"Baiklah, Anda bisa mengajukan sidang bulan depan. Persiapkan diri Anda dengan baik." Titah Prof. Barnard pada Dirga. "Yes, Sir." Jawab Dirga. Tak bersemangat. "What?" tanya pria di hadapan Dirga itu. Menangkap ekspresi ragu di wajah Dirga. "Nothing, Sir. Kemungkinan saya akan pulang ke Indonesia sebelum sidang, sekitar sepuluh hari." "Orang tuamu sehat?" "Hopefully. Thank you for asking." "Ok. But remember, prepare yourself. Jangan mengacau!" "Yes, Sir!" Tiga hari kemudian Dirga sudah menjejakkan kakinya di depan rumahnya. Ia membuka gembok pagar dengan menekan beberapa nomor kombinasi. Kakinya melangkah terburu-buru menuju pintu rumah. "ASSALAMMU'ALAIKUM. MAMA, ELANG PULANG!" teriak Dirga seraya membuka pintu di hadapannya. Anggita dan Anggara yang mendengar suara putera ketiganya itu melangkahkan kaki keluar dari kamar mereka. Dirga tersenyum lebar saat melihat kedua orang tuanya, sementara Hana sudah tenggelam dalam pelukan hangat aban
Ian memakirkan mobilnya di tepi jalan tak jauh dari kediamannya dulu di selatan Jakarta. Dirga tampak tekun menatap sepasang cincin yang ia letakkan di telapaknya, tanpa kotak, hanya terikat dengan seutas tali berwarna hitam. Ia lalu memasang kembali kalung hitam berliontinkan sepasang cincin itu ke lehernya. Menutup keberadaan benda itu dengan kerah bajunya. "Udah siap?" tanya Ian. "Harus! Gue ga akan coba-coba. Gue bakal maju no matter what!" Ian mengangguk. "Good luck, bro!" ujarnya seraya menepuk bahu Dirga. Dirga keluar dari Honda Civic berwarna hitam milik Ian, memegang dadanya yang sedari tadi isi dalamnya menggebu bertalu-talu. "Calm down. Calm down!" monolognya. Ia berjalan pasti dengan menenteng sebuah paper bag berwarna putih, menuju sebuah rumah sederhana - yang ia ingat memiliki pagar sepinggangnya dengan warna putih gading. Di dinding depan rumah itu, dulu, tergantung beberapa tanaman yang tumbuh menjuntai ke bawah. Di balik pagar putih gadi
Andien tersenyum melihat pria berkaca mata di depan pintu kosannya. Pria itu menenteng kantong plastik yang bertuliskan nama sebuah restoran cepat saji ternama dengan menu andalan bakmi dan masakan oriental. Jangan lupakan senyum dengan lesung pipi milik pria itu, yang selalu membuat Andien tak bosan menatapnya. "Hi beautiful!" sapa pria itu ramah. "A Devan udah lama?" tanya Andien sambil membuka pintu kamar kosannya. "Ayo masuk A."
