Rosi mengendurkan rengkuhannya setelah napas Ditya terasa mulai teratur. Ditya menarik dirinya dari pelukan Rosi. "Maaf Ummah." "Tak apa. Ini, ganti bajumu. Shalat. Lalu istirahatlah. Pulanglah besok." "Ga usah Ummah." "Semua tidur di sini malam ini." "Saya pulang saja Ummah." "Berani kamu keluar dari pintu itu, saya patahkan kakimu!" titah Hamdan. "Wajahmu saja tampak lemah begitu masih memaksa mau nyetir di tengah hujan badai begini." Ditya tau tak mungkin melawan kedua orang tua Andien itu. Ia mengangguk, kemudian beranjak untuk membersihkan dirinya.Para pria kini menduduki lantai bawah. Sementara para wanitanya dan sebagian anak-anak berada di lantai atas. Ian dan Kia tampak mengadu keahlian bermain PS. Sementara Dirga, Ken, Edo, Dewa dan Borne memilih bermain kartu dengan taruhan jepit jemuran yang akan dipasangkan di wajah mereka jika mereka kalah. Mereka memang senang sekali menyiksa diri. Bersisian dengan kelima pria berkartu itu,
"Lo tau kan lo cinta pertama Nara?" tanya Dewa pada Dirga. "Tau. Tapi gue ga ngerti maksudnya nunggu." "Nunggu sejak gue bilang lo mau balik kali, Ga!" potong Ian. "Bukan! Nara selalu nunggu lo, Ga!” tegas Dewa. “Sebelum gue nikah sama Sandra, dulu Sandra suka cerita alasan Nara lama sendiri sampai akhirnya nerima Devan sebagai cowoknya. Nara bilang dia ‘berhutang’ sama seseorang di masa kecilnya. Dan cowok itu adalah cowok pertama yang dia taksir. Sayangnya, Nara ga bisa ingat wajah cowok ini. Cowok itu elo, Ga. Nara berharap banget dia bisa ketemu lagi sama lo. Bahkan Sandra sering nemanin Nara ke lingkungan kalian dulu, berharap nemuin jejak lo di sana. Walaupun ternyata, nihil. “Butuh waktu lama untuk Nara bisa mencintai Devan. Dan itu semua karena dia yang ga bisa menutup harapan dia untuk ketemu lo. Kata Sandra, sekitar empat tahunan jadian baru Nara ngerasa kalau dia mencintai Devan, bukan sekedar terbiasa akan kehadirannya aja. Pas mereka j
London di masa lalu."Assalammu'alaikum." "Wa'alaikumsalam. Ya Allah anak Mama. Sehat, Nak?" "Alhamdulillah sehat, Ma. Mama dan Papa sehat?" "Sehat, Nak. Abangmu dan Borne bagaimana?" "Kami sehat semua di sini, Ma. Mama ga usah khawatir." Terdengar isak tangis yang tertahan di seberang sana. "Kok Mama nangis?" Dirga menunggu jawaban dari sang Mama yang masih terisak. "Maafin Mama dan Papa. Kalian jadi terlunta-lunta di sana." "Ya Allah, Mama... Kami kan kuliah dapat beasiswa, Ma. Abang juga udah residence. Dirga dan Borne juga sambil kerja. Jadi Mama ga usah khawatir. Kami baik-baik saja. Kemarin ada yang beli design Dirga. Lumayan hasilnya. Inshaa Allah mau Dirga seriusin. Do'ain aja ya, Ma." "Iya, Nak." "Mama, Papa, Kak Nisa dan Hana jaga kesehatan ya. Cuma itu yang bikin kami tenang di sini." "Iya, sayang. Makan yang teratur, istirahat yang cukup. Shalat lima waktu. Waspada dengan hal-hal yang ga baik ya, Nak."
