Ditya menatap Dirga dalam. Ia tau akan begini akhirnya. Jauh di dalam hatinya, ia pun ingin bersikap seperti Dirga.
"Gue minta maaf. Kalau dulu gue tau Vio menjalin hubungan dengan lo, gue bisa pastiin ga akan menikahi dia. Bahkan gue baru tau tentang lo waktu lo nguntit gue dari Tanamera ke sini. Itupun sebagai penguntit Vio, bukan sebagai cowonya Vio."
Ditya merasa ada yang meremas hatinya. Mendengar pria yang paling ia benci meminta maaf bahkan bukan karena kesalahan pria itu, membuatnya benar-benar merasa kalah.
Dirga dan Andien membiarkan Ditya menikmati makanannya. Pria itu makan dengan tak semangat, tetapi perlahan tetap dihabiskannya. Mungkin karena tak enak hati dengan tuan rumah. Hari beranjak semakin malam. Aroma rintik hujan yang bersapa dengan tanah kering mulai menyapa penciuman. Ditya pamit pada Andien. Andien masuk ke rumahnya memanggil Abah dan Ummah agar Ditya bisa segera berpamitan. "Saya pulang dulu Om, Tante. Terima kasih sajiannya." "Tinggal di mana, nak?" tanya Rosi. "Kalibata, Tante." "Ummah. Panggil Ummah. Saya ga suka dipanggil Tante. Ini Abah suami saya, bukan Om-om." Ditya tertawa pelan. Saat itu ia merasakan ada yang menggelitik di indera penciumannya. Tangannya terulur menyentuh hidungnya, cairan merah mewarnai jari dan telapak tangannya. Ditya akan menengadahkan kepalanya menatap ke langit-langit, tetapi Dirga yang berdiri di sampingnya menahan kepala belakangnya. "Nunduk, jangan nengadah!" titah Dirga. Andien m
Rosi mengendurkan rengkuhannya setelah napas Ditya terasa mulai teratur. Ditya menarik dirinya dari pelukan Rosi. "Maaf Ummah." "Tak apa. Ini, ganti bajumu. Shalat. Lalu istirahatlah. Pulanglah besok." "Ga usah Ummah." "Semua tidur di sini malam ini." "Saya pulang saja Ummah." "Berani kamu keluar dari pintu itu, saya patahkan kakimu!" titah Hamdan. "Wajahmu saja tampak lemah begitu masih memaksa mau nyetir di tengah hujan badai begini." Ditya tau tak mungkin melawan kedua orang tua Andien itu. Ia mengangguk, kemudian beranjak untuk membersihkan dirinya.Para pria kini menduduki lantai bawah. Sementara para wanitanya dan sebagian anak-anak berada di lantai atas. Ian dan Kia tampak mengadu keahlian bermain PS. Sementara Dirga, Ken, Edo, Dewa dan Borne memilih bermain kartu dengan taruhan jepit jemuran yang akan dipasangkan di wajah mereka jika mereka kalah. Mereka memang senang sekali menyiksa diri. Bersisian dengan kelima pria berkartu itu,
"Lo tau kan lo cinta pertama Nara?" tanya Dewa pada Dirga. "Tau. Tapi gue ga ngerti maksudnya nunggu." "Nunggu sejak gue bilang lo mau balik kali, Ga!" potong Ian. "Bukan! Nara selalu nunggu lo, Ga!” tegas Dewa. “Sebelum gue nikah sama Sandra, dulu Sandra suka cerita alasan Nara lama sendiri sampai akhirnya nerima Devan sebagai cowoknya. Nara bilang dia ‘berhutang’ sama seseorang di masa kecilnya. Dan cowok itu adalah cowok pertama yang dia taksir. Sayangnya, Nara ga bisa ingat wajah cowok ini. Cowok itu elo, Ga. Nara berharap banget dia bisa ketemu lagi sama lo. Bahkan Sandra sering nemanin Nara ke lingkungan kalian dulu, berharap nemuin jejak lo di sana. Walaupun ternyata, nihil. “Butuh waktu lama untuk Nara bisa mencintai Devan. Dan itu semua karena dia yang ga bisa menutup harapan dia untuk ketemu lo. Kata Sandra, sekitar empat tahunan jadian baru Nara ngerasa kalau dia mencintai Devan, bukan sekedar terbiasa akan kehadirannya aja. Pas mereka j
London di masa lalu."Assalammu'alaikum." "Wa'alaikumsalam. Ya Allah anak Mama. Sehat, Nak?" "Alhamdulillah sehat, Ma. Mama dan Papa sehat?" "Sehat, Nak. Abangmu dan Borne bagaimana?" "Kami sehat semua di sini, Ma. Mama ga usah khawatir." Terdengar isak tangis yang tertahan di seberang sana. "Kok Mama nangis?" Dirga menunggu jawaban dari sang Mama yang masih terisak. "Maafin Mama dan Papa. Kalian jadi terlunta-lunta di sana." "Ya Allah, Mama... Kami kan kuliah dapat beasiswa, Ma. Abang juga udah residence. Dirga dan Borne juga sambil kerja. Jadi Mama ga usah khawatir. Kami baik-baik saja. Kemarin ada yang beli design Dirga. Lumayan hasilnya. Inshaa Allah mau Dirga seriusin. Do'ain aja ya, Ma." "Iya, Nak." "Mama, Papa, Kak Nisa dan Hana jaga kesehatan ya. Cuma itu yang bikin kami tenang di sini." "Iya, sayang. Makan yang teratur, istirahat yang cukup. Shalat lima waktu. Waspada dengan hal-hal yang ga baik ya, Nak."
