemudian dia mengangguk patuh dan pergi dari sana. Membiarkan Kanisa bersiap sendiri.
Kanisa menghela nafas. Mematung di depan cermin, menatap dirinya yang kini berbalutkan dres biru selutut yang terlihat begitu indah dan pas ditubuhnya. Riasan tipis yang cukup alami pun dia berikan diwajahnya, tidak mencolok tapi cukup membuat wajahnya menjadi terlihat fresh dan natural.
Sebuah tangan tiba-tiba melingkari diperutnya membuat Kanisa menahan nafas, merasakan debaran asing merasuk ke dalam relung hatinya.
Sosok Tendero yang terlihat menawan terlihat berdiri memeluknya dari belakang. Senyum manis mengembang dibibir pria itu membuat Kanisa yang notabenya mudah luluh pada pria tampan semakin dibuat berdebar hanyut pada ketampanan pria bajingan yang kini memeluknya dengan begitu posesif.
“Cantik,” puji Tendero.
Tendero menempelkan bibirnya dibahu putih mulus Kanisa yang sedikit terekspos, lalu mencium pipi kiri Kanisa dengan lembut.
Tidak ingin semakin terbawa hanyut pada perlakuan Tendero, Kanisa buru-buru melepaskan tangan Tendero yang melingkar diperutnya. Dia menarik diri, menjauh dari Tendero dan menatapnya tajam.
“Aku bukan mainan, jadi berhenti memperlakukanku dengan sesukamu!”
Tendero tersenyum kalem dan bersidekap. “Nyatanya kau memanglah mainanku semenjak hari itu. Apa pun yang ingin aku lakukan kepadamu termasuk membunuhmu pun itu adalah hak ku,” ucapnya dengan enteng, seolah tidak ada beban sama sekali dan itu benar-benar membuat Kanisa marah dengan mengepalkan tangannya.
“Kau— ” tunjuk Kanisa, “Bajingan, enyah saja kau ke neraka!”
Bukannya kesal Tendero justru malah terkekeh, mendekati Kanisa dan mencengkram rahang gadis itu. Tatapannya yang semula bersahabat berubah dingin dan tajam.
“Jangan pernah membantahku, sayang. Atau kau akan tahu konsekuensinya,” ucap Tendero di depan bibir Kanisa sebelum akhirnya mengecup sekilas bibir merah muda Kanisa.
Kanisa yang mendapat perlakuan tiba-tiba itu hanya bisa melotot. Menatap Tendero kesal berbeda dengan Tendero yang justru malah tersenyum miring.
“Ayo, yang lain pasti sudah menunggu kita.”
Tendero melingkarkan sebelah tangannya dipinggang ramping Kanisa, membawanya keluar dari kamar.