Andien meneteskan air matanya. Haru mendengar janji cinta dari kekasihnya."Aa'...""Keinara Andieni Tachsin... Maukah kamu menikah denganku? Menjadi isteriku dan ibu dari anak-anak kita nanti?"Andien tak mampu menahan isaknya. Kepalanya mengangguk pasti. Ia memaksakan senyum di wajahnya yang masih berurai air mata haru."Iya A. Aku mau." jawabnya
Andien menutup pintu kosannya, membopong laptop lalu naik ke atas tempat tidurnya, melanjutkan menonton film yang tadi ia tonton bersama Devan. Sandra sedang menikmati makanan hangat di hadapannya, memilih mengenyangkan perut dahulu sebelum menginterogasi sahabat baiknya.Usai menghabiskan makan malam dan membersihkan dirinya, Sandra bergabung dengan Andien di atas kasur. Ia meraih kedua telapak tangan Andien, lalu menggenggamnya. Andien menatap netra sahabatnya itu."Nara... Sebelum gue ngucapin sela
Dirga tak henti tersenyum memandangi sosok di foto yang dikirimkan Hana melalui pesan singkat padanya. Foto-foto Andien yang sedang fitting gaun pengantin membuat hatinya begitu bahagia. Hari pernikahan mereka, tepatnya hari akad nikah, yang melalui keputusan bersama keluarga akan dimajukan dua minggu dari rencana sebelumnya. Dirga membalas pesan singkat Hana. [Me] Bisa selesai sebelum hari H? [Ade] Bisa. Simple banget kok desainnya. Tapi ga bareng sama gaun yang buat resepsi. Yang buat resepsi paling seminggu sebelumnya baru beres.[Me] Oke [Ade] Balik kantor jangan lupa fitting jas ya Bang. [Me] Sip 'tok-tok' Borne masuk ke ruangan Dirga. Tak menunggu sang penghuni memberikan ijinnya. "Ada bokap dan abangnya Vio di luar." Dirga terdiam sesaat, tak menyangka dengan kehadiran tamu yang tak pernah di harapkannya. "Suruh masuk." pinta Dirga. Dua orang pria beda usia masuk ke ruangan Dirga dengan wajah yang tidak be
Bram berdiri dari tempatnya duduk, sementara Arseno masih bimbang, ia butuh penjelasan lebih. Bagaimanapun, ia tetap menyayangi adik perempuannya yang semakin sekarat setiap detiknya. "Ayah, tunggu! Ga, please... I'm begging you, tolong dampingi Vio. Setelah dia sehat, lo bebas nentuin langkah lo." "Gue bebas menentukan langkah gue sejak perceraian gue dinyatakan sah di mata hukum dan agama!" "Sudahlah Seno, tak ada gunanya kamu bicara dengan laki-laki seperti dia!" "Seperti apa, Om? Laki-laki bajingan dan infertil yang mungkin menyebarkan maninya di mana-mana karena sadar tak mungkin memiliki keturunan?" sinis Dirga tak terima dirinya lagi-lagi dilecehkan oleh keluarga Viona. Bram mendengus marah. Mukanya memerah. Kedua tangannya mengepal kuat. Begitu ingin ia menghabiskan pria yang dicintai puterinya itu. "Saya tidak pernah mengkhianati Viona. Terserah Om mau percaya atau tidak. Saya dididik untuk menghormati sucinya pernikahan. Silahkan Om tanya ke Vio
Bram meneteskan air matanya. Pun Kamila yang terisak di samping Viona. "Vio ga bisa percaya dengan siapapun. Begitu Vio tau Ditya mencintai Vio, Vio malah berulah, Vio mengkhianatinya karena Vio takut dia memulainya. Terlebih setelah Ayah meminta Vio melakukan hal keji itu. Juga ketika masalah datang ke pernikahan Vio, Vio ga sanggup menyelesaikannya malah lagi-lagi berlaku tidak pantas. Kalian mendidik Viona menjadi sampah!" "Karena itu Ayah akan di sini, walaupun untuk menyaksikanmu mati!" ucap Bram putus asa. "Ayah mencintai Ibu, Vio. Karena itu Ayah tak pernah meninggalkan Ibumu. Tapi Ayah terlalu murka dengan perbuatan Ibu, Ayah merasa tak berharga hingga bahkan Ibumu mencari kesenangan dengan laki-laki lain. Ayah tau Ayah bajingan, membalas perselingkuhan dengan perselingkuhan juga. Ayah akui Ayah salah, Ayah tak akan membela diri. Tapi tak pernah sekalipun Ayah berfikir untuk mencontohkan perbuatan bejat itu padamu, nak. Tidak pernah!" "TAPI ITU KENYA
Setelah memporak-porandakan ruang keluarga, Andien dan Dirga melanjutkan ronde kedua percintaan mereka di master bedroom rumah itu. Berbeda dengan ruangan lantai dasar yang di desain polos dengan gradasi warna cream ke putih di setiap dindingnya, lantai dua yang berisikan kamar-kamar para anggota keluarga dan sebuah ruang serbaguna, dinding-dindingnya berlukiskan hasil karya Edo – adik ipar Dirga. Wall mural yang kini menjadi salah satu order terbesar di perusahaan desain milik Dirga dan kawan-kawan memang membuat level hunian menjadi lebih nyaman dan terkesan mewah. Kamar Andien dan Dirga didominasi furniture yang terbuat dari kayu berwarna putih tulang, sementara untuk pernak pernik dan ornamen-ornamen pemanis - warna yang dipilih Dirga adalah warna-warna pastel sep
Tahun keenam pernikahan Dirga dan Andien.Dirga memeluk sang istri dari belakang, menempelkan bibirnya di daun telinga Andien.“Sudah siap?”Andien terkekeh geli.“Norak tau, Kak!”