"Baiklah, Anda bisa mengajukan sidang bulan depan. Persiapkan diri Anda dengan baik." Titah Prof. Barnard pada Dirga. "Yes, Sir." Jawab Dirga. Tak bersemangat. "What?" tanya pria di hadapan Dirga itu. Menangkap ekspresi ragu di wajah Dirga. "Nothing, Sir. Kemungkinan saya akan pulang ke Indonesia sebelum sidang, sekitar sepuluh hari." "Orang tuamu sehat?" "Hopefully. Thank you for asking." "Ok. But remember, prepare yourself. Jangan mengacau!" "Yes, Sir!" Tiga hari kemudian Dirga sudah menjejakkan kakinya di depan rumahnya. Ia membuka gembok pagar dengan menekan beberapa nomor kombinasi. Kakinya melangkah terburu-buru menuju pintu rumah. "ASSALAMMU'ALAIKUM. MAMA, ELANG PULANG!" teriak Dirga seraya membuka pintu di hadapannya. Anggita dan Anggara yang mendengar suara putera ketiganya itu melangkahkan kaki keluar dari kamar mereka. Dirga tersenyum lebar saat melihat kedua orang tuanya, sementara Hana sudah tenggelam dalam pelukan hangat aban
Ian memakirkan mobilnya di tepi jalan tak jauh dari kediamannya dulu di selatan Jakarta. Dirga tampak tekun menatap sepasang cincin yang ia letakkan di telapaknya, tanpa kotak, hanya terikat dengan seutas tali berwarna hitam. Ia lalu memasang kembali kalung hitam berliontinkan sepasang cincin itu ke lehernya. Menutup keberadaan benda itu dengan kerah bajunya. "Udah siap?" tanya Ian. "Harus! Gue ga akan coba-coba. Gue bakal maju no matter what!" Ian mengangguk. "Good luck, bro!" ujarnya seraya menepuk bahu Dirga. Dirga keluar dari Honda Civic berwarna hitam milik Ian, memegang dadanya yang sedari tadi isi dalamnya menggebu bertalu-talu. "Calm down. Calm down!" monolognya. Ia berjalan pasti dengan menenteng sebuah paper bag berwarna putih, menuju sebuah rumah sederhana - yang ia ingat memiliki pagar sepinggangnya dengan warna putih gading. Di dinding depan rumah itu, dulu, tergantung beberapa tanaman yang tumbuh menjuntai ke bawah. Di balik pagar putih gadi
Andien tersenyum melihat pria berkaca mata di depan pintu kosannya. Pria itu menenteng kantong plastik yang bertuliskan nama sebuah restoran cepat saji ternama dengan menu andalan bakmi dan masakan oriental. Jangan lupakan senyum dengan lesung pipi milik pria itu, yang selalu membuat Andien tak bosan menatapnya. "Hi beautiful!" sapa pria itu ramah. "A Devan udah lama?" tanya Andien sambil membuka pintu kamar kosannya. "Ayo masuk A."
Andien meneteskan air matanya. Haru mendengar janji cinta dari kekasihnya."Aa'...""Keinara Andieni Tachsin... Maukah kamu menikah denganku? Menjadi isteriku dan ibu dari anak-anak kita nanti?"Andien tak mampu menahan isaknya. Kepalanya mengangguk pasti. Ia memaksakan senyum di wajahnya yang masih berurai air mata haru."Iya A. Aku mau." jawabnya