Dengan langkah ogah-ogahan Kanisa menuruni setiap anak tangga yang di laluinya bersama dengan Tendero yang setia berada di sisinya. Pria itu benar-benar tidak mau melepaskan rangkulannya pada pinggang Kanisa, padahal Kanisa sudah berulang kali mencoba menyingkirkan tangan pria itu, bukannya menyingkir pria itu justru malah semakin mempererat rengkuhannya sampai tidak ada lagi jarak di antara mereka. Kanisa mendelik kesal pada Tendero yang tampak biasa-biasa saja bahkan dia terkesan santai tanpa merasa terganggu dengan mood Kanisa yang buruk.Kedatangan Tendero dan Kanisa mengundang banyak pasang mata menatap ke arah pasangan yang terlihat tampak serasi itu dengan pandangan mengagumi sekaligus penasaran. Tanpa melepaskan rangkulannya pada pinggang Kanisa, Tendero melempar senyum ramahnya pada para tamunya yang sudah menghadiri pesta yang dia adakan.Tak sedikit pula banyak tamu yang mulai silih berbisik tanpa melepaskan tatapannya dari sosok Tendero
Kanisa terus saja berlari tanpa henti sambil sesekali melirik kebelakangnya. Berharap Tendero mau pun anak buahnya tidak mengejarnya, semoga saja pelariannya kali ini sukses.Merasa nafasnya mulai pendek Kanisa mulai sedikit memelankan laju larinya toh dia juga sudah berada cukup jauh dari mansion bos mafia itu.Kanisa mengelap keringat dikeningnya. Dia meneliti sekitarnya yang terasa begitu asing, tidak ada perumahan. Di kiri dan kananya hanya ada hutan yang membentang. Kanisa menelan salivannya, dia merasa bingung juga takut tapi itu tidak lantas membuatnya berhenti melangkah.Suara deru mesin mobil di belakangnya membuat Kanisa merasa langsung panik. Tanpa melihat ke belakang Kanisa langsung berlari masuk ke hutan sebelah kiri. Dia terus berlari tanpa memperdulikan ranting-ranting yang menggores tubuhnya sampai terluka.Udara terasa semakin dingin begitu Kanisa semakin masuk ke dalam hutan ditambah lagi dengan la
Kanisa terbangun di malam hari dengan sekujur tubuh yang terasa remuk, meski rasa sakitnya tidak sesakit saat pertama kali dia melakukannya dengan Tendero tetap saja pegal-pegal di tubuhnya serta miliknya yang terasa berdenyut membuat Kanisa merasa tidak enak, benar-benar tidak nyaman belum lagi dengan kepalanya yang terasa pening karena Kanisa terlalu lama menangis tapi untungnya Tendero sempat mengompres kedua matanya sehingga Kanisa tidak perlu merasa cemas dengan matanya yang akan bengkam. Dia juga sudah berpakaian lengkap, memakai satu setel pajama berwarna biru laut dan itu semua dipakaikan oleh Tendero begitu mereka selesai bercinta, bahkan tanpa ragu Tendero juga memandikan Kanisa membuat wanita itu tidak bisa berkutit dengan keinginan Tendero yang keras kepala dan tidak ingin dibantah.Kanisa menyenderkan punggungnya ke bantal dia lantas mengucek matanya lalu menguap. Perutnya mendadak bersuara nyaring tanda kalau dia tengah lapar hal itu membuat Kanisa men
“Aku ingin pulang dan bertemu keluargaku.” Kanisa memegang tangan Tendero saat pria itu hendak pergi dari rumah. Tendero pun spontan menghentikan langkahnya dan berbalik memandang Kanisa.“Aku mohon, biarkan aku bertemu keluargaku. Aku merindukan mereka dan ingin melihat keadaan mereka,” mohon Kanisa dengan wajah memelasnya.Tendero meraih tangan Kanisa dan membawa wanita itu ke dalam pelukannya, dia lantas mencium puncak kepala Kanisa sejenak lalu memandang wajah Kanisa yang terlihat muram. Sepertinya Kanisa memang sangat merindukan keluarganya.“Tidak sekarang,” ucap Tendero membuat Kanisa yang mendengarnya langsung melepaskan diri dari pelukan pria itu dan mendorong Tendero menjauh darinya.Kanisa menatap kesal pada Tendero.“Kau sudah mengucapkan itu beberapa waktu lalu, aku ingin sekarang bukan nanti!” balas Kanisa dengan nada yang agak meninggi.Tendero tetap terlihat santai t
Andrew menepikan mobilnya dipinggir jalan, sebuah rumah tua dipesisir pantai tampak terlihat tidak jauh di sebelah kanan.Tendero menurunkan kaca mobilnya. Menyipitkan matanya, melihat rumah tua namun terlihat elegan itu.“Kau yakin tempatnya di sini?” tanya Tendero kepada Andrew.“Iya bos, sesuai dengan alamat yang dia kirimkan,” jawab Andrew.Tendero pun turun dari mobilnya. Di susul oleh Andrew.“Kau sudah siapkan barangnya?” Tendero melirik Andrew yang berdiri disebelahnya.Andrew mengangguk, “Sudah bos.”“Kalau begitu cepat ambil. Kenapa diam saja,” omel Tendero.Andrew nyengir lantas bergegas mengambil barang pesanan si calon pembeli yang dia taruh di bagasi mobil. Setelah mengambil barangnya yang ada di dalam koper. Mereka pun pergi menuju rumah itu dengan Tendero yang memimpin.Suasana yang begitu hening dan menenangkan deng
Dengan cepat Kanisa menyusul Tendero.“Kau tidak berhak mengaturku terus. Biarkan aku bebas,” ucap Kanisa dengan lantang membuat Tendero langsung berhenti berjalan.Kanisa menatap tajam punggung Tendero hingga kemudian pria itu pun berbalik menatap Kanisa tajam.“Apa kau sudah lupa. Kau adalah jaminan pelunas utang keluargamu,” balas Tendero dengan suara dinginnya.“Aku akan melunasi utang-utang itu. aku akan membayarnya. Tapi aku mohon bebaskan aku, aku tidak ingin terus hidup bersamamu.”Tendero terkekeh kemudian dia tersenyum sinis. Dia lantas berjalan cepat menghampiri Kanisa dan mencengkram kasar kedua pipi wanita itu.“Memangnya kau mampu melunasi utang-utang itu huh.”Kanisa menepis kasar tangan Tendero yang mencengkram pipinya kasar kemudian menatap sinis pada pria itu.“Tentu saja. Aku akan berkerja keras lalu mengumpulkan uangnya untuk mel
Kanisa yang sedang terlelap dalam tidurnya merasa terusik karena ada pergerakan disekitarnya. Kedua matanya pun mengerjap sebelum kemudian terbuka, dia terkejut saat melihat Tendero sudah berada di atasnya, menghimpit badanya belum lagi dengan bau alkohol yang begitu menyengat tercium dari pria itu membuat Kanisa semakin kesal dan tidak nyaman.“Apa yang kau lakukan, lepaskan aku!” berontak Kanisa berusaha mendorong tubuh berat Tendero dari atas tubuhnya tapi sayangnya tubuh pria itu benar-benar berat.Tendero yang sudah tidak berpikir jernih lagi karena pengaruh alkohol yang cukup banyak dia tegak langsung menyerang Kanisa dan tidak membiarkan wanita itu lepas begitu saja. Setiap inci tubuh wanita itu kembali di jamah paksa oleh Tendero.Tendero benar-benar tidak terkendali hingga dia melampiaskan nafsu juga amarahnya yang menjadi satu kepada Kanisa tidak perduli meski Tendero melakukannya dengan kasar hingga membuat Kanisa menangi
Menutup pintu di belakangnya Tendero melangkah mendekati Kanisa lalu memeluk wanita itu dari belakang, menatap wajah Kanisa yang terlihat begitu murung dengan tatapan yang kosong. Itu membuat Tendero semakin terpukul, apa sebegitu tidak bahagiannya Kanisa tinggal bersamanya?“Kenapa kau tidak cepat mengeringkan rambutmu, nanti kau bisa sakit,” ucap Tendero tapi Kanisa tidak menggubrisnya sama sekali, wanita itu tetap pada posisinya.Tendero menghela nafas, tanpa berkata apa pun lagi dia pun berinsiatif mengeringkan rambut Kanisa secara manual dengan menggunakan handuk kecil yang baru saja Tendero ambil dari dalam lemari.Dengan gerakan lembut dan penuh ke hati-hatian Tendero mengambil rambut Kanisa lalu menggosoknya pelan dengan handuk hingga rambut-rambut itu mengering. Sesekali Tendero menatap wajah Kanisa melalui pantulan cermin dihadapannya. Wanita itu masih betah bungkam meski Kanisa sesekali juga mencur