“Sayang...” panggil Dirga saat Andien sedang merapihkan pakaian mereka ke dalam walk in closet.“Apa?”“Sini sebentar.”Andien menghentikan kegiatannya, lalu bergabung bersama Dirga di atas ranjang mereka.“Ada apa?”
Seperti biasa, Andien terbangun dari tidurnya di jam yang sama setiap malam. Yang berbeda, malam itu Dirga tak ada di sisinya, juga tak nampak di seantero kamar mereka. Andien beranjak dari ranjang, melangkah perlahan mendekati pintu penghubung kamar itu dengan ruang kerja Dirga, pendar cahaya masih nampak menembus celah antara pintu dengan lantai kayu rumah mereka.“Sayang?” tegur Andien saat mendapati suaminya yang duduk termenung seraya menyapukan ibu jari di pinggiran mug.“Hey, baby...”“Kok ga tidur?”
Dirga sekeluarga menyempatkan diri untuk pulang ke Indonesia ketika Summer Break. Jadwal pulang Dirga yang sebelum menikah mengikuti kalender islam – yaitu saat puasa Ramadhan, kini bergeser mengikuti libur anak-anaknya yang masih berstatus pelajar.Saat ini mereka sedang menghadiri acara pertunangan sepupu Dirga di salah satu ballroom hotel berbintang di Jakarta. Dirga yang memiliki prinsip untuk membopong semua anak-anaknya ke setiap acara keluarga sontak menjadi perhatian utama kerabat-kerabatnya selain pasangan calon mempelai.
“Kak...” sapa Andien seraya melangkah masuk ke kamar mereka. Andien mengambil pijakan kaki dari bawah meja riasnya, mendekat pada Dirga sebelum akhirnya meletakkan benda itu dan naik ke atasnya – hendak memasangkan dasi untuk sang suami. “Ada meeting ya hari ini?” “Iya. Mau ada tender lagi, sayang.”
“Mr. Harold?”Dirga tak menyangka dengan kehadiran seorang pria di balik pintu rumahnya. Pria itu membawa sebuah paper bag dengan nama toko mainan tempatnya bekerja.“Mr. Pranata.”“Ada yang bisa saya bantu?”
"Sayang, something happened with Anne."Dirga dan Ken baru saja turun dari deep black pearl Volkswagen Golf milik Dirga, bahkan handle pintu mobil itu masih digenggamannya. Dirga menutup pintu mobil, merangkul Andien, melabuhkan ciuman hangat di kening dan bibir isterinya."I'm home, sayang."
Andien turun dari mobilnya ingin bertandang sejenak ke sebuah toko yang menjual berbagai jenis rempah Asia. Ia baru saja mengantarkan Cantika ke play group yang tiga minggu terakhir menjadi salah satu tempat untuk belajar dan bersosialisasi bagi puteri kecilnya itu.Andien harus berjalan kaki beberapa ratus meter ke dalam untuk mencapai toko yang ia tuju. Langkahnya terhenti ketika melewati sebuah café dengan nuansa modern yang terasa begitu nyaman. Netranya terbelalak melihat Dirga sedang berbicara – jika bisa dibilang demikian – dengan seorang perempuan yang begitu... perfect