"Baiklah, Anda bisa mengajukan sidang bulan depan. Persiapkan diri Anda dengan baik." Titah Prof. Barnard pada Dirga. "Yes, Sir." Jawab Dirga. Tak bersemangat. "What?" tanya pria di hadapan Dirga itu. Menangkap ekspresi ragu di wajah Dirga. "Nothing, Sir. Kemungkinan saya akan pulang ke Indonesia sebelum sidang, sekitar sepuluh hari." "Orang tuamu sehat?" "Hopefully. Thank you for asking." "Ok. But remember, prepare yourself. Jangan mengacau!" "Yes, Sir!" Tiga hari kemudian Dirga sudah menjejakkan kakinya di depan rumahnya. Ia membuka gembok pagar dengan menekan beberapa nomor kombinasi. Kakinya melangkah terburu-buru menuju pintu rumah. "ASSALAMMU'ALAIKUM. MAMA, ELANG PULANG!" teriak Dirga seraya membuka pintu di hadapannya. Anggita dan Anggara yang mendengar suara putera ketiganya itu melangkahkan kaki keluar dari kamar mereka. Dirga tersenyum lebar saat melihat kedua orang tuanya, sementara Hana sudah tenggelam dalam pelukan hangat aban
Ian memakirkan mobilnya di tepi jalan tak jauh dari kediamannya dulu di selatan Jakarta. Dirga tampak tekun menatap sepasang cincin yang ia letakkan di telapaknya, tanpa kotak, hanya terikat dengan seutas tali berwarna hitam. Ia lalu memasang kembali kalung hitam berliontinkan sepasang cincin itu ke lehernya. Menutup keberadaan benda itu dengan kerah bajunya. "Udah siap?" tanya Ian. "Harus! Gue ga akan coba-coba. Gue bakal maju no matter what!" Ian mengangguk. "Good luck, bro!" ujarnya seraya menepuk bahu Dirga. Dirga keluar dari Honda Civic berwarna hitam milik Ian, memegang dadanya yang sedari tadi isi dalamnya menggebu bertalu-talu. "Calm down. Calm down!" monolognya. Ia berjalan pasti dengan menenteng sebuah paper bag berwarna putih, menuju sebuah rumah sederhana - yang ia ingat memiliki pagar sepinggangnya dengan warna putih gading. Di dinding depan rumah itu, dulu, tergantung beberapa tanaman yang tumbuh menjuntai ke bawah. Di balik pagar putih gadi
Andien tersenyum melihat pria berkaca mata di depan pintu kosannya. Pria itu menenteng kantong plastik yang bertuliskan nama sebuah restoran cepat saji ternama dengan menu andalan bakmi dan masakan oriental. Jangan lupakan senyum dengan lesung pipi milik pria itu, yang selalu membuat Andien tak bosan menatapnya. "Hi beautiful!" sapa pria itu ramah. "A Devan udah lama?" tanya Andien sambil membuka pintu kamar kosannya. "Ayo masuk A."
Andien meneteskan air matanya. Haru mendengar janji cinta dari kekasihnya."Aa'...""Keinara Andieni Tachsin... Maukah kamu menikah denganku? Menjadi isteriku dan ibu dari anak-anak kita nanti?"Andien tak mampu menahan isaknya. Kepalanya mengangguk pasti. Ia memaksakan senyum di wajahnya yang masih berurai air mata haru."Iya A. Aku mau." jawabnya
Andien menutup pintu kosannya, membopong laptop lalu naik ke atas tempat tidurnya, melanjutkan menonton film yang tadi ia tonton bersama Devan. Sandra sedang menikmati makanan hangat di hadapannya, memilih mengenyangkan perut dahulu sebelum menginterogasi sahabat baiknya.Usai menghabiskan makan malam dan membersihkan dirinya, Sandra bergabung dengan Andien di atas kasur. Ia meraih kedua telapak tangan Andien, lalu menggenggamnya. Andien menatap netra sahabatnya itu."Nara... Sebelum gue ngucapin sela
Setelah memporak-porandakan ruang keluarga, Andien dan Dirga melanjutkan ronde kedua percintaan mereka di master bedroom rumah itu. Berbeda dengan ruangan lantai dasar yang di desain polos dengan gradasi warna cream ke putih di setiap dindingnya, lantai dua yang berisikan kamar-kamar para anggota keluarga dan sebuah ruang serbaguna, dinding-dindingnya berlukiskan hasil karya Edo – adik ipar Dirga. Wall mural yang kini menjadi salah satu order terbesar di perusahaan desain milik Dirga dan kawan-kawan memang membuat level hunian menjadi lebih nyaman dan terkesan mewah. Kamar Andien dan Dirga didominasi furniture yang terbuat dari kayu berwarna putih tulang, sementara untuk pernak pernik dan ornamen-ornamen pemanis - warna yang dipilih Dirga adalah warna-warna pastel sep
Tahun keenam pernikahan Dirga dan Andien.Dirga memeluk sang istri dari belakang, menempelkan bibirnya di daun telinga Andien.“Sudah siap?”Andien terkekeh geli.“Norak tau, Kak!”
