Esoknya, menjelang tengah hari, pasangan pengantin baru itu beranjak ke Gilimanuk, tepatnya ke sebuah rumah makan dengan menu andalan Ayam Betutu. Kali ini Andien tak menyarankan tempat ini, melainkan meminta Dirga yang mengatur dimana mereka akan makan siang.
“Sayang sering ke sini?” tanya Dirga.
“Baru sekali.” ujar Andien.
“Masa?”
“Iya. Sama
“PAPA!” pekik Cantika saat melihat Dirga dan Andien masuk ke living room villa itu. Kediaman Diandra dan Diva memang menyatu dengan komplek villa mereka. Ada lima villa di sana, dan salah satunya ditempati sang empunya. Awalnya, Collins sekeluarga tinggal di Sanur. Begitu sang kepala keluarga berpulang, tak butuh waktu lama, Diandra membawa ketiga anaknya yang saat itu masih dalam usia remaja dan kanak-kanak pindah ke Ubud, sementara tempat tinggal mereka di Sanur sebelumnya Diandra sewakan. Begitu anak-anaknya dewasa, Devan merantau ke Jakarta, Davi mengadu nasib kembali dengan membuka usaha dan tinggal di kediaman lama mereka, sementara Diva si bungsu tetap di Ubud menemani sang Ibu.
Tak ada suasana suram yang menghantui keduanya sepulang kunjungan mereka dari kediaman Diandra. Hanya saja, ketiga anak mereka masih betah berlama-lama di villa nan sejuk itu. Ditambah kedatangan Davi dan keluarga kecilnya saat makan malam membuat suasana kala itu semakin hangat dan mengakibatkan Eldra, Anne dan Cantika urung ikut dengan kedua orang tuanya. Diva pun tak merasa keberatan untuk menjaga buah hati mereka agar bulan madu mereka tak terganggu dan lebih berkesan indah. Ekstra dua malam tanpa celoteh ketiga putera dan puteri mereka mengembalikan rutinitas keduanya. Sepanjang hari diisi perjalanan romantis menyambangi tempat-tempat terbaik di Pulau Dewata, sementara malam harinya diisi dengan keintiman – dari mulai berenang berdua, hingga menghabiskan tenaga dengan berbagi desah dan peluh.
Andien menatap Dirga yang belum juga beres menata isi koper mereka. El, Anne dan Cantika tak henti mengitarinya bergantian. Ketiga bocah itu sejak dua hari lalu membuat suasana villa menjadi hiruk pikuk. Suara-suara erotis yang tadinya bergema di seisi villa, kini teredam oleh suara tawa, teriakan, dan tangis ketiga bocah itu. Andien duduk di samping Dirga, menatapnya sambil tersenyum. "Mau dibantu?" ‘Cup!’ Dirga justru memberinya ciuman singkat.
Hari sudah gelap ketika mereka keluar dari terminal kedatangan domestik Bandara Soekarno Hatta. Sam yang melihat Cantika langsung berlari ke arahnya, menunggu Cantika yang kerepotan turun dari stroller-nya. "Dibilang tunggu di rumah aja ga mau dia. Keburu girang dibilang Cantika pulang dari Bali." ujar Hana. "Gue terima aja apa permintaan laki lo itu, de?" "Permintaan apa?"
"JANGAAAAAN!!!" Koper yang setengah terangkat di tangan Dirga terlepas kala jeritan Andien terdengar. Dirga segera membalik tubuhnya ke arah Andien yang tadi berlari histeris ke belakangnya. Mata Dirga terbelalak. 'Jleb!' Satu tusukan benda tajam bersarang di perut isterinya bahkan ketika Dirga belum berdiri sempurna dari perubahan posisinya tadi. Jelas tusukan itu tak ditujukan untuk Andien, tapi untuk dirinya. Dan Andie
Dirga terduduk lesu di ruang tunggu Operation Room. Sejak Andien tak sadarkan diri, tak satu patah katapun terdengar dari mulutnya, hanya netranya yang terus menerus mengeluarkan air mata. Pria itu benar-benar terlihat kacau. Kelebat rasa bersalah karena lengah menjaga sang istri terus saja menghantuinya. Betapa bodohnya ia, bagaimana bisa justru Andien yang melindunginya? Anggara, Anggita, beserta semua anak dan menantu – kecuali April yang tetap di kediaman Pranata untuk menjaga anak-anak mereka, dan Ari yang berada di dalam ruang operasi – ada di ruang tunggu. Waktu beranjak begitu lambat bagi mereka semua, seakan semesta turut bersedih dengan kejadian yang menimpa.
Dirga menemui Andien yang sudah dipindahkan ke ruang ICU pasca operasi. Ia mengecup kening Andien seraya meneteskan air matanya. Kecupannya menjalar, ke seluruh wajah Andien yang tak terhalang peralatan medis. Dirga berdiri di samping Andien, tak bersuara, hanya menggenggam tangan dan mengusap lembut puncak kepala istrinya itu. Detik demi detik, menit demi menit, hanya ada tatapan pilu dari pria itu. Hatinya terus merapalkan doa, semoga yang ia alami ini hanya mimpi buruk belaka. Ia masih mengingat jelas kebiasaan istrinya yang baru ia ketahui seminggu belakangan ini. Andien yang selalu tidur dengan tenang, menjelang dini hari ia akan mengubah posisi tidurnya. Saat itu, Andien akan membuka netranya sesaat, merapatkan dirinya pada Dirga, mengecup lembut bibirnya, lalu menempelkan kepalanya di dada Dirga, memeluknya dan kembali tertidur. Di jam yang sama, setiap malam. "Sayang... Maafin aku... Maafin aku... Harusnya aku yang terbaring di tempat ini. Harusnya aku
Hari ke tujuh belas pasca operasi, kondisi paru-paru dan jantung Andien yang sempat terluka kian membaik. Selang intubasi dilepas dari tubuh istri Dirga itu, walaupun kesadaran belum juga menyapanya. Esoknya Andien dipindahkan ke ruang perawatan. Berbagai kabel masih dihubungkan ke tubuhnya untuk memonitor kondisinya setiap saat. Sepanjang perawatan istrinya, Dirga tak seharipun absen mengunjunginya. Setiap pagi dan malam ia akan datang untuk membersihkan tubuh Andien, ia bahkan meminta khusus pada perawat di sana agar tugas itu dikhususkan untuknya. Dirga akan mengajaknya bicara, bercerita, atau bernyanyi setiap kali mengusap tubuh Andien dengan handuk hangat. Suara khas baritonnya sudah sangat akrab di telinga tenaga kesehatan yang bertugas di ruang ICU itu. Bahkan mereka kerap kali ikut menitikkan air mata kala suara merdu Dirga berubah menjadi isak pilu. Dan kini, sudah tiga puluh tiga hari Andien terbaring tak sadarkan diri. Hanya detak jantung dan berbagai mon