“Sayang...” panggil Dirga saat Andien sedang merapihkan pakaian mereka ke dalam walk in closet.“Apa?”“Sini sebentar.”Andien menghentikan kegiatannya, lalu bergabung bersama Dirga di atas ranjang mereka.“Ada apa?”
Seperti biasa, Andien terbangun dari tidurnya di jam yang sama setiap malam. Yang berbeda, malam itu Dirga tak ada di sisinya, juga tak nampak di seantero kamar mereka. Andien beranjak dari ranjang, melangkah perlahan mendekati pintu penghubung kamar itu dengan ruang kerja Dirga, pendar cahaya masih nampak menembus celah antara pintu dengan lantai kayu rumah mereka.“Sayang?” tegur Andien saat mendapati suaminya yang duduk termenung seraya menyapukan ibu jari di pinggiran mug.“Hey, baby...”“Kok ga tidur?”
Dirga sekeluarga menyempatkan diri untuk pulang ke Indonesia ketika Summer Break. Jadwal pulang Dirga yang sebelum menikah mengikuti kalender islam – yaitu saat puasa Ramadhan, kini bergeser mengikuti libur anak-anaknya yang masih berstatus pelajar.Saat ini mereka sedang menghadiri acara pertunangan sepupu Dirga di salah satu ballroom hotel berbintang di Jakarta. Dirga yang memiliki prinsip untuk membopong semua anak-anaknya ke setiap acara keluarga sontak menjadi perhatian utama kerabat-kerabatnya selain pasangan calon mempelai.
“Kak...” sapa Andien seraya melangkah masuk ke kamar mereka. Andien mengambil pijakan kaki dari bawah meja riasnya, mendekat pada Dirga sebelum akhirnya meletakkan benda itu dan naik ke atasnya – hendak memasangkan dasi untuk sang suami. “Ada meeting ya hari ini?” “Iya. Mau ada tender lagi, sayang.”
“Mr. Harold?”Dirga tak menyangka dengan kehadiran seorang pria di balik pintu rumahnya. Pria itu membawa sebuah paper bag dengan nama toko mainan tempatnya bekerja.“Mr. Pranata.”“Ada yang bisa saya bantu?”
"Sayang, something happened with Anne."Dirga dan Ken baru saja turun dari deep black pearl Volkswagen Golf milik Dirga, bahkan handle pintu mobil itu masih digenggamannya. Dirga menutup pintu mobil, merangkul Andien, melabuhkan ciuman hangat di kening dan bibir isterinya."I'm home, sayang."
Andien turun dari mobilnya ingin bertandang sejenak ke sebuah toko yang menjual berbagai jenis rempah Asia. Ia baru saja mengantarkan Cantika ke play group yang tiga minggu terakhir menjadi salah satu tempat untuk belajar dan bersosialisasi bagi puteri kecilnya itu.Andien harus berjalan kaki beberapa ratus meter ke dalam untuk mencapai toko yang ia tuju. Langkahnya terhenti ketika melewati sebuah café dengan nuansa modern yang terasa begitu nyaman. Netranya terbelalak melihat Dirga sedang berbicara – jika bisa dibilang demikian – dengan seorang perempuan yang begitu